Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Arti dari Natal

ICCP's picture

UMAT Kristiani sejagat merayakan hari Natal, kelahiran Yesus Kristus. Perayaan Natal sebagai penghayatan unsur hidup keberagamaan tidak hanya merupakan ungkapan iman dan cinta bakti kepada Allah secara vertikal, tetapi juga perwujudan iman dan cinta kasih kepada sesama secara horizontal. Cinta kepada Allah mesti berimbang dengan cinta kasih kepada sesama, terutama yang miskin dan menderita.

Makin jauh rentang waktu perayaan Natal dari peristiwa yang dirayakan, makin jauh pula pesan yang ditangkap dan sebenarnya menjadi inti Natal, yakni solidaritas Allah dalam kemiskinan manusia dan makna horizontalnya dalam kehidupan bersama. Akibatnya, perayaan Natal dirasuki mentalitas "kelas bersenang-senang" yang aristokratis nan hedonis-komersialis-konsumeristis jauh dari hakikat Natal, kesederhanaan dan keprihatinan. Dalam konteks bangsa Indonesia yang sedang diempas krisis multidimensional, kesejatian makna Natal dalam solidaritas Allah dan makna horizontalnya perlu ditegaskan kembali.

Historisitas Natal

Albert Nolan, OP dalam Jesus Before Christianity, The Gospel of Liberation (1991:20), menegaskan, bila kita membaca keempat Injil dengan teliti dan menggunakan sebaik-baiknya semua informasi yang diperoleh mengenai keadaan zaman, kita dapat menggali banyak informasi historis mengenai Yesus. Bagaimana pun, Injil ditulis berdasarkan sumber-sumber yang berasal dari Yesus dan zaman-Nya.

Secara historis, kelahiran Yesus tidak ditandai gerlap cahaya lampu warnawarni, tarian, dan nyanyian duniawi, apalagi pesta dan sorak-sorai. Yesus lahir dalam ketidakpantasan, kesederhanaan, dan kemiskinan. Gambaran biblis peristiwa kelahiran Yesus sebagaimana direnungkan St Lukas (2:1-7) secara horizontal (manusiawi) amat mengedepankan keadaan yang serba darurat, melarat, dan kesrakat.

Keadaan darurat, sebab kelahiran Yesus terjadi dalam perjalanan paksa secara politis atas perintah Kaisar Gaius Yulius Caesar Octavianus-sering disebut Kaisar Agustus-yang menjadi Kaisar Romawi tahun 30 SM hingga 14 M. Kaisar Agustus mengeluarkan perintah sensus penduduk yang secara politis erat dengan pajak yang amat menindas. Atas perintah paksa itu, Yusuf dan istrinya, Maria, harus pergi dari Nazaret di Galilea ke Betlehem di Yudea, padahal Maria sedang hamil tua. Dalam perjalanan itulah Yesus lahir.

Yesus lahir dalam keadaan melarat, kesrakat, sebab dalam perjalanan paksa itu, Yusuf dan Maria tidak mendapatkan tempat penginapan yang pantas dan layak. Maria melahirkan Yesus. Bayi itu dibungkus dengan kain lampin (gombal amoh) dan dibaringkan dalam palungan, tempat makanan binatang! Kisah biblis inilah yang kini memberi inspirasi mengenai goa Natal dengan segala unsurnya.

Kisah kelahiran Yesus dalam keadaan darurat, melarat, dan kesrakat itu mencerminkan kehidupan masyarakat yang dikuasai kemiskinan, ketertindasan, dan penderitaan akibat penjajahan Romawi. Dalam konteks sensus penduduk sebagai perintah paksa demi penarikan pajak, perjalanan "semua orang mendaftarkan diri, masing-masing di kotanya sendiri" (Lukas 2:3) kurang lebih sama dengan keadaan darurat pengungsian dan penggusuran. Begitulah, Yesus memberi dasar makna horizontal Natal agar para pengikut-Nya mengembangkan cinta kepada orang-orang yang tengah menderita; kalau sekarang, mereka adalah yang kesepian di pengungsian, masyarakat tertindas yang cemas dan waswas, warga tergusur yang tak punya tempat tinggal, dan rakyat miskin akibat penjajahan, maupun golongan yang terpinggirkan.

Wujud "solidaritas" Allah

Bahwa Natal asli terjadi dalam keadaan amat darurat, melarat, dan kesrakat, tentulah bukan tanpa maksud. Secara teologis, itulah rencana dan kehendak Allah yang hendak bersikap solider dengan umat manusia yang tertindas, miskin, dan dibelenggu kekuasaan duniawi. Kehendak ini menjadi kian tegas justru dalam sikap dan pilihan hidup Yesus di kemudian hari sebagai utusan Allah kepada umat manusia pada zaman-Nya.

Yesus menolak menjadi bagian dari sistem yang menindas. Yesus memilih menjadi bagian dari rakyat yang tertindas. Dalam diri Yesus, rakyat yang tertindas mengalami, bahkan memiliki Allah yang mengambil perjuangan dari kaum miskin sebagai perjuangan-Nya sendiri sehingga perjuangan itu menjadi perjuangan Ilahi demi kaum miskin; perjuangan yang diadakan Allah untuk melawan kaum sombong, para penguasa dan golongan orang kaya yang tak mau tahu kaum papa.

Sebenarnya, dalam kelahiran-Nya, Yesus telah menampilkan perhatian Allah kepada manusia yang miskin, sengsara, dan tertindas oleh kekuasaan duniawi. Maka, dalam kelahiran-Nya, tampak solidaritas Allah terhadap kemiskinan manusia, baik dalam tataran ekonomis, sosial, psikis, bahkan spiritual. Menurut Aloysius Pieris SJ dalam An Asian Theology of Liberation (1996:88) Yesus sengaja mengambil jalan kemiskinan, bukan sebagai protes negatif atau sekadar kesetiakawanan pasif dengan kaum miskin, tetapi sebagai strategi aktif untuk menghadirkan solidaritas Allah kepada manusia dan dengannya menegaskan makna horizontal tugas profetik-Nya.

Perutusan profetik-Nya adalah perutusan dari, oleh, dan untuk kaum miskin. Karena itu, Yesus tidak tertarik ideologi sempit gerakan politik Zelotisme. Dia juga tidak berminat pada puritanisme kaum Esseni yang sektarian atau spiritualitas egosentrik-puas diri kaum Farisi, apalagi semangat hedonistik aristokratis kaum Saduki. Demi tugas perutusan profetik-Nya, Yesus menghidupi tradisi asketisme profetik yang ditampilkan Yohanes Pembaptis dan mengembangkan solidaritas-liberatif, membela kaum miskin dan tertindas.

__________________

Pergilah keseluruh dunia, beritakanlah injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan di baptisakan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan di hukum (Markus 16:15-16)

Pengunjung's picture

hmmm tingkat tinggi neh

hmmm tingkat tinggi neh istilah2nya :D