Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Astaga, Tuhan mengejutkan saya.

Purnomo's picture

Bagi saya Thanksgiving Day tahun ini akan menambah panjang deretan tanggal untuk dikenang. Satu tanggal di mana Tuhan menyediakan sebidang ladang pelayanan baru untuk menampung luapan rasa syukur anak-anak Tuhan yang mau berbagi kepada sesamanya. Ladang di mana kami dimungkinkan menjadi tanda dan sarana akan kehadiran, kuasa dan kasih Allah bagi orang lain.

 
Minggu 24-Mei-2009 usai ibadah saya melihat di halaman gereja seseorang melambaikan tangan ke arah saya. Saya mendekatinya.
“Ada apa?” tanya saya.
“Aku kasi tahu, tapi jangan bilang siapa-siapa. Roi setelah terima rapot mau tinggal di desa pamannya.” Rumah teman saya ini bersebelahan dengan tempat tinggal Roi (Untuk jelasnya lihat Anak itu bernama Roi).
“Aku sudah tahu dari Kepseknya waktu melunasi SPP Roi bulan Mei dan Juni. Karena anak itu bersedia keluar dari sekolah, nilai rapotnya akan dikatrol supaya ia naik kelas,” kata saya.
 
“Aku sekarang bebas tidak repot menyediakan makan untuknya.”
“Bagaimana kalau uang nasinya itu kamu berikan kepadaku?”
“Maksudmu?”
 
“Begini. Sekolah Roi itu perlu ditolong. Anak-anaknya banyak yang miskin sehingga SPP-nya banyak yang macet. Akibatnya gaji guru tidak bisa dinaikkan.”
“Malah gurunya sering terlambat menerima gaji,” ia menambahkan.
 
“Nah, terbukti kamu lebih tahu daripada aku. Untuk menolongnya, aku sudah bilang kepada Kepseknya untuk menggratiskan semua anak kelas 6 pada tahun ajaran baru. Tapi itu nanti. Untuk semester satu aku akan ambil SPP 4 anak terpandai dan 3 anak termiskin dulu. SPP-nya bisa ditekan 50 ribu rupiah. Untuk biayanya kita patungan. Kamu mau ambil 1 anak atau 2 anak?” langsung saya menodongnya dengan taktik yes-or-yes alternative.
 
“Nanti dulu, beri aku waktu untuk berpikir,” jawab Rudi.
Kayak enggak ada kerjaan saja sampai 50 ribu setiap bulan masih sempat-sempatnya dipikir. Sudah ya, kamu ambil satu saja. Bulan Juli nanti uangnya aku ambil,” kata saya sambil melangkah pergi meninggalkannya tanpa menunggu jawabannya.
 
Rudi bukan orang kaya. Ia freelance salesman, punya mobil, punya sepeda motor, punya rumah. Istrinya punya penghasilan sendiri. Saya taksir setidaknya ia punya penghasilan 3 juta rupiah sebulan. Jika ia tidak rela berderma 50 ribu sebulan, apakah saya boleh menyebutnya orang pelit?
 
Kita sering bergegas memberi label negatif berdasarkan performa negatif seseorang yang kita lihat dalam kurun waktu teramat singkat. Di dalam gereja kelompok manusia yang paling cepat ditempeli label jelek adalah orang kaya. Orang Kristen kaya hanya boleh disebut orang baik bila ia selalu menolong orang tanpa banyak bertanya; mau meminjamkan uangnya tanpa bunga dan tidak mengomel bila uangnya tidak kembali; mau berderma kepada setiap orang yang datang kepadanya.
 
Rudi orang pelit? Saya tidak tahu dan tidak ingin tahu. Saya hanya meminta uangnya. Saya tidak menodongnya karena memberinya waktu untuk berpikir. Kalau nanti ia tidak menemui saya untuk memenuhi permintaan saya, saya juga tidak akan mencarinya untuk meminta uangnya. Jangankan kepada Rudi, kepada para donatur yang menyalurkan donasinya melalui saya juga tidak pernah saya tagih bila mereka tidak memberikan uang kepada saya. Saya tidak pernah mau menerima uang atas dasar sebuah keterpaksaan atau ketergesaan atau semacam “janji iman” walaupun karena prinsip ini saya harus sering nombok.
– o –
Suatu ketika seorang mantan penatua mengajak saya bicara 4 mata di sebuah ruang dalam kawasan gereja.
“Tolongi aku,” katanya membuka pembicaraan. “Aku tahu kamu melakukan kegiatan diakonia di luar organisasi. Aku juga. Aku mau kamu mengambil alih satu orang yang aku santuni kuliahnya. Tugasmu hanya menjadi perantara saja. Uangnya dari aku dan kamu yang memberikan kepadanya.”
 
Memang saya kadang mendapat job seperti itu. Seorang dermawan menyerahkan sejumlah uang kepada saya dan menjelaskan kapan dan kepada siapa uang itu harus saya serahkan. Pernah juga saya disuruh mencari pelajar SMA dengan kriteria tertentu untuk diangkat menjadi anak asuh seseorang. Di lain saat seorang nenek di Jakarta yang hidup sendiri minta dicarikan seorang gadis lulusan SMA dari Semarang untuk menemaninya. Sebagai imbalannya ia akan membiayai kuliah gadis ini sampai lulus. Permintaannya sangat mendesak karena gadis yang saat itu menemaninya sudah selesai kuliah dan akan segera bekerja. Itulah sebagian job des saya sebagai calo berkat tanpa memungut fee karena saya telah prepaid by my Heavenly Father.
 
“Siapa namanya?” tanya saya.
Begitu ia menyebutkan sebuah nama saya tertawa. “No way! Aku tidak mau berurusan dengan orang itu. Repot dan menjengkelkan! Biar aku hanya penyalur, aku tidak mau repot dan jengkel.”
 
Jangan mengira memberi itu hanya memberi kesenangan saja kepada diri si pemberi. Seorang guru Sekolah Minggu merekomendasikan seorang muridnya ke departemen beasiswa tetapi ditolak karena anak ini tingkat presensinya di Sekolah Minggu rendah sekali. Dia menghubungi saya. Saya juga menolak karena saya belum punya donatur baru. Lalu saya membujuknya untuk menyantuni anak itu dengan uangnya sendiri. Dia menuruti anjuran saya. Dua bulan kemudian dia bercerita orangtuanya sekarang memaksanya melunasi rekening listriknya. Kalau dia tidak mau membantu, ia akan melarang anaknya ke Sekolah Minggu. Anjuran saya kali ini, “Jitak kepala orangtuanya!” Memberi ternyata juga menerbitkan kejengkelan bila kita diperas atau dikadali oleh orang yang kita tolong.
 
Mantan penatua itu melanjutkan curhatnya. “Maksudku juga untuk mengurangi kerepotan dan kejengkelanku. Mereka yang butuh dana pagi-pagi sudah stand by di teras rumahku. Kalau kebetulan pagi itu aku tidak harus cepat-cepat ke kantor, tidak masalah. Tapi jadi mengganggu kalau kebetulan aku harus segera pergi bekerja.”
 
“Suruh mereka datang pada tanggal dan waktu yang kamu tentukan.”
“Kalau kebutuhannya emergency bagaimana? Misalnya untuk beli obat atau mau masuk rumah sakit?”
“Salahmu sendiri mau-maunya diantri orang.”
“Aku tidak keberatan membantu mereka. Setiap bulan paling tidak untuk mereka aku mengeluarkan uang 5 juta. Tetapi aku keberatan waktu kerjaku terganggu.”
 
Sejenak saya terpana. Saya tidak menyangka orang kaya yang di gereja dikenal susah dimintai sumbangan ini ternyata diam-diam melakukan kegiatan diakonia pribadi dalam jumlah besar. Melihat saya terdiam ia berkata, “Jadi, mau ya bantu aku. Satu orang saja.”
Saya tertawa. “Sori, aku tidak bisa. Bagi anggota Konspirasi Diaken Bayangan orang itu sudah masuk black hole,” jawab saya menutup pembicaraan, “karena walau miskin orang itu pantang makan nasi pecel. Prinsip hidupnya, biar melarat tetap berkilap. Itu membuat aku tidak sanggup melihatnya. Silau!”
 
Dan siang ini ketika saya bergegas menuju ruang lomba Retelling Bible Stories yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Sekolah Minggu, saya melihatnya kembali. Sekarang gantian saya yang menemuinya karena saya ingin ia melakukan sesuatu. Saya bercerita kepadanya ada panti asuhan Kristen yang kesulitan melunasi SPP anak-anaknya di sebuah sekolah Kristen.
 
“Kamu punya akses di dua lembaga itu. Kamu kenal baik key persons di lembaga pendidikan Kristen itu. Kalau memang SPP-nya tidak bisa dikurangi, kamu cari orang-orang Kristen yang mau menjadi sponsor membayar separoh SPP mereka. Jumlah anaknya 42 orang. Masa kamu tidak mampu mencari beberapa donatur kelas kakap di antara teman-temanmu? Aku saja sedang merencanakan menggratiskan SPP seluruh murid di sebuah SD Kristen yang berjumlah 104 anak. Kalau aku menanggung 1 kelas berarti masih ada 5 kelas tersisa. Aku yakin bisa mencari di gereja ini 5 orang yang mau menanggung 5 kelas itu. Sudah ya, kamu tolongi panti asuhan itu.”
 
Baru empat langkah saya meninggalkannya, ia memanggil nama saya. Saya menoleh, “Ada apa?”
“Kalau proyekmu sudah jalan, kabari aku. Aku ambil 1 kelas.”
Astaga, orang ini memang senang bikin kejutan. Saya mengisahkan rencana sekolah gratis bukan untuk memintanya ikut serta karena saya sudah tahu tanggungannya besar. Saya hanya mengompori semangatnya untuk membantu panti asuhan itu. Tapi apa boleh buat, masa saya menolak sebuah pemberian?
 
Minggu 31-Mei-2009 Thanksgiving Day.Saya menemui Rudi dan mengajaknya duduk di pojok kantin gereja.
“Rud, aku mau melanjutkan bicaraku Minggu lalu. Kamu mau ikut jadi sponsor atau tidak itu tidak penting karena aku tidak lagi dipusingkan masalah dana. Aku lebih membutuhkan tenagamu.”
 
Saya tidak berbohong tentang dana walau tidak menceritakannya. Dana yang tersedia sudah cukup untuk membebaskan SPP 2 kelas padahal saya berencana untuk 1 kelas dulu. Dalam mengerjakan sebuah proyek saya selalu mulai dengan porsi kecil agar lebih mudah mengevaluasi strategi yang saya terapkan dan tidak menimbulkan kesulitan berarti bila strateginya harus dirubah. Satu kelas diambil oleh mantan penatua. Setengah kelas saya ambil. Setengahnya yang lain untuk dijual “eceran” kepada teman-teman yang berdomisili di sekitar sekolah ini.
 
“Begini, Rud,” saya melanjutkan. “Aku tidak tahu apakah proyek ini berjalan untuk waktu lama. Bisa saja berhenti karena para sponsor membelokkan dananya ke proyek lain yang lebih penting. Atau, karena Kepseknya diganti dan kita masih belum tahu dedikasi Kepsek yang baru. Karena itu aku memilahnya menjadi 2 kegiatan untuk pengamanannya. Bahasa lugasnya, untuk lebih mudah melarikan diri kalau ada gempa bumi.”
 
“Bagian pertama adalah mengambil alih SPP murid yang miskin. Ini untuk mengurangi defisit kas sekolah agar penggajian gurunya tidak terganggu. Syukur kalau dengan makin sedikitnya SPP tidak terbayar gaji mereka bisa naik walau hanya 100 ribu per orang. Bagian ini aku yang mengurus dengan menyetorkan uangnya kepada Kepsek dan kemudian menyerahkan fotokopi pelunasannya kepada orangtua yang bersangkutan. Untuk semester depan, aku ambil 3 anak kelas 6 dan 3 anak kelas 5. Sebelum pembayaran pertama, aku akan mendatangi rumah anak-anak ini untuk melihat apa betul mereka layak dibantu. Selain itu juga untuk memberitahu bahwa kegiatan ini dilakukan secara pribadi, tidak mewakili sekolah ataupun gereja kita agar mereka tidak menuntut 2 lembaga ini bila bantuan dihentikan.”
 
“Bagian kedua adalah mengambil alih SPP murid yang pandai. Ini untuk memotivasi anak dan orangtuanya. Aku ambil 4 anak kelas 6 dan 4 anak kelas 5. Kamu yang mengurusinya. Aku akan mengunjungi rumah mereka dan memberitahu adanya santunan ini. Aku akan meminta mereka mengambil uangnya di rumahmu dengan menyerahkan fotokopi bukti pelunasan SPP-nya. Setiap awal bulan aku akan mengirimi kamu uang dan perlengkapan administrasinya. Rumahmu dekat dengan sekolah ini sehingga tidak merepotkan orangtuanya. Lagipula dengan mereka ke rumahmu, kamu bisa leluasa menanyai mereka apakah selain SPP mereka dikenai pungutan lain. Kalau aku menyerahkan dananya langsung ke sekolah, bisa saja tanpa sepengetahuanku kartu SPP mereka lenyap tetapi muncul SPP dalam tanda petik. Misalnya ‘tabungan wajib bulanan’ seperti di sekolah-sekolah lain yang mendadak saja punya koperasi sekolah setelah berlangganan BOS.”
 
“Lalu mengapa tidak aku lakukan sendiri? Aku bisa saja setiap bulan mendatangi 8 rumah mereka. Tetapi pengalamanku membuat aku malas. Sering waktu aku mengunjungi rumah jemaat untuk menyampaikan bantuan, tetangga-tetangganya ikut datang dan meminta sumbangan. Masih mending bila mintanya sopan. Sering bicaranya ngawur dan kasar. Dirimu sudah dikenal di kawasan tempat tinggalmu. Kamu kenal baik Ketua-ketua RT, RW juga preman di daerah itu. Jadi tanpa kesediaanmu, aku tidak tahu apakah aku bisa menyantuni anak-anak yang berprestasi ini. Bagaimana? Kamu bisa membantu?”
“Tidak masalah. Aku bisa.”
 
“Terima kasih. Dengan adanya kamu yang mengenal mereka, nanti kita bisa memperluas pelayanan ini ke bantuan pengobatan. Bila ada anak berprestasi yang sakit, kamu bawa ke poliklinik. Kamu bayari dulu ongkosnya, nanti aku ganti.”
“Bagus. Itu aku setuju banget.”
 
“Aku sudah bilang kepada Kepsek nantinya semua anak kelas 6 tidak bayar SPP. Ini bisa untuk promosi sekolahnya agar jumlah muridnya tidak terus menyusut. Setelah bayar 5 tahun, pada tahun ke-6 mereka bebas SPP. Dengan kegiatan kita ini berarti di kelas 6 ada 7 anak yang sudah bebas ditambah 1 anak yang ditanggung oleh Yayasan Compassion. Saat ini ada 14 anak di kelas 5. Kalau mereka naik kelas semua, berarti masih ada 6 anak yang belum bebas SPP. Pada akhir semester satu, aku akan meminta fotokopi rapot mereka. Berdasarkan nilai prestasinya mereka akan mengambil kembali SPP yang telah mereka bayar selama 6 bulan di rumahmu. Ada yang penuh 100% ada yang sebagian saja. Bila tidak ada dampak negatipnya, SPP-nya bisa dipertahankan pada angka 50 ribu dan tidak ada anak yang perlu diantar ke poliklinik sehingga dananya cukup, pengembalian SPP ini juga akan aku berikan kepada anak-anak kelas 5. Ada usulan lain?”
 
“Ada!”
“Apa?”
“Boleh aku ikut menyumbang 500 ribu rupiah setiap bulan?”
Astaga, Tuhan kembali mengejutkan saya. Minggu lalu mulutnya melompong karena kaget saya todong 50 ribu rupiah. Sekarang malah menyodorkan 10 kali lipat tanpa diminta. Ya gantian deh, biarlah kini mulut saya yang menganga lebar.
 
Bagi saya Thanksgiving Day tahun ini akan menambah panjang deretan tanggal untuk dikenang. Satu tanggal di mana Tuhan menyediakan sebidang ladang pelayanan baru untuk menampung luapan rasa syukur anak-anak Tuhan yang mau berbagi kepada sesamanya. Ladang di mana kami dimungkinkan menjadi tanda dan sarana akan kehadiran, kuasa dan kasih Allah bagi orang lain.
 
(the end)
 
Catatan: semua nama dalam kisah ini telah disamarkan.
 
 
 
Serial Sekolah Gratis:
 
bagian ke-2: Anak itu bernama Roi.

bagian ke-5: Astaga, Tuhan mengejutkan saya.

 

joli's picture

@Purnomo.. ASTAGA..

Dear Purnomo..

Tulisan-tulisan anda :

 

       Bagus

 

        Memberi ide

 

Membuat Semangat

 

Lebih semangat lagi.. 


   Thanks Purnomo..

 

Purnomo's picture

Joli, thx untuk apresiasinya dan ada berita

di www.radarsemarang.com/metropolis/semarang/790-sukawi-bohong-bila-sekolah-kurang-dana.html - 30 serta www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/08/18/Berita_Utama-Jateng/krn.20080818.139832.id.html dan saya kutipkan sebagian di bawah ini.

 

Bertepatan dengan peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-63, Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip mencanangkan program pendidikan dasar gratis. Tak hanya sekolah gratis, Sukawi juga mencanangkan Semarang bebas dari anak usia sekolah yang tidak belajar.Hal itu ditegaskan saat orang nomor satu di Pemkot Semarang itu menjadi inspektur upacara HUT Kemerdekaan di halaman Balai Kota Semarang kemarin (17/8/2008).

 

Usai upacara kemarin, Sukawi memberikan penghargaan kepada 2 pengelola sekolah yang mampu menyelenggarakan sekolah gratis. Yakni KH Sobirin sebagai pengelola Sekolah Islam Futuhiyah Kudu dan Indrawati kepala SD Kuncup Melati (milik kelenteng Thay Kak Sie). Di kedua sekolah ini, uang dari APBN dan APBD tersebut bisa mencukupi penyelenggaraan pendidikan serta menggaji guru. ”Dengan demikian, tak ada alasan untuk tidak menjalankan program sekolah gratis,” tandas Sukawi.

 

Untuk tahu saja, jauh sebelum ada BOS sekolah Futuhiyah Kudu dan Kuncup Melati – tanpa dibantu uang APBN dan APBD –  sudah lama gratis. Saya tidak bermaksud membahas penggunaan anggaran itu.

 

Tetapi, 2 sekolah itu milik 2 komunitas non-Kristen. Kenyataan ini bagai menghidupkan kembali kisah Orang Samaria Yang Baik Hati di depan mata. Saya malu. Saya malu ingat ada anak-anak kita yang terpaksa belajar di rumah tetangga.

 

Salam.
joli's picture

lupa malu

Purnomo : Saya malu. Saya malu ingat ada anak-anak kita yang terpaksa belajar di rumah tetangga.

Jangan malu.. anak-anak kita belajar di rumah tetangga, itu juga adalah pelajaran untuk SALING,

Joli juga belajar di sekolah yang gratis selama SD, juga belajar agama2 yang lain, (agama Islam, n Katholik),   itu semua juga pelajaran seperti PPKN, pelajaran untuk SALING.  Ketika SMP masuk sekolah Kristen, juga di sana-lah bertemu cerita tentang Yesus. SMA hingga di Universitas.. balik lagi ke sekolah negeri milik pemerintah dengan subsidi.. semua-nya supaya bisa belajar untuk SALING.

Ditolong orang Samaria yang baik hati, tidak apa-apa.. itulah anugerah. Menolong dan menerima pertolongan, Menolong dan Ditolong adalah SENI.  Biar-lah kita melakukannya dengan wajar..

Ketika Mei 98,  rumah dan semua pakaian kami habis ikutan terbakar... di sekolah Clair, dibebaskan dari SPP selama setahun, selain itu Clair juga menerima satu kardus super mie, pakaian seragam dan pakaian sehari-hari.. bekas.. dari teman-teman-nya. Meski sebenarnya saya bisa belikan lagi yang baru, tetapi biarlah semua berlaku sebagaimana yang seharusnya..

Mengantar sekolah (waktu itu Clair Playgroup).. Ada temennya.. bilang he Clair.. itu baju ku kan,  yang kamu pakai.. cukupkah? Clair jawab, "cukup"..  Mamanya Clair ikutan nimbrung.. "thank you ya.. Monik.. " setelah itu terjadi interaksi yang indah mengharukan.. anak-anak.. nggak pernah pikir siapa dan apa itu orang Samaria..  yang pasti keduanya bersuka cita ber-lari-lari.. dan besoknya  masih ada beberapa kardus mainan dan boneka yang di bawa Clair pulang ke rumah dari teman-teman-nya..  Sampai sekarang baju Clair di almari hanya ada .. se-cukup-nya.. karena selalu ada kardus untuk di bagikan.. 

Purnomo.. biarlah anak-anak belajar di rumah tetangga.. kalau mau melakukan sesuatu,  beri aja bangku-bangku di kirim ke rumah tetangga untuk tempat belajar bersama..

Merenungkan kata "malu".. mencoba me-ingat-ingat.. kayaknya Joli lupa mengajarkan kata itu kepada Clair.. belum kepikir apa dampak dari lupa-nya Joli, ini..

Btw.. thanks untuk semua tulisan serial ini. sudah mulai praktekan di kantor-ku.. kapan-kapan tak critani yoo.

Purnomo's picture

Joli, Clair dan Purnomo tidak berbeda

dalam merasakan pengalaman dibantu Orang Samaria Yang Baik Hati. Tanpa pengalaman ini mungkin tidak mudah bagi saya untuk bisa berbagi dengan orang lain tanpa melihat warna kulit dan agamanya. Dalam kasus seperti ini, rasa malu tidak patut diberi tempat dalam diri kita yang berstatus yang terkapar. Pertolongan dari Tuhan kepada “orang Yahudi” sering datang dari “orang Samaria”.

 Yang ingin saya katakan adalah sepatutnya kita malu ketika status kita berubah menjadi mampu menolong tetapi membiarkan “sesama orang Yahudi” terkapar.

 Saya menunggu cerita Joli.

 Salam.

 

Evylia Hardy's picture

@Purnomo: terimakasih, sudah saya tautkan

Saya bersyukur rangkaian tulisan ini Pak Pur selesaikan dalam waktu yang cukup singkat. Terimakasih atas kesediaan Pak Pur berbagi ilmu dengan kami yang ada di sini.

Terimakasih juga karena Pak Pur sudah mengijikan artikel ini saya tautkan pada tulisan di blogspot ini. Memang tidak saya unggah di SS, sebab itu hanya secuil pelengkap dari apa yang telah Anda ungkap.

Saya menantikan tulisan Anda selanjutnya

eha

__________________

eha

Purnomo's picture

Eha, mengapa warisan itu tidak dibagikan di sini?

Takut dituduh sok? Memang itu resikonya. Tetapi bila dibagikan di sini pasti lebih banyak jumlah orang yang mendapatkan semangat untuk terus berkarya, atau menyalakan kembali semangat yang telah padam. Jadi positipnya lebih banyak daripada negatipnya. Hitungan bisnisnya, masih untung.

 Hanya, paragrap terakhirnya sebaiknya diamputasi agar lebih nyaman dibaca.

 Warisan yang Eha miliki tidak lagi sekedar memberi uang, tetapi telah ada 1 tingkat lebih tinggi, yaitu memberi diri.

 Menjiplak kalimat penutup komentar Eha, saya berkata “Saya menantikan warisan Anda.”

 Salam.

 

Evylia Hardy's picture

@Purnomo

Perkataan Pak Pur sangat benar, kepentingan pribadi saya amat tak sebanding dengan manfaat yang bisa dipetik oleh banyak pihak. Dianggap apa pun bolehlah, asalkan lebih banyak yang bisa memetik segi positifnya.

Beberapa menit yang lalu artikel itu sudah saya unggah di sini, Pak. Terima kasih banyak atas pertimbangannya.

eha

__________________

eha

Purnomo's picture

Anda mau warisan?

Klik di sini.

Rusdy's picture

@Purnomo: Yayasan Compassion

Pak Pur, punya pengalaman dengan yayasan Compassion ndak? Penasaran aja nih bagaimana mereka menyalurkan dana kepada anak-anak. Setahu saya mereka menggunakan gereja lokal dalam 'menyortir' siapa yang 'layak' dalam mendapatkan dana ini. Bagaimana menurut pengalaman Pak Pur (kalau ada)?

joli's picture

Penginjilan yang Mendarat

Pernyataan Misi Compassion :
"Sebagai Amanat Agung, Compassion hadir sebagai pembela anak, untuk membebaskan mereka dari kemiskinan Rohani, Ekonomi, Sosial dan Jasmani serta memampukan mereka menjadi orang Kristen dewasa yang mandiri dan bertanggung jawab"

Gereja saya salah satu Mitra dari Yayasan Compassion Indonesia. Suatu Yayasan international yang sangat Care dengan anak-anak. Misi sebagai amanat agung, sebagai pembela anak, di jalankan melalui program-program nya dengan sangat bagus dan pengawasan yang ketat. Selama bersama mereka.. inilah yang kami rasakan.. suatu penginjilan yang mendarat. Bukan hanya menolong anak melalui bea siswa, bayarin SPP sekolah, TETAPI berusaha membebaskan dari belenggu kemiskinan rohani, jasmani dan sosial. BUKAN hanya anaknya saja TETAPI berikut keluarga besarnya.

Memberi tambahan pelajaran, mendampingi anak dalam perkembangan sosio emosional nya, yang paling seruuu adalah.. ketika belajar menjadi ibu, kakak, bapak dari si anak.. kayak tukar nasib..

@Rusdi.. di Australia adakah Yayasan ini? boleh tuh Rus dipromosikan.. pertanggungan jawab dr yayasan Compassion.. sangat OK.. baik dari segi program maupun keuangannya..

@IIK.. ini yang Joli cerita-in di Semarang waktu kita kopdar kemarin..

 

 

Rusdy's picture

@Joli: Compassion

Ooo gereja Joli partner juga toh. Tul Jol, Australia memang salah satu negara donor untuk yayasan Compassion. Saya 'kebetulan' ada 3 anak dari 'Compassion', makanya penasaran nanya gimana pelaksanaannya di darat. Boleh denger-denger sih emang sangat bertanggung jawab, sip deh!

Purnomo's picture

Pertanyaan Rusdy sudah dijawab

oleh Joli. Thx Joli.

 Jika masih perlu informasi dari sisi lain tentang Compassion dan PPA (Pusat Pengembangan Anak)-nya, coba Mas Rusdy menanyakan kepada pemilik situs ini, www.obed_banget.byethost13.com karena ia alumni Compassion dan mungkin kemudian terlibat sebagai anggotanya.

 

Salam.

 

Rusdy's picture

@Pur & Jol: Thanks buat info

Trims buat infonya nih, juga buat linknya. Dari baca pengalamannya si obed (ini obed yang sama di SS bukan yah? :P), jadi memotivasi saya untuk menulis surat kepada anak asuh :). Padahal sudah diperingatkan oleh Compassion berkali-kali bahwa surat itu penting, tapi membaca dari pengalaman mereka sendiri, jadi lebih 'ngeh' nih :). Kesibukan seharusnya bukan menjadi alasan

joli's picture

@Rusdy n Punomo.. tutor n mentor

@Rusdy.. bukankah selalu ada surat cinta dari 3 anak untuk bapak Rusdy..  Rusdy, yayasan compassion adalah yayasan yang sangat serius dalam menangani anak-anak dan KELUARGAnya.. selalu mencari CARA untuk mengentaskan anak dan keluarganya dari kemiskinan rohani, jasmani n sosial.. 

Contoh, dulu untuk membantu pelajaran anak-anak, mereka menghadirakan para tutor (guru) untuk membantu pelajaran anak-anak.. ketika di evaluasi, meski anak meningkat nilai di sekolah tetapi "cara hidup" tetap sama dan tidak berbeda dengan lingkungan lama nya, maka setahun belakangan ada perubahan "CARA". Yang di perlukan anak bukan hanya tutor tetapi "mentor" sosok pendamping yang bisa menjadi teladan, menjadi ibu, bapak, kakak..

Jadilah sekarang anak-anak selain memiliki ortu asuh (sponsor) juga memiliki kakak2 pendamping yang siap menemani mempersiapkan masa depan..

 

@Purnomo.. thanks untuk link-nya