Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Derma untuk Gereja

Purnomo's picture

Memberi itu tidak gampang (bgn ke-1)

Ia mahasiswa baru, berasal dari desa. Setelah sebulan tinggal di kota ini, baru ia berhasil memutuskan gereja mana yang akan dikunjunginya. Hari ini adalah hari pertamanya berkunjung ke gereja pilihannya itu. Tiba di pintu gereja, ia dihadang dua gadis remaja. Yang seorang setelah mengucapkan kata “selamat pagi”, menyematkan pita biru mungil ke bajunya. Temannya kemudian menyodorkan sebuah kotak karton yang bertuliskan “Aksi Pita – Natal Sekolah Minggu”.

 
Setelah sesaat ia sibuk merogohi saku celana kiri dan kanan, ia memasukkan selembar uang ke kotak itu. Ia tak tahu nilai uang yang dimasukkan karena tak sempat memeriksanya. Mudah-mudahan bukan selembar dua puluh ribuan uang pembayar sewa mingguan kamar kosnya.
 
Di dalam gereja ia melihat banyak dada berpita biru mungil. Tapi ia merasa risih. Diam-diam ia melepaskan pita itu dari bajunya dan memeriksa isi dompetnya. Lega dia. Terbayang wajah ibu kosnya mengherani minggu ini ia tak berhutang. Waktu persembahan tiba. Tiga kantong diedarkan. Kata penatua yang berhalo-halo di depan mimbar, yang pertama untuk Gereja, yang kedua untuk Diakonia dan yang ketiga, ia lupa untuk apa. Untuk Danlainlain barangkali. Dari tempat kos, ia hanya menyiapkan selembar lima ribuan. Tak banyak, karena ia sudah berhutang persembahan 4 Minggu lamanya. Ia membuka dompetnya. Masih ada dua lembar 1000-an. Aman! Tetapi ia heran melihat jemaat yang setelah dilewati kantong kolekte berdiri dan berjalan menuju depan mimbar.
 
Di sana ada kotak kayu dan mereka memasukkan uang lagi ke situ. Orang-orang yang duduk di bangkunya berdiri. Ia merapatkan punggungnya ke sandaran kursi mempersilakan tetangga melewatinya. Tetapi tetangganya dengan lebih sopan mempersilakan ia berdiri. Kepalanya berpusing seperti piringan radar, dan segera ia menyadari tidak ada seorang pun yang tidak berdiri. Lunglai ia berdiri. Tangan kirinya merogoh saku celananya. Teraba olehnya selembar kertas tebal. Itu brosur bank yang diambilnya ketika membuka tabungan. Segera di dalam saku, jemarinya sibuk melipatnya. Tepat ketika ia sampai di depan kotak kayu itu, pekerjaan jemarinya selesai. Dengan tangkas ia memasukkannya ke lobang kotak itu yang bertuliskan “Kado Natal untuk Tuhan Yesus”. Ampunilah aku ya Tuhan Yesus yang sebentar lagi akan berulang tahun.
 
Selesai kebaktian, di halaman gereja para ibu menjajakan kalender dan makanan kecil. Tetapi ia berhasil meloloskan diri. Lega ia menuju tempat sepeda motornya diparkir. Dahinya berkerut melihat secarik karton bernomor bergantung di kaca spion. Di pintu gerbang ia melihat empat pemuda dengan kotak kayu. Aksi parkir pemuda. Ia membuka dompetnya. Ada sekeping uang logam seribu rupiah lama yang hampir setahun disimpannya di situ. Mengkilat karena bercak minyak dan gerigi tepinya agak aus. Dengan berat hati ia memasukkan ke kotak itu. “Tidak ditambahi, Bang?” sapa pemegang kotak itu. Ia mengumpat, tapi dalam hati. Lu kagak tahu itu nilainya sepuluh ribu rupiah lebih. Itu uang kerokan gue!
 
Ini cerita rekaan? Tokohnya fiksi, kejadiannya non-fiksi. Jika tidak melihat sendiri, saya juga akan berpikir cerita di atas 100% rekaan. Tetapi saya yakin bila ada anggota gereja itu membaca kisah ini, mereka tahu gerejanyalah yang saya maksud (Seorang blogger lama Sabdaspace berasal dari gereja ini). Dari banyak gereja yang saya kunjungi, gara-gara pekerjaan yang sering membuat saya berhari Minggu di berbagai kota, hanya gereja ini saja yang mempunyai aksi pengumpulan dana seperti itu, sebanyak itu, dan dilakukan sekaligus dalam satu jurus. Sreeeet, robek dompet loe!
 
Seandainya, pemuda ini seumur hidupnya baru sekali itu datang ke gereja, tentu ia mempunyai kerinduan yang sangat dan berjuang hari demi hari memupuk keberanian untuk melangkah masuk ke dalam gedung gereja. Pasti ia mempunyai bayangan betapa ia akan mendapat sesuatu yang selama ini ia rindukan. Sebuah pengalaman rohani luar biasa yang akan membuatnya merasakan kehadiran Allah Mahakuasa. Sebuah sambutan sarat dengan rasa kekeluargaan yang makin terkikis dari kehidupan masyarakat. Pasti semangatnya kena stroke karena penodongan beruntun itu. Akan kembalikah ia ke tempat sama? Wallahualam bissawab.
 
Pernah ketika mengunjungi bazar di sebuah gereja di Jakarta Utara, saya melihat ada poster di papan pengumuman yang ringkasnya berbunyi, “Setiap 10 ribu rupiah sumbangan untuk renovasi gereja, penyumbang mendapat 1 nomor undian, yang hadiahnya barang-barang elektronik.” Saya mencolek teman yang bergereja di situ, “Tanyakan kepada pendetamu apa ia sudah mengantongi ijin departemen sosial untuk mengadakan undian ini.”
 
Setiap gereja pasti butuh uang untuk membiayai: -
 
1. Kehidupan pendeta dan karyawan gereja.
Ketika tanah Kanaan dibagikan kepada seluruh suku Israel, Tuhan tidak memberi tanah kepada suku Lewi (Yosua 14:1-5). Mereka tidak boleh menjadi petani atau peternak karena Tuhan mengkhususkan mereka untuk melayani Kemah Suci. Untuk kehidupannya mereka mendapat bagian dari barang-barang yang dipersembahkan bangsa Israel kepada Tuhan (Imamat 10:12-15). Bangsa Israel diperintahkan untuk tidak menelantarkan mereka, tidak memberi barang sisa kepada suku Lewi, bahkan Tuhan memerintahkan untuk memberikan yang terbaik (Yehezkiel 44:30-31).
 
Tetapi masih ada jemaat yang mengabaikan perintah ini. Bagi mereka seorang pendeta harus hidup prihatin, memikul salib, kalau dapat kendaraan ya yang ala kadarnya saja. Celakanya salib yang harus dipikulnya adalah salib buatan jemaatnya, bukan buatan sorga. Sudah berat, jelek lagi.
 
Dari pemikiran yang salah ini tidak perlu diherani bila ada gereja yang menggaji pendetanya sesuai UMR, seolah-olah pendetanya itu buruh pabrik garmen. Tetapi penatuanya tidak bisa memberi lebih karena pemasukan uang dari jemaat seret sekali. Lalu bagaimana beliau bisa membiayai hidupnya sekeluarga? “Berkat Tuhan itu sangat mengherankan,” jawab pendeta ber-UMR ini kepada saya. Apakah yang dimaksud dengan berkat itu? Ia menerima “uang mimbar” setiap membawakan kotbah atau melayani persekutuan-persekutuan. Jika masih juga kurang, jangan kuatir. Ada sebaris sesepuh gereja yang pada akhir bulan secara rutin memberikan “amplop syukur”nya bila dikunjunginya. Hati saya miris membayangkan beliau mengambil “gaji tambahan” seperti seorang pengemis. Karena itu jangan marah bila bertemu mahasiswa theologia yang punya cita-cita bekerja di gereja besar.
 
Apakah bila Gereja telah memberi honor pendetanya di atas UMR masalah di atas sudah teratasi? It depends on the location of the church, man! Honor 2 juta tentu alhamdulillah untuk Delanggu, amin untuk Serang, tetapi jadi alamak untuk Surabaya. Makanya jangan buru-buru menyalahkan pendeta Anda bila beliau lebih sibuk berkotbah di gereja-gereja lain atau memimpin ritrit di sana-sini sehingga jemaatnya sendiri sulit menemuinya. Tanyakanlah kepada penatua Anda, apakah kebutuhan beliau sekeluarga telah dipenuhi? Masih mau jadi pendeta di gereja Anda sudah harus disyukuri, walaupun dia terpaksa jadi “pendeta sakramen” yang muncul bila ada yang mau baptis, menikah, sakit terminal, meninggal, atau ada kebaktian perjamuan kudus saja.
 
Pernahkah kita merasa malu melihat isteri pendeta kita tidak pernah menghadiri kegiatan gereja karena setiap hari sibuk berkeliling door-to-door menjual perhiasan atau pakaian? Memang tidak ada peraturan yang melarang isteri seorang pendeta jadi SPG selama yang dijual bukan barang curian atau barang haram. Tetapi apalah kata masyarakat melihat kesibukan ibu kita ini? Mungkin malah jauh lebih baik bila ibu kita ini setiap hari dolan ke rumah-rumah jemaat suaminya untuk bergunjing. Lebih baik, karena orang luar tidak ada yang tahu sehingga kita tidak malu!
 
2. Perawatan gedung gereja dan perlengkapannya.
Saya baru 5 bulan menjadi anggota gereja kecil ini yang hanya punya satu kali kebaktian dan yang hadir tidak pernah melebihi 70 orang. Tiga minggu lagi hari Natal, tetapi dinding gereja yang kusam belum juga dicat ulang. Sudah kusam, banyak sarang laba-laba di sana sini. Saya menemui para penatua di konsistori untuk menanyakan kapan dilakukan pengecatan kembali. O, itu sudah lama direncanakan, jawab mereka. Setelah saya desak, barulah mereka mengakui rencana itu mungkiiiiin baru bisa dilaksanakan Natal berikutnya karena dananya belum terkumpul. Saya maklum, karena setiap bulan membaca laporan keuangan bulanannya yang dibagikan kepada jemaat. Gereja kecil memang rajin membuat laporan keuangan kepada jemaatnya. Kalau gereja sudah jadi besar, tidak ada lagi laporan macam itu. Pokoknya, loe percaya aje deh. Kalau tak percaya, ya pindahlah ke gereja lain daripada Anda jadi perusak ketentraman para penatuanya.
 
Lalu saya minta ijin untuk membersihkan dinding ruang kebaktian pada Sabtu siang dan meminta mereka ikut membantu. Mereka setuju. Sabtu siang saya ke gereja membawa vacuum cleaner, kabel listrik 20 meter dan sapu. Saya pinjam tangga panjang dari koster. Mulai pukul 1 siang saya bekerja. Dengan siapa? Sendirian! Bahkan koster gereja baru membantu setelah hampir selesai. Pukul 4 sore saya berhenti. Saya duduk kecapaian di pintu samping gereja. Dua puluh meter dari gedung gereja berdiri rumah pastori dan saya tahu pendeta gereja ini ada di rumah.
 
Jika saja jemaat gereja ini seperti bangsa Israel yang mau memberikan persembahan yang pantas seperti ketika Ezra membangun kembali Bait Allah yang hancur (Ezra 2:68) pasti saya tidak berlelah seperti ini. Sudah malas memberikan uangnya, malas juga memberikan tenaga. Jangan kata jemaatnya, penatua sama saja, pendetanya ikut-ikutan, kosternya mengekor. Komplit! Jadi, mengapa saya berlama-lama jadi anggota gereja ini? Salah-salah saya bisa ketularan penyakit ini.
 
Ketika mengumpulkan peralatan saya di depan mimbar kayu berwarna gelap karena lama tidak pernah dipelitur ulang, sesuatu memercik dalam benak saya. Jika saya pindah ke gereja yang sudah mapan, dengan jemaat yang tahu memberikan persembahan yang benar, dengan organisasi yang tertata rapi, dengan visi dan misi yang jelas dan dilakukan dengan komitmen tinggi, apa ya masih ada job buat saya? Sekarang, di sini saya melihat banyak job yang terlantar, apakah saya akan lari keluar? Tak tahu mengapa, mendadak saja saya berketetapan hati untuk berkiprah di sini.
 
And tomorrow will be the starting day. Saya akan menanyai para penatua dan pendeta apakah mereka tidak punya niat sama sekali untuk merawat Bait Suci ini. Apakah mereka terlalu miskin sehingga tidak punya apa-apa untuk diberikan untuk rumah Tuhan ini, karena sudah dihabiskan untuk memperbesar dan memperindah rumah mereka sendiri (Hagai 1:2-6). Saya akan membantai kemapanan mereka tanpa peduli mereka menganggap saya sok pintar atau mau berlagak jadi hero atau mau ngebandit.
 
Lima tahun kemudian ketika saya meninggalkan kota ini, gereja ini telah mengadakan 2 kali kebaktian pada hari Minggu karena anggotanya bertambah menjadi 200 orang, dan gereja ini berhasil membangun gedung pertemuan 2 lantai. Am I the hero? Bukan!. Saya hanya melempar mercon banting di sana di sini membangunkan the sleeping magnificent heroes. Dan, Gereja ini bertumbuh ketika jemaatnya berkeinginan Gerejanya bertumbuh dengan memberikan apa yang dibutuhkan untuk pertumbuhan itu. Apakah itu?
 
Apalagi kalau bukan duit! Uang yang jumlahnya bukan ala kadarnya atau ala emak, tetapi jumlahnya berdasarkan rasa syukur yang tulus kepada Tuhan Yesus.
 
3. Kegiatan-kegiatan kesaksian iman.
Gereja butuh uang untuk membiayai setiap kegiatannya yang merupakan kesaksian iman. Di sebuah denominasi kegiatan ini disebut Pelkes. Pelayanan Kesaksian. Kesaksian iman! Iman yang tidak berkarya adalah bukan iman (Yakobus 2:14-26). Kisah Para Rasul menceritakan persembahan-persembahan untuk keperluan itu (2:44-47) sehingga orang-orang Kristen ini disukai banyak orang. Bahkan para imam yang pernah menolak Yesus, menyerahkan diri dan percaya (Kisah 6:7).
 
Karena itu Gereja sekecil apa pun, berusaha mempunyai kegiatan-kegiatan yang melibatkan jemaatnya untuk menunjukkan mereka adalah orang yang telah dipenuhi kasih surgawi. Ada krismon, rame-rame Gereja jual beras murah. Ada Natalan, bagi nasi bungkus kepada anak jalanan. Ada demam berdarah, melakukan fogging ke kampung sekitar gereja. Ada Paskah, menyumbang puluhan karton mi instan ke panti asuhan. Itu untuk sesaat. Untuk yang berkesinambungan? O, pasti ada. Aksi-aksi ini terkumpul dalam satu kata, “Diakonia”. Di sini ada kegiatan pemberian santunan kepada para janda miskin, bea siswa, santunan bulanan kepada panti asuhan dan panti werda, bantuan pengobatan, bahkan bantuan biaya kematian.
 
Karena kegiatan Diakonia ini sering dijadikan ukuran kehebatan sebuah Gereja, maka sering Gereja mengejar kwantita tanpa peduli kwalitanya sehingga kegiatan itu cenderung menjadi sebuah asesori, seperti kalung di leher perempuan. Terbuat dari emas murni, puji Tuhan. Hanya emas sepuhan, ya tak mengapa. Yang penting ada. ‘Kan sekedar pemanis belaka? Mengapa begitu? Karena tidak ada cukup uang.
 
Lasem, hanyalah sebuah kota kecamatan di pantura Jawa Tengah, yang penduduknya (pernah) dijuluki orang terpelit sekabupaten. Jangan berharap ditraktir orang Lasem, begitulah sering orang berkata. Sulitnya kehidupan di kota ini telah membuat penduduknya sangat amat berhemat. Di kota ini sebuah gereja selama puluhan tahun mengadakan kebaktian di sebuah rumah kuno, mungkin didirikan oleh awak kapal Cheng Ho, yang berdiri di atas tanah sewa.
 
Beberapa waktu yang lalu saya ke sana menghadiri kebaktian emiritat pendetanya. Karena datang terlambat saya duduk di halaman belakang gereja sambil mendahului mencicipi hidangan yang ada karena kelaparan. Semua adalah makanan khas kota ini, yang berkesan murah. Tidak ada cap cay, gurami asam manis, atau makanan internasional seperti yang biasa saya temui di kebaktian emiritat di gereja-gereja lain. Benar juga sindiran itu.
 
Seorang ibu mengajak saya mengobrol. Ia kepala SD milik gereja ini. Darinya saya mendapat keterangan yang patut dicemburui gereja lain. Gereja ini telah memiliki TK yang pakai AC, SD dan SMP. Jumlah muridnya 234 anak. Sekolah ini terbuka untuk umum dan laris manis karena uang sekolahnya berkisar dari 25 sampai 50 ribu rupiah. Ada yang dikenai 75 ribu rupiah, tetapi hanya beberapa anak. Gaji gurunya berkisar dari 500 sampai 750 ribu rupiah. Lalu berapa labanya?, tanya saya. Ketua yayasan pendidikan yang duduk dekat saya menjawab, “Jumlah uang sekolah dikurangi honor guru saja, tanpa dikurangi biaya lain, rugi sekitar 4,5 juta per bulan.” Siapa yang nomboki ?
 
Ketua yayasan pendidikan itu tertawa, “Ya Tuhan Allah yang nomboki lewat jemaatNya.” Kepala SD ini menambahi “Waktu pendaftaran semua orang tua murid baru kami kumpulkan untuk meminta mereka menambahi sumbangannya. Ternyata banyak juga yang mau menambah, terutama jemaat kita. Malahan ada yang mau nyumbang AC untuk ruang kelas 6 SD agar prestasi kelulusannya bisa ditingkatkan.”
Prestasi jemaat gereja kecil ini tidak hanya sampai di situ.
 
Pendeta yang baru di”pensiun”kan bercerita tanah gereja ini setahun yang lalu sudah jadi milik sendiri setelah dibeli seharga 350 juta dan ditambah sebidang tanah di sebelahnya senilai hampir 150 juta rupiah. Dari bentuk “jasmani”nya, gereja ini berukuran balita. Tetapi “rohani”nya terus bertumbuh. Jemaatnya berani nombok demi kegiatan pelayanan, sementara di kotaku sekolah-sekolah yang menyandang predikat Kristen harus menerima ejekan masyarakat dengan memplesetkan singkatan SK yang harusnya dibaca “Sekolah Kristen” menjadi “Sekolah Komersiel”. Itu terjadi karena Gereja-gereja pendiri sudah tidak lagi memberi bantuan keuangan. Yang ada hanya bantuan nasehat. Mulut terbuka, saku tertutup. Safety first, cing. Sementara jemaatnya berusaha bisa membayar SPP semurah mungkin melalui berbagai cara, bila perlu berpura-pura miskin yang kisahnya saya tulis di bawah judul “Menyiasati Biaya Pendidikan” (kalau mau baca klik di sini).
 
Memberi itu tidak gampang. Terlebih lagi memberi uang persembahan dengan sikap hati yang benar. Tetapi apakah kita ingin tetap tinggal sebagai balita rohani abadi? Atau tetap berpura-pura miskin di depan hadirat Allah? Tuhan memberi kita kebebasan. Ia masih diam menunggu. Tetapi, percayalah. Begitu Anda mengayun langkah pertama ke arah perubahan, Tuhan akan datang mendekat. Pada langkah berikutnya Tuhan akan memegang tangan Anda sehingga langkah Anda makin mantap dan benar dan . . . . . . terasa makin ringan. Percayalah, saya tidak berbohong.
 
(selesai bagian ke-1 "Memberi itu tidak gampang")

Memberi itu tidak gampang,
bag.1 – Derma untuk Gereja
bag.2 – Titah Kadaluwarsa
bag.3 – Kau lah segalanya bagiku
bag.4 – Mengebiri Kitab Maleakhi



 

joli's picture

Memberi itu gampang..

Memberi itu tidak gampang?

Ketika si Clair masih sekolah play group, aku suka mengantar sekolah dan menunggu-nya karena cuma sebentar.. masuk jam 7 pulang 10..

Selama menunggu.. para mama mami sering mengisi waktu jeda dengan ke pasar bersama, sarapan bersama, ngobrol n ngrasani.... juga bisa berjualan (apapun ada di sekolahan.. mulai dagangan  pakaian anak sampai rumah type berapapun ada di jual disana.. hebat-nya peran para mami)

Dari mengobrol bersama... jadi tahu juga.. gosip-gosip.. eh tahu nggak si Bebe yang super pelit..  ternyata kalau untuk persembahan gereja.. wah super royal.. bahkan uang belanja-pun di persembahkan untuk gereja setelah mendengar kotbah persembahan janda miskin,  Si Cece kemarin ngomel-ngomel ketika suaminya buka cek berjumlah guede.. untuk pembangunan gereja... si Fefe  pas KKR merelakan kalung-nya masuk kantong persembahan...

Si Keke.. yang aweh-an (suka memberi)..  malahan puelit untuk memberi sumbangan kepada gereja.. tidak memberi duit malah berceramah tentang iman,.. udah gitu minta laporan gereja lagi.... lain lagi dengan si Meme.. kalau aku terserah suamiku.. semua keuangan suamiku yang atur.. katanya

Dari hasil obrolan ibu2 diatas..  dan melihat fenomena BUANYAK pembangunan GEDUNG gereja super mewah yang bila dibandingkan lingkungan sekitar akan kelihatan sebagai gedung angkuh megah yang mencerminkan betapa kaya-nya tuhannya.. justru memberi untuk gereja itu gampang.. maka-nya pertumbuhan gereja semakin luar biasa bahkan menurut perhitungan bisnispun sangat Ok.. kelihatannya hai2 pernah hitungkan klik mega gereja

Ketika aku menanya Keke yang kenapa mau memberi aja nanya laporan keuangan segala.. jawabnya: Lho.. dari laporan keuangan gereja kan kelihatan sebenarnya arah dan tujuan program-nya kemana.. coba kalian lihat di warta gereja masing2 kalian akan tahu.. kemana kalung dan uang belanja yg dipersembahkan untuk apa..  tanyaku lagi : Lho.. emang-nya di gereja buat laporan keuangan tho.. kayak perusahaan aja..

Aneh tapi nyata .. memang gereja Keke ada laporan kegiatan dan keuangannya.. pakai ditandatangani BPK lagi..  (mungkin inilah sebabnya banyak gereja nggak ada laporan keu.. menjadikan jemaat pelit  he.. he..)

Memberi itu menjadi gampang ketika SESUAI dengan keinginan kita, dan menjadi sangat susah ketika harus memberi kepada yang tidak kita suka (baik kepada orang maupun tujuan)... rasa-nya semua jadi di gerak-kan oleh yang nama-nya "kepentingan"

Setuju purnomo... yang harus kita usahakan adalah memberi uang persembahan dengan sikap hati yang benar, sesuai standart kebenaran bukan "kepentingan".. 

Semua yang kita punya adalah anugerah..

Hati yang rela... itupun juga rahmat..

 

 

Purnomo's picture

Joli, memberi itu gampang

ketika sesuai dengan keinginan kita. Statement ini benar. Yang sulit adalah apakah keinginan kita itu benar? Yang terjadi sekarang kata “sukarela” yang menempel dalam kegiatan persembahan diartikan “sesuka-suka saya”. Kalau saya suka sama pendetanya, 10 juta rupiah setiap bulan okey saja. Tetapi begitu saya tidak suka dengan pendetanya, 10 ribu rupiah saja sebulan ya.

Laporan kegiatan dan keuangan di banyak denominasi adalah keharusan. Ini lebih banyak untuk mendidik para penggunanya bertanggungjawab atas uang Tuhan yang diserahkan kepadanya. Sudah ada keharusan ini saja, sering saya (bila disuruh melakukan audit) mangkel (tapi tidak boleh marah).

Ini contoh nyata. Ada sebuah gereja kecil di pedesaan. Laporan keuangan tidak pernah dibuat selama 5 tahun. Semua nota-nota bukti pembelian ditumpuk saja di kotak karton. Akhirnya organisasi yang membawahi gereja ini membantu dengan mengirim seseorang untuk menyusunkan laporan keuangannya ini. Ketika bertemu dengan petugas ini, yang pendeta, saya bertanya apakah semuanya beres. Dia sih senyum-senyum saja. Tapi akhirnya saya dapat bocoran. Gereja ini setiap bulan membeli kertas HVS 5 rim untuk surat-menyurat. Lalu ia bertanya gereja saya (yang jemaatnya 8 kali jumlahnya) sebulan menghabiskan berapa rim. Saya jawab tidak ada 1 rim.

Bisa Ibu Joli bayangkan ketika petugas gereja disuruh membeli kertas HVS di toko, ia memalsukan nota pembelian. Itu kota kecil. Apa yang diperbuatnya pasti jadi pergunjingan masyarakat. Akibatnya, jumlah jemaatnya menyusut. Jemaat di desa tidak segalak di kota yang berani bertanya langsung. Daripada ribut, lebih baik pindah gereja, bukan?

Terima kasih untuk banyak kesaksian yang Ibu tulis. Itu melengkapi artikel saya yang ini dan yang berikutnya.

Dan jika saya terlambat menjawab komen Ibu, itu disebabkan satu minggu ini kesibukan saya meningkat. Saya tidak kuatir meninggalkan kios saya sampai lama karena ada tetangga-tetangga baik yang membantu menjaganya. Walaupun tidak pernah saya beri “cipratan” rejeki. Hahahaha.

Matur nuwun.

jesusfreaks's picture

MEMBERI ITU BEBAN

Memberi itu beban, jika diminta. Memberi itu berkurang KEIKHLASAN DAN KETULUSANNYA JIKA DIMINTA. Pengemis aza minta CUMA pakai 2 tangan, kalaupun pakai 1 tangan itupun pakai mangkok kecil, bukan ember. Nah ada yg unik soal meminta ini, udah pakai 2 tangan, 2-4 kantong besar, plus amplop, plus peti, plus no. Rekening, disuruh maju kedepan lagi, ngerepotin banget.

Jesus Freaks,

"Live X4J, Die As A Martyr"

-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-

__________________

Jesus Freaks,

"Live X4J, Die As A Martyr"

-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS- 

Purnomo's picture

JF susah dimengerti

kalau pendapatnya dibaca cepat-cepat. Perlu waktu untuk merenungkan biar tidak salah tangkap. Sebentar lagi JF bisa bersaing dengan Mario Teguh yang sering tampil di tivi. Sayangnya, aku tidak suka sama omongannya dia. Kalimatnya indah tetapi tidak membumi. Kalimatnya seperti Injil tetapi bukan Injil.

Jadi lebih baik tetap jadi JF yang omongannya lugas tanpa meninggalkan Injil.

jesusfreaks's picture

@purnomo : the golden ways

Lo ada benarnya, beberapa minggu ini gw agak terpengaruh injil Mario Teguh. Pointnya simple, gw setuju bahwa memberi tidak gampang. Bukan pada memberi atau tidak memberi. Bukan pada BERAPA YANG HARUS DIBERI. TAPI BAGAIMANA MEMBERI DENGAN EFEKTIF.

Jesus Freaks,

"Live X4J, Die As A Martyr"

-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-

__________________

Jesus Freaks,

"Live X4J, Die As A Martyr"

-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS- 

Purnomo's picture

JF’s golden way: memberi dengan efektif

I absolutely agree with you dan akan mempergunakan this golden way di bagian ke-5 “Berebut kantong kolekte”. Thanks.

justme's picture

Persembahan

Sebenarnya persembahan itu apa? Apakah hanya nominal rupiah yang kita berikan setiap minggu atau setiap bulan atau setiap tahunnya kepada Gereja? Apakah ketika kita tidak memasukkan sejumlah uang ke dalam kantong persembahan maka berarti kita tidak bersyukur kepada Tuhan?

Ini adalah pertanyaan yang muncul dalam benak saya setelah kemarin malam saya berbicara dengan seorang pendeta yang kebetulan dekat dengan beliau. Awalnya dia cerita bahwa ada anggota majelis yang tidak suka dengan kebijakan yang dia buat. Di Gerejanya biasanya memberi persembahan dilakukan 3 kali. Pertama dan kedua sebelum kotbah dan yang terakhir setelah kotbah. Biasanya persembahan yang terakhir ini, apabila ada moment tertentu misalnya kantong persembahan tersebut untuk sumbangan atau ada acara yang harus didanai, jemaat akan menyampaikan persembahannya kedepan mimbar, sedangkan apabila minggu biasa kantong persembahan yang akan diedarkan kepada jemaat. Pendeta ini membuat kebijakan bahwa persembahan ketiga ini untuk minggu berikutnya dan seterusnya, jemaat akan kedepan mimbar untuk memasukkan persembahannya.

Dia menanyakan pendapat saya. Saya setuju dengan alasan agar tidak monoton karena harus duduk terus dan kalau berjalan ke depan mimbar kita jadi tahu siapa saja yang datang ke Gereja minggu itu. Kemudian dia menambahkan satu alasan lagi. Alasan utamanya adalah karena kalau kantong persembahan yang diedarkan jemaat bisa saja tidak memasukkan uang persembahannya kesalah satu kantong tersebut. Jadi apabila harus ke depan mimbar, mau tidak mau jemaat akan “malu” kalau tidak memberikan persembahan. Sontak saya kaget mendengar alasan tersebut. Saya katakan saya tidak setuju dengan alasannya. Dari cerita dia jemaat ditempatnya bukanlah orang-orang yang mampu atau yang punya pekerjaan tetap. Kebanyakan menjadi buruh harian di kebun kelapa sawit. Ada juga memang yang mampu tapi jumlahnya tidak seberapa. Jadi Gereja itu memang bukan Gereja yang besar. Dengan alasan itu saya katakan kalau tidak semua keuangan orang itu sama. Bisa saja dia memang Cuma punya untuk kantong 1&2 tapi yang ketiga sudah tidak ada. Apalagi kondisi sekarang. Menurut saya orang masih tetap datang ke Gereja itu sudah bagus berarti jemaatnya masih percaya pada TuhanYesus Kristus. Dia tetap bersikukuh. Dia bilang masa untuk menyumbangkan beberapa ribu perak saja tidak bisa padahal untuk membeli yang lain bisa? Kebutuhan tiap orangkan berbeda. Kemudian saya tanya mana yang lebih baik menurutnya apakah jemaatnya datang ke Gereja walaupun tanpa rupiah sebagai persembahan atau jemaatnya lebih baik tidak usah datang ke Gereja kalau tidak bawa uang persembahan? Dia tidak mau membahas lagi.

Saya pikir, persembahan itu erat kaitannya dengan perhatian yang diberikan Gereja pada jemaatnya. Gereja kadang hanya bisa menuntut ini dan itu tetapi tidak mau memperhitungkan bagaimana perhatian mereka terhadap jemaat. Sering sekali kunjungan hanya kepada jemaat yang “berduit” saja dengan alasan mereka adalah donatur Gereja tersebut. Jadi bagaimana dengan jemaatnya yang kurang mampu???

Saya bukan orang yang alim sekali dalam artian saya bukan orang yang aktif dalam kegiatan Gereja. Untuk itu saya mohon bantuan kakak-kakak, mas-mas, mba-mba, yang mungkin lebih mengerti mengenai ini daripada saya untuk memberikan pendapat tentang masalah ini. Terima kasih