Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Televisi dan Bimbingan Orang Tua

y-control's picture

Orang sering menganggap kalau hanya anak-anak lah yang harus diawasi dan dibimbing dalam menyaksikan acara-acara tivi. Anak-anak itu harus dibimbing oleh orang dewasa agar mereka memperoleh pengertian yang benar mengenai apa yang mereka tonton itu. Kenyataannya, meski imbauan itu telah dinyatakan berulang-ulang, kita masih sering mendengar kabar bahkan menyaksikan sendiri bagaimana perilaku anak-anak zaman sekarang begitu dipengaruhi oleh tayangan-tayangan tivi yang sayangnya, lebih banyak yang negatif. Contoh paling baru adalah berita tentang anak-anak yang terluka (bahkan kabarnya juga telah ada yang meninggal dunia) gara-gara suka meniru adegan-adegan dalam tayangan gulat entertainment berlabel WWF, ECW, Smackdown, dll. Melihat dari lingkungan saya sendiri, permainan menirukan acara tersebut nampaknya memang sedang ngetren di dunia anak-anak saat ini.

Apakah peristiwa semacam itu bisa terjadi semata-mata karena orang tua mereka tidak mendampingi anak-anaknya? Saya berpendapat bahwa itu kesimpulan yang terlalu menggampangkan masalah. Pertama karena tidak mungkin orang tua sanggup 24 jam terus mengawasi anak-anaknya, apalagi mengingat fakta bahwa permainan macam itu seringkali dilakukan anak-anak di waktu istirahat atau pulang sekolah. Bayangkan juga orang tua yang memiliki lebih dari satu atau dua anak. Lalu, bagaimana dengan guru atau orang dewasa lain di sekitar mereka? Tentu mereka juga punya kewajiban dalam mendampingi dan memberi pengertian pada anak-anak tersebut. Tapi, guru dan orang dewasa selain orang tua tentu memiliki waktu yang lebih sedikit dari orang tua anak itu sendiri, jadi saya pun kembali merasa bahwa itu tak akan mengatasi masalah. Bukannya tidak setuju dengan imbauan agar guru/orang tua harus lebih mengawasi anak-anaknya dalam menonton tivi, tapi menurut saya, ada satu solusi yang penting tapi sering terlupakan, yakni bimbingan terhadap orang tua/orang dewasa itu sendiri.

KENAPA ORANG DEWASA LEBIH MEMERLUKAN BIMBINGAN MENONTON TV?

Menurut saya, dengan perkembangan dunia media khususnya televisi saat ini, predikat sebagai orang tua atau orang dewasa rasanya sudah tak lagi bisa menjamin mereka memiliki kemampuan untuk memfilter tayangan televisi. Saya bahkan merasa orang dewasa jauh lebih memerlukan bimbingan saat menonton tivi dibandingkan anak-anak. Kenapa? Sebelumnya kita harus ingat bahwa ada dua jenis tayangan tivi, yakni tayangan hiburan dan tayangan informasi. Anak-anak, dengan segala dunia dan pemikirannya, lebih terkait atau cenderung hanya suka menyaksikan tayangan tivi yang berjenis hiburan. Sebaliknya, orang dewasa memiliki keterkaitan dengan keduanya.

Pengaruh tayangan hiburan tivi bagi anak-anak yang sering disoroti adalah masalah kekerasan, kata-kata kasar, seks/pornografi, selain juga menyita waktu belajar, menyita waktu anak untuk bersosialisasi, budaya konsumtif serta merusak indera penglihatan (meski empat yang terakhir ini relatif jarang disebutkan). Tiga yang pertama (kekerasan, kata-kata kasar dan seks/poronografi) adalah yang paling sering dikeluhkan. Mungkin ada yang berpikir jika anak tidak menonton tayangan yang bermuatan tiga hal itu, maka ia akan bebas darinya. Ini adalah sebuah kesalahan. Kita melupakan faktor sosial dan pengaruh lingkungan pergaulan saat ini. Ingat bahwa kekerasan adalah satu lagi penyakit masyarakat Indonesia akibat himpitan kemiskinan, dan kekerasan itu juga meliputi kekerasan dalam bentuk verbal. Bagaimana dengan seks/pornografi? Satu kata kuncinya: "bisnis"! Namun, saat ini saya belum akan membahas soal pornografi, bisnis selain juga pandangan norma budaya kita akan hal tersebut. Yang ingin saya katakan adalah bahwa pengaruh-pengaruh tersebut bukan hanya muncul dari tivi saja.

Sekarang, mari kita kaji pengaruh tivi bagi orang dewasa. Saat ini, generasi saya (usia saya 25 tahun) sudah bisa dianggap sebagai orang dewasa. Saya pun dibesarkan dalam zaman dimana pengaruh tivi sudah demikian dominan. Karena itu, akan sulit bagi saya untuk berkata "kita tidak butuh tivi!" Yang bisa saya serukan adalah "jangan mudah percaya pada tivi!" Orang dewasa mungkin sering bilang kalau mereka toh tidak akan menganggap tayangan tivi seperti sinetron dsb sebagai hal yang serius dan harus dipercayai. Apa iya? Saya malah ragu apakah kita masih mampu mengenali mana yang rekaan mana yang nyata.

MELIHAT TIVI DARI SUDUT LAIN

Di zaman ini, para konseptor acara tivi yang digaji oleh para kalangan bisnis (tak jarang juga politisi) tersebut sudah makin gencar menciptakan berbagai manuver untuk mengatasi ketidakpercayaan masyarakat akan tivi, karena hal itu dapat berujung pada masyarakat yang tidak memerlukan tivi. Sebagaimana prinsip berdagang, situasi tersebut tentu sangat dihindari. Manuver-manuver tersebut bermacam-macam. Mulai dari yang sederhana, misalnya film yang dilabeli kalimat "diangkat dari kisah nyata", sedikit lebih tinggi lagi adalah produk bernama 'reality show', setelah itu ada 'infotainment' hingga tayangan pertandingan olah raga dan berita.

Inilah yang membuat saya berpendapat bahwa orang dewasa jauh lebih perlu dimbimbing dalam menonton dan mencerna acara-acara tivi dibandingkan dengan anak-anak. Jangan sampai terjadi orang buta menuntun orang buta. Faktanya, kita bisa melihat bagaimana berbagai prasangka dan kebencian di masyarakat bisa muncul akibat tayangan tivi. Orang dewasa lebih rawan mendapat pengaruh negatif dari tivi ketika acara-acara yang mereka pikir adalah kejadian nyata, di mana mereka mengira bahwa apa yang mereka lihat sungguh-sungguh terjadi, tapi ternyata adalah rekaan (atau pembelokkan) yang memang sengaja dibuat demi kepentingan pihak tivi, sponsor dan pihak yang berada di belakang mereka. Contoh pengaruh film "Pemberontakan G30S/PKI" karya Arifin C Noer adalah yang paling menyolok. Kini, propaganda sejenis makin beragam dan makin halus caranya. Salah satunya adalah istilah 'Lusi' (lumpur Sidoarjo) untuk menggantikan istilah lumpur Lapindo. Saya pertama kali mendengarnya (nampaknya presenter acara tersebut juga) dari seorang bintang tamu sebuah acara talk show di stasiun tivi yang saham mayoritasnya dimiliki oleh keluarga dari pemilik Lapindo. Istilah "Lusi" pun mulai banyak dipakai mungkin karena lebih 'lucu'. Hanya saja, setelah terjadinya ledakan pipa yang lantas ditetapkan menjadi bencana nasional kemarin, istilah lumpur Lapindo kembali dipakai. Ini sih metode kehumasan yang sama seperti yang dipakai dalam pemilu dulu, dengan menciptakan istilah SBY dan bukan lagi Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono. Dan yang mencerna tayangan seperti itu adalah orang dewasa.

Ibu saya juga selalu merasa was-was setiap kali saya pergi ke Jakarta atau saat masih tinggal di Surabaya dulu. Hal itu dipicu oleh berita-berita kriminal yang kebanyakan memang terpusat pada kejadian-kejadian di kota-kota besar saja. Apakah memang keadaannya serawan itu? Tayangan kriminal bisa saja sangat gencar ditayangkan karena sambutan dari pemirsa yang menikmati saat melihat pencuri dan perampok dihajar sampai berdarah-darah, itu adalah semacam pelampiasan atas ketidakberdayaan pemirsa yang pernah menjadi korban kejahatan. Satu lagi gambaran masyarakat yang sakit. Ada juga yang merasa telah memahami ajaran agama tertentu hanya karena menyaksikan sinetron-sinetron yang mengusung label agama tersebut. Mereka tidak menanyakan kepada penganut agama yang bersangkutan, yang setahu saya banyak yang juga merasa tayangan tersebut telah mendistorsi doktrin agama mereka. Tivi dijadikan sebagai guru. Sungguh langkah yang fatal. Yang mencerna tayangan seperti itu adalah orang dewasa.

Saya juga merasa geli melihat reaksi orang-orang Kristen setelah melihat tayangan tivi tentang ritual seorang dukun dalam mengirim santet kepada seorang presiden (yang digembar-gemborkan sebagai Kristen yang telah 'lahir baru' itu). Ritual seorang dukun terkenal tersebut segera menjadi perbincangan hangat karena ditayangkan tivi. Sayangnya tidak ada yang bertanya kenapa pihak tivi merasa perlu menayangkan ritual tersebut dalam sebuah acara khusus, masih di sekitar jam primetime lagi! Mungkinkah itu dilakukan untuk memanfaatkan (dan menertawakan) rakyat Indonesia yang masih percaya dengan hal-hal seperti itu, yang masih menganggap sinetron tentang kutukan-kutukan itu benar terjadi meski tidak ada buktinya? Mungkin pemirsa yang menganggap itu serius tidak ingat bahwa jam primetime adalah waktu paling strategis untuk meningkatkan rating dan pendapatan iklan. Analoginya adalah bagaimana kita bisa memercayai ucapan seorang yang kita tahu memiliki berbagai kepentingan di belakangnya, yang semua bertujuan untuk mengambil keuntungan dari kita? Bagaimana kita bisa memercayai bahwa dukun itu tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari ritual santet yang ia lakukan dan juga ditayangkan tersebut? Apa itu hanya soal kuasa gelap versus 'kuasa Tuhan'? Sesederhana itukah? Sekali lagi, yang mencerna tayangan seperti itu adalah orang dewasa.

Infotainment lain lagi. Sempat mereda akibat fatwa haram sebuah organisasi keagamaan, tapi itu hanya sementara. Mungkin untuk mengelakkan tuduhan sebagai tayangan tidak bermanfaat, maka akhir-akhir ini beberapa infotainment malah menyajikan laporan soal gosip artis dengan bumbu-bumbu narasi soal moralitas yang malah membuat wajah acara tersebut makin menjijikkan. Misalnya sebuah narasi demi menggambarkan bahwa seorang artis adalah pemudi tak bertanggung jawab, semaunya sendiri, layaknya peran-peran dalam sinetron, dipaparkan dengan culas. "Memang selama ini, artis A dikenal sebagai artis yang doyan menghabiskan waktu di tempat hiburan malam." katanya, jelas hal itu coba dipakai untuk menguatkan kesan buruknya. Padahal, di lain kesempatan, narasi tentang artis lain yang memiliki hobi sama bisa sangat bertolak belakang. Begitulah jika seorang penggunjing yang berlagak bagai pengkhotbah. Belum lagi dengan pemaksaan falsafah bahwa artis sinetron, penyanyi, presenter dsb adalah seorang 'public figure', dimana seluruh rakyat Indonesia BERHAK tahu segala aktivitasnya. Pandangan yang sangat menyesatkan karena sesungguhnya tanggung jawab sebagai public figure justru lebih ada di pundak para pejabat, politikus, anggota DPR, dll sebab mereka dipilih rakyat, sedangkan tanggung jawab artis kepada publik mestinya hanya pada saat mereka tampil. Yang selalu ingin tahu mengenai aktivitas para artis itu hanyalah pihak tivi, agar bisa dijual, tidak lebih. Dan yang mencerna tayangan seperti itu sekali lagi adalah orang dewasa.

YANG BISA DILAKUKAN

Pihak tivi jelas adalah yang memikul tanggung jawab terbesar. Namun, pada kenyataannya, yang menjadikan tivi bisa menancapkan dominasinya adalah publik, atau kita sendiri. Tivi tak akan berubah sepanjang masyarakat ternyata masih egois, lemah dan membiarkan diri terbuai, lebih suka menonton tayangan-tayangan yang tidak realistis, lebih suka memenuhi hasratnya untuk terus bermimpi demi melupakan kenyataan yang ada. Tivi tak akan berubah selama masyarakat tak menyadari bahwa hasrat mereka akan mimpi-mimpi indah tersebut telah dimanfaatkan oleh para pebisnis yang ingin mengambil untung darinya, dengan cara terus menyodori tayangan-tayangan yang penuh gemerlap dan kebohongan yang dikemas rapi. Hal tersebut karena di saat bersamaan pihak yang sama (para korporat dan politikus tamak) tadi terus menjaga kondisi dimana mereka bisa makin kaya, makin berkuasa, aman dari pikiran kritis supaya yang miskin makin miskin dan haknya tetap bisa terus dirampas. Toh, sudah ada tivi untuk memuaskan keinginan masyarakat akan kesejahteraan dan kebenaran yang harusnya mereka dapatkan.

Tivi hanyalah sebuah alat yang saat ini sedang banyak dikuasai oleh orang-orang serakah yang cerdik, dan kita terus membiarkan kondisi tersebut. Kita bahkan menikmatinya dan membiarkan pikiran terus terlena begitu saja. Seandainya kita mau untuk selalu mengkroscek semua informasi yang disiarkan lewat tivi, bahkan mau meneliti, mengkaji dan mengkritisi dengan berbagai pikiran yang cerdas dan kewaspadaan akan bias dan konflik kepentingan itu. Agar selanjutnya kita dapat mengabarkannya pada keluarga, saudara, teman dsb. Agar kita selanjutnya bisa berani berkata tidak pada stasiun tivi yang menayangkan acara yang penuh kebohongan dan meracuni pikiran. Agar kita pun memiliki kesadaran bahwa ada pihak-pihak yang terus mengkondisikan adanya ketidakadilan itu demi keuntungannya. Agar kita lalu tidak hanya sekedar memahami adanya kondisi yang tidak adil tersebut, karena yang terpenting adalah bagaimana kita mengubahnya! Semoga sikap itu tetap diasah dan dipakai dalam melihat segala hal.

fredy's picture

negatif-positif

Kemajuan teknologi membawa serta dampak negatif dan positifnya. jangan hanya mau menerima positifnya tanpa peduli dampak negatif. bukan berarti kita diam menerima semua, baik dan buruk. akan tetapi dampak negatif bisa menjadi panduan bagi kita untuk persiapan melawan ataupun mencari penawarnya.

Semoga menjadi perenungan....

MayGBU+

 

 

Love's picture

hanya tipuan

Yang paling bikin saya sebel adalah orang-orang yang selalu berkata tayangan smackdown itu hanyalah tipuan, bukan benar-benar dilakukan dengan tujuan menghibur saja. Komentar itu bikin saya sebel. Walaupun memang tipuan atau apalah, tetap saja semua itu tampak nyata dan bukan tidak mungkin ditiru oleh anak-anak. Miris juga rasa hati ini saat melihat berita di televisi mengenai anak-anak lugu yang memperagakan smackdown ke teman-temannya, bahkan sampai merenggut nyawa.