Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Interpreter

Purnomo's picture

            "Oma menggambar apa?" tanya cucuku karena tak mengenali bentuk yang sedang digambarnya.
            "Oma menggambar bunyi," jawabnya sambil terus asyik menulis huruf-huruf kanji.


             Perempuan Swiss ini sudah 5 tahun belajar Mandarin dari perempuan tetangganya yang lahir di Shanghai dan menikahi lelaki Swiss. Ia akan memraktekkannya 2 bulan lagi saat berwisata ke Tiongkok. Enam tahun yang lalu ketika menginap di rumahku dia melihat anakku memegang buku berbahasa Jepang, langsung saja dia berbicara dalam bahasa itu. Dia baru pulang berlibur sendirian di Jepang selama 3 bulan; tinggal di sebuah rumah penduduk desa dekat Kyoto; memasak sendiri dan membeli sepeda untuk berhemat. “Pur, kamu boleh pakai sepedaku kalau ke sana. Aku titipkan di rumah Elisabet, kamu tentu masih ingat dia. Cita-citanya sudah tercapai. Suaminya orang Jepang.”

             Dia memang punya minat besar dalam bahasa asing. Dia menguasai bahasa-bahasa yang dipakai di Swiss. Bahkan ketika aku memutar klip video yang mempergunakan bahasa "daerah terpencil" Jerman dia mengenalinya.

             Penduduk Swiss memakai satu di antara bahasa-bahasa ini: Perancis, Jerman atau Italia. Payahnya, orang yg berbahasa A tidak menguasai 2 bahasa lainnya. Seperti halnya orang berbahasa Jawa belum tentu menguasai bahasa Sunda dan bahasa Madura. Sementara "bahasa asli" Swiss sendiri sudah sedikit sekali pemakainya. Jadi, ceritanya, jika para menteri rapat paripurna, masing-masing berbicara dengan bahasa sehari-harinya. Tidak masalah memang, karena setiap dari mereka kepalanya dijepit headphone yang menyuarakan suara interpreter - penerjemah.

             "Aku kagum kepada Indonesia yang punya bahasa pemersatu," katanya. "Begitu aku menguasai bahasa Indonesia, aku bisa berkomunikasi dengan orang-orang yang berasal dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Orang Indonesia harus bangga dengan bahasa ini, tidak boleh menyia-nyiakan, apalagi merusaknya dengan menyisip-nyisipkan kata-kata Inggris seperti yang aku sering dengar di tivi. Kamu bisa berkomunikasi tanpa interpreter."

             Tiba-tiba saja aku ingat Facebook yang memang hampir semua penggunanya memakai bahasa Indonesia untuk berinteraksi. Tetapi tetap saja masih diperlukan para ‘interpreter’ untuk ‘menerjemahkan’ status atau komentar yang tak tahu mengapa bisa mendadak membuat beberapa pembacanya tersinggung.

             Di sini saya menggambar bunyi dan Anda melihat bunyi.
             Tetapi itu belum selesai, karena masih diperlukan hati.
             Hati untuk mengerti.

Tante Paku's picture

Saya bukan...

Saya bukan intepreter pak, jangan ngasih link ke profilku, nanti banyak inbox masuk minta diintepreteri malah kisruh aku ha ha ha ha ha ha ha ha....................

Pak pur mulai kejar tayang nih, wah dapat konco lawas jadi kalonger di sini Smile

__________________

Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat