Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Guratan di Tembok

clara_anita's picture

Sejak bangunan penuh kenangan itu dirobohkan dan kemudian didirikan kembali, aku telah beberapa kali melewati ambang pintunya dan sejenak berada di sana. Namun, baru kali ini aku berada di dalam ruang itu dalam waktu yang cukup lama -- kurang lebih dua hari lamanya. Waktu yang cukup longgar untuk mencari jejak-jejak kenangan masa silam di pilar-pilarnya dan dinding-dindingnya yang meski serupa tapi amat berbeda dari yang lalu.

Hampir delapan tahun lalu, pertama kali aku masuki gedung itu dengan penuh ketakjuban seorang lulusan SMU yang masih terkagum-kagum dengan status baru sebagai mahasiswa. Balairung Universitas. Begitu mereka menyebutnya. Bangunan yang kala itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun menyambut 'segerombolan' mahasiswa baru untuk kepentingan masa orientasi. Jujur saja, aku tidak terlalu memperhatikan detail bangunan kala itu. Aku hanya mampu mengingat betapa gugupnya aku menghadapi fase baru kehidupan yang menjelang. Gedung berdinding batu yang tiga puluh tahun lebih itu tentunya tertawa geli melihat aku yang baru tujuh belas melenggang canggung di dalamnya.

Barulah ketika kami mengerjakan tes IC--Integrated Course-- di dalam bangunan itu, aku dapat mengamatinya dengan lumayan seksama. Mataku mencari-cari kesegaran sekedar pelepas dari penatnya ujian yang menjadi prasyarat untuk hampir semua mata kuliah di semester kedua. Bangunan itu cukup besar untuk menampung seluruh mahasiswa seangkatan untuk mengerjakan tes di atas lantainya yang kekuningan. Di muka ada sebuah panggung yang tidak terlalu besar sehingga setiap kali ada kegiatan, selalu saja dibutuhkan panggung tambahan yang dijulurkan di depannya. Pilar-pilar yang berbentuk bulat kokoh menyangga balkon di lantai dua yang dipenuhi dengan deretan bangku-bangku juga menghadap ke panggung. Bagian atas dinding dilapis kayu yang berbentuk unik, dan bagian bawahnya seperti dinding kebanyakan dicat kekuningan. Ingin rasanya pergi ke kamar kecil yang ada di seberang teras gedung, tapi aku memilih untuk menahan keinginanku. "Jangan ke kamar mandi sendirian," begitu teman-teman selalu berpesan. Pasalnya, pintu kamar mandinya sering macet dan meninggalkan penghuni sementaranya panik terkunci di dalam. Terasnya yang berlantai jingga kemerahan dan cukup luas pun jarang sekali sepi. Terkadang, bila mujur, pada sore hari beberapa anak muda berlatih dance ataupun bela diri di sana --menyuguhkan tontonan gratis yang enak dipandang dari bangku-bangku di tepi lapangan sepak bola yang ada di seberang gedung.

Tes itu sudah berlalu dan aku masih bertahan bersekolah di situ. Ternyata bermahasiswa tidak seperti ber-SMU. Ada banyak waktu luang untuk mencoba hal-hal baru selagi waktu masih bersahabat. Maka, ketika tawaran menjadi panitia kegiatan datang, buru-buru ia kusambut, dan aku menjadi semakin sering menggores kenangan di dinding-dinding Balairung. Hampir semua seksi pernah kulakoni, kecuali seksi keamanan karena teman-teman langsung menolakku ketika aku berniat bergabung pada pasukan keamanan. Kenangan tentang belajar bekerja dalam tim. Kenangan tentang belajar berani memutuskan. Kenangan tentang manisnya sebuah kelegaan ketika kegiatan usai sehabis jerih dan lelah. Gedung itu pun akhirnya menyaksikanku menyudahi masa kemahasiswaanku yang pertama. Sekali lagi, dinding batu itu pasti tertawa melihatku melangkah terlalu cepat -- tak seirama tabuhan gamelan-- pada upacara wisuda setelah tiga tahun lebih aku telah mengukir kenangan di dinding-dindingnya.

Kembali ke masa kini, aku menemukan sosok-sosok masa silam di kegiatan dua hari itu. Sosok-sosok yang dulu pernah bersama menggores kenangan di dinding-dinding itu. Tapi dinding itu tak lagi sama. Ia telah dirobohkan dan dipugar menjadi bangunan baru meskipun bentuknya masih serupa. Hanya saja ukurannya lebih luas setelah teras-teras berlantai jingga itu tergusur bangunan, panggungnya tak lagi berukuran bayi, dan dinding-dindingnya dapat menyerap bunyi dengan lebih baik kini. Ia jadi tampak lebih megah, tapi terasa steril dari kenangan. Namun beruntung rasanya bisa melihat bayangan guratan kenangan itu saat berkilas balik dengan sosok-sosok dari masa silam yang kujumpai.

Ah... kenangan itu tak pernah benar-benar hilang karena sejatinya ia telah membawaku pada perubahan-perubahan yang berani kulakoni. Ia bukan lagi gedung, ia adalah hujan yang turun ke hidupku dan tak kembali lagi sebelum membuat tanah yang dilaluinya basah dan gembur hingga subur dan menumbuhkan benih menjadi pohon kecil yang terus dan terus berakar serta bertumbuh. Nyatalah bagiku, bukan aku yang menggurat kenangan di dinding-dindingnya, tetapi ialah yang membukakan pintu untukku menggores kenangan pada diriku sendiri. Maka, kuamati sekali lagi dinding yang tak serupa dulu lagi, dan tertawa ringan. Meskipun ia telah rubuh dan berdiri lagi kenangan itu tetap jadi milikku. Aku menang kini, aku dua puluh lima dan ia satu.