Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Gereja Harus Minta Maaf

Purnomo's picture

              Kota kecil itu hanya berjarak 1 jam bermobil dari kota besar. Tetapi penduduknya sedikit, bahkan makin sedikit karena mereka berangsur-angsur pindah ke kota besar. Penyebabnya adalah kota ini terletak di atas perbukitan kapur yang gersang setelah hutan jati di sekitarnya habis ditebang. Tak ada penghasilan bagi penduduk yang tersisa kecuali panen padi setahun sekali karena sawahnya hanya mengandalkan air hujan. Kota itu terancam bangkrut dan lenyap dari peta negara.

             Tetapi seorang pengusaha melihat ada peluang membuat uang di kota itu. Maka ia menemui walikotanya membawa proposal “Menghidupkan kembali kota Anda”. Ia ingin mendirikan kasino di atas lahan 5000 meter persegi yang di atasnya akan didirikan bangunan 2 lantai. Kerjasama yang diminta adalah walikota membiayai pembebasan lahan itu dan meminjamkan gratis kepada Boss selama 10 tahun. Semua sarana penunjang seperti misalnya arena parkir, rumah makan, kedai-kedai kopi, home stay, pijat refleksi maupun seksi, mandi spa dikelola oleh penduduk setempat untuk meningkatkan pendapatan mereka. Juga untuk jasa transportasi antara kota itu dengan kota besar dalam bentuk taksi atau bis mini, walikota bisa menangani sendiri sehingga ada pemasukan untuk kas pemerintah kota.

             Namun walikota pesimis karena meragukan orang mau datang ke kotanya yang gersang dan terpencil. Lalu Big Boss mengajaknya beserta beberapa stafnya berwisata di Tanah Tinggi Genting di negara tetangga selama 3 hari melihat-lihat kasino yang letaknya di pucuk gunung. Mereka terpesona sehingga gairah mereka untuk memiliki mesin uang membuncah.

            Begitu pulang ke kotanya, walikota segera membahas rencana itu dengan seluruh bawahannya. Hasil rapat maraton menghasilkan beberapa ketentuan. Kasino didirikan di tepi kota agar tidak mengganggu ketentraman penduduk. Lahan milik pemkot yang dulu dibeli untuk gedung ketoprak tetapi batal dibangun karena ketiadaan dana akan dipergunakan untuk kasino. Penduduk setempat dilarang masuk ke gedung kasino, karena itu semua tenaga sekuriti harus penduduk lokal agar mudah mengenali penyelundup. Para kasir adalah pegawai pemkot yang diperbantukan untuk memonitor uang masuk sehingga memudahkan perhitungan pajak kota yang harus disetor setiap 24 jam. Semua karyawan kasino selain kasir dan sekuriti harus berasal dari kota lain. Penandatanganan surat perjanjian dengan Boss dilakukan setelah 3 bulan sosialisasi proyek ini kepada warga kota dan tidak ada keberatan resmi yang masuk. Boss menyetujuinya.

            Tanggapan penduduk kota ternyata di luar dugaan. Mereka gembira dan mulai menyiapkan diri untuk ikut menikmati rejeki. Harga tanah di sekitar tanah pemkot itu langsung naik berlipat kali. Mereka sibuk keluar masuk bank untuk mendapatkan kredit guna membuka usaha. Salon-salon yang biasanya sunyi senyap mendadak ramai didatangi para wanita yang mulai merawat tubuh dan wajah. Biar nanti hanya buka warung jagung bakar tapi pasti laris manis bila yang jaga kinclong.

             Tetapi tidak demikian dengan orang-orang Kristen yang ada di sana. Mereka tidak setuju ada kasino. Gedung gerejanya juga di tepi kota karena memang sejak dulu mereka ‘ditepikan’ agar tidak meresahkan penduduk lainnya. Celakanya, bila kemarin mereka tidak punya tetangga satu pun, besok mereka akan bertetangga dengan kasino. Pak Pendeta menghadap walikota menyampaikan protes lisan dan tertulisnya. Tetapi surat protesnya tidak bisa dianggap mewakili aspirasi penduduk kota karena anggota jemaatnya tidak lebih dari 100 keluarga. Malah walikota menawarinya untuk pindah tempat. Pemilik spa nasional Ben Waras ternyata saudaranya dan sudah meminta beliau menghubungi Pak Pendeta untuk mau dibuatkan gereja baru di tempat lain sedangkan tempat yang lama akan dipakainya untuk cabang Ben Waras.

            Pak Pendeta keluar dari kantor walikota dengan muka marah. Dulu kakeknya yang mendirikan gereja itu, di tengah kota, ketika kota itu masih berupa desa. Jaman bapaknya jadi pendeta dan desa itu makin ramai, bapaknya diminta memindahkan gerejanya ke tepi desa. Ketika bapaknya mau pergi mencari kepala desa dengan membawa parang, kakeknya mencegahnya. “Bukan begitu cara orang Kristen, apalagi seorang pendeta, menghadapi kezaliman,” kata kakeknya. “Ingatlah strategi Pandawa ketika menghadapi kezaliman Kurawa. Pertama-tama, ngalah (mengalah). Kedua kalau masih dizalimi, ngadoh (menjauh). Sudahlah, kita pindah saja ke sana, apalagi semua biaya ditanggung oleh kades.”

          “Tetapi sekarang apakah orang Kristen harus tetap diam bila terus dizalimi?” guman Pak Pendeta. “Sekaranglah waktunya melakukan langkah ketiga: ngamuk (mengamuk). Mau perang Baratayuda, mau perang Puputan, aku tidak takut.” Dia melangkah pulang di bawah teriknya matahari kemarau dengan tangan terkepal. Hampir sejam dia berjalan. Ketika hampir sampai di pastori dan dia melihat salib di pucuk menara gereja, terngiang pesan bapaknya menjelang ajal, “Apa pun yang hendak kamu perbuat, jangan sekali-sekali lupa meminta pendapat Gusti Yesus.”

           Maka pada ibadah Minggu, ia mengumumkan dimulainya sebuah acara baru, yaitu acara doa bersama pada setiap hari Senin dan Kamis malam untuk meminta Tuhan menggagalkan keberadaan kasino itu di kota mereka. Pekerjaan pembangunan gedung kasino juga dimulai. Tetapi Boss bukan manusia arogan. Dia mengutus wakilnya menemui Pak Pendeta menyerahkan surat yang menyatakan kesediaannya untuk melakukan perbaikan atas kerusakan gedung gereja yang bisa muncul akibat getaran pada saat dilakukan pemancangan paku-paku bumi. Kegiatan pembangunan juga dihentikan sepanjang hari Minggu agar orang Kristen bisa beribadah dengan tenang.

            Sepuluh bulan berlalu, tetapi Tuhan tak menjawab doa mereka, bahkan bangunan kasino itu sudah selesai. Untuk merayakannya, Boss menyelenggarakan bazar dan pasar murah di sekitar gedung kasino pada suatu hari Sabtu. Penduduk diperbolehkan masuk ke gedung untuk melihat-lihat dan mencoba tangga berjalan. Pak Pendeta sepanjang hari tidak keluar rumah. Sore hari ia terbangun dari tidurnya karena terganggu suara pintu kamar mandi gereja yang berulang kali dibukatutup. Ia melihat jam dinding. Tidak ada suara musik dari ruang ibadah. Seharusnya para pemuda berlatih sore itu untuk mengiringi nyanyian ibadah besok pagi. Dengan mata masih mengantuk ia berjalan ke depan. Ternyata para pemudanya berdiri di pagar gereja menonton pasar murah. Persis di depan gereja ada lapak penjual beras murah. Penjaganya 4 gadis kota dengan gaun merah ketat pendek. Kakinya putih tanpa kaos kaki. Bila tubuh mereka sedikit membungkuk kedepan, astaga, mata pemuda gereja membuka selebar-lebarnya bersama mulutnya. Pantas mereka sering keluar masuk kamar mandi.

           Pak Pendeta marah besar. Dia mengusir pemuda gerejanya. Lalu keluar mencari pengurus gerai itu menyampaikan protes. Dengan sopan ibu muda usia itu berkata, “Bapak, kami ada di tepi jalan umum, bukan di dalam halaman rumah Bapak. Cobalah Bapak berdiri di depan gerai kami, Bapak tidak akan melihat pemandangan yang dilihat oleh orang-orang Bapak. Saya sudah meminta mereka untuk pindah tempat, tetapi mereka tidak mau. Yaaa, begitulah anak muda. Masakan saya memarahi mereka bila mereka berada di dalam halaman rumah Bapak? Tidak ada yang berhak memarahi mereka kecuali pemilik rumah ini, Pak. Bersabarlah Pak, satu jam magrib tiba dan kami harus tutup. Silakan duduk di sini Pak,” katanya sambil membungkuk menyodorkan kursi plastik kepada Pak Pendeta. Mendadak saja Pak Pendeta merasa kepalanya pusing karena tanpa sengaja matanya melihat kulit putih yang mendaki di balik baju longgar ibu muda ini. Ia segera berpamitan.

           “Ternyata kita tidak hanya berhadapan dengan manusia, tetapi juga dengan Iblis!!!” teriak Pak Pendeta esok harinya di atas mimbar. “Mulai hari ini kita akan lebih nyaring berdoa kepada Tuhan. Tuhan ingin kita membuktikan percaya kita kepadanya. Tuhan ingin kita tidak malu menyatakan iman kita kepada manusia-manusia kafir itu. Setiap tengah malam, mulai malam ini, secara bergiliran kita akan berdoa sambil berjalan mengelilingi menara babel itu. Tujuh kali keliling setiap malam. Majelis gereja akan membagikan daftar kelompok untuk kegiatan ini. Setiap anggota mendapat giliran setiap 3 hari. Setiap malam saya yang akan berjalan di depan memimpin pasukan doa ini. Kita akan mempergunakan iman Yusak dalam menghancurkan tembok Yerikho. Tuhan tak mau mendengar janji iman kita. Tuhan mau melihat bukti iman kita. Buktikan! Dan Tuhan pasti bertindak. Amin Saudara-saudara?”

          Mulai malam itu Pak Pendeta memimpin pasukan doa berjalan mengelilingi bangunan kasino 7 kali. Setiap tengah malam, para tukang yang sekarang mulai mengerjakan interior bangunan melihat dia berjalan di depan barisan memegang tongkat tinggi yang di ujung atasnya tertempel salib memimpin doa dengan suara keras:

Berapa lama lagi, TUHAN,
Kaulupakan kami terus-menerus?
Berapa lama lagi, TUHAN,
Kausembunyikan wajah-Mu terhadap kami?

Berapa lama lagi, TUHAN,
kami harus menaruh kekuatiran dalam diri kami?
Berapa lama lagi, TUHAN,
kami harus bersedih hati sepanjang hari?

Berapa lama lagi, TUHAN,
mereka meninggikan diri atas kami?

Pandanglah kiranya kami, ya TUHAN,
jawablah kami, ya TUHAN.
Buatlah mata kami bercahaya,
supaya jangan kami tertidur dan mati,
supaya mereka jangan berkata:
"Aku telah mengalahkan dia."

Berapa lama lagi, ya TUHAN?
Berapa lama lagi, ya TUHAN?


          Seminggu berlalu, Tuhan tidak menjawab. Pasukan doanya menyusut dari 60 orang menjadi 40 orang pada minggu kedua. Tuhan belum juga mengirim jawaban. Memasuki minggu ketiga pasukannya tinggal 25 orang dan Pak Pendeta mulai membawa serta tungku kecil berayun-ayun di tangannya yang bara api di dalamnya membuat asap putih berbau wangi melayang ke langit. Suara doanya tak lagi membahana, tetapi sudah mirip ratapan bahkan rintihan.

           Pada malam ke-21 mendadak saja udara dengan cepat berubah menjadi makin dingin. Angin bertiup makin kencang. Bintang-bintang menghilang dari langit. Langit menangis. Titik-titik airnya makin lama makin besar. Dan tiba-tiba dalam tangisnya langit menggeram dahsyat. Kilat menyambar-nyambar ke bawah membuat pasukan doa kocar-kacir ketakutan. Mereka berlari pulang ke rumah masing-masing meninggalkan Pak Pendeta yang jatuh terduduk di tanah menggigil karena kedinginan sekaligus ketakutan. Petir menyambar bumi berulang kali dengan suara memekakkan. Suatu kali petir menyambar pucuk gedung kasino dan membakar bangunan itu. Tidak ada orang yang berani mendekat untuk memadamkan api karena petir terus mengganas. Pagi hari bangunan itu telah menjadi onggokan batu dan besi-besi yang melengkung menghitam.

           Pagi itu juga semua anggota gereja berkumpul dalam sebuah ibadah syukur yang gegap gempita. Tuhan tidak tidur! Tuhan bertindak setelah melihat bukti iman umat-Nya! Mereka menyanyi sambil melompat-lompat. Tiga jam mereka larut dalam kegembiraan dan pasti bisa sampai sore apabila mereka tidak dikejutkan oleh hujan batu yang memecah kaca-kaca jendela gereja. Ternyata di depan gereja telah berkumpul banyak orang yang marah. Mereka adalah orang-orang yang sudah mendirikan tempat-tempat usaha di sekitar kasino. Mereka menuntut gereja mengganti kerugian mereka karena investasi mereka menjadi mubazir dengan terbakarnya gedung kasino itu. Kasino itu terbakar karena ulah orang-orang Kristen. Untunglah sepasukan polisi datang dan menenangkan mereka serta berhasil membujuk semua pulang ke rumah. Kemudian komandan menemui Pak Pendeta menyerahkan sepucuk surat. Pak Pendeta diminta datang ke kantor polisi. Boss kasino marah sekali. Ia melaporkan gereja ke polisi dengan tuduhan jemaatnya menyebabkan bangunannya itu tersambar petir. Ia menuntut gereja minta maaf dan mengganti seluruh kerugiannya. Bila gereja tidak memiliki uang, tanah dan bangunan gereja harus diserahkan sebagai gantinya.

           Di kantor polisi Pak Pendeta mengamuk. Komandan polisi dengan sabar menenangkannya. Dia tidak akan menahannya asalkan tidak keluar kota. Tetapi apabila persatuan pedagang komplek kasino berulah sehingga membuatnya kuatir, kapan saja Pak Pendeta boleh mengungsi tidur di kantor polisi. Karena ini perkara perdata, Pak Wali telah meminta Pak Komandan menghubungi pelapor dan instansi terkait agar diusahakan upaya damai melalui proses mediasi bertempat di gedung pengadilan negeri. Pak Wali akan meminta seorang hakim untuk menjadi mediatornya. Hakim ini dari luar kota sehingga diharapkan bisa mendamaikan Big Boss dan Pak Pendeta tanpa berpihak. Pak Wali akan membantu sebisanya agar proyek kasino tidak batal tanpa merusak kedamaian kota kecil ini.

         Pada hari yang ditentukan 2 pihak yang berseteru hadir dalam sebuah ruang di gedung pengadilan untuk mencari kesepakatan damai. Masing-masing pihak boleh membawa 10 orang yang memahami hal-hal sehubungan dengan persengketaan itu. Hakim mempersilakan pihak pelapor membacakan pernyataannya.

         “Orang-orang Kristen itu telah berdoa meminta Tuhan mendatangkan badai petir membakar gedung kasino kami,” kata wakil Big Boss. “Pihak kami mengalami kerugian sekitar 10 milyar rupiah. Karena itu gereja harus minta maaf dengan cara berikut ini. Satu, memasang spanduk permintaan maaf di lokasi kebakaran. Dua, menyerahkan gedung gereja beserta tanahnya seluas 2500 meter persegi sebagai pengganti kerugian kepada kami.”
        “Namun demikian,” katanya sambil mengambil lembar berikutnya, “untuk menunjukkan itikad baik kami dalam upaya damai ini, kami tidak ingin membuat para pengikut Nabi Isa tidak bisa lagi beribadah kepada Allah. Di tempat lain kami akan membangun gedung gereja di atas tanah seluas 2500 meter persegi untuk kami sumbangkan kepada para pengikut Nabi Isa di kota ini. Selain itu, kami juga tidak ingin melukai perasaan mereka dengan menghancurkan bangunan gereja dekat lokasi kasino itu. Fungsinya sebagai tempat beribadah tetap kami pertahankan, tetapi diperuntukkan hanya bagi pengikut Nabi Isa dari kota lain yang mengunjung kasino. Kiranya Allah memberkati upaya damai ini.”

        Begitu wakil Boss duduk, wakil orang-orang Kristen segera berdiri dan berkata, “Gereja kami sudah ada di lokasi itu lama sebelum bangunan kasino berdiri. Mengapa kami yang harus pindah? Mengapa bukan kasinonya saja? Musibah itu bukan karena salah kami. Itu bencana alam!”
        “Bagaimana bisa disebut bencana alam bila saat ini masih musim kemarau?” tanya wakil Big Boss
        “Kami mempunyai catatan dari pakar petir di PLN bahwa selama 10 tahun terakhir di kota ini dalam musim kemarau bisa terjadi hujan dadakan disertai badai petir.”
         “Tetapi mengapa hanya bangunan kasino saja yang tersambar petir sementara gedung gereja di dekatnya tidak celaka, jika itu tidak gara-gara Tuhan mengabulkan doa kalian?”
         “Dalam kasus force majeure, korban bisa siapa saja tanpa memandang apakah dia orang suci atau penjahat.”

         Hakim mediasi mengangkat tangan menghentikan perbantahan mereka. Ia memberi tanda agar kedua wakil itu mendekat ke mejanya. Lalu ia berbisik kepada mereka, “Sebelum Anda berdua bertukar pendapat lebih lanjut, katakanlah dengan jujur kepada saya, pihak manakah yang Kristen?”

                                                         (the end)

** Paskah 2013.

guestx's picture

Gereja harus dianggap sebagai pariah yang harus disingkirkan

Cerita yang sangat menyentuh hati, khususnya soal kepedulian Big Boss untuk mempertahankan gedung gereja bagi para pengunjung kasino (duh, jadi ingat brosur wisata ke Macao yang menawarkan kunjungan rohani ke St.Paul's ruin dan menghabiskan malam panjang di meja roulette; kapan ya punya kesempatan ke sana? :-).

Tuntutan Big Boss tampaknya terlalu lunak : sekedar memaksa gereja minta maaf dan tukar guling lahan gereja.

Big Boss harus meminta Pemerintah untuk menghalau pendeta dan jemaat yang nyata-nyata melakukan praktik okultisme dengan mendatangkan petir di musim kemarau. Para pemuja gereja bukan saja harus dipindahkan, tapi dilarang untuk mendekati kota dalam radius 10 km. Dewan kota dan Pemerintah akan bertindak rasional mengikuti permintaan Big Boss. Bisnis yang dibawa Big Boss sudah nyata mendatangkan kegiatan ekonomi yang sustainable bagi kota. Sedangkan gereja? Apakah yang ditawarkan gereja? Nilai tambah ekonomi gereja praktis nol. Mengapa membiarkan masyarakat membuang-buang sumberdaya untuk kegiatan-kegiatan gereja yang tak berkontribusi bagi kesejahteraan rakyat ?

Gedung gereja cukup dipertahankan facade dan menaranya saja; itu jadi prasasti bahwa di kota itu pernah ada sistem nilai masa lalu ,dan sekarang digantikan oleh rezim rasionalitas ekonomi.

__________________

------- XXX -------

Purnomo's picture

@Guestx: apakah kita pernah sekelas?

Saya legowo kalau blog ini di-grounded oleh Admin karena satir banget.
E, komentar yg satu ini ternyata satir juga.
Apa kita pernah sekelas waktu TK dulu? Smile

guestx's picture

@ Purnomo, aman

Blog ini diramalkan akan aman dari penertiban oleh satpol PP Sabda Space. Presedennya ada : blognya Mr. Plain Bread tentang "Tuhan adalah keset kakiku" masih bertahan hingga hari ini.

Kayaknya kita gak pernah sekelas di TK, Pak. Soalnya, di kota kecil tempat saya pertama masuk sekolah, belum musim PAUD dan tak ada TK; jadi langsung SD setelah tangan kanan bisa dilingkarkan melalui atas kepala memegang telinga kiri.Smile 

__________________

------- XXX -------