Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kesejahteraan dan Pendanaan Gereja

Wahyu Wijanarko's picture

"Dan karena mereka melakukan pekerjaan yang sama, ia tinggal bersama-sama dengan mereka. Mereka bekerja bersama-sama, karena mereka sama-sama tukang kemah." (Kisah para rasul 18:3).

Operasional sebuah pelayanan tentu tidak luput dengan kebutuhan dana. Walaupun bukan yang utama, namun tidak jarang suatu persekutuan tidak bisa berjalan dikarenakan adanya kekurangan dana.

Secara ideal, persekutuan seharusnya bisa jalan dengan baik jika perpuluhan dilaksanakan sesuai dengan di Perjanjian Lama. Suku Lewi pada waktu itu ditunjuk sebagai imam dan 11 suku yang lain menghidupi imam melalui perpuluhan. Tetapi faktanya aturan tersebut tidak bisa dilaksanakan seideal itu. Bisa karena perpuluhan tidak dijalankan, atau memang karena jemaat tidak memiliki kemampuan ekonomi yang mencukupi.

Pada masa gereja mula-mula, jemaat menjual segala miliknya untuk menjalankan operasional gerejanya. Kemungkinan besar, karena saat itu keberadaan gereja mendapatkan penindasan yang luar biasa, sehingga jemaat susah untuk mendapatkan penghasilan dikarenakan ada hukuman berat bagi siapa saja yang menjadi Kristen atau membantu orang Kristen.

Ketika saya membaca mengenai Paulus yang bekerja membuat tenda, tiba-tiba saya tersentak. Pada waktu itu (tahun 2001), saya tinggal di desa dengan jemaat yang jumlahnya kecil, dan penghasilan jemaat yang terbatas karena mayoritas anggota jemaat memiliki profesi sebagai petani. Dengan dana yang terbatas, honor untuk Pendeta juga terbatas. Padahal Pendeta kami harus mengurus kebutuhan keluarga. Akhirnya, di sela-sela pelayanannya, Pak Pendeta beternak ayam.

Ada yang mendukung, ada yang mencibir. Namun demikian, di mata saya adalah bahwa Pendeta kami tersebut sedang berusaha agar kebutuan rumah tangga dan kegiatan pelayanannya dapat terpenuhi tanpa membebani jemaat. Hal itu saya amati dari Rasul Paulus sendiri, bahwa Paulus memberikan totalitas dalam pelayanannya tanpa menunggu bantuan finansial dari orang lain.

Mungkin bagi lembaga pelayanan yang besar, kebutuhan-kebutuhan dana untuk pelayanan sudah tercukupi dari persembahan jemaat saja. Namun tidak sedikit pelayan-pelayan Tuhan yang ada di pedalaman tidak memperoleh gaji sepeserpun. Namun yang membuat saya bangga, mereka tidak memikirkan hal itu. Untuk memenuhi kebutuhan mereka, para pelatan Tuhan itu bekerja di ladang dan memperoleh hasil dari bertani.

Kemudian muncul lagi pertanyaan, karena hamba Tuhan di pedalaman bisa menikmati lahan pertanian. lalu bagaimana dengan hamba Tuhan yang ada di kota besar? Kota besar identik dengan jasa. Mencontoh pelayanan Paulus, bekerja bukanlah hal yang tabu, sepanjang pelayanan tetap ditempatkan di prioritas utama. Hamba Tuhan bisa sambil mengajar di sekolah, kampus, atau menulis artikel dan buku. Bisa juga bekerja di perusahaan, dengan terlebih dahulu mendiskusikan dengan pemilik perusahaan, bahwa dia memiliki prioritas di pelayanan.

Selain secara pribadi dilakukan oleh para hamba Tuhan, secara umum Gereja bisa saja memiliki usaha bisnis untuk mendukung kesejahteraan persekutuan. Bahkan, unit usaha yang dimiliki tersebut bisa menjadi model usaha Kristen yang baik. Bisnis dijalankan dengan baik dan jujur, ramah lingkungan, dan perijinan ditaati serta pajak-pajak dibayar sesuai dengan regulasi pemerintah. Bahkan, jika dikembangkan dengan baik unit usaha bisa juga dimungkinkan untuk menjadi saranan kesejahteraan jemaat melalui sisa hasil usaha yang dibagikan.

Dengan cara demikian, akan tercipta pelayanan yang mandiri, yang pada akhirnya dapat menopang persekutuan tanpa terlalu mengharapkan hasil dari kolekte.

Sekali lagi, fokusnya adalah untuk pelayanan, sehingga jangan sampai karena asyik berbisnis pelayanan menjadi dikesampingkan.