Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Harga Yang Harus Dibayar

Ningtyas's picture

Seperti anak-anak muda umumnya, saat duduk di bangku kuliah semester akhir, saya pun ingin memiliki pacar. Walaupun hal tersebut merupakan sesuatu yang tabu di mata ibu saya, namun saya cukup kreatif untuk lewat pintu belakang atau back street. Dalam setiap kesempatan, tak henti-hentinya saya melirik-lirik teman sekampus. Tak lupa, setiap malam sayapun berdoa “Tuhan, berikan aku seorang pacar yang seiman, penuh pengertian, lembut hati, bijaksana dan setia” Bukan sekadar menyebutnya dalam doa, sayapun menuliskan kriteria calon pasangan hidup itu dalam buku harian saya.

Walaupun telah berdoa hingga lidah saya kelu, namun sang pujaan hati tak kunjung datang. Kalaupun ada teman laki-laki yang mulai PDKT (red : pendekatan), selalu saja terhambat gara-gara tidak ada kesempatan baginya untuk ngapel. Pasalnya, setiap akhir pekan saya terkena peraturan “wajib lapor” sekaligus mengambil jatah uang saku di kampung. Malam-malam berikutnya saya habiskan di perpustakaan guna memenuhi target dari orang tua yang menginginkan saya lulus tepat waktu dengan IPK tertinggi.

Dalam suatu kegiatan pecinta alam di kampus, saya bertemu dengan seorang laki-laki yang sangat tampan, gagah dan berpenampilan sangat rapi. Sebut saja Arjuna; laki-laki paling ganteng yang pernah saya jumpai. Pertemuan pertama sungguh menggoda. Wajah dan perawakan Arjuna yang nyaris sempurna itu membuat mata saya tak rela berkedip barang sedetikpun.

Arjuna yang duduk sebagai ketua panitia juga mulai melirik-lirik saya. Setiap ada kesempatan saya pun mencuri-curi pandang supaya bisa menikmati ketampanan Arjuna. Wajah Arjuna yang oval, dihiasi kumis tipis dan sepasang mata bersinar di bawah alisnya yang tebal namun rapi itu, benar-benar mencuri hati saya. Senyum Arjuna yang menawan dan matanya yang penuh cinta membuat saya tak berdaya. Kontan saya lupa dengan sederet kriteria yang tertulis dan selalu terucap dalam doa-doa saya. Bahkan soal perbedaan iman pun waktu itu saya anggap bukan masalah penting.

Ketika saya mengalami kesulitan untuk mendirikan tenda, Arjuna menghampiri saya dengan senyum yang aduhai. Sikap Arjuna yang santun, friendly dan helpful semakin menguatkan dugaan saya bahwa laki-laki tampan di hadapan saya itu berasal dari keluarga yang santun dan terpelajar.

Ketika petualangan di alam bebas itu diakhiri dengan hiking, sikap dan penampilan Arjuna kembali merebut seluruh hati saya. Arjuna yang tampak cool dan care terhadap siapapun yang ada di dekatnya membuat saya semakin kagum. Tutur kata Arjuna yang santun, dibarengi senyum menyejukkan yang dipadu dengan tatapan penuh cinta itu benar-benar telah menjerat mata dan hati saya.

Saya merasa yakin bahwa Arjuna adalah laki-laki paling baik sehingga tidak ada alasan bagi saya untuk melepaskannya. Dari tatapan matanya yang penuh arti, saya pun merasa yakin bahwa saya tidak sedang bertepuk sebelah tangan. Saya yakin suatu saat laki-laki tampan itu akan menjadi milik saya. “Tinggal satu langkah lagi. Saya perlu berdoa supaya Tuhan memuluskan keinginan dan rencana saya” begitu pikir saya saat itu.

Sekembalinya dari kegiatan pecinta alam, hubungan kami terus berlanjut. Setiap malam Arjuna datang ke kost saya sambil membawa 2 rantang makan malam untuk kami. Teman-teman kost saya pun memuji perhatian dan kasih sayang Arjuna yang seakan tak pernah ada habisnya. Tidak berlebihan jika saya GR (gede rasa) dan semakin tersanjung. Saya pun langsung berdoa “Tuhan, inilah orang yang kupilih. Berkatilah supaya dia menjadi milikku selamanya”.

Saat itu saya merasa tidak perlu lagi meminta hikmat dari Tuhan tentang pilihan saya karena Arjuna telah memuaskan mata dan gejolak darah muda saya. Saya merasa keputusan untuk memilih Arjuna sebagai calon pendamping tidak perlu saya konsultasikan kepada Tuhan. Saat itu saya hanya menggunakan doa untuk melapor dan meminta dukungan Tuhan untuk mewujudkan kehendak saya. Ketampanan, cinta dan romantisme Arjuna telah membuat saya menempatkan Tuhan hanya sebagai asisten untuk membantu memuaskan hati saya. Mungkin inilah yang dinamakan cinta buta. Api asrama yang berkobar di antara kami, telah membuat saya tidak mampu melihat sisi lain kehidupan Arjuna. Bukan saja buta, sayapun sengaja menjadi tuli dan merasa tidak membutuhkan orang lain. Seperti kata orang “Dunia ini serasa milik kami berdua”.

Walaupun saya tahu bahwa perbedaan iman kami akan mendapat tantangan dari keluarga, namun saya tetap ngotot untuk memaksakan kehendak. Waktu itu yang terpenting bagi saya adalah kesediaan Arjuna untuk memeluk agama yang sama dengan saya. Inilah yang selalu saya jadikan senjata pembela diri, ketika orang tua dan kakak saya mempermasalahkan hubungan kami. Berkali-kalai kakak memberi tahu tentang masa lalu Arjuna yang suka berkelahi dan mabuk-mabukan, namun semua itu saya anggap angin lalu. Saat itu saya merasa paling tahu siapa Arjuna yang sesungguhnya.

Walaupun ibu kost berkali-kali memberitahu bahwa Arjuna adalah anak kolong yang keluarganya amburadul, saya tetap berkeyakinan bahwa laki-laki yang saya kenal itu adalah sosok yang penuh cinta dan kasih sayang. Saya lebih mempercayai mata saya dari pada omongan orang lain. Apalagi ketampanan, romantisme dan sikap santun Arjuna sama sekali bertolak belakang dengan pernyataan orang-orang di sekitar saya. Apapun yang dikatakan orang, cinta saya sudah bulat dan melekat. Mungkin benar lirik lagu yang dinyanyikan Gombloh “kalau cinta sudah melekat, tahi kucing pun rasa coklat”.

Ketika berkenalan lebih dekat dengan keluarga Arjuna, saya dihadapkan pada kenyataan bahwa Arjuna memang bukan berasal dari keluarga yang harmonis. Kenyataan bahwa ayah Arjuna sering melakukan kekerasan terhadap istri dan anak-anaknya, justru saya dengar langsung dari mulut ibu Arjuna. Dengan berlinang air mata ibu Arjuna menceritakan penderitaan dirinya yang sering diperlakukan kasar dan berkali-kali ditinggal kabur suaminya. Penderitaan ibu Arjuna semakin lengkap ketika ia tidak memiliki daya untuk melindungi anak-anak dari siksaan suaminya. Kisah mengharukan itu semakin diperkuat dengan cerita Arjuna yang mengaku bahwa pukulan dan sabetan kopel dari ayahnya merupakan makanan sehari-hari.

Pengenalan terhadap keluarga Arjuna tidak menyurutkan cinta saya. Sebaliknya, saya semakin mengagumi Arjuna. Di mata saya, Arjuna adalah pribadi yang tegar. Walaupun tidak pernah menerima kasih sayang dari ayahnya, namun Arjuna memiliki cinta yang begitu besar untuk orang lain, terutama untuk saya. Saya semakin kagum karena Arjuna yang sejak kecil terbiasa menerima siksaan, ternyata setelah dewasa bisa tampil sebagai sosok pelindung yang penuh kasih.

Bukan hanya saya yang membutuhkan cinta Arjuna. Kehadiran saya pun semakin mengobarkan semangat hidup Arjuna. Saat itu saya adalah satu-satunya orang yang paling mengerti penderitaan Arjuna. Ibu Arjuna yang harus berjuang keras menghidupi anak-anaknya, telah membuat Arjuna tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang cukup. Menurut Arjuna, setelah masa remajanya terbuang sia-sia dalam kehidupan yang penuh nikotin, alkohol dan perkelahian, ibunya baru datang menghampirinya. Saat Arjuna menjelang dewasa, ibunya berusaha menebus kesalahannya dengan memberikan kasih sayang yang berlebihan.

Walaupun ibunya telah memberikan kemanjaan yang berlebih, namun Arjuna merasa lebih nyaman berada di luar rumah. Di satu sisi Arjuna ingin selalu dekat dengan ibunya, namun di sisi lain ia ingin berada jauh dari keluarga yang telah memperlakukannya dengan kejam. Itulah sebabnya Arjuna bekali-kali memohon saya untuk selalu mendampinginya.

Hubungan kami sempat tersendat beberapa saat karena saya pindah kerja ke Jakarta. Walaupun di ibu kota banyak teman laki-laki, namun pintu hati saya telah tertutup untuk orang lain. Ketika saya bertemu dengan Septa; laki-laki seiman yang sangat baik, lembut dan penuh perhatian, saya pun tak berminat untuk meliriknya. Berkali-kali Septa yang tampangnya pas-pasan itu mengajak saya untuk mengubah hubungan persahabatan menjadi hubungan percintaan. Namun karena seluruh hati dan cinta saya telah tertambat pada Arjuna, saya tidak berminat untuk mempertimbangkan tawaran Septa. Cukup lama Septa mendoakan hubungan kami, namun saya justru sebaliknya. “Tuhan, lepaskan saya dari suasana yang tidak saya inginkan ini. Saya tahu Septa sangat baik dan sepadan di hadapanMu, tapi dia tidak tampan, tidak macho, tidak mempesona dan saya sama sekali tidak bangga berjalan bersamanya” begitulah doa saya.

Septa yang semakin gigih menebar kasih justru membuat saya semakin panik. Terdesak oleh rasa takut kehilangan si tampan Arjuna, saya pun memutuskan untuk menikah dengan Arjuna tanpa pikir panjang lagi. Walaupun kami baru berpacaran selama 2 tahun, saya merasa siap menikah hanya bermodal ketampanan, romantisme dan cinta Arjuna yang menggebu-gebu. Saat itu saya berpikir cinta Arjuna tak akan lekang dimakan waktu.

Karena yakin dengan pilihan saya, saat itu saya merasa tidak perlu meminta hikmat dari Tuhan. Ketika itu saya justru menodong Tuhan untuk mencari pembenaran atas keputusan saya “Tuhan, inilah orang yang kupilih menjadi pendampingku. Walaupun banyak hambaMu tidak sepenuhnya mendukung hubungan kami, namun untuk kali ini biarlah aku mewujudkan keinginanku. Untuk lain kali bolehlah kehendakMu yang jadi, namun untuk kali ini biarlah kehendakku yang jadi, bukan kehendakMu”.

Walaupun tidak siap secara materi, kami nekad membina rumah tangga hanya bermodal cinta. Saya rela hidup bersama Arjuna yang masih menganggur. Kamipun menyewa rumah petak di kawasan kumuh di Jakarta Timur. Layaknya syair lagu dangdut, kami rela hidup menderita, tidur hanya beralas koran dan makan sepiring berdua.

Saya rela bekerja membanting tulang untuk menopang bahtera keluarga yang dikemudikan oleh Arjuna. Tak cukup bekerja di satu tempat, saya pun bekerja di dua tempat dari pagi hingga larut malam. Pagi hari saya bekerja di sebuah LSM internasional di kawasan Jakarta Timur, dan sore hingga larut malam saya bekerja di universitas swasta di Jakarta Barat.

Kesibukan saya menafkahi keluarga tidak membuat Arjuna lelah menunggu di rumah. Arjuna justru senang kalau ia bisa memasak dan menyiapkan makan malam untuk kami berdua. Tahun pertama perkawinan kami benar-benar penuh dengan kemesraan. Kami tidak peduli apa kata orang. Kami juga tak peduli kalaupun dunia ini akan runtuh, asalkan kami selalu berdua.

Saat libur akhir tahun, saya dan Arjuna sepakat untuk berlibur di rumah keluarga Arjuna. Ketika Arjuna menceritakan kesibukannya sehari-hari, ibu Arjuna sangat marah. Berkali-kali saya disindir dengan kata-kata yang tidak mengenakkan “Aku tidak pernah bercita-cita anak lelakiku menjadi tukang masak. Aku tidak rela anakku jadi tukang cuci”. Ketika saya berusaha tidak terusik dengan sindirannya, ibu Arjuna pun menegur saya supaya belajar menjadi istri yang mengabdi kepada suami.

Sebelum libur akhir tahun usai, Arjuna diminta membantu ibunya berjualan di warung sejak pagi hari. Ketika saya mengajak Arjuna untuk beribadah, ia mengabaikan ajakan saya. Saya sudah berusaha menunggu dengan sabar, namun tampaknya hari itu Arjuna benar-benar bukan milik saya. Ketika siang telah digantikan malam dan tidak ada juga tanda-tanda bahwa Arjuna menggubris ajakan saya, kesabaran saya pun habis. Tanpa banyak bicara, sayapun mengambil sikap. Tanpa menunggu persetujuan suami, saya nekad pergi kerumah ibadah sendiri.

Walaupun memuji dan menyembah Tuhan adalah hak saya yang paling azazi, namun Arjuna dan ibunya menganggap kepergian saya ke rumah ibadah merupakan pelecehan terhadap kekuasaan suami. Hari itu saya divonis bersalah karena berani meninggalkan rumah tanpa restu suami. Berkali-kali ibu Arjuna memperingatkan bahwa sebagai istri saya tidak pantas meninggalkan rumah tanpa seijin suami.

Sebagai orang yang dibesarkan dalam keluarga yang taat beribadah dan sangat menghargai perempuan, tentu saja saya sangat kecewa karena merasa diperlakukan hanya sebagai “pelengkap penderita” saja. Walaupun hati saya meronta, saya tidak punya keberanian untuk melawan.

Saya sangat kecewa melihat sikap Arjuna yang sama sekali tidak membela kepentingan saya untuk menyembah Tuhan. Saya baru menyadari bahwa Arjuna bersedia memeluk agama saya bukan karena mencintai Tuhan, tetapi karena cintanya kepada saya. Ketika saya bukan orang nomor satu dalam hidup Arjuna, Tuhan pun tidak ada artinya lagi baginya. Sayapun mulai menyadari kesalahan saya yang memperkenalkan agama kepada Arjuna bukan karena niat tulus dan tanpa pamrih. Waktu itu saya memperkenalkan Tuhan kepada Arjuna karena didorong nafsu ingin memilikinya.

Inilah harga yang harus saya bayar. Saya menomorduakan Tuhan hanya gara-gara kepincut dengan ketampanan dan terbius oleh cinta Arjuna. Inilah perjalanan hidup saya yang lebih mengutamakan kepuasan mata dari pada kehidupan rohani. Buah dari pemaksaan saya kepada Tuhan untuk menjadikan segala sesuatu sesuai kehendak saya, ternyata berujung kegetiran.

Ibarat nasi sudah menjadi bubur, saya pun tetap harus bertanggung jawab dan menikmati bubur pilihan saya. Mau tidak mau, sanggup atau tidak sanggup, saya harus tetap bertanggung jawab atas keputusan saya. Walaupun banyak hamba Tuhan mengatakan bahwa keputusan saya tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, tetapi saya tetap berjuang mati-matian supaya apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak diceraikan oleh manusia. Walaupun harus terseok-seok, saya selalu berdoa dan berusaha keras supaya perjalanan keluarga kami selanjutnya semakin mendekat ke arah kehendakNya.

Bagaimana kisah selanjutnya?

Baca selengkapnya dalam buku "Melewati Lembah Air Mata"

 

MELEWATI LEMBAH AIR MATA
Mundhi Sabda Hardiningtyas
Gradien Books
11 x 18 cm, 200 hlm, Rp27.000,-

Love's picture

Pelajaran Penting

Saya sangat setuju dengan tulisan Mbak Ning yang mengenai harga yang harus dibayar. Tuhan tidak pernah mendikte kita untuk menjalani hidup ini. Dia memberikan kebebasan kepada kita untuk patuh, taat, dan peka akan kehendak-Nya. Untuk mengetahui kehendak-Nya akan hidup kita, tentu saja tidak bisa dengan sikap yang pasif. Kita harus proaktif dan mempunyai hubungan yang intim dengan Dia. Jika kita mengambil keputusan yang salah, tentunya ada konsekuensi dari keputusan kita itu. Itulah harga yang harus dibayar. Tetapi saya yakin sekali. Sekali kita salah mengambil keputusan, Dia tidak membiarkan kita. Pertobatan dan penyesalan kita akan keputusan yang salah memang tidak bisa membawa kita ke titik awal yang dulu. Tetapi itu menjadi titik awal lagi bagi kita untuk mulai hidup baru tentunya dengan tidak mengulang kesalahan yang sama. Buat yang masing single, jangan terperangkap oleh pesona mata. Pergumulan bersama dengan Tuhan dalam mencari pasangan hidup akan membuahkan hasil yang indah. Buat Mbak Ning, terima kasih ya ... tulisan ini memberi berkat buat saya. Beli bukunya ah .... :))
Zeta's picture

tertarik

Wah, buku mbak ning ini bikin saya pingin baca. Menarik, kayaknya;) Belinya harus mesen ya? Delivery gitu ato piye? Ga ada di toko buku? Btw,boleh ga tanya2 langsung ke mbak ning via japri? Ada yg penting, tapi kalo ga bisa pun gpp sih ^^