Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Hukuman mati?: Sebuah Renungan Pribadi atas Eksekusi Enam Terpidana Kasus Narkoba

ebed_adonai's picture

"Bersukarialah, hai pemuda, dalam kemudaanmu, .... .... .... ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu..." 

(Pengkhotbah 11:9 - 12:1)

 

----------------------

Baru dua hari lalu, dunia media massa kita dihebohkan oleh berita eksekusi hukuman mati bagi enam orang terpidana kasus narkoba.

Hukuman mati sendiri di Indonesia sebenarnya bukanlah hal baru, hanya saja sudah lama kita tidak mendengar kabarnya sejak terakhir dilaksanakan tahun 2008. Dan tahu-tahu seminggu ini beritanya silih berganti muncul menghiasi halaman media. Selain itu, yang cukup membuat geger adalah penyebab dijatuhkan hukuman mati tersebut, narkoba. Efek destruktif narkoba memang luar biasa. Pikiran habis. Badan habis. Uang habis. Keluarga habis. Masa depan habis. Semua habis. Bahkan yang katanya sudah pulih pun, banyak yang tidak sepenuhnya kembali seperti dulu.

Karena itu, meski bagi beberapa orang secara personal sulit untuk menerima, keputusan pemerintah untuk tetap memberlakukan hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba sangat bisa dipahami. Ada yang mengatakan sebaiknya bagi gembong dan kaki tangan berbeda level hukumannya, namun dasarnya tetap sama. Hukuman yang sangat berat harus diberlakukan.

Dan di sinilah dilemanya.

Bagi para penegak hukum, katanya itu untuk menimbulkan efek jera. Selaras dengan kondisi bangsa kita ini yang dikatakan presiden baru kita sedang darurat narkoba. Dan sampai di sini semua terasa sejalan dengan logika.

Tapi.....

Masyarakat kita sekarang memang sedang resah-resahnya akibat peredaran narkoba yang sedemikian marak. Dari tua-muda, level sekolah, universitas, sampai instansi pemerintah juga tak luput. Bisa dipahami jika amarah yang tertuju pada para gembong dan pengedar/kurir jadi sedemikian meluap-luap. Jangan kata narkoba. Nah orang yang cuma kehilangan motor saja misalnya, seikhlas-ikhlasnya mungkin masih bisa merasa jengkel juga, kalau suatu saat diingatkan kembali. Apalagi narkoba. Contoh saja, apa yang bisa menggantikan jeritan seorang ibu yang kehilangan buah hatinya karena narkoba? Tidak ada.

Namun hampir sama dengan kasus-kasus hukum lain di berbagai belahan dunia yang berakhir dengan vonis hukuman mati, terkadang, di balik semangat menggebu-gebu untuk menegakkan keadilan, di balik amarah yang meledak-ledak karena kejahatan yang (pernah) diperbuat para terpidana itu, sedikit banyak mestilah ada mencuat ke permukaan sebangsa perasaan sedih, trenyuh, atau apapun itu namanya. Pada akhirnya kita akan berpikir kurang-lebih seperti ini: mereka sama seperti kita juga, manusia dalam segala kemanusiaannya. Dalam kebaikannya, keburukannya, dalam kuatirnya, dalam tawanya, dalam tangisnya, dalam semuanya.

Seperti kita yang rentan berbuat salah, begitu juga mereka.

Kesalahan kecil, kesalahan fatal...

Kembali ke para terpidana mati di atas, ada berbagai macam kisah mereka yang melatarbelakangi perjalanan mereka masing-masing, hingga tertangkap, melewati proses sidang, penahanan, dan seterusnya sampai saat ajal menjemput tanggal 18 Januari lalu. Hanya satu yang berstatus WNI. Macam-macam wujud kepenerimaan mereka akan kenyataan yang teramat pahit itu. Kadang terlihat tabah, sebentar lagi menangis seharian, begitu seterusnya. Ada juga yang mencurhatkan kepasrahannya lewat BBM, menulis surat, berbuat amal, dan lain-lain. Satu orang malahan diberitakan sempat mengamuk saat menjelang dipindahkan untuk proses eksekusi. Tidak heran, mengingat beratnya beban yang mereka alami. Apalagi kita tahu, ada rentang yang cukup panjang antara vonis dijatuhkan dan saat eksekusi dijalankan. Bisa hingga bertahun-tahun. Jadi teringat sebuah foto yang pernah terpampang di majalah fotografi (Foto Media, sudah tidak beredar). Foto sebuah ruang tahanan bekas tempat para terpidana hukuman mati. Beragam coretan bertebaran di dinding. Tentang penyesalan, menghitung hari, termasuk detik-detik menjelang eksekusi. Sedih juga membacanya. Mau sekuat-kuatnya iman, jangan tanya bagaimana rasanya mereka menjalani hidup hari demi hari, sejak dari meraung-raung tatkala vonis dijatuhkan, hingga saat eksekusi.

Dan yang paling membuatku tersentuh, di antara para terpidana tersebut ada seorang wanita, yang menurut berita sudah memiliki tiga orang anak di seberang lautan sana, namun hingga saat terakhirnya tidak sempat bertemu dengan sanak saudaranya, meski itu atas permintaan sendiri. Sulit untuk menyelami apa yang dirasakannya. Sulit. Dalam kesendirian mendekam di negeri orang selama kurang-lebih tiga tahun, dan dalam kesendirian pula berpulang, tanpa pernah melihat keluarga dekatnya sekali pun. Terakhir membaca update beritanya di sebuah web, saat melewati baris dimana ditulis ia sempat berpelukan dan berlambaian tangan dengan petugas atau rekan selapas sebelum dibawa ke lokasi eksekusi, spontan langsung kututup halaman web-nya. Malas untuk membaca lebih lanjut.

Agak lucu memang kalau kupikir-pikir. Dari semua terpidana, tak satu pun yang kukenal secara pribadi. Tapi mau berlagak tak perduli, nyatanya jadi agak susah juga memicingkan mata di malam mereka dieksekusi. Padahal hawanya lumayan dingin, dan hujan pula. Obat tidur alami. Seharusnya.

Iseng-iseng kutanya my bojo di pembaringan, bagaimana rasanya jadi mereka, di dalam kendaraan yang membawa ke tempat terakhir menapakkan kaki di muka bumi ini? Apa yang mereka pikirkan? Dosa-dosakah? Orang-orang yang dikasihi? Tuhan? Surga? Neraka? Kalau masih sempat melihat alam sekitar di sepanjang perjalanan, sekedar pepohonan pun, atau kalau beruntung bisa menyimak sekelumit keramaian malam, lampu-lampu jalan (menurut berita para terpidana dijemput beberapa jam sebelum eksekusi yang dilaksanakan tengah malam, sekitar pukul 00:30), atau apa pun itu yang bisa dilihat untuk terakhir kalinya, masih ada artinyakah itu semua? Biasanya my bojo suka berkomentar panjang-lebar kalau ditanya soal isu-isu penting negara ini (kadang seperti politikus dia itu). Tapi malam itu do’i cuma menggeleng thok.

Akhirnya mata yang sudah berkantung mata ini pun terus kupaksa membaca menjelajahi artikel-artikel bebas di dunia maya. Dari isu pengangkatan Kapolri baru, Air Asia, dan lain sebagainya. Namun di dalam hati semua peristiwa tadi masih saja bercampur aduk.

Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul dua lebih dini hari. Dan entah bagaimana tak jelas muasalnya, mataku mulai terasa pedas. Mungkin pengaruh hujan di luar. Bagaimana nyambungnya hujan di luar dengan mata di dalam rumah, tak usahlah ditelusuri. Ya, tak perlu dicari-cari pun beritanya, semua orang yang mengikuti peristiwanya semingguan ini juga tahu, kalau jam segitu pastilah sudah berpulang semua mereka.

Ya sudah. Apa pun carut-marutnya, setidak-tidaknya bagi mereka tak ada lagi derita, ratapan, air mata, yang mengiringi penantian tak menentu. Semoga akhirnya mereka bisa beristirahat dengan tenang.

Anganku lalu melayang ke suatu waktu, jauh sekali, sekitar dua ribuan tahun silam di belahan bumi lain. Waktu itu ada seorang pesakitan terkena vonis yang sama seperti keenam terpidana di atas. Dan vonisnya itu jauh tidak manusiawi dibandingkan dengan sistem yang ada sekarang. Bayangkan, seseorang harus lama tersiksa luar biasa sebelum ajal menjelang. Namun di tengah belenggu deritanya itu, ia sempat memasrahkan diri kepada seseorang yang ada di sebelahnya, sesama pesakitan juga, seseorang yang menjadi sosok kontroversi dari dulu hingga sekarang. Ia hanya meminta agar dirinya, sampah masyarakat di masa itu, yang dijauhi semua orang hingga akhir hayatnya, untuk diingat dan tidak terhilang begitu saja bagai rumput kering yang tertiup angin.

Tidak ada yang ingin berakhir sendirian dan terlupakan.., siapa pun dia..

Tidak penjahat sekalipun...

 

PS: My sincere condolences, untuk semua pihak yang terkait..

 

Ilustrasi: freestockphotos.com

 

__________________

(...shema'an qoli, adonai...)