Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Cinta Memang Tidak Bisa Dimakan

anakpatirsa's picture

"Ada apa, Tuh?" tanyaku sambil menatapnya. Kami memanggilnya Tutuh, sesuai permintaannya waktu kecil. Tutuh kedengarannya manja dan mungil, katanya memaksa hampir dua puluh tahun lalu.

"Ada orang mati," jawabnya, "sudah berminggu-minggu membusuk. Kita kesana, ya? Tetapi aku makan dulu."

Kalau sedang berbicara, ia memang tidak pernah tahu kapan harus menarik nafas dan kapan menunggu tanggapan orang lain. Ini yang membuat kami cocok dan dekat. Kadang, aku melakukan hal yang sama.

"Ya, aku juga makan dulu," jawabku.

Aku juga tidak yakin masih punya selera makan bila sudah mencium bau mayat busuk, walaupun ragu membusuknya sudah berminggu-minggu. Kami sudah terbiasa dengan garam dan bumbu cerita.

Saat itu aku sedang duduk di anak tangga teratas, dari tadi berharap adik bungsuku ini segera pulang. Bertahun-tahun yang lalu, saat liburan, aku selalu melakukan hal yang sama: duduk di tangga, menunggu kedua adik kembarku pulang sekolah. Sekarang aku hanya bisa menunggu Mantuh, karena Nyai, saudara kembarnya masih sibuk dengan skripsinya di kota sana.

Aku senang saat melihat mukanya yang tampak kemerahan dan penuh semangat itu memasuki halaman rumah. Kadang ia pulang bermuka kusut dan kelelahan, tetapi itu tidak merusak kecantikannya. Ia cantik, tidak akan ada yang berani membantah kedua adik kembarnya memang cantik.

Ada sesuatu yang membuatnya begitu bersemangat. Sesuatu yang tidak biasa terjadi di sekolah. Penggemar Agatha Christie dan Michael Ballack ini pasti sudah tidak sabar bercerita. Biasanya sepulang sekolah ia selalu menceritakan apa yang terjadi di sekolah. Aku menyebutnya berdiskusi, tetapi ia berkata apa yang kami lakukan hanyalah bergosip.

Mungkin ia benar, tetapi aku tidak terlalu peduli. Aku senang bisa mendengar ceritanya, termasuk cerita tentang orang yang sama-sama kami kenal.

"Orangnya mati kenapa?" tanyaku saat kami sudah berhadapan di meja makan.

"Aku sedang makan!" jawabnya. Tetapi keinginan bercerita mengalah rasa jijik itu. Selama liburan, ia selalu bercerita.  Aku sendiri tidak punya pekerjaan apa-apa selain membongkar loteng.

"Tahu rumah yang dulu ditempati Mimin"? tanyanya.

Artinya ia sudah siap bercerita. Ini hanya kalimat pembuka, pertanyaan tanpa membutuhkan jawaban. Mimin teman sekelasku waktu SMP. Rumahnya seratus meter dari sekolah, ada sepasang kekasih yang hidup bersama sedang mengontraknya sekarang. Kampungku sudah maju, sudah mengenal kumpul kebo.

"Dulu aku sering main ke situ," jawabku.

Artinya, silahkan melanjutkan ceritanya.

"Sudah beberapa hari tercium bau busuk dari rumah itu," lanjutnya sambil memainkan nasi di piring. Aku bisa melihat sebuah pertempuran, antara keinginan bercerita dengan keinginan makan.

Dari caranya memainkan sendok, aku yakin pemenangnya adalah keinginan bercerita

"Aku juga ikut mencium bau busuknya setiap kali lewat di depan rumah itu. Baunya tidak enak!" lanjutnya.

Apa memang ada bau busuk yang enak?

Tidak kutanyakan, aku tidak ingin tambah merusak selera makannya, juga selera makanku sendiri.

"Kata orang, itu bau tikus busuk," lanjutnya, "tidak ada yang curiga itu bau mayat. Rumahnya terkunci. Orang pikir memang tidak ada orang di dalamnya, mereka pikir keduanya pulang kampung."

Aku hanya diam mendengarnya. Rasanya pernah ada mengatakan bau mayat jauh lebih busuk dari bau busuk apapun.

"Lama kelamaan orang-orang di situ tidak tahan lagi. Beberapa orang membuka paksa jendelanya untuk mencari dan membuang tikus busuknya," lanjutnya karena melihatku masih tertarik.

Ia tampak ragu memasukkan makanan itu ke mulut.

"Mereka kaget dan langsung  muntah-muntah ketika menemukan dua mayat yang sudah membusuk di kamar tidur."

Sekarang aku mengerti mengapa ia tidak jadi memasukkan makanan ke mulutnya.

"Aku sedang mengajar ketika ada yang berteriak 'ada mayat busuk'. Anak-anak langsung berhamburan keluar. Jadinya aku juga ikut keluar," katanya sambil menahan senyum.

Aku teringat kejadian beberapa tahun lalu. Kami berhamburan keluar ruang kuliah, meninggalkan dosen begitu saja begitu sebuah pesawat latih jatuh dekat Bandara Adi Sutjipto.

Ia melanjutkan, "Waktu aku sampai disana, polisi sudah memasang garis pembatas. Orang-orang sepertinya tidak tahu kegunaan garis itu. Banyak yang ikut masuk ke dalam rumah sambil menutup hidung. Aku sempat muntah ketika ingat beberapa hari ini ikut mencium bau busuknya."

Ia sama sekali tidak menyentuh nasinya. Sendok itu sudah kembali ke atas piring.

Aku jadi merasa sangat bersalah.

"Makan dulu," kataku menebus rasa bersalah itu.

"Selera makanku hilang," jawabnya sambil mengambil segelas air putih.

"Kalau nasinya tidak habis, kita tidak akan ke sana," ancamku.

Padahal aku sendiri tidak yakin mampu melaksanakan ancaman ini. Aku penasaran dan ingin ke sana. Dalam hati kecewa karena ia tidak mengirimiku SMS waktu melihat rumah itu. Kalau tahu, aku bisa ikut menontonnya tadi.

Kami tidak berkata apa-apa lagi sampai nasi habis.

"Polisi sibuk kesana kemari," katanya setelah dengan susah payah menghabiskan isi piringnya, "gaya mereka seperti detektif di televisi saja. Kata orang, keduanya mati kelaparan. Mungkin sudah beberapa hari tidak makan, tempat beras mereka sudah kosong. Mereka pasti malu ketahuan kehabisan beras."

"Kenapa malu?" tanyaku heran. Rasanya tidak masuk akal ada yang mati kelaparan di kampung sesederhana ini.

"Tidak tahu," sebuah jawaban khas adikku. Ia punya cara tersendiri untuk mengucapkannya. Artinya pertanyaanku tadi tidak penting dijawab.

Ia melanjutkan dengan analisa sendiri, "Mereka kebanyakan menonton film India, sehingga percaya cinta bisa mengalahkan segala-galanya."

"Makan itu cinta," hanya itu tanggapanku. Sebuah kalimat yang sering kudengar keluar dari mulut orang tua yang anak gadisnya kasmaran dengan pemuda pengangguran.

Pembicaraan berlanjut menjadi diskusi tentang cinta. Ia berkata, jika mencintai seseorang, ia pasti punya alasan untuk mencintai orang itu. Pasti bukan uang, tetapi ia percaya, cinta saja tidak akan cukup untuk menikah.

Aku setuju dengan pendapatnya.

"Dimana mayatnya sekarang?" tanyaku sambil bangkit mengambil kunci motor kakak yang selalu ditinggal di rumah selama aku liburan.

"Sudah dibawa ke kampung mereka," jawabnya sambil mendorong bahuku dari belakang. Kebiasaannya sejak kecil, main motor-motoran namanya.

"Jadi untuk apa kita kesana?" tanyaku heran.

Heran karena ia tadi begitu bersemangat.

"Melihat tempatnya," jawabnya santai, "bau busukya masih ada kok!"

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.

***

Ketika ingin menulis blog tentang cinta, aku teringat bahwa adikku pernah bercerita tentang orang yang mati kelaparan karena cinta. Kami sama-sama tahu, itu hanya cerita.

Waktu itu kami berbicara tentang cinta, terutama dalam hubungannya dengan uang. Aku bercerita kepadanya tentang Miss Jane Marple. Tokoh ciptaan Agatha Christie ini mengatakan, tidak menjadi masalah pria atau wanita matre mendapatkan orang kaya. Masalah baru muncul jika ia mendapat orang yang tidak punya apa-apa.

Itu baru bencana.

Adikku sudah membaca novelnya juga. Pembicaraan kami jadinya tidak hanya satu arah. Aku tahu ia bukanlah cewek matre, tetapi aku senang ia tidak jatuh cinta kepada pria yang berpeluang membuatnya mati kelaparan. Aku setuju dengan pernyataannya, "Uang memang bukan yang utama dalam pernikahan dan juga bukan tujuan utama untuk dikejar, tetapi cinta tidak bisa dimakan."

Aku ingin menulisnya, sehingga mengiriminya SMS. Memintanya menulis cerita itu. Tidak sampai sepuluh menit aku menerima SMS ini:

Ada spsng kkasih yg sdng ksmrn mmutuskn tuk hdp jauh dr org tua padhl blm mapan scra ekonomi.mrk kira cnta akn mngalahkn sgla2nya.tp tdk lma kmudian trcium bau busuk dr rumh itu. trnyata sdh bbrppa mnggu mrk gk pnya apa2 tuk dmakan.lupa aku.hayalkn sndri plus tmbh bumbu2nya.bkurang dosaku krn sdh tdk punya tmn untk menggosip lgi.

Zion--blog lokal kantor, Mei 2007

sihotang's picture

Terima Kasih

Saya suka cerpen-cerpen saudara,

terus berkarya, jadilah setingkat ayu utami, Ugoran Prasad, dan lain sebagainya.

Saya berharap segera melihat karya-karya saudara juga muncul di edisi minggu koran-koran nasional..

KEN's picture

@AP, Cinta itu...

Cinta memang bukan hanya cinta.

Saya mengerti maksud anda, tapi di dalam pikiran dan benak saya selama ini, saya seperti seorang pengembara yang mencari arti cinta yang sesungguhnya itu seperti apa?

Maka saya memberanikan diri untuk mengungkapkan jawaban bahwa cinta itu "SALING MENOLONG" dalam segala hal tanpa bergantung kepada siapapun, sekalipun orang tua, selain Allah saja dan bekerja sama dengan sepasang kekasih itu , anda mengerti maksud saya?

Cinta memang butuh uang, tapi cinta bukan mengandalkan uang, cinta wajib mengandalkan "CINTA/ALLAH " itu sendiri.

Berapa sulit untuk anda mengerti hal ini?

Kej. 2:18TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia."

 

 

>>>=GOD=LOVE=YOU=>>

         If Not Us, Who?

       If Not Now, When?

 

 

     * yuk, jangan asal ngeblog * 

____________________________

   * yuk, jangan asal comment *

isaacadam's picture

Kesian... Tentu pasangan kekasih itu masih terlalu muda..

 

Ada spsng kkasih yg sdng ksmrn mmutuskn tuk hdp jauh dr org tua padhl blm mapan scra ekonomi.mrk kira cnta akn mngalahkn sgla2nya.tp tdk lma kmudian trcium bau busuk dr rumh itu. trnyata sdh bbrppa mnggu mrk gk pnya apa2 tuk dmakan.

Cerita ini benar ya?

Kesian... Tentu pasangan kekasih itu masih terlalu muda..

Cinta itu tidak boleh dimakan.

Makan itu cinta.

Ada kebenarannya

 

__________________