Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

POMPA AIR

anakpatirsa's picture

“Mei 98” menyisakan sebuah kisah bagiku. Maafkan jika aku hanya menyaksikannya lewat televisi. Waktu itu aku masih tinggal di kampung yang sunyi. Hanya mendapat kiriman pakaian dalam wanita karena kami dianggap tidak punya keberanian. Maafkan jika aku tidak bercerita tentang peristiwa yang tidak kualami itu. Aku hanya mendengar cerita dan melihatnya di televisi. Tetapi aku punya cerita lain, juga aku tidak mengalaminya, karena waktu itu aku malah berada di pulau ini. Aku tidak mengenal orang-orang yang trauma dengan kata Jakarta atau Solo, tetapi aku mengenal orang-orang yang tidak mau makan daging setelah melihat sebuah kerusuhan. Aku juga mengenal orang-orang yang tidak mau menerima saudaranya lagi hanya karena sebuah pompa air. Itulah sebabnya cerita ini berjudul “Pompa Air”

Inilah ceritaku.

***

Rumah belakang tidak bakalan rata dengan tanah jika sepupu itu diam. Entah setan apa yang merasukinya sehingga saudaranya hanya bisa terpana menyaksikan api melahap beton dan genting. Perlahan tapi pasti, rumah itu menjadi api unggun. Sebelum api unggun benar-benar menyala, sang keponakan keluar dari balik asap membawa pompa air listrik. Pasti berusaha menyelamatkannya. Pasti berniat membawa hasil jarahannya ke rumah tantenya, tempat pemilik api unggun bersembunyi.

Tidak perlu banyak aba-aba untuk membuat api unggun dari rumah orang. Hanya perlu berteriak lantang, "Bakar! Bakar!" Dan itulah yang ia lalukan. Tadi ia menjadi provokator, tetapi sekarang ia menjadi maling. Membuat saudara-saudaranya mengingat kembali tayangan kerusuhan 3 tahun lalu, ketika makhluk manusia yang terkenal karena bangsanya begitu murah senyum itu membawa kulkas jarahan di tengah jalan. Makhluk-makhluk ini melakukannya tanpa malu-malu, tetapi sang keponakan melakukannya dengan gaya maling. Menoleh kiri-kanan, lalu berlari ke rumah tantenya, berharap tidak ada yang melihat.

Ada enam orang yang sedang bersembunyi di rumah sang tante. Tiga bersaudara dengan tante yang menjadi ibu kos. Lalu ada dua tamu yang lebih dari sekedar ketakutan.

Rumah yang diteriaki "Bakar! Bakar!" itu rumah Hadi, pendatang yang sekarang tidak bisa berbuat apa-apa. Kerusuhan baru saja berlangsung di Sampit, tiga bersaudara tadi hanya mendengar cerita orang dibunuh dan tergeletak tanpa kepala di pinggir jalan. Mendengar orang  berpawai membawa parang dan tombak sambil menenteng kepala manusia. Sama sekali tidak menyangka kerusuhan merembet ke kota ini. Kemarin mereka tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menutup pintu rapat-rapat saat mendengar teriakan yang mampu membuat bulu tengkuk merinding. Dari balik horden, pemuda yang suka nongkrong di depan gang, nampak berteriak sambil mengangkat sepotong kepala manusia dan seorang lagi mendekat lalu mencetok kepala itu.

Potongan kepala manusia dari kejauhanpun tetap melotot, tetapi ada yang lebih mengerikan. Mata pemegangnya berwarna merah. Orang hanya bisa merinding. Masih belum hilang trauma itu, sekarang mereka mendengar sepupunya berteriak kesurupan, "Bakar! Bakar!"

Pertama kali mendengar kerusuhan ini, mereka berkata, "Syukurlah, akhirnya mereka tahu rasa." Walau bagaimanapun, ada sesuatu di antara mereka, seperti anjing dan kucing. Mungkin karena mereka memang sering mendengar cerita, apalagi mengalami sendiri hubungan yang tidak sehat itu.

Sehari setelah kabar Sampit, sebelum tengah malam, terdengar ketukan pelan di pintu belakang. Penghuni rumah ketakutan. Berita kerusuhan itu sangat menakutkan, terutama kabar akan adanya aksi balas dendam. Semua terbangun, namun tidak ada yang bereaksi kecuali berpura-pura tidur. Ketukan itu tetap terdengar, lalu setelah ada suara perempuan memanggil nama mereka satu persatu, mereka berdiri ketakutan di depan pintu kamar masing-masing.

Sang tante berbisik kepada keponakan laki-lakinya, "Coba kamu lihat, itu sepertinya istri Si Hadi."

Si anak menurut. Tidak ada lubang untuk melihat siapa yang mengetuk pintu. Terpaksa ia langsung membukanya, tentu saja setelah yakin mengenal suara itu. Ia hanya membuka pintu sedikit, siap menutupnya kembali jika melihat bahaya. Melirik sekilas pada parang telanjang di sudut meja. Sengaja tidak mengambilnya, “Tidak sopan membuka pintu dengan parang terhunus.” Kata kakeknya dulu. Ia yakin, parang ini berada dalam jangkauannya.

Tidak perlu ia menjangkau parang. Makhluk di depan itu begitu pucat dan lusuh. Entah sudah berapa lama ia menangis.

"Tolong kami, suamiku mau dibunuh," katanya. Langsung masuk tanpa menunggu dipersilahkan. Bahkan langsung menutup pintu. Mata ketakutan itu melirik parang telanjang di atas meja. Parang itu sangat menakutkannya.

Tante mengajaknya masuk ke dalam, tetapi ia berkata, "Suamiku bersembunyi di rumah. Aku takut meninggalkannya sendirian di sana. Bolehkah ia ikut ke sini? Lebih aman kami bersama kalian."

Sang tante perlu berpikir beberapa detik, terdiam setengah menit. Tetapi akhirnya berkata "Ya," lalu sambil keponakan laki-lakinya, "tetapi di rumah ini hanya ada satu laki-lakinya."

Ia teringat almarhum suaminya yang meninggal lima belas tahun lalu. Betapa ia berharap ada laki-laki yang bisa ia andalkan, bukan hanya seorang kutu buku.

"Terima kasih banyak," kata perempuan bertubuh kecil ini. Tanpa membuang waktu, langsung ia membuka pintu belakang. Tidak sampai dua menit, sudah kembali bersama suaminya.

Melihat keadaan sang suami, manusia yang mensyukuri kerusuhan itu harusnya menyesal. Pria ini sama sekali tidak berani membalas tatapan tuan rumahnya. Benar-benar sedang ketakutan. Tidak tahu mereka betapa takutnya ia kemarin saat bersembunyi di rumahnya waktu pembunuhan itu terjadi. Wajah hitam itu tidak lagi berwarna hitam, mata itu memancarkan ketakutan. Bukan! Bukan ketakutan, tetapi kengerian. Tidak perlu orang bertanya apakah ia sudah makan atau belum. Tidak sepatah katapun akan keluar dari mulutnya.

"Periksa lagi semua pintu dan jendela," kata tante kepada keponakan laki-lakinya. "Ikut ke kamarku saja," katanya kepada kedua tamunya. “Kita semua tidur di kamar saya malam ini,” katanya tegas kepada ketiga keponakkannya. Ia benar-benar berubah menjadi jenderal.

Mendengar isu yang mendahului pembunuhan tadi sore, wajar semua orang merasa takut. Kabarnya mereka itu bisa mencium bau musuh dari jarak setengah kilometer.

Kalau orang bisa membaca pikiran si tante dan keponakannya, mereka tahu, kemarin mereka hanya mendengar desas-desus. Tetapi mereka juga membenci kelompok pendatang ini -- musuh-musuh mereka. Kebencian itu baru sirna setelah melihat pria yang ketakutan di sudut. Ketakutan yang wajar karena ia juga mendengar isu yang sama. Orang-orang yang mengejarnya bisa mencium bau musuh dari jarak setengah kilometer. Percuma bersembunyi, harapan satu-satunya, berlindung di rumah penduduk asli yang masih mereka percaya -- kalau memang ada yang masih bisa mereka percaya.

Paginya, tidak seperti biasa, rumah benar-benar tertutup rapat. Pembunuhan kemarin membuat pedagang memutuskan menutup warungnya. Si tante memiliki persediaan makanan di kulkas. Istri Hadi tidak berani ke rumahnya, takut ada yang melihat sehingga bisa menebak keberadaan suaminya. Tetangga lain memilih bersembunyi di rumah, tanpa suara. Mengira tetangga sebelahnya tidak tahu ada orang di dalam.

Sorenya, orang ramai berteriak. Orang ketakutan. Sang tante merasa lega karena orang yang teriakannya paling keras itu keponakannya. Ketika keponakan merasa aman karena orang yang memimpin itu sepupu mereka. Tetapi hanya sesaat, saat melihat mata yang memerah itu, bulu tengkuk mereka berdiri semua. Sama sekali ia tidak melirik rumah adik ayahnya. Lewat begitu saja, memimpin puluhan pemuda berparang lewat samping rumah. Mereka langsung mengepung rumah Hadi yang berdiri megah tiga puluh meter di belakang. Pintu itu terlalu kuat bagi mereka sehingga beberapa orang hanya bisa memecahkan kaca jendelanya. Itupun tidak berguna, teralisnya terlalu kuat.

Seseorang terdengar berteriak, "Ia ada di sini, aku bisa mencium baunya. Ia pasti bersembunyi di dalam."

Semuanya bisa merasakan ketakutan Hadi saat mendengar teriakan, "Aku bisa mencium baunya." Si tante menyambar selimut lalu keluar kamar. Kembali lagi dengan selimut yang sudah ia basahi. Ia menutup tubuh Hadi dengan selimut basah tanpa mengucapkan sepatah katapun. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Entah darimana ia tahu selimut basah bisa menutupi bau sebuah suku.

Sang keponakanlah yang berteriak, "Bakar! Bakar!" Mendengar teriakan itu beberapa orang yang ternyata sudah menyiapkan bom botol melemparkannya melalui jendela yang pecah. "Lemparkan ke kamar tidur, biar kena kasur," teriak seorang. Beberapa orang lalu pergi ke samping, memastikan mana kamar tidur dan melemparkan bom botolnya. Siapapun yang bersembunyi di dalam pasti mati terbakar. Mereka memang yakin ada orang di dalam, karena baunya sempat tercium tadi. Percuma orang itu keluar,  beberapa orang menunggunya dengan parang terhunus.

Istri Hadi hanya bisa menangis tanpa suara menyaksikan pembakaran rumahnya. Suaminya tetapi di dalam selimut basah. Sang istri lalu terduduk diam di sudut, menangis tanpa suara sambil bersandar pada suaminya yang tertutup selimut basah. Tetapi sebelum terduduk di lantai, ia sempat melihat siapa yang keluar dari arah belakang. Melihatnya berlari ke rumah ini sambil menenteng pompa air.

Baik Hadi maupun istrinya sama-sama mendengar sebuah ketukkan di pintu belakang. Seorang mengetuk pintu sambil berkata, "Buka, buka! Ini aku. Aku tahu kalian ada di dalam."

Ia mau mengamankan hasil jarahannya.

Mereka semua diam. Mereka tahu, tidak akan pernah bisa membukakan pintu itu untuknya. Bahkan sampai kerusuhan selesai, pintu rumah itu sudah sudah tertutup baginya.