Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Gumbregan

Purnawan Kristanto's picture

Di kampung saya masih terdapat sebuah tradisi yang berasal dari agama asli Jawa. Tradisi ini bernama "Gumbregan", yang merupakan sebuah ritual doa kepada sang dewi Sri untuk meminta berkah bagi laku pertanian mereka.

Tradisi ini dilaksanakan setiap wuku Gumbreg, nama salah satu bulan pada penanggalan Jawa. Harinya, selalu pada Selasa malam, bertepatan dengan pasaran tertentu, namun saya lupa. Pasaran adalah nama-nama hari dalam kalender Jawa. Dalam satu putaran, orang Jawa mengenal lima nama hari('dino'), yaitu: Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing.

Bagi anak-anak, tradisi ini sangat mengasyikkan dan selalu ditunggu-tunggu. Selepas maghrib, mereka sudah berkumpul sambil membawa cething atau bakul nasi kosong. Setelah itu anak yang tertua akan meneriakkan pantun sederhana: "Kembang jagung, kembang jagung. Sing dituju omahe pak Agung!" Lalu anak-anak yang lain menanggapi dengan teriakan sekencang-kencangnya: "Amiiiiiin!" Teriakan ini memiliki dua fungsi: Pertama, memberitahukan arah tujuan kepada anggota rombongan. Kedua: memberitahu tuan rumah supaya segera bersiap-siap.

Begitu sampai pada rumah yang dituju, tuan rumah segera mengeluarkan tampah (nampan bambu) yang berisi bermacam-macam makanan tradisional. Kebanyakan adalah umbi-umbian, seperti uwi, gembili, garut, ganyong, ubi, singkong, suwek, talas, gadung, dan ketupat. Diterangi lampu minyak tanah dan oncor, sang tuan rumah yang berprofesi sebagai petani lalu mengucapkan doa. Di sinilah sisa-sisa agama Jawa begitu kentara. Sang petani tidak mengucapkan doa menggunakan bahasa Arab atau mantra-mantra Hindu, tapi berbahasa Jawa sehari-hari. Doa ini ditujukan kepada sang Dewi Sri, yaitu sesembahan orang Jawa yang menguasai bidang pertanian.

Dalam bahasa Indonesia, bunyi doanya demikian: “Anak-anak, pada bulan Gumbreg ini kita berdoa kepada Dewi Sri supaya panenan kita melimpah.” Lalu anak-anak berteriak sekencang-kencangnya: ”Nggih!!!”. “Mendoakan juga alat-alat pertanian seperti garu, bajak, cangkul, dan sabit, supaya tidak mudah rusak. Mendoakan juga ternak-ternak seperti sapi, kambing dan ayam supaya kalis dari penyakit.” Setiap satu kalimat berhenti, anak-anak selalu menimpali dengan seruan: “Nggih.”

Usai didoakan, maka sesajen yang sudah disiapkan oleh tuan rumah itu lalu dibagi-bagikan dan dimasukkan ke dalam bakul-bakul yang sudah disusun melingkar di sekililingnya. Pembagian makanan biasanya dilakukan oleh anak yang tertua dalam rombongan kami. Setelah semua habis dibagikan, maka pimpinan rombongan meneriakkan tujuan berikutnya: “Kembang jati, kembang jati. Sing dituju omahe pak Kardi!!”

****

Ketika merenungkan kembali tradisi ini, saya terkagum-kagum betapa para leluhur itu telah memiliki kearifan dalam menyikapi bumi ini. Dalam legenda Jawa, dikisahkan seorang perempuan bernama Dewi Sri yang meninggal secara tragis. Namun secara ajaib, tubuhnya menyatu dengan bumi dan tumbuh tanaman padi di atasnya. Itu sebabnya, orang Jawa sangat memuliakan Dewi Sri.

PadiDalam dunia pertanian ada unsur ketidakpastian karena ketergantungan pada kondisi alam yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia. Hingga saat ini, manusia belum memiliki pengetahuan atau teknologi yang dapat mengendalikan perubahan iklim, maupun memastikan bebas dari serangan hama dan penyakit. Ketidakpastian ini menimbulkan kesadaran di antara manusia pada zaman dulu untuk menghargai alam. Salah satunya tercermin dalam bentuk ritual-ritual yang meminta pertolongan dari Penguasa Alam, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, manusia zaman dulu juga tidak berlaku sembarangan kepada tanah pertanian.

Sayangnya, akibat “Revolusi Hijau” yang merupakan turunan dari kapitalisme global, kearifan menjadi terpinggirkan. Tradisi seperti ini dianggap takhayul, irasional dan in-efisien. Karena itu, banyak tradisi-tradisi petani yang tidak mendapat lagi dalam pertanian modern.

Dalam pertanian modern, tanah dan tanaman hanya dianggap sebagai salah satu komponen dari industri pertanian. Tanah dan tanaman dipandang tidak lebih dari sekadar “alat” dan “modal” yang dapat dieksploitasi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, dengan biaya semurah-murahnya. Maka muncullah istilah “intensifikasi” pertanian. Tanah digenjot untuk menghasilkan sumber pangan (baca: padi), dengan cara pemberian pupuk kimia pabrik, pengolahan tanah menggunakan mesin, pemberantasan hama menggunakan pestisida dan cara memanen pun sudah menggunakan mesin. Sekarang ini jarang sekali ditemui petani yang memetik bulir-bulir padi dengan cara ani-ani, yang dilakukan bersama-sama sambil bersendau-gurau.

Yang memprihatinkan, sampai saat ini Revolusi Hijau ini masih belum dapat mengangkat derajat petani. Yang terjadi, petani justru semakin terpinggirkan karena mengalami ketergantungan dengan pemerintah dan kaum pemodal. Pada musim tanam maka kita akan mendengar berita yang berulang-ulang: Benih mahal, pupuk kimia langka, pestisida pabrik menghilang dari pasaran. Petani kemudian kelimpungan karena terlanjur sangat tergantung pada produsen alat pertanian. Lalu, ketika musim panen tiba, harga gabah dibuat anjlok sehingga untuk kaum petani tidak dapat menutup ongkos produksi. Akibatnya, petani terpaksa berhutang untuk menutupi kehidupan sehari-hari.

****

Inilah saatnya untuk mendefinisikan kembali paradigma kita tentang pertanian. Arus kapitalisme yang serba serakah telah menggerus sektor pertanian. Tanah pertanian menjadi rusak karena ditimbuni dengan pupuk kimia. Keseimbangan alam menjadi terganggu karena penetrasi pestisida yang over dosis. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah nasib petani yang tak kunjung membaik. Saya tidak memiliki kompetensi di bidang pertanian, namun alangkah baiknya jika para pengambil kebijakan di bidang pertanian sudi untuk menggali kembali nilai-nilai kearifan lokal di setiap peradaban.

 

__________________

------------

Communicating good news in good ways

joli's picture

Derep = Panen padi

Purnawan, saya tidak tahu kalau di jawa ada ritual juga untuk mohon berkat kepada dewi sri, meski di Bali sembahyangan seperti ini tidak asing asing lagi. Di Bali hampir setiap patok sawah selalu punya tempat untuk memuja dewi Sri.

Hal menanam padi hingga panen.. mengingatkan ketika saya SD di jawa timur.  Saya sekolah di SD negeri perintis di desa (selama saya sekolah SD gratis), sekolah kami memiliki sebidang sawah di belakang kelas-kelas kami. Sawah milik sekolah, milik bersama, milik guru dan murid, sehingga mengelola dan mengerjakannya-pun bersama-sama...  tahu nggak  bagaimana cara membajak sawah tersebut?...., bukan dengan kerbau atau sapi karena sekolah tidak punya.. caranya adalah semua murid, masuk sawah.. berjalan di tanah sawah yang sudah di-airi beberapa hari sebelumnya jadi lembek, seperti lumpur.. anak-anak bersama-sama berjalan dari barat ke timur.. begitu bolak-balik.. wah itu pengalaman paling asik.. selama SD, wis.. pokoknya sangat asik.. bermain lumpur, kadang kejar-kejaran sambil terperosok2,  wow.. itulah cara kami membajak sawah dengan suka cita.. setelah itu biasanya sekelas akan mandi bersama di rumah saya yang terletak hanya 8 rumah dari sekolah. Beberapa waktu kemudian kami juga di ajar cara menanam padi .. dengan sebilah bambu untuk membuat padi tertanam rapi.. untuk meng-airi sawah..  ada piket.. di sekolah kami.. piket itu bukan hanya menyapu kelas, tetapi juga menimba air dari sumur satu murid 10 kali timba, untuk di buang ke saluran yang mengalir ke sawah tercinta..

Nah waktu panen yang biasa kami menyebutnya dengan derep.. yang memanen juga kami murid-murid. kami memanennya bukan dengan sabit karena berbahaya kalee.. buat  anak-anak SD bisa saling sabit. Ada alat yang di sebut ani-ani bentuknya seperti ketam, cara memegangnya diselipkan antara jari tengah dan jari manis..  kami memanennya juga dengan ber-baris berlapis sehingga tidak ada padi yang ketinggalan..

Cerita panen padi, biasa di desaku panen padi pada waktu itu, kalau panen di borongkan kepada buruh penyabit, nah para tetangga boleh ikut panen dengan menggunakan ani-ani, mereka memanen padi yang luput dari sabitan, mereka berjalan dibelakang para buruh sabit, kalau dengan ani-ani padi yang didapat tidak terlalu banyak, sehari mungkin hanya dapat 1-2 kg.. itulah cara guyub dan berbagi di desa... indahnya.. kebersamaan..

Jadi teringat kisah alkitab, Ruth yang mengumpulkan jelai di kebun Boas..

Rut 2

Maka Rut, perempuan Moab itu, berkata kepada Naomi: "Biarkanlah aku pergi ke ladang memungut bulir-bulir jelai di belakang orang yang murah hati kepadaku." Dan sahut Naomi kepadanya: "Pergilah, anakku."

Pergilah ia, lalu sampai di ladang dan memungut jelai di belakang penyabit-penyabit; kebetulan ia berada di tanah milik Boas, yang berasal dari kaum Elimelekh.

Tadi ia berkata: Izinkanlah kiranya aku memungut dan mengumpulkan jelai dari antara berkas-berkas jelai ini di belakang penyabit-penyabit. Begitulah ia datang dan terus sibuk dari pagi sampai sekarang dan seketikapun ia tidak berhenti."

 

Purnawan Kristanto's picture

Derep<>Panen

Sepengetahuanku, panen itu sedikit berbeda dengan derep. Kalau derep itu seperti yang dilakukan oleh Rut itu. Dia mengambil sisa-sisa bulir-bulir gandum yang terlewatkan atau terjatuh. Inilah sistem jaring pengamanan sosial ala Yahudi. Sang pemilik tanah dilarang memungut hasil panenan secara total.
Ketika membayangkan cara pengolahan tanah sawah dengan cara diinjak-injak, kayaknya asyik tuh. Sayangnya, di Gunungkidul sedikit sekali ada sawah. Di kampung kami hanya ada tanah tegalan (lahan kering). Untuk mengolahnya, tanah harus dibalik menggunakan gancu. Keluarga saya bukan petani, tetapi saya senang ikut membantu di ladang. Ketika coba-coba membalik tanah menggunakan gancu, telapak tangan saya melepuh kedua-duanya...ha..ha...ha  tapi saya nggak pernah kapok.
SD kami juga punya ladang yang digarap bersama-sama seluruh siswa. Biasanya ditanami tanaman palawija. Cara menanam benih adalah membuat lubang menggunakan gathul, mirip pacul tapi dalam ukuran mini, lalu benih diletakkan satu demi satu. Usai menanam benih, kami pasti kehausan. Maka kami pergi ke sumur, menimba dan meminum air mentah itu langsung dari timbanya. Yang membuat saya heran sekarang, tidak ada satu anak yang jatih sakit karena minum air mentah. Coba kalau sekarang diadakan uji nyali minum air tanah yang masih mentah? Siapa berani?
Saat ini gereja Katolik mulai mengembalikan lagi spiritualitas di bidang pertanian dan alam. Apa yang dilakukan oleh romo Kirjito di lereng Merapi patut diacungi jempol. Sedangkan gereja Protestan masih asyik berlomba-lomba menyelenggarakan ibadah yang seheboh-hebohnya. Gereja makin autis secara sosial.

 

....................................

"Do the best, let God take the rest"

__________________

------------

Communicating good news in good ways

joli's picture

Mandi lumpur, tips kulit mulus..

Dear wawan,

Memang asik banget wan.. injek-injek tanah berlumpur.. pura-pura terpleset sambil tarik teman sebelah biar ikutan jatuh dilumpur.. asik mandi lumpur.. mau tahu hasilnya? tuh kulit joli mulus sampai sekarang karena mandi lumpur sejak kecil.. kebiasaan lulur lumpur.. he.. he..

Di sekolah tidak setiap kali tanam padi, kalau musim kemarau tanam jagung. murid-murid cowok yang buat lubang, sedang murid cewek yang masukin benih ke lubang, dengan berjalan mundur. Nah tangan-tangan kami juga sering melepuh bukan karena main tanah tetapi karena mipil alias merontokkan jagung dengan jempol (ibu jari) setelah panen jagung..

Benar kata Kardi, pengalaman tak terlupakan, bahkan sampai sekarang saya selalu mengenali bau sawah, meski masih berjarak lumayan jauh.

Pertanian yang harusnya jadi andalan negara kita yang agraris, namun justru terpuruk. Pemerintah harusnya  melalui bulog berbenah diri mengatur pola perdagangan yang menguntungkan petani.. sistem pertanian maupun peredaran hasil pertanian.. tidak pernah di garap serius, padahal Tuhan sudah memberikan karunia luar biasa di bumi Indonesia, kita yang diberi kepercayaan mengelolanya tidak melakukannya..

Purnawan Kristanto's picture

Mandi lumpur

Hmmm......membayangkan kalau cik Joli sekarang sedang mandi lumpur

..... tapi lumpur Lapindo di Porong, kira-kira kulitnya jadi mulus nggak ya

 

 

....................................

“ Aku menulis kepadamu, bukan karena kamu tidak mengetahui kebenaran, tetapi justru karena kamu mengetahuinya" ~~St. John

__________________

------------

Communicating good news in good ways

Purnomo's picture

Gimana seh gereja Protestan?

 Dalam komen Derep<>Panen Pak Wawan menulis,

Saat ini gereja Katolik mulai mengembalikan lagi spiritualitas di bidang pertanian dan alam. Apa yang dilakukan oleh romo Kirjito di lereng Merapi patut diacungi jempol. Sedangkan gereja Protestan masih asyik berlomba-lomba menyelenggarakan ibadah yang seheboh-hebohnya. Gereja makin autis secara sosial.

Pak Wawan, tidak semua gereja Protestan begitu lho.

 

(1) Pernah saya diundang ke resepsi pernikahan di sebuah perkampungan yang terletak di sisi timur jalan propinsi Salatiga – Bawen. Tempat itu ternyata tempat pelatihan orang-orang Kristen yang terpanggil untuk memberitakan Injil ke pedesaan, terutama di luar Pulau Jawa. Di sana mereka dibekali ilmu teologia dan ketrampilan teknis yang dibutuhkan di desa, di antaranya ilmu pertanian. Kalau tak salah yayasan ini bernama Pesat (Pelayanan Desa Terpadu) yang mendapat bantuan dana dari gereja Protestan Jerman.

 

(2) Saat saya tinggal di Palembang, saya diajak seorang pendeta mengunjungi pos PI-nya dipedalaman Sungai Musi. Pos PI ini berada di daerah transmigrasi yang pada 5 tahun pertama tidak pernah berhasil memanen padi. Dari Pos inilah selama masa kegagalan panen itu bantuan beras disalurkan dan juga pelatihan ketrampilan bersawah karena sebagian besarnya penduduknya berasal dari Jawa mantan petugas security tanpa badan hukum. Setiap KK mendapatkan tanah seluas 2 hektar, demikian juga Pos ini yang sisa tanahnya dijadikan sawah.

Ketika saya berada di sana sedang musim panen. Seorang anggota rombongan kami, seorang wanita Tapanuli kelahiran Jawa Timur mengajar saya mempergunakan ani-ani. Itu pada hari Sabtu. Pada hari Minggunya, setelah usai kebaktian, anak-anak SM membantu memanen padi gereja dengan mempergunakan sabit. Tentu saja saya tidak ikutan karena di rumah, saya sudah bisa mempergunakan sabit membabat alang-alang.

 

(3) Bulan Juli-2008 saya diajak sebuah yayasan Kristen yang mengantar bantuan dana kepada sebuah gereja kecil di sebuah desa dekat Jimbaran Bandungan. Gereja ini sedang merintis sawah dan kebun sayur organik. Untuk pupuknya, dipergunakan kotoran sapi yang mereka miliki. Di Semarang, harga beras organik Rp.6.500/kg. Dari majalah denominasi gereja ini yang setia datang ke rumah saya walaupun saya tidak berjemaat di gereja denominasi ini, saya tahu ada juga sebuah gerejanya di daerah Ungaran yang pendetanya care terhadap pertanian.

 

(4) Seorang kawan saya yang pendeta di Surabaya suatu siang tahun di tahun 2008 – yang sudah bertahun-tahun tidak pernah menghubungi saya – mendadak menelepon hape saya. Ternyata ia hanya sekedar memanfaatkan bonus free talk yang sayang bila tidak dipergunakan. Supaya sebel saya hilang ia mengisahkan peristiwa yang baru saja dialaminya.

Dalam kegiatan penginjilan gerejanya ke Nusa Tenggara mereka menjumpai sebuah desa yang kesulitan air sehingga sawah-ladangnya hanya digarap pada musim hujan. Di musim kemarau untuk mendapatkan air mereka harus berjalan kaki sejauh 15 km karena mereka tidak pernah berhasil membuat sumur. Desa itu ada di atas lempengan batu tebal. Kepala desa menantang tim ini untuk menunjukkan kedahsyatan Tuhan Yesus. Jika mereka bisa membuat sumur dengan debit air besar, ia dan seluruh penduduknya akan memercayai Yesus sebagai Tuhan.

Tim mengontak seorang dosen di Surabaya yang ahli mengebor tanah. Dosen ini memberitahu, lewat penginderaan satelit ia melihat di bawah desa ini ada genangan air yang luas. Masalahnya, penginderaan ini tidak bisa menentukan di mana rongga cadangan air yang paling dalam. Karena bisa terjadi mereka mengebor di rongga yang dangkal sehingga setelah 1 minggu ujung pipa sumur tidak bisa menggapai permukaan air dan mereka harus mengulang pengeboran di titik lain. Jadi, mukjizat untuk mendapatkan titik pengeboran yang tepat tetap diperlukan dan ini tugas tim misi untuk mendapatkannya.

Tim teknis diterbangkan dari Surabaya membawa peralatan bor dan cairan kimia untuk melunakkan batu. Lempengan batu tebal itu berhasil ditembus dalam waktu satu minggu. Mereka bekerja di titik yang tepat sehingga mendapatkan debit air yang sangat besar. Pada hari peresmian sumur itu oleh instansi pemerintah, orang sedesa minta hari itu juga dibaptiskan dan berjanji setelahnya akan setia mengikuti pelajaran katekisasi. Inilah kali pertamanya gereja ini melanggar peraturannya, baptis dulu katekisasi menyusul.

Berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh gereja Protestan ini? Tidak banyak. Biaya pengeborannya di bawah 20 juta rupiah. Seluruhnya? Teman saya tidak mau memberitahu.

 

Empat cerita itu berasal dari 4 denominasi yang berbeda. Bagaimana dengan gereja tempat saya saat ini berjemaat?

 

(5) Pada suatu hari Minggu saya menghadiri ibadah sore. Persembahan pujian diisi oleh koor dari sebuah gereja pedesaan, yang tidak satu denominasi dengan gereja saya, yang jauhnya sekitar 100 km dari kota kami. Selesai menyanyi, pimpinan mereka mengucapkan terima kasih kepada jemaat yang telah mengirimkan tim yang membangkitkan semangat mereka untuk tetap menjaga kelangsungan hidup gerejanya yang sudah sepi pengunjung, bahkan mendorong gerejanya menjadi berkat bagi masyarakat sekitar.

Hanya lagu yang bisa mereka berikan sebagai tanda ucapan terima kasih dan oleh-oleh dari kebun mereka. Seusai kebaktian, jemaat diminta untuk mampir ke gedung pertemuan untuk mengambil cidera mata mereka. Saya ke gedung pertemuan dan mendapatkan sebuah “pasar sayur tiban” di dalamnya dengan harga diskon 100%. Saya mengambil satu butir kol, 2 ikat daun brambang dan beberapa bilah pete.

 

(6) Cerita terakhir mengambil lokasi di rumah Pak Wawan. Ketika Sabtu subuh 27-Mei-2006 Ratu Laut Selatan mengirim utusannya menyusuri Kali Opak untuk menyambangi Merapi yang sedang pilek berat, terjadilah gempa. Bukankah saat itu gereja Pak Wawan dalam waktu yang singkat telah berubah fungsi menjadi salah satu gudang penampungan bantuan dari gereja-gereja dan orang-orang Kristen?

Masih ingat selembar kertas tertempel di dinding yang menerakan syarat seorang relawan?

 

1* memaknai setiap pelayanan secara teologis.

2* melayani dengan hati.

3* mencari slot yang tidak terjamah pihak lain.

4* tidak bersaing dengan pihak manapun.

5* melayani harus sampai sakit.

6* dalam suasana yang tidak normal jangan berpikir normal.

7* kita melakukan pekerjaan sosial tetapi bukan pekerja sosial, melainkan sedang menyalurkan kasih Kristus.

8* kendala terus menghadang tetapi pantang menyerah.

9* lihatlah korban seperti melihat Tuhan.

10* sukacita harus mewarnai pelayanan.

 

Salam.

Purnawan Kristanto's picture

@Purnomo:Speechless

Woww....saya hampir tidak bisa berkata apa-apa melihat keluasan pengalaman pak Purnomo. Tambahan informasi ini membuka "kacamata kuda" saya. Terimakasih. Ini menghibur saya karena ternyata masih ada gereja yang melayani secara kontekstual.

Soal poin ke-6, saya sekali lagi terkesima dengan pak Purnomo. Berarti Bapak pernah berkunjung ke Posko Gerakan Kemanusiaan Indonesia di Klaten. Jadi ada kemungkinan kita pernah bertatap muka, tapi saya tidak menyadarinya. Ada lagi yang membuat malu, ternyata bapak malah mencatat syarat-syarat relawan itu. Padahal saya sudah nggak punya arsipnya. Ada satu poin yang masih jadi perdebatan di antara relawan, yaitu: "Melayani harus sampai sakit"

Seorang teman berkilah, lha kalau sakit, gimana kita bisa melayani. Kita harus menjaga kesehatan sebaik-baiknya supaya bisa tetap melayani.'

Sementara teman yang lain memaknai syarat ini sebagai TOTALITAS dalam pelayanan. 

 

 30 Mei 2006-76

__________________

------------

Communicating good news in good ways

antisehat's picture

@PK: Organik

dear PK, ikut comment yaaa...

Inilah saatnya untuk mendefinisikan kembali paradigma kita tentang pertanian. Arus kapitalisme yang serba serakah telah menggerus sektor pertanian. Tanah pertanian menjadi rusak karena ditimbuni dengan pupuk kimia. Keseimbangan alam menjadi terganggu karena penetrasi pestisida yang over dosis. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah nasib petani yang tak kunjung membaik. Saya tidak memiliki kompetensi di bidang pertanian, namun alangkah baiknya jika para pengambil kebijakan di bidang pertanian sudi untuk menggali kembali nilai-nilai kearifan lokal di setiap peradaban.

>> setuju,

>> harus digiatkan pertanian Organik

>> tanpa pestisida, dan zat-zat kimiawi

>> yang berpotensi membangun tumor/kanker dalam tubuh manusia...

 

 

___________________________

giVe tHank’s wiTh gReaTfull heArt

www.antisehat.com

 

Purnawan Kristanto's picture

@AS: Organik Langka

Bersama dengan teman-teman di LSM, kami mencoba membangun jaringan pertanian organik. Kelompok kami kebagian membangun jaringan konsumen. Kami sudah berhasil mendapatkan beberapa konsumen yang bersedia membeli hasil pertanian organik. Sayangnya, sekarang ini justru kesulitan mendapatkan pasokan hasil pertanian organik, khususnya beras organik.

....................................

"Do the best, let God take the rest"

__________________

------------

Communicating good news in good ways

kardi's picture

@PK persawahan sudah berubah menjadi perumahan

Saya terkesan dengan tulisan diatas (oleh joli) mengenai sawah yang dikelola bersama, menjadi pengalaman hidup yang dibawa sampai mati.Sayang sekarang persawahan sudah menjadi perumahan terutama di kota-kota besar, termasuk perumahan yang saya tempati, mulanya adalah persawahan. Tapi karena petaninya selalu merugi waktu panen, akhirnya dijual ke developer. Oh, nasib petani....Saya pernah mendengar hasil wawancara di suatu stasiun radio beberapa waktu lalu, bahwa alumni IPB (salah satunya yang sedang diwawancarai) terutama yang berkaitan dengan pertanian umumnya bekerja atau berkarir diluar pendidikannya, ada yang kerja di bank, wiraswasta, wartawan dll.Jadi tidaklah aneh kalau makin lama makin jauh dari swasembada pangan yang pernah terjadi pada zaman Soekarno. Apa yang terjadi sekarang? Beras import lebih murah dan mutunya lebih bagus dari beras lokal, bukan?Tapi saya selalu beli beras Cianjur yang pulen, kalau mau wangi dikasih daun pandan waktu memasaknya.Apa karena program KB yang gagal, sehingga jumlah penduduk Indonesia bertambah seperti deret ukur, sedangkan penyediaan pangan hanya bertambah seperti deret tambah??Atau sedang booming lagi properti perumahan?Dimana-mana dibangun real-estate baru dengan harga paling murah ratusan juta rupiah.Hingga makin tergusurlah rakyat kecil (petani), yang harus merubah pekerjaannya menjadi buruh bangunan, atau kuli bangunan, daripada dapur tidak ngebul.Apakah itu solusinya?

Biarlah mereka yang duduk di lembaga legislatif lebih memperhatikan orang banyak daripada perutnya sendiri.Kita doakan pejabat-pejabat yang terhormat, sebagai wakil rakyat, diberi hikmat dari Tuhan, dan roh takut akan  Tuhan, dalam menjalankan tugas mulianya.

hai hai's picture

Swasembada Pangan 1984

Ini hanya informsi tambahan. Pada jaman orde lama, Indonesia tidak pernah mencapai kondisi swasembada pangan. Memang waktu itu Presiden Soekarno mencanangkan gerakan BERDIKARI, Berdiri Di Atas Kaki Sendiri.

Swasembada pangan tercapai pada masa Orde Baru, tepatnya pada tahun 1984.

Saat ini pemerintah menyataka bahwa kita kembali mencapai kondisi swasembada pangan. Menurut rencara, mulai tahun 2009 ini, BULOG akan mengeksport beras.

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

Purnawan Kristanto's picture

Koreksi koh Hai Hai

Koreksi dikit: Bukan "Swasembada pangan" melainkan swasembada beras. Politik penyeragaman Ode Baru mengimbas pada kebijaksanaan pangan. Kalau bicara pangan maka yang terpikirkan adalah beras. Padahal masih ada banyak aneka sumber pangan seperti umbi-umbian dan biji-bijian, serta sagu. Sampai sekarang kita masih mengimpor gandum, kedelai dan jagung.

....................................

“ Aku menulis kepadamu, bukan karena kamu tidak mengetahui kebenaran, tetapi justru karena kamu mengetahuinya" ~~St. John

__________________

------------

Communicating good news in good ways

hai hai's picture

Terima Kesih Koreksinya Mas Wawan

Mas Wawan, anda benar. Yang tercapai adalah swasembada Beras. Itu yang terjadi baik pada saat Orde Baru maupun saat ini. Namun kedua orde pemerintahan menggunakan istilah Swasembada Pangan.

Mungkin yang mereka maksudkan adalah walaupun makan nasi dengan sop air putih, tetap namanya makan.

Anda kembali benar. Ada banyak aneka sumber pangan di Indonesia, namun semuanya berpokok pada beras. Saya setuju, seharusnya kita mulai menganeka ragamkan bahan pangan pokok kita. Sejaklama saya mencobanya, makan jagung atau singkong atau kentang untuk mengganti beras.

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

jesusfreaks's picture

Anehnya tetap makan tuh

Import atau ekspor, Swasembada atau swasembedi, Berdikari atau berdikara, TETAP AZA MAKAN TUH.

Jesus Freaks,

"Live X4J, Die As A Martyr"

-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-

__________________

Jesus Freaks,

"Live X4J, Die As A Martyr"

-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-