Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Batas Bahasaku adalah Batas Duniaku

anakpatirsa's picture

"Mengapa negara kita tidak semaju Malaysia?"

"Karena kita dijajah oleh bangsa yang salah!"

Petikan wawancara di atas kubaca di majalah Intisari sekitar 15 tahun lalu. Petikan ini diambil dari pembukaan wawancara majalah bulanan ini dengan seorang ahli ekonomi atau ahli bahasa - aku lupa yang mana. Maksud pernyataan ini adalah kenyataan bangsa yang menjajah kita bukan bangsa berbahasa Inggris membuat kita buta dengan bahasa Inggris dan harus mempelajarinya dari nol ketika bahasa ini menjadi bahasa internasional.

Pernyataan ini tidak pernah hilang dalam ingatanku, walaupun aku belum sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud, termasuk kesulitan untuk menerima kenyataan sebuah bahasa berperan bagi kemajuan suatu bangsa. Aku juga belum bisa menerima pernyataan yang mengatakan sebuah bangsa penjajah diangap lebih baik karena mewarisi sebuah bahasa yang digunakan secara luas di seluruh dunia.

Aku juga teringat dengan perkataan kakek kepada ayah waktu aku masih SMP. "Sekolah jaman sekarang tidak seperti sekolah jaman dulu," Kakek mengeluarkan pernyataan ini karena ingat dulu mereka belajar bahasa Belanda. Dan tidak tahu kalau ada pelajaran bahasa Inggris sekarang.

"Sekarang anak-anak juga belajar bahasa asing," jawab ayah kepada mertuanya. Mungkin karena merasa sebagai guru bahasa Inggris ia merasa perlu melakukan pembelaan diri, "sekarang bahasa Belanda tidak lagi digunakan karena bukan bahasa Internasional. Sekarang sekolah-sekolah belajar bahasa Inggris."

"Apakah anak sekolah sekarang bisa memakai bahasa Inggris untuk meminta api?" Tantang kakek. Ayah cukup bijaksana untuk tidak melayani perdebatan ini.

***

Beberapa bulan lalu seseorang menanyakan pendapatku tentang ungkapan "Batas bahasaku batas duniaku." Untuk pertama kali aku mendengar ungkapan ini di sebuah warung makan. Aku tidak bisa memberi komentar apa-apa selain berkata dalam hati kalau ungkapan ini ada benarnya. Waktu itu yang terlintas dalam pikiranku "batas bahasaku batas duniaku" berhubungan dengan berapa banyak bahasa yang aku kuasai.

Secara tidak sengaja aku melihat sebuah buku berjudul "Batas Bahasaku Batas Duniaku". Awalnya aku pikir buku ini khusus membahas ungkapan yang dikemukakan oleh Ludwig von Wittgenstein. Filsuf Jerman ini berkata "Die Grenzen meiner Sprache bedeuten die Grenzen meniner Welt". Sebuah ungkapan yang ternyata tidak hanya sekedar menyatakan betapa pentingnya menguasai bahasa asing.

Buku ini menyatakan kemampuan berpikir ditentukan oleh kemampuan berbahasa, semakin tinggi kemampuan menggunakan bahasa semakin tinggi kemampuan menggunakan pikiran. Dengan demikian orang yang kemampuan bahasanya terbatas, dunianya terbatas hanya pada apa yang dilihatnya melalui bahasanya yang terbatas itu. Begitu pula orang yang terbatas hanya pada satu bahasa, dunianya terbatas hanya seluas yang ada dalam bahasanya itu.

Aku pernah melihat yang namanya bahasa Tarzan, jadi aku tidak heran mendengar laporan adanya pertemuan yang berhasil walaupun para pesertanya yang datang dari beberapa negara menggunakan bahasanya masing-masing. Peserta dari Korea memakai bahasa Korea, yang dari Italia memakai bahasa Inggris dengan aksen aneh, sehingga akhirnya semua peserta, termasuk peserta dari negara lain merasa lebih nyaman menggunakan bahasanya masing-masing dalam presentasinya.

Pertemuan yang berlangsung di Jogja ini cukup berhasil, sehingga penulis laporan menyimpulkan "Batas bahasaku batas duniaku" hanya berlaku bila kita terlalu kaku. Si penulis melewatkan satu hal, peserta yang berkumpul adalah para ahli matematika yang sedang membahas matematika. Orang yang berkecimpung dalam dunia matematika pasti tahu matematika itu sendiri sebenarnya merupakan sebuah bahasa, bahasa universal.

Kompas edisi Jumat lalu mengangkat sebuah artikel tentang sekelompok pemuda Korea yang sedang mengajar bahasa Inggris serta Korea kepada sejumlah peserta kelompok belajar paket B dan C. Para pemuda ini kesulitan memilih kata bahasa Inggris yang tepat untuk menyampaikan maksudnya, walaupun hanya untuk mengajarkan menyanyi dan bermain angka dalam bahasa Inggris. Karena tidak tahu kata apa yang cocok, mereka akhirnya cuma tersenyum dan menggunakan bahasa asalnya. Akhirnya kelas ini menjadi sebuah kelas bahasa dengan bahasa pengantarnya bahasa Tarzan.

Tidak ada yang salah dengan bahasa Tarzan selama tujuan komunikasi itu tercapai. "Batas bahasaku batas duniaku" mungkin tidak berlaku, tetapi yang menjadi pertanyaan, mengapa begitu banyak bahasa, jika bahasa Tarzan bisa memenuhi semua tujuan komunikasi.

Sutan Takdir Alisjahbana berkata "Orang yang hanya menguasai bahasa Indonesia dewasa ini adalah seorang yang bodoh dibandingkan dengan seorang yang menguasai bahasa Inggris. Sebab dalam bahasa Indonesia dewasa ini, tidak ada buku-buku tentang ilmu dan kebudayaan dunia modern maupun perkembangan sejarah umat manusia.

Kebenaran perkataan ini kulihat ketika masih kuliah di Jogja. Kebetulan kampusku berdekatan dengan sebuah sekolah tinggi teologia, sehingga bisa melihat kebanyakan waktu dihabiskan oleh mahasiswa teologia hanya untuk membolak-balik kamus Inggris Indonesia. Bahkan tugas kuliah juga kebanyakan hanyalah tugas penerjemahan sehingga menjamurlah rental-rental komputer yang sekaligus menyediakan jasa penerjemahan.

Seseorang pernah berkata, "memang penting menguasai bahasa asing, tetapi harus diperhatikan bahwa menguasai bahasa nasional dengan baik juga sangat penting." Setuju! Betapa sering kita melihat orang yang mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris hanya untuk menyatakan "aku tidak ketinggalan jaman" atau "aku bisa bahasa Inggris."

Itulah salah satu kejelekkan dijajah oleh Belanda. Menguasai bahasa Inggris menjadi sebuah kebanggaan bahkan peningkatan status sosial. Pada saat bangsa lain menganggap bahasa Inggris sebagai sebuah kebutuhan dan tidak perlu dipakai untuk mengembungkan baju, kita masih seperti anak kecil miskin yang memamerkan ponsel mainan di tengah jalan.

"Baya-baya ulih hapa balaku apui," merupakan sebuah ungkapan bahasa daerahku, menggambarkan penguasaan bahasa yang pas-pasan. Pada jaman dulu nenek moyang kami tidak tahu cara membuat api (atau terlalu malas menggesek-gesekkan kayu kering). Api harus dipelihara, caranya setiap rumah (satu rumah dihuni oleh puluhan kepala keluarga) harus mempunyai persediaan api.

Persediaan api ini harus dijaga supaya tetap hidup siang dan malam. Karena satu dan lain hal, persediaan api ini bisa mati. Jika ini terjadi, salah satu penghuni rumah harus meminta api dari rumah atau bahkan kampung terdekat. Jadi ungkapan "baya-baya ulih hapa balaku apui" (artinya: hanya sekedar cukup untuk meminta api) sebenarnya secara kasar menggambarkan penguasaan bahasa yang hanya sekedar cukup untuk menjaga isi perut.

"Batas bahasaku batas duniaku" berlaku bagi orang yang menguasai bahasa hanya sekedar untuk meminta api. Bahasa yang terbatas membuatnya hidup hanya untuk menjaga isi perutnya jangan sampai kosong, tidak ada bedanya dengan masyarakat primitif yang harus menjaga persediaan api tetap menyala.

"Batas bahasaku batas duniaku" tidak berlaku jika kita tidak terlalu kaku. Benar! Terutama bagi orang yang menguasai bahasa hanya sekedar untuk meminta api."

"Batas bahasaku batas duniaku" bukan hanya sekedar berapa banyak bahasa yang bisa kita kuasai, tetapi berapa banyak kita menguasai sekaligus memahami sebuah bahasa termasuk bahasa nasional kita.

garamdunia's picture

Belajar Bahasa = Membuka Mata

Dari pengalaman saya, menguasai bahasa selain bahasa ibu, sangat membuka pikiran saya.

Maksud saya, ketika kita belajar bahasa asing (entah Belanda, atau Inggris), untuk menguasainya dengan baik, kita juga harus belajar kebudayaannya. Juga, banyak keteknisan dalam kebahasaan yang sangat menarik untuk dipelajari. Contoh: Bahasa Indonesia tidak memiliki struktur sekaya bahasa Inggris seperti past, present, future tense, dan banyak lainnya.

Analogi ke kehidupan kekristenan, terlalu sering dari kalangan kristen, mengutip ayat-ayat di Alkitab dan diterapkan di luar konteksnya. Padahal, jika kita membacanya lebih lanjut (terkadang harus meneliti konteks budayanya), terlalu sering bukan ini itu yang dimaksud.

Untung saja dalam membaca Alkitab kita tidak perlu kecakapan, hanya kerendahan hati. Tapi, pada saat yang sama, juga harus mengerti bahwa Alkitab adalah buku sejarah (yang harus dimengerti konteksnya), bukan seperti buku novel.

Catatan: Menurut saya pribadi, dijajah oleh Belanda belum tentu sebuah kekurangan. Maksudnya, jika bangsa Indonesia menjadi negara maju yang congkak, apakah itu lebih baik?

anakpatirsa's picture

Bahasa Mencerminkan Kebudayaan

Seorang pemuda jatuh cinta dengan seorang gadis di sebuah kampung daerah pedalaman, ia melakukan banyak cara untuk menarik perhatian gadis ini. Ia pikir salah satu cara menarik hati garis ini adalah mempelajari bahasanya. Setelah mempelajari bahasa daerah ini, ia tidak menemukan kata untuk ucapan terima kasih. Setelah bertanya kesana-kemari akhirnya ia tahu penduduk suku ini menganggap menolong orang lain sebagai sesuatu yang alami dan dimiliki secara naluri, sehngga orang tidak perlu mengharapkan terima kasih serta tidak perlu mengucapkan terima kasih. Sekarang ia tahu kenapa ada yang berkata "Suku ini tidak tahu berterima kasih karena tidak punya ungkapan terima kasih dalam bahasa daerahnya." Dan tahu ternyata pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar. Ketika akan menyatakan cintanya pada gadis ini, dalam bahasa yang baru dipelajarinya, ia tidak menemukan ungkapan yang tepat dalam bahasa ini. Ungkapan yang ada bukan "aku mencintai kamu" tetapi "aku menginginkan kamu". Suku ini hanya mengenal perjodohan sehingga tidak merasa perlu membuat ungkapan untuk menyatakan cinta, yang ada adalah ungkapan keinginan untuk memiliki dan menguasai. Si pemuda menyadari, dengan mempelajari sebuah bahasa, ia akhirnya mempelajari kebudayaan dan cara pikir penduduk sebuah suku. Akhirnya ia menyadari, bahasa ternyata mencerminkan kebudayaan.
hai hai's picture

Maaf, Sedang Belajar Menulis, Bukan Untuk Dikomentari

Saudara Anak partisa, mengeraskan hati dan mencari kambing hitam adalah langkah ke 6 dan ke 7 dari 7 langkah Iblis menggoda manusia. Mulut sumbing cermin dibelah. Si pincang mengeluh, jalan tak rata. Kedua pepatah itu nampaknya cocok untuk kondisi sistem pendidikan kita saat ini.  

Waktu saya sekolah dulu, pelajaran bahasa Inggris diajarkan sejak SMP, Sekolah Menengah Pertama, lalu diajarkan juga di SMA, Sekolah Menengah Atas, sekarang SMU, sekolah Menengah Uatas. Saya pernah mengadakan survey tentang hasil 6 tahun belajar bahasa Inggris di sekolah (SMP dan SMA/U). Hasilnya luar biasa, para lulusan SMA umumnya tidak bisa bahasa Inggris, benci bahasa Inggris dan benci guru bahasa Inggris. Bahkan banyak yang justru merasa bangga karena tidak bisa berbahasa Inggris, menurut mereka, itulah bukti nasionalisme mereka.

Ketika bercakap-cakap dengan teman-teman saya selalu menggunakan bahasa campur baur. Selain bahasa Indonesia, saya juga menggunakan bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Hokian dan bahasa Inggris, tergantung teman yang saya ajak ngobrol. Hingga saat ini, selain bahasa Indonesia, saya mampu mengerti keempat bahasa lainnya tersebut dengan baik. Kepada anak-anak yang telah belajar bahasa Inggris, saya selalu mengajak mereka berbicara dengan bahasa campuran antara bahasa Inggris dan Indonesia. Bahkan saya senantiasa mengatakan kepada mereka, bahwa itulah cara terbaik untuk belajar bahasa Inggris.

"Cara mudah belajar bahasa Inggris adalah, kalian harus berani menggunakannya tak peduli betapa sedikitpun kemampuan kalian. Begitu kalian mulai menggunakannya, maka kalian akan menyenanginya, begitu kalian menyenanginya, maka kalian akan terdorong untuk mencari kata-kata baru, karena sering menggunakannya, maka kalian tidak akan melupakannya, karena sering menggunakannya, kalian akan semakin ahli. Jangan marah kalau ada orang menuduh kalian sok, katakan pada para penuduh tersebut, bahwa itulah cara termudah untuk belajar bahasa Inggris, ajak mereka untuk melakukannya juga."

Kemampuan bahasa Inggris sangat berguna saat ini, sebab hampir semua buku terbaik di dunia ditulis dalam bahasa Inggris atau telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Namun, sistem pendidikan bahasa Inggris dalam dunia pendidikan di Indonesia benar-benar mengenaskan. Dalam sistem pendidikan di Indonesia, bahasa Inggris tidak diajarkan sebagai bahasa, tetapi diajarkan sebagai ilmu dari antah brantah. Sistem pengajaran bahasa Indonesia sama parahnya. Bayangkan, bahasa Indonesia yang kita gunakan setiap hari, ketika diajarkan oleh guru bahasa Indonesia, menjadi sebuah bahasa dari antah brantah.

Bahasa adalah cara untuk berkomunikasi antar sesama manusia. Bahasa harus diajarkan sebagai bentuk seni berkomunikasi, bukan sebagai ilmu dari antah brantah. Guru-guru bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris dan bahasa-bahasa lainnya, seharusnya menjadi guru-guru yang paling menyenangkan dan paling dihormati oleh murid-muridnya. Namun, saat ini, guru-guru bahasa justru menjadi guru-guru killer yang paling di takuti dan dibenci. Yang lebih parah, guru-guru bahasa justru bangga dengan ke-killer-an mereka.

Bahasa adalah ilmu paling penting di dunia ini. Melalui bahasalah ilmu pengetahuan manusia diakumulasikan. Bahasa menunjukkan bangsa. Pepatah itu benar 100%. Bahasa, semakin sering anda menggunakannya, maka semakin ahli anda menggunakannya. Begitupun dengan bahasa tulisan. Semakin sering anda menulis, semakin ahli anda menggunakannya. Semakin sering anda menulis, semakin banyak ide-ide akan muncul. Semakin sering anda menulis, semakin mudah bagi anda untuk menangkap makna tulisan-tulisan orang lain. Banyak teman-teman bertanya, bagaimana caranya mulai menulis? Cara mulai menulis adalah menulis. Menulislah seolah-olah anda sedang ngobrol dengan teman, menulislah seolah-olah anda sedang berdoa. Ketika menulis, jangan pikirkan kata-kata anda, jangan pikirkan tata bahasa anda, pikirkanlah hal yang anda tulis dan tuliskanlah hal yang anda pikirkan. Ketika anda telah mahir menuangkan pikiran anda dalam bentuk tulisannya, maka anda akan gemar menulis. Ketika anda mulai gemar menulis, maka secara otomatis anda akan gemar untuk mengoreksi tulisan-tulisan anda. Pada saat itu, belajar tata bahasa akan menjadi sebuah kegiatan yang sangat mengasykkan. Ketika anda menganggap kegiatan belajar tata bahasa adalah sebuah kegiatan yang sangat mengasykkan, maka anda akan terheran-heran, karena anda mudah sekali memahaminya.

Beberapa orang teman bertanya, bagaimana mulai menulis di sabdasace, namun takut dengan komentar teman-teman yang membacanya? Menulislah, lalu diakhir tulisan anda, tulislah kata-kata, "Maaf, sedang belajar menulis, bukan untuk dikomentari!"         

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

anakpatirsa's picture

Sedikit Demi Sedikit

Ketika belajar bahasa Inggris, saya membaca cerita-cerita berbahasa Inggris yang memang dirancang untuk orang yang sedang belajar bahasa Inggris, saya membacanya tanpa melihat kamus, hanya mencoba melihat arti kata itu berdasarkan konteksnya. Tantangan terbesar memang harus melawan keinginan untuk melihat kamus ketika menemukan kata yang tidak dimengerti. Cara ini akhirnya cukup efektif, saya menemukan menambah kosa kata bahasa Inggris tidak perlu menghafal. Sedangkan untuk belajar tata bahasa, saya mempelajarinya sambil lalu juga, kadang-kadang membaca buku-buku tata bahasa bahasa Inggris. Saya masih kuliah ketika mempelajari tata bahasa Inggris menggunakan buku pelajaran bahasa Inggris untuk SMP kelas I. Saya paling benci buku dengan judul "Menguasai Bahasa Inggris sistem 24 jam". Saya lebih suka seandainya ada buku berjudul "Belajar Bahasa Inggris 30 menit sehari untuk Seumur Hidup." Untuk mempelajari sebuah bahasa saya setuju dengan peribahasa "sedikit-demi sedikit akhirnya jadi bukit." Tetapi bukan berarti dengan menghafal lima kata satu hari, maka dalam setahun menjadi 365 x 5 kata. Tidak! Cara ini jarang berhasil. Sedikit demi sedikit bagi saya artinya saya tidak berharap bisa menguasai sebuah bahasa dalam 6 minggu dengan belajar 5 jam sehari.
Raissa Eka Fedora's picture

Anakpatirsa........

Benar tuh, jangan mencoba menghafal 5 kata.

But, walaupun membacanya mengerti, tantangan yang sebenarnya adalah mengucapkannya kembali.

Berbicara itu adalah kesulitan terbesar, kalau cuma mengerti teks sih, jadi orang bisu aja deh di luar negeri. Berhubung bahwa kosakata bahasa Inggris tersebut dibacanya lain dengan tulisannya. Merepotkan!

Karena bagiku Ia adalah lebih dari sahabat dan kekasih.

Salam manis, Raissa

__________________

Satu lagi pendapat seorang anak kecil yang tersasar ke dunia orang dewasa dan memberanikan pendapat.
-anak kecil berpendapat, didengarkah?-

anakpatirsa's picture

Belajar Mendengar Juga

Terima kasih Raissa, kamu benar. Dan bukan hanya mengucapkannya saja, tetapi juga kita harus belajar mendengar. Itulah yang mengecewakan dari beberapa stasion televisi yang tetap menggunakan sistem sulih suara. Dulu, kalau menonton televisi saya suka menutup teks terjemahannya, kadang-kadang kalau ternyata filmnya terlalu menarik, saya terpaksa melepaskas kertas yang dipakai untuk menutup teksnya.
Tengku A's picture

Realiti penggunaan bahasa Inggeris di Malaysia

Secara umumnya, rakyat Malaysia adalah sama seperti rakyat Indonesia. Mereka tidak akan menggunakan bahasa Inggeris jika keadaan tidak memerlukan seseorang itu berbahasa Inggeris. Contohnya, jikalau berbicara sesama teman, sudah tentulah bahasa kebangsaan digunakan. Sepanjang saya berada disekolah, tidak pernah sekalipun kami menggunakan bahasa Inggeris untuk berbicara bersama teman-teman. Jika ada pun, ianya hanyalah untuk tujuan berjenaka. Sebagai contoh, saya tidak pernah mendengar kawan saya berbahasa Inggeris. Tetapi pada suatu hari, dia terpaksa bertutur dalam bahasa Inggeris kerana orang yang dituturkan itu tidak pandai berbahasa kebangsaan. Saya berasa terkejut sekali kerana dia mampu berbahasa Inggeris sungguhpun saya tidak pernah mendengar teman saya itu berbahasa Inggeris.Peluang saya untuk berbahasa Inggeris juga adalah terhad. Dirumah, kami berbicara menggunakan bahasa kebangsaan. Disekolah, kami juga bertutur dalam bahasa kebangsaan.Apa yang membuatkan kami fasih berbahasa Inggeris kerana kami banyak menonton filem-filem berbahasa Inggeris.Kami juga banyak membaca bahan-bahan bacaan dalam bahasa Inggeris.Maka,kesimpulan yang menyatakan bahawa seseorang itu perlu bertutur dalam bahasa Inggeris untuk menjadi fasih adalah tidak benar.Yang paling penting ialah, kita hendaklah banyak mendengar dan juga membaca bacaan buku-buku berbahasa Inggeris.Jikalau anda semua menganggap bahawa standard pengajaran bahasa Inggeris di Malaysia adalah tinggi, itu juga tidak benar sama sekali.Pengajaran bahasa Inggeris di sekolah-sekolah Malaysia adalah pengajaran bahasa Inggeris yang mudah dan asas.Malah, didalam kelas bahasa Inggeris sekalipun kita tidak menggunakan bahasa Inggeris. Saya berpendapat, kefasihan rakyat Malaysia berbahasa Inggeris adalah kerana terdapat banyaknya bahan-bahan dalam bahasa Inggeris.