Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Sekolah Memberi Kls NOL – MEMBERI DENGAN TERPAKSA

Purnomo's picture

           Maimonides (1135-1204) memformulasi “tzedakah” (the act of giving) dalam 8 tingkatan berdasarkan perasaan si pemberi dan si penerima. Tzedakah tingkat terendah adalah “memberi dengan muka masam”. Kata “tzedakah” juga dipergunakan untuk kegiatan memberi perhatian, memberi penghiburan.

 
         Tindakan memberi di kelas ini adalah untuk kepentingan diri sendiri, bukan untuk orang lain. Dorongan memberi di sini bisa dikarenakan oleh:

(1) keselamatan diri sendiri.
           Kalau aku bermobil dan berhenti di traffic light, aku tak pernah memberi pengamen cilik yang nyanyi sambil membunyikan ‘kecrekan’ tutup botol. Tetapi aku bergegas mengulurkan uang seribu rupiah bila yang nyanyi membuat suara musik pengiringnya dengan membentur-benturkan 2 buah batu sebesar bola tenis di tangannya.

           Ada yang terpaksa menyapa pendetanya setiap berjumpa di mana saja walau sebetulnya dia tidak menyukainya demi tidak kena tulah atau dijadikan ilustrasi kotbah Minggu.

(2) perasaan bersalah.
          Ada yang memberi sumbangan pernikahan karena merasa bersalah apabila tidak melakukannya. Padahal yang mengundang teman akrab, kaya raya lagi. Mau memasukkan uang 50 rb tak berani karena amplop dinomori. Pantasnya 200 rb, tapi kok berat sekali. Lalu menawari 4 orang temannya makan enak hanya dengan prabayar 50 rb/orang sehingga menyumbang 200 rb tak terasa berat lagi.

          Pernahkah Anda mendengar orang bertanya, “Kapan seh persembahan di gereja ditiadakan? Gereja itu sudah kaya raya, kok ya masih ‘ngider’kan kantong. Kepinginnya seh gak ikutan nyumbang. Tapi kata pendeta itu salah dan bisa mendatangkan belalang pemakan uang di dompetku.”

          Ketika mendengar seorang aktivis gereja masuk ke rumah sakit karena sakit terminal, seorang mengajakku segera melawatnya, “Gak enak sama keluarganya kalau dia keburu meninggal sementara kita belum sempat melawatnya. “

(3) kewajiban.
         Di kelas cucuku yang KB setiap bulan ada acara makan bersama yang makanannya disiapkan oleh orang tua secara bergiliran. Suka atau tidak, setiap orang tua siswa akan mendapat giliran untuk mengeluarkan uang untuk memberi makan anak-anaknya orang lain. Celakanya lagi yang kena giliran tidak bisa menyetor nasi kucing karena menu wajibnya sepanjang tahun sudah ditulis oleh gurunya.

         Sejelek-jeleknya motivasi mereka yang ada di kelas ini, tetap harus disyukuri karena mereka sudah melakukan “the act of giving” – daripada tidak sama sekali, bukan? Mereka tidak butuh waktu lama akan berpindah kelas lebih tinggi. Bukankah kenaikan kelas dari kelas NOL ke kelas SATU nilai-nilai ulangannya tidak menentukan?

                                          (23.10.2014)

** gambar diambil dari google sekedar ilustrasi.