Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Mengapa Saya Menulis?

Purnawan Kristanto's picture

Mengapa saya memutuskan menekuni kepenulisan? Saya bingung untuk menjawabnya, sama bingungnya ketika ditanya mengapa saya memiliki iman Kristen? Keputusan untuk menjadi penulis atau menghayati iman Kristen merupakan proses yang sangat panjang dan saya tidak tahu sejak kapan itu bermula.

Keputusan untuk menjadi penulis itu tidak melalui pengalaman spektakuler atau alasan luarbiasa. Saya baru saja membaca kisah tentang Joni Ereackson Tada, seorang penulis buku dan pembicara motivasional. Dia memutuskan untuk menulis buku setelah melelui peristiwa dramatis yang hampir saja merenggut hidupnya. Namun beda dengan saya, keputusan untuk menekuni dunia literatur ini merupakan proses kehidupan berpuluh-puluh tahun. Sejak kecil, bapak saya sudah mengenalkan berbagai macam bacaan. Meskipun tinggal di pelosok Gunungkidul yang saat itu masih terpencil, namun bapak sering membelikan majalah Si Kuncung, Cip Cop, Ananda, Mop, Gatotkaca, atau Bobo untuk anak-anaknya. Setiap hari ketika majalah itu terbit, kami selalu merindukan bunyi bel sepeda yang menandakan bapak pulang dari mengajar. Itu artinya dia membawa oleh-oleh favorit kami yaitu majalah anak-anak. Setiap Minggu, bapak juga membeli koran Sinar Harapan edisi Minggu. Lewat koran ini, saya mengenal dan mengagumi penyair cilik bernama Omi Intan Naomi [almarhumah].
Selain itu, bapak saya juga pernah sekali-kali menulis untuk media massa, meskipun tidak banyak yang dimuat. Namun salah satu tulisannya, kalau tidak salah, malah pernah dimuat di koran Kompas.
Saat memasuki usia remaja, saya mulai senang menulis naskah-naskah drama yang dipentaskan pada acara-acara gereja. Ketika SMA, saya mengelola majalah dinding di sekolah. Di sini saya mulai berminat pada dunia sastra. Ketika tiba saatnya untuk memilih jurusan saya justru memilih jurusan sastra/budaya [A4]. Mungkin saya adalah satu-satunya siswa yang menempatkan jurusan A4 pada pilihan pertama, sementara teman-teman saya yang lain bersaing sekuat tenaga untuk dapat masuk jurusan A1 atau jurusan A2 yang konon jurusan favorit.
Meski berada di kelas "buangan" [teman-teman sekelas saya adalah murid-murid yang tidak dapat masuk jurusan A1-A3. Maka alternatif terakhir adalah jurusan A4], namun saya tidak pernah menyesalinya. Bersama teman-teman, kami justru sangat menikmati proses belajar-mengajar yang berlangsung sangat menyenangkan. Kami tidak pernah dipusingkan urusan rumus-rumus kimia atau fisik. Pun tidak perlu menghitung angka-angka.
Karena menempati rangking I. saya mendapat jatah untuk mengikuti Program Penulusuran Bibit Unggul Daerah oleh UGM, sebuah program seleksi tanpa test. Saya memilih jurusan sastra Jepang, tetapi tidak lolos. Setelah itu, mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri [UMPTN]. Saya memilih sastra Inggris, tetapi tidak diterima. Saya memutuskan untuk ikut UMPTN lagi tahun berikutnya. Sembari menunggu, saya ikut kursus komputer programmer yunior di UPT Komputer.
Tahun berikutnya saya diterima di jurusan komunikasi . Saya mulai mengasah kemampuan menulis dengan aktif di lembaga pers kampus. Pada mulanya, saya mencoba "peruntungan" dengan bergabung di Lembaga Pers dan Penerbitan Mahasiswa [LPPM] tingkat universitas yang menerbitkan tabloid "Bulaksumur" dan majalah "Balairung". Kedua media ini cukup kritis dalam menanggapi kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru. Namun sebagai orang berasal dari desa, saya merasa kesulitan beradaptasi dengan pola pergaulan di LPPM ini. Saya lalu memilih beraktivitas pada lembaga pers berlingkup lebih kecil yaitu milik jurusan ilmu komunikasi. Mereka menerbitkan tabloid "Swara." Di tabloid inilah saya bertemu dengan penulis yang saya kagumi sejak saya masih anak-anak yaitu Omi Intan Naomi. Saat itu dia menjadi pemimpin redaksinya. Di sini saya mulai mencicipi lika-liku penerbitan pers, meski masih dalam ruang lingkup kampus. Namun setidaknya pernah merasakan diintimidasi intel dari Korem Jogja karena menyelenggarakan diskusi tentang pembreidelan majalah Tempo, Editor dan tabloid Detik. Dua tahun kemudian, saya menduduki posisi pemimpin redaksi di tabloid Swara ini.
Tidak puas dengan aktivitas di kampus, saya lalu bergabung pada sebuah LSM yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. Kuatnya proteksi pemerintah Orba terhadap pengusaha membuat konsumen sebagai pihak yang dikalahkan. Melalui LSM ini saya dilatih untuk menulis pamflet, brosur dan artikel yang memperjuangkan kepentingan konsumen. Artikel pertama saya dimuat di majalah Warta Konsumen, Jakarta. Setelah itu mencoba mengirimkan opini ke koran Bernas. Untuk memikat perhatian redaktur, saya menempelkan nama Nunuk P Murniati, setelah minta izin kepadanya, seolah-olah opini ini ditulis berdua. Padahal semuanya adalah tulisan saya. Bu Nunuk hanya membacanya, lalu memberi persetujuan. Karena nama bu Nunuk sudah dikenal redaktur, maka opini saya itu dimuat. Honornya sih tidak seberapa, tetapi kepercayaan diri yang timbul setelah tulisan dimuat, itulah yang tak ternilai. Selanjutnya saya mulai berani mengirimkan artikel tentang perlindungan konsumen ke berbagai media.
Selain melakukan advokasi kepada pemerintah, LSM kami juga mengorganisasi masyarakat di tingkat akar rumput. Kami banyak melakukan pelatihan, ceramah, dan lokakarya kepada masyarakat. Di dalam setiap kegiatan ini, biasanya kami menyelipkan permainan [game] untuk menggairahkan peserta. Lalu saya punya gagasan untuk menulis dan mengumpulkan permainan tersebut ke dalam sebuah buku. Saya menawarkan naskah tersebut ke penerbit Andi, yang kemudian diterbitkan dengan judul "77 Permainan Asyik" pada tahun 2000, yang sudah dicetak ulang lebih dari dua belas kali.
Berkat buku ini, saya lalu ditawari untuk bergabung dengan majalah BAHANA sebagai redaksi. Di sini, saya dipertemukan dengan penulis yang juga saya kagumi sejak remaja, yaitu Xavier Quentin Pranata. Meski dikenal sebagai penulis senior, namun dia cukup hangat, rendah hati dan tidak pelit dalam berbagi ilmu. Dari pemimpin redaksi BAHANA ini saya belajar tentang menulis yang lincah, ngepop namun elegan. Berbagai persoalan keagamaan yang biasanya membuat kening berkerut dapat disajikannya dengan enteng, mudah dicerna, namun tidak mengabaikan kedalaman isi.
Kebetuntungan lainnya, saya lebih mudah mengakses para pengelola penerbitan buku karena kami bekerja di bawah satu atap dan satu sayap. Maka, naskah-naskah buku saya berikutnya mengalir dengan mulus dalam penerbitannya. Dengan mengobrol dengan para editor saya mulai tahu tema-tema apa yang "disukai" oleh pembaca.
***
Persoalan muncul ketika saya bersiap menikah. Calon isteri saya adalah seorang rohaniwan yang melayani di kota lain. Jaraknya sekitar 30 km dari kota Yogyakarta. Dimana kami harus menetap setelah menikah nanti? Bagi isteri saya, untuk berpindah tempat pelayanan itu tidak semudah membalik telapak tangan. Satu-satunya pilihan adalah saya berpindah ke kota calon isteri saya. Namun bagaimana dengan pekerjaan saya? Apakah saya harus menjadi komuter setiap hari? Saat itu, muncul gagasan untuk menekuni dunia penulisan buku ini secara penuh waktu. Selama ini, saya menulis buku hanya sebagai pekerjaan sambilan saja. Meski begitu, masih ada keraguan besar, apakah pilihan ini cukup layak untuk dijalani? Bagaimana jika buku saya tidak laku? Bagaimana dengan status sosial saya? Apakah masyarakat dan keluarga sudah siap melihat saya yang tidak pernah pergi ke kantor?
Ibarat orang yang akan belajar renang, saya masih ragu-ragu untuk mencemplungkan diri ke kolam renang. Lalu tiba-tiba ada orang yang mengangkat tubuh saya dan melemparkan ke kolam renang. Saya terkesiap dan dengan tergagap-gagap saya berusaha menyelamatkan diri. Paru-paru saya kemasukan sedikit air, pandangan mata kabur dan saya murka dengan orang yang melemparkan saya. Namun ketika mulai tenang, saya bisa mengendalikan seluruh kehidupan saya. Begitulah yang terjadi. Terjadi konflik di tempat kerja. Meskipun tidak berada pada pusaran konflik, saya dan teman justru yang dikeluarkan oleh perusahaan.
Hikmahnya, saya "dipaksa" untuk menyeriusi dunia penulisan buku. Saya bisa lebih leluasa mengembangkan diri. Kalau menurut ustilah John Maxwell, saya bisa lebih memperbesar lingkaran pengaruh. Saya juga punya waktu yang lebih lega. Sampai saat ini saya sudah menghasilkan lebih dari 27 naskah buku. Selain itu, saya juga menerjemahkan, menyunting buku dan enulis renungan-renungan singkat. Gabungan antara pendapatan saya dari menulis dan penghasilan isteri ini sudah dapat mencukupi kehidupan kami. Meskipun tidak berlebih, namun masih ada uang yang dapat disisihkan tiap bulan untuk ditabung; dan juga dapat menyumbang sedikit bantuan untuk beasiswa.
 
Berikut buku yang pernah saya tulis:
a. Seri Permainan Asyik [4 judul], penerbit Andi Jogja
b. Seri Permainan Asyik [2 judul], penerbit Metanoia
c. Cara Jitu Bikin Seru Sekolah Minggu, penerbit Gloria
d. Humor Cinta, penerbit Andi
e. Seri Humor Ceria [8 judul]
f. My Blessed Family, BPK Gunung Mulia
g. Tuhan Yesus tidak Tidur [2 jilid]. Penerbit Andi
h. Pendidikan Agama Kristen SMP [3 judul], Sunda Kelapa.
i. Kepakkan Sayapmu, Manna Publishing
j. Bijak Belanja, Pustaka Konsumen
k. Bible Secret Code, penerbit Andi
l. Misteri Gerbong Tua [novel remaja], penerbit Metanoia
m. Blog Go Gospel [proses terbit]. Penerbit BPK Gunung Mulia
Masih ada beberapa buku yang ditulis bersama penulis lain.
-------------------------------------------

Update: Tulisan ini merupakan bagian dari jawaban saya terhadap wawancara tertulis yang diajukan oleh majalah Inside. Untuk melihat tulisan lengkapnya, silakan tunggu terbitnya majalah Inside, edisi depan.

__________________

------------

Communicating good news in good ways

minmerry's picture

Little Kirana

Apakah little Kirana juga mengikuti daddy yang suka menulis? Hehe. Seems like Little Kirana lebih suka menggambar yah. ^^

Little Kirana pasti bangga dengan daddynya.

 

logo min kecil

__________________

logo min kecil

Purnawan Kristanto's picture

Coretan Kirana

Dear Min,

Kirana belum bisa baca tulis, namun kemampuan verbal-lisannya sungguh mengagumkan. Dia juga senang coret-coret. Bulan Mei ini umurnya genap 4 tahun.

 


 

Photobucket

 

Keluargaku

 

Photobucket

__________________

------------

Communicating good news in good ways

minmerry's picture

@Mas Wawan

Mas Wawan, mas wawan bikin blog untuk Little Kirana... Kumpulan coret-coretnya... Sampe Little Kirana ntar bisa update blognya sendiri. ^^

Seperti ini kah perasaan bangga daddy dengan little princessnya? ^^

 

 

logo min kecil

__________________

logo min kecil

iik j's picture

Pak Purnawan, saya tersesat!

Keren nih ceritanya Pak Pur.

Waktu kecilpun saya suka baca Si Kuncung, Cip Cop, Ananda, Mop, Gatotkaca, atau Bobo. Meskipun itu majalah bekas milik saudara2  jauh saya yang tinggal di Jakarta. Semua majalah, sampai Intisari tahun 80an, buku2 bacaan saya 'lalap', bahkan sampai mendirikan perpusatakaan pribadi di rumah sejak SD sampai SMA kelas 1. Tapi karena 'sibuk' dengan dunia ABG, akhirnya perpustakaannya tutup... dan banyak buku yang hilang meskipun masih banyak juga yang tersisa.

Dari situ saya suka menulis.. hi hi hi... meskipun tulisannya tergolong aneh (kata guru bahasa Indonesia saya).

Saya sebenarnya juga ingin sekali (bahkan sempat ngotot juga) memilih jurusan A4 waktu itu, tetapi karena 'tekanan keluarga' akhirnya menyerah pada pilihan mereka ke A2 (Biologi). Keanehan mulai terjadi disini, karena saya satu2nya anak A2 yang suka iseng menulis, bahkan karangan Bahasa jawa. Hi hi hi... beberapa dimuat sih di majalah Jawa apa ya namanya... Penyebar Semangat atau apa gitu... Jadinya 'otak' saya mulai kacau... karena harus menghapal rumus, tapi juga sering iseng menulis..

Kekacauan muncul lagi setelah lulus SMA. Karena berbagai sebab dan alasan, saya malah membelok ke jurusan yang tidak ada hubungannya dengan jurusan SMA, hobi menulis, dan tuntutan keluarga.

Hobi menulis terlupakan karena saya menekuni pekerjaan pertama saya yang berhubungan dengan 'seni' serta 'kreatifitas' imajinasi dan tangan (tebak hayoooo.... pokoknya tebakannya dijamin salah!!).

Bertahun-tahun kemudian saya tidak pernah menulis sama sekali. Hingga akhirnya saya menjadi Kristen. Dan beberapa tahun setelah kekristenan saya mulai stabil, saya memberanikan diri untuk menjadi 'pencatat kotbah' di gereja. Saya serap yang dikotbahkan pak pendeta, dan menuangkannya di Catatan kotbah Warta Jemaat.

Dari situ, keinginan saya menulis mulai timbul kembali. Tetapi, lagi-lagi karena kesibukan... keteteran lagi.

Baru 1 tahun yang lalu sejak ketemu SS, saya mulai 'iseng' menulis lagi. Itupun sampai sekarang masih tidak berbentuk. he he he he...

Begitulah cerita hobi menulis saya yang telah tersesat entah dimana... belum tahu, apa bisa ketemu jalannya lagi atau tidak, apakah bisa percaya diri lagi atau tidak.

 

passion for Christ, compassion for the lost

Purnawan Kristanto's picture

Mbak Iik, Terimakasih untuk

Mbak Iik,

Terimakasih untuk sharingnya. Saya dulu juga pembaca majalah Panjebar Semangat dan Djoko Lodang. Salah satu ribrik yang disukai adalah Jagading Lelembut. Nah untuk mengobati kerinduan, berikut ini cover majalah Si Kuncung

Kuncung

__________________

------------

Communicating good news in good ways

PlainBread's picture

@Purnawan Gimana rasanya

Gimana rasanya memegang buku2 tersebut? Bangga, senang, sedih, pengen nulis lagi, atau yang lain?

Purnawan Kristanto's picture

Orgasme Penulis

Dear PB,

Orgasme penulis [buku] terjadi ketika memegang bukunya yang baru saja keluar dari mesin cetak, bau tintanya yang khas masih tercium. Begitulah rasanya: Puas,  plong, lega, lemas tapi beberapa saat kemudian ketagihan untuk menggapai orgasme berikutnya.


__________________

------------

Communicating good news in good ways

PlainBread's picture

@Purnawan Kalo Orgasme saya tahu

Saya tadi takut kalo anda menjawab dengan kata2 yang mengambang. Tapi begitu anda ibaratkan dengan orgasme, saya tahu jelas rasanya seperti apa :)

Sekagum2nya saya sama  banyak bilyuner, saya masih lebih kagum sama penulis2 buku. Terus berkarya, Purnawan.

dReamZ's picture

orgasme hihihih

iyah jawabannya jelas banget

Mnurut gw se, menulis itu susah karna harus ngungkapin apa yg kita tau dlm bentuk tulisan yg mudah dimengerti pembaca. Jd mang penulis itu mengagumkan. Penulis ma scientist jg, itu org2 yg gw kagumin hehehe...

 

niwei yg dibawah omi mninggal krn apa ya?

Purnawan Kristanto's picture

Tx dReamZ

Jd mang penulis itu mengagumkan. Penulis ma scientist jg, itu org2 yg gw kagumin hehehe...

Terimakasih dReamZ

 

niwei yg dibawah omi mninggal krn apa ya?

Baca di sini


__________________

------------

Communicating good news in good ways

Tante Paku's picture

Sastrawati Omi Intan Naomi

Saya benar-benar kaget membaca kalimat pak Pur di bawah ini :

Setiap Minggu, bapak juga membeli koran Sinar Harapan edisi Minggu. Lewat koran ini, saya mengenal dan mengagumi penyair cilik bernama Omi Intan Naomi [almarhumah].

Terus terang saya baru tau kalo Omi Intan Naomi ternyata sudah meninggal setelah membaca kalimat di atas. Karena mungkin sudah puluhan tahun saya tidak pernah membaca, karena pekerjaan yang tidak bersinggungan lagi dengan dunia baca membaca atau tulis menulis, jadi semua hal yang berhubungan dengan media cetak amblas tak tersentuh sama sekali, sehingga tidak mengetahui kalau ada teman penulis/wartawan/seniman yang meninggal, karena sudah beda komunitasnya, jadi tak berhubungan sama sekali, sungguh mengenaskan jaln hidupku ini ha ha ha......

Omi Intan Naomi , putrinya penyair KARTO IYO BILANG TIDAK, Darmanto Jatman dan ibunya Noel Susenowati, saya kenal waktu masih remaja, saya sering menulis tentang dia di berbagai mingguan pusat maupun daerah tentang bakatnya itu. Foto-fotonya yang berambut kerinting kayak papanya masih banyak saya simpan, juga ketika menemani adiknya  BUNGA JERUK yang tengah mengikuti lomba melukis di atas kain yang diselenggarakan oleh IWAPI Solo di Taman Sriwedari, kebetulan saya juga ikut lomba fotografinya. Tapi saat itu Omi masih wajar, artinya jiwa pemberontaknya belum banyak keluar, juga belum merokok.

Ternyata sungguh luamaa..... juga saya tidak mengikuti perkembangan berita ini, hingga tidak tau ada teman lama yang meninggal, barusan saya googling Omi Intan Naomi, dan dapat foto yang sudah berubah dengan waktu masih remaja dulu :

OMI INTAN NAOMI

26 Oktober 1970-5-11-2006

 

majalah Si Kuncung, Cip Cop, Ananda, Mop, Gatotkaca, atau Bobo

Majalah-majalah ini memang ngetop pada zamannya dan menjadi inspirasi banyak calon-calon penulis yang sekarang sudah jadi penulis beneran. Yang saya sukai dari majalah anak-anak di atas, saya sudah menikmati honornya he he he.....

Setelah tersesat di SS ini, saya pelan-pelan mulai lagi membaca, agar bisa menulis dengan baik seperti pak Purnawan atau penulis SS lainnya, semoga tidak terlambat buat ngetop.maklum, kata hai hai sudah menopause ha ha ha ha ........

 

 

 

 

__________________

Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat

Purnawan Kristanto's picture

Omi

Saat saya bertemu dengannya di universitas, penulis cilik itu telah berubah menjadi dara cantik yang mewarisi sifat-sifat bapaknya: berambut keriting, kritis, dan pemberontak. Dia sudah menjadi perokok berat ketika itu. Setiap rapat redaksi pasti terselip sebatang roko di kedua jari lentiknya. Suatu malam dia kehabisan rokok  [biasanya dia menghisap rokok putih]. Dia menjelajahi sudut-sudut kota, namun hampir semua toko dan kios sudah tutup. Akhirnya menemukan kios rokok yang masih buka dan dia membeli 1 boz rokok. "Untuk persediaan kalau habis lagi," katanya.

Tulisan-tulsannya mulai bernada sinis dan skeptis, terutama terhadap rezim Orde Baru. Setelah dia mengikuti KKN dan mengerjakan skripsi, kami tidak pernah bertemu lagi. Dia membuat skripis yang menganalisis isi rubrik pojok di koran. Salah satunya rubrik Mang Usil di harian Kompas. Skipsinya ini kemudian diterbitkan dalam bentuk buku: "Ajnjing penjaga Pers." Setelah lulus, sepertinya dia menerjemahkan beberapa buku.

Ia menulis Anjing Penjaga (1996), Gegar Gender (2000), dan Kata Kunci (2001). Ia juga menulis kumpulan esai-esai sosial politik berbahasa Inggris dalam Planet Loco (2002), dan buku semiautobiografis berbahasa Inggris Dog Days Eve (2002).

Jauh sebelum itu, ia menulis kumpulan puisi Aku Ingin, Sajak-sajak Omi, Memori, Puisi Cinta, Sajak sebelum Tidur, dan beberapa antologi puisi bersama seperti Sembilu, Penyair Muda Indonesia, serta Risang Pawestri.

Sayang sekali, Tuhan memanggilnya terlalu cepat. Mungkin Tuhan sudah nggak kuat menahan hasrat-Nya untuk mendekap Omi.

***

Tidak ada kata terlambat untuk menulis. Saat yang tepat untuk menulis adalah "sekarang."  Jika kita selalu menggunakan kata "akan", kita tidak akan pernah sampai kepada angan-angan sebab "akan" itu bersifat kosong, sebab sesungguhnya "akan" itu tidak ada. Yang ada dan menjadi realitas adalah "sekarang."


__________________

------------

Communicating good news in good ways

Purnawan Kristanto's picture

Puisi Omi Intan Naomi

CONUNDRA WITH THE CORN FLAKES

taking a good long hard look

at my coffee cup

it's as if we just met;

a wild idea

welcomes in the day:

Is the pot's emptiness

or contents

meaningful to me?

Is possessing you

or letting go

getting it on?

Are loving

& hating guts

very far apart?

Is life or death the end?

Taking a good look

at my emotional apartment:

Is anybody there?

Sumber:http://www.thylazine.org/archives/thyla4/thyla4f.html

__________________

------------

Communicating good news in good ways

bintang seven's picture

ternyata

gak disangka jln hidup orang ya...gak diterima di sastra inggris dan jepang lalu coba umptn eh gagal pula...untung mas pur gak loncat dari gedung...eh bisa jadi penulis yg luar biasa...pak pur saya dah beli tuh 77 permainan asik waktu ada seminar leadership di menteng jkrta...harganya 22 rb perak...klo pesan lgs bisa diskon donk pak pur...heheheh...namanya usaha...

orang katanya hrs sungguh2 utk berusaha ke surga tp aku lain lagi aku ingin masuk neraka tapi sungguh aku tak bisa krn kesungguhan Kristus Yesus, itulah imanku by B7.

__________________

orang katanya hrs sungguh2 utk berusaha ke surga tp aku lain lagi aku ingin masuk neraka tapi sungguh aku tak bisa krn kesungguhan Kristus Yesus, itulah imanku by B7.

Purnawan Kristanto's picture

@BS: Detil

Dear BS,

Sesungguhnya ada detil yang terlewatkan tentang kegagalan UMPTN itu. Setelah gagal masuk Sastra Inggris dan Sastra Jepang, saya ikut UMPTN lagi tahun berikutnya. Sementara menunggu pengumuman, saya mendaftarkan diri ke UKDW. Saya sudah meniatkan bahwa saya harus kuliah pada tahun itu sekalipun di perguruan tinggi swasta.

Tetapi apa yang terjadi? Saya ditolak oleh UKDW. Bayangkan bagaimana perasaan saya saat itu! Di universitas swasta saja tidal diterima, apakah saya masih punya harapan diterima di PTN. Saya lalu mendaftarkan lagi ke perguruan tinggi yang "kelas"-nya di bawah UKDW. Alhamdulillah diterima. Saya harus membayar uang masuk yang cukup besar untuk ukuran pegawai negeri seperti bapak dan ibu saya. Maka saya menunda pembayaran itu sambil menunggu pengumuman UMPTN.

Sehari sebelum pengumuman, saya mendapat kiriman surat dari Universitas Terbuka. Bunyinya kira-kira begini: "Anda tidak perlu kecewa karena TIDAK DITERIMA di Perguruan Tinggi Negeri. Anda masih bisa kuliah di Universitas Negeri, yaitu di Universitas Terbuka."

Bayangkan, dengan rangkaian peristiwa ini, apakah tersisa asa untuk kuliah di Perguruan Tinggi Negeri? Keesokan harinya, pagi-pagi benar, orang-orang berebut koran pagi yang dijual mahal untuk melihat hasil pengumunan. Saya tidak bergairah mencari nama saya. Saya mendatangi teman saya yang juga ikut UMPTN.

"Apakah kamu diterima?" tanya saya pada teman.

"Tidak," jawabnya lemas sambil menyerahkan koran pada saya.

Dengan enggan saya menelusuri bagian UGM, kolom Fisipol, jurusan ilmu Komunikasi. Saya temukan nama: "Purnawan Kristanto", di sana. Tak percaya dengan penglihatan, saya lalu mencocokkan nomor ujian. Ternyata cocok.

"Apakah kamu diterima?" tanya teman penasaran.

"Diterima," jawab saya datar. Saya sengaja tidak berlebihan merayakannya untuk menjaga perasaan teman saya yang tidak diterima.

****

Soal buku, kalau membeli lewat saya, sebenarnya ada diskon 30 % [atau 40% untuk buku terbitan Gloria]. Namun, Anda masih dibebani ongkos kirim.Jadi kalau dihitung-hitung, jatuhnya juga sama saja. Bedanya, kalau pesan buku lewat saya, bisa mendapat bonus tanda tangan pengarangnya. Siapa tahu 100 tahun lagi atau kalau saya jadi presiden buku itu lalu jadi incaran kolektor karena bertanda tangan orang ngetop ha..ha..ha..

 


__________________

------------

Communicating good news in good ways

bintang seven's picture

mas pur

wow...luar biasa mas pur...waktu nunggu pengumuman pasti jantung kayak lagi ada perang irak iran tuh....kayaknya ugm akan kehilangan putra terbaiknya deh klo mas pur gak diterima...cuma kok segitu ngototnya masuk jur ilmu komunikasi...dorongan ortu ato emang cita2 terpendam...ato ingin membangun dunia lwt ilmu komunikasi?

mas pur ntar pm deh nomernyya,....saya termasuk orang yg royal dlm belanja buku...di jkt sering ke momentum matraman....sering jg kejogja ada om saya disana dpt org jogja tinggal di belakang pasar condong catur...gw sering main ke andi offset dan narwastu tuh kan deket2an tuh.....mas pur kadang jalan hidup kita emang gak mulus ya...pengin kuliah gak selamanya spt yg kita inginkan byk temen gw yg stress krn gak masuk ui dulu....sukses bukan soal tempat kuliah tp soal keinginan/hasrat utk belajar....dan hasrat utk belajar bisa timbul klo orang byk praktek dan melihat....bener gak? contohnya gw setelah dagang byk beli buku2 management dan teori pasar krn merasa butuh dan tertarik....da referensi mas pur?

orang katanya hrs sungguh2 utk berusaha ke surga tp aku lain lagi aku ingin masuk neraka tapi sungguh aku tak bisa krn kesungguhan Kristus Yesus, itulah imanku by B7.

__________________

orang katanya hrs sungguh2 utk berusaha ke surga tp aku lain lagi aku ingin masuk neraka tapi sungguh aku tak bisa krn kesungguhan Kristus Yesus, itulah imanku by B7.

Purnawan Kristanto's picture

Makam Omi Intan Naomi

 

God's garden is vast, there's room for all kinds of flowers including cheap plastic ones (Carlos Santana)
Lokasi: Astana Ngendo Kerten Banyudono Boyolali

Makam Omi

 
 

All About Writings

__________________

------------

Communicating good news in good ways