Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Silakan panggil aku apa saja

y-control's picture
Di akta kelahiran, nama saya tertera dengan tiga kata meski entah kata ketiga atau kata kedua (nama tengah) nya saya yakin itu salah ketik. Tak perlu saya sebut nama asli saya di sini (karena sia-sia dong saya pakai nickname). Jelasnya nama itu nama yang biasa saja, bahkan sejak TK saya hampir selalu satu kelas, satu pergaulan atau satu kantor dengan orang yang namanya sama dengan saya. Mungkin karena itu pula, paling tidak sejak SMP selalu saja ada orang yang melabeli saya dengan nama lain demi membedakan saya dengan teman lain yang namanya sama itu.
 
Saya tak pernah merasa keberatan, bahkan seandainya nama baru itu terdengar sangat jelek, aneh atau diciptakan terkait dengan fisik saya yang tentu saja tidak sempurna ini (misalnya nama yang berhubungan dengan badan saya yang kurus atau gigi saya yang tidak begitu proporsional) pada dasarnya saya tak begitu mempermasalahkan sejauh julukan itu tidak disebutkan di forum resmi. Pernah juga waktu kuliah ada teman saya yang memberi saya julukan yang biasanya dijadikan sebutan untuk binatang. Tak hanya itu, bahkan ia pun berhasil memasyarakatkannya sehingga banyak teman saya yang lain memanggil saya dengan sebutan itu (sampai sekarang masih). Tentu saja pada awalnya saya tidak menerimanya dengan tangan terbuka. Namun mengingat hal itu dilakukan lebih banyak untuk tujuan bercanda (bahkan membuat saya lebih mudah diingat dan ‘terkenal’), rasanya tidak tepat jika saya menanggapinya dengan marah-marah. Yang saya lakukan pun adalah ganti memberi teman saya tadi dengan julukan yang ‘sama rendahnya’. Dan ia pun menerimanya sebagai guyonan yang tak perlu ditanggapi dengan emosional. Demikianlah tindakan memberi julukan yang sebenarnya merendahkan itu malah membuat persahabatan kami lebih erat dan bahkan menambah teman.

Memang pada dasarnya saya bukan jenis orang yang selalu menuntut agar semua orang harus menyebut nama saya dengan benar. Jika tidak untuk urusan yang begitu penting, salah pelafalan atau salah satu huruf pun tak masalah, asalkan pengucapannya tidak beda. Mungkin juga hal ini karena keluarga saya termasuk yang tidak begitu memandang penting tentang nama. Buktinya kedua orang tua saya tidak pernah menamai kelima anaknya sendiri, masalah penamaan selalu diserahkan kepada kakek, kerabat atau teman. Tapi tentu saja tidak semua orang begitu. Masalah nama atau sebutan kepada dirinya bisa jadi adalah sesuatu yang sangat penting. Ada teman perempuan yang karena merasa masih lajang, ia lantas paling tidak suka kalau dipanggil dengan sebutan ‘bu’. Ada juga teman laki-laki yang kebetulan berasal dari kawasan Indonesia bagian timur (yang namanya memang kebanyakan seperti nama orang Eropa) yang paling tidak suka kalau dipanggil ‘mas’.

Nama atau sebutan itu memang benar penting jika sudah berkaitan dengan konteks politis (maaf hanya kata serius inilah yang paling tepat untuk mewakili apa yang saya maksud). Coba saja, kenapa Pramoedya memberi judul buku biografi tentang seorang tokoh perempuan Indonesia dengan “Panggil aku Kartini saja”, kenapa ada beberapa orang (seperti Ray Sahetapy) yang dulu pernah berusaha mempropagandakan memakai kembali sebutan ‘nusantara’ untuk mengganti nama ‘Indonesia’ yang merupakan karya orang Eropa, kenapa orang Kristen di Indonesia (atau mungkin di Jawa) sepertinya takut memakai nama ‘Yesus’ sebagai nama baptis, padahal di negara latin atau Filipina sekalipun ada banyak yang memakainya, kenapa ada pemain sinetron yang namanya Mohammad Ibrahim tiba-tiba berubah memakai nama berbau oriental Baim Wong (lho kok jadi infotainment), kenapa juga itu bisa terjadi mengingat etnis Cina sendiri pernah diperintahkan untuk mengganti namanya yang pastilah oriental itu dengan alasan pembauran, lalu kenapa juga selain nama-nama barat seperti Kevin, Michael, Cindy (yang saya rasa kebanyakan dipakai oleh etnis Cina generasi baru yang bosan dengan nama pribumi nan aneh seperti Hokianto, Tandoyo, dll) di sisi lain sekarang juga lagi musim nama-nama seperti Najwa, Nayla, Zahra dan sejenisnya.
 
Soal nama itu, saya juga ingat pernah diperlihatkan oleh seorang teman sebuah buku (judulnya lupa) yang di situ juga menjelaskan kenapa misalnya di Tiongkok, nama-nama marga itu bisa dipakai untuk mengklasifikasikan struktur masyarakatnya. Misalnya marga A itu kebanyakan pedagang, marga B itu juru masak, dsb. Sebenarnya masih sangat banyak contoh lain dalam beragam bidang. Pada intinya kalau mau memikirkannya lebih jauh, kita bisa melihat bahwa baik langsung atau tidak langsung, semua itu tak bisa dilepaskan dari alasan politis.

Menjelang tahun baru Imlek ini, terutama sejak tahun 1999 banyak orang yang selalu memanfaatkan momen ini untuk membicarakan mengenai masalah etnis Cina, termasuk di antaranya adalah pemakaian sebutan Tionghoa untuk menggantikan Cina yang dirasa bernada hinaan. Di wikipedia disebutkan bahwa sebutan Tionghoa itu adalah sebutan khas Indonesia yang berasal dari kata Chung Hwa yang merupakan nama yang dipopulerkan oleh gerakan nasionalis nya Dr Sun Yat Sen yang melawan kekuasaan dinasti Ching (Manchuria). Sementara istilah Cina itu berasal dari sebutan ‘orang Ching’ yang menggambarkan Tiongkok yang ketika itu dikuasai dinasti Ching. Jadi bisa dibilang keduanya adalah dua sebutan untuk mengidentifikasikan satu pihak, namun semangatnya saling berlawanan. Istilah Tionghoa katanya juga makin populer setelah dibentuknya perhimpunan “Tiong Hoa Hwe Kwan” (THHK) yang menitikberatkan pada pendidikan etnis Cina perantauan dan konon menjadi contoh yang kemudian ditiru oleh organisasi Boedi Oetomo. Saya tidak tahu apakah sebutan yang membawa semangat saling bertolak belakang inilah yang melatarbelakangi upaya mensosialisasikan sebutan Tionghoa untuk menggantikan Cina. Jika memang iya, ini malah agak lucu. Secara terkesan berlebihan dan terlalu rumit mengaitkannya, alasan tersebut juga berpotensi kembali mengesankan bahwa etnis Cina di Indonesia masih merasa tanah airnya adalah RRT. Tapi mungkin juga memang bukan itu alasannya.

Yang sering saya dengar adalah bahwa sebutan “Cina” itu dikeluhkan karena dirasa bernada menghina (offensive) bahkan disamakan dengan sebutan “neger” untuk kaum kulit hitam di Amerika Serikat. Lantas kenapa suatu sebutan/nama bisa dianggap offensive? Ada yang menjawab tergantung nada pengucapannya. Kalau serempetan di jalan lalu diteriaki “dasar cina lu!!” itu dianggap offensive, tapi kalau nanya dengan nada halus “eh kamu itu cina ya?” itu dianggap ga papa. Mungkin begitu kira-kira… Tapi, ada juga yang mengatakan bahwa tergantung dasar pemikirannya. Jadi kalau seorang marah-marah lalu berteriak ‘dasar cina!’ itu malah tak apa-apa karena itu dipicu oleh emosi yang dalam artian ini disamakan dengan ucapan ‘dasar gembrot!’ (nb: kita memang gemuk). Sebaliknya jika ada yang mengatakan ‘itu lo si X yang orang cina..” itu adalah offensive karena bagaimanapun ia merasa sebagai orang Indonesia. Terus terang yang kedua ini agak membingungkan, tapi intinya ia ingin bilang soal nasionalisme gitu loh.
 
Alasan lain ada yang bilang dulu di zaman Orla sudah pakai istilah Tionghoa, lalu oleh Suharto diganti menjadi Cina untuk merendahkan, melemahkan (mungkin juga untuk melupakan ingatan akan THHK dan peran etnis Tionghoa yang lain terhadap sejarah RI), juga ditambahi bahwa istilah Cina itu ada lagu hinaannya segala. Yang jadi pertanyaan saya, kenapa istilah Tionghoa nantinya dianggap tidak mungkin dijadikan bahan untuk lagu hinaan juga? Apakah anak-anak kecil atau bahkan orang tua yang menyanyikan lagu bernada hinaan yang mengandung kata cina.. cina.. itu juga golongan yang menghargai sejarah, apapun versinya?

Saya sendiri sebenarnya tidak begitu tertarik dengan ramainya upaya untuk mengganti istilah Cina menjadi Tionghoa. Yang saya setuju untuk disosialisasikan pertama adalah pemakaian kata “etnis” (kalau suku kesannya sih kok kayak Hiawata gitu ya) untuk menggantikan “orang” apalagi “bangsa” atau “warga” Cina eh Tionghoa. Mungkin asik juga kalau ada yang memakai lagi kata Hoa Kiau. Tapi kalau untuk istilah “warga peranakan” atau “WNI keturunan” saya juga kurang sreg karena terlalu banyak ditutup-tutupi, dan perasaan yang ditutupi itu berbahaya karena bisa menyimpan bermacam-macam pikiran. Lalu kembali lagi soal sebutan. Sebagaimana sudah dikatakan, karena kurang jelas dasar pemikirannya, saya sebetulnya tidak terlalu tertarik dengan Cina atau Tionghoa. Meskipun generasi baru sekarang juga banyak yang memakai istilah bahasa Inggris “Chinese” ketimbang dua kata di atas, entah kenapa saya masih memilih (atau masih terbiasa) memakai istilah Cina kalau itu bahasa Indonesia bahkan Cino kalau memakai bahasa Jawa. Tionghoa bagi saya masih kepanjangan sehingga tidak praktis diucapkan. Beberapa teman dekat saya pun sering bercanda menyapa saya dengan “hei cina” atau menyebut saya “cina kok ga punya toko”, atau menggoda dengan memilihkan lagu-lagu pop mandarin (yang sulit sekali untuk saya sukai) waktu di karaoke, maupun mentertawakan jika memergoki saya sedang berada di wilayah yang dikenal sebagai pecinan, dll. Meski demikian, saya tetap bisa membedakan mana orang yang memang rasis namun pura-pura memakai alasan bercanda dengan istilah cina atau cino itu. Kelihatan jelas kok.

Bagi saya yang nampaknya kian hari kian susah percaya dengan apa yang dinamakan kekuasaan itu, langkah-langkah seperti mensosialisasikan agar media memakai kata Tionghoa untuk mengganti kata Cina, hingga kebebasan berekspresi yang sejauh ini masih dalam lingkup ‘show’ seperti boleh main barongsai di jalan raya, membolehkan menamai anak, toko, restoran dengan nama Ching, Tjuan, Fu, Hao, Djien, dll mungkin tidak jelek. Tapi apakah gunanya semuanya itu jika sentimen atau prasangka maupun stereotype negatif yang tertanam baik di antara etnis Jawa, Sunda, Betawi, Bali, Madura, dsb dan terutama lagi di antara etnis Cina sendiri masih tidak berubah? Bahkan apa gunanya jika pikiran itu masih dipegang oleh negara yang diwakili oleh undang-undang yang dibuatnya?
 
Kerjasama dalam mengembangkan pendidikan dan kesadaran akan pemahaman budaya dan sejarah yang benarlah jalan yang akan memungkinkan semua warga negara tanpa terkecuali bisa memiliki kesempatan untuk berekspresi dalam bidang strategis seperti dunia politik, seni, militer, pendidikan, dan sebagainya. Yang ideal menurut saya adalah saat orang bisa memiliki pikiran bahwa menjadi Cina bukanlah dosa, dan menjadi Tionghoa juga tak perlu terlalu diributkan hingga menghilangkan esensi yang sesungguhnya yakni diskriminasi dan rasisme. Dan akhirnya, kembali ke soal nama tadi, membuat tulisan ini juga telah membuat saya mampu melihat bahwa istilah Tionghoa itu sejujurnya memang adalah istilah lain yang sangat kental muatan politisnya, mungkin karena itulah sampai dikuatirkan dan sampai diganti oleh Orba.

Indonesia-saram's picture

Cina atau China?

Karena sempat disinggung di atas, saya jadi bertanya-tanya. Apakah itu sebabnya Cina sekarang ditulis menjadi China? Apakah itu pula sebabnya kebanyakan orang memilih kata Chinese ketimbang orang Cina? Bahkan salah seorang pembawa berita di Metro TV dengan yakinnya menyebut China (lafal Inggris) yang sangat beda dengan Cina (lafal lokal).

Saya juga tidak setuju kalau menyebutkan (maaf) warga keturunan Cina (atau China?) sebagai WNI keturunan. Sebab seluruh warga Indonesia, suka tidak suka, pada dasarnya termasuk WNI keturunan. Bahkan saat ini sudah tidak ada lagi orang Indonesia yang murni Indonesia karena percampuran itu sudah terjadi sedemikian hebatnya.

Sebenarnya, hal yang hampir sama dengan ini juga menimpa saudara-saudara kita yang notabene berdarah Bengali (atau Benggali?).

Omong-omong, kok judulnya mirip seperti judul film Indonesia, ya?

Selamat Tahun Baru Imlek 2558!


"Karena bahasa Indonesia dahulunya adalah lingua franca"

__________________

_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.

Josua Manurung's picture

Diskriminasi...

kalau di Amerika ada diskriminasi tentang warna kulit... di Indonesia kita pun masih merasakan diskriminasi dengan alasan kesukuan/etnis... kalau di amerika, peranakan dari orang amerika-china, amerika-afrika itu bisa jadi tentara atau polisi dan membela bangsa dan negara.... kalau di Indonesia? apakah mereka orang-orang Tionghoa yang notabene yang sudah hidup dari kecil di Indonesia, hidup bertetangga, kebanjiran bersama-sama, bekerja di kantor bersama-sama membangun bangsa dan negara... lalu kenapa mereka tidak bisa menjadi aparat negara? Saya tidak tahu berita terakhir tentang penerimaan calon perwira TNI/Polri tapi tidak pernah saya melihat ada TNI/POLRI yang berperawakan tionghoa? apakah ada? Mei 1998, masih teringat jelas di ingatan saya dimana saya dan temen-teman harus menjaga rumah seorang teman di daerah Ciledug, kebetulan dia adalah keturunan Tionghoa dan ada issue yang mengatakan bahwa perumahan itu akan diserang karena banyak orang tionghoanya... lalu saat kerusuhan itu terjadi di setiap toko di pinggir jalan dicat pilox dengan tulisan... "Pribumi Asli"... "Punya Pak Haji... " seolah-olah menjadi orang Tionghoa merupakan dosa besar di kala itu... Bayangkan kita yang Kristen saja sudah merasa diminoritaskan... apalagi mereka yang berasal dari etnis Tionghoa... dan Kristen pula.... Hapuskan diskriminasi sekarang! Jangan panggil mereka Cina! GONG XI FAT CHOI! BIG GOD BLESS YOU!
__________________

BIG GBU!

jaya's picture

cina

sepertinya dari tulisannya, penulis justru tidak setuju kalau panggilan cina itu dipaksakan untuk di ganti deh. kalau saya jadi orang cina mungkin juga lebih suka kalau di panggil cina tanpa diskriminasi daripada di panggil tionghoa tapi masih didiskrimnasi. bagaimana pak y control
Josua Manurung's picture

pesan moral...

mungkin ada baiknya kita tidak men-generalisir, menyama-ratakan bahwa semua suku itu suka atau tidak suka dengan panggilan ala ke-sukuannya... misalnya kita panggil teman kita... hai Batak... hai Jawa... Hai Cina... dari hal itu saja kita sudah terkesan rasis walaupun kita tidak bermaksud demikian... dan menurut saya... tidak ada orang yang suka dipanggil dengan nama sukunya... betul? boleh kita bikin surveynya.... kembali ke laptop... hehehe... yang saya mau angkat adalah... karena adanya diskriminasi etnis di negara kita.... saudara-saudara kita yang berasal dari etnis Chinese itu seolah-olah menjadi warga negara kelas dua ... karena apa? mereka tidak bisa jadi TNI, POLISI bahkan SATPAM! dan yang lebih menyedihkan lagi ketika saya waktu itu sharing dengan teman-teman saya yang chinese... banyak diantara mereka yang ingin jadi Pegawai Negeri... tapi...itu hanya mimpi, kata mereka... apakah kesalahan kakek buyutnya dahulu... harus menjadi tanggungan bayi-bayi yang baru lahir? Bukankah Indonesia Tanah Air kita bersama? BIG GOD BLESS YOU!!!
__________________

BIG GBU!

clara_anita's picture

Apalah arti sebuah nama...

Apalah arti sebuah nama.... Itu kata William Shakespeare dalam Romeo and Juliet, karena pada akhirnya esensi sesungguhnya dari sesuatu yang diberi nama itulah yang penting...(karena mawar disebut dengan nama apa pun tetap harum) Tapi, secara pribadi saya kurang setuju dengan pendapatnya eyang Shakeapeare tersebut... Terlebih karena, seperti pendapat Mas Joshua, sering kali menimbulkan efek diskriminatif. Sebut saja Jakarta pada Mei 98, saat sentimen politis terhadap etnis tertentu mencapai suatu titik yang anarkis. Bila saja seorang "ketahuan" memiliki nama-nama yang berbau "oriental" ataupun berpenampilan seperti etnis yang "oriental", kemungkinan besar ia akan mengalami situasi yang paling tidak lumayan sulit. Saya memang bukan termasuk etnis "oriental", tapi entah mengapa karena banyak orang yang beranggapan saya adalah orang Tiong Hoa (padahal saya Jawa tulen :]) Saya sempat mengalami situasi sulit itu. Tapi saya bersyukur, karena saya diberi kesempatan untuk merasakan bagaimana pedihnya diskriminasi supaya kelak saya tidak mendiskriminasi orang lain. Dan terlebih lagi, karena kejadian itulah saya menjadi berani menyatakan sikap untuk mengikut Yesus. Akhir kata, nama memang terkadang penting. Tapi Shakespeare bolah jadi benar : Apalah arti sebuah nama.... karena pada hakikatnya kita semua diciptakan segambar dengan Allah... dan seyogyanyalah kita memandang sesama bukan dari nama maupun penampilan lahiriahnya... Karena sekali lagi : apalah arti sebuah nama?