Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Jangan menyanyi terus!

Purnomo's picture

 Ciri khas gereja karismatik yang membedakan dengan gereja “kuno” dan bisa diketahui dari luar gedungnya adalah musik dan lagunya. Dinamis, meriah dan mengikuti selera jaman. Di sini drum boleh digebuk sekeras mungkin dan tidak akan membuat jemaat kena stroke. Ritme musik beragam. Dangdut tidak diharamkan. Reggae itu biasa.

 
Di gereja saya baru memainkan ritme country saja sudah ada penatua yang matanya macam ikan koki. Mendelik terus sepanjang lagu. Karena itu aktivis muda tidak berani memasukkan drum ke ruang kebaktian, takut para penatua jatuh bergelimpangan kena vertigo. Segalak-galaknya mereka ‘kan masih bapak-ibu-oom-tante kita juga. Mana kita tega menganiaya keluarga sendiri.
 
Penyebab terjadinya eksodus jemaat muda usia dari gereja kuno ke gereja karismatik bukan berawal dari perbedaan doktrin. Orang muda jaman sekarang jarang yang peduli terhadap doktrin dan dogma. Rumit dan tidak relevan dengan selera mereka. Musik yang menjadi perhatiannya. Kaum muda segera saja berpindah tempat karena mendapatkan suasana yang pas dengan jiwanya yang dinamis, yang tidak mandeg.
 
Kepanikan melanda gereja-gereja kuno karena kehilangan orang-orang muda harapan masa depan mereka. Segera saja mereka mulai membenahi lagu dan musiknya. Harus diakui, inilah berkat gereja karismatik untuk gereja kuno. Buku lagu diganti dengan yang lebih moderat di mana nuansa etnis tidak diharamkan lagi sehingga nuansa Eropa tidak lagi dominan. Keyboard dibeli untuk mendampingi organ atau piano. Drum? Nah, yang ini perlu rapat bertahun-tahun karena banyak jemaat yang mengasosiasikan alat musik ini dengan band dan lagu-lagu duniawi. Bahkan seorang dosen sebuah seminari Kristen terkenal yang menggemari musik klasik dalam sebuah seminar musik pernah memaklumatkan bahwa drum adalah alat musik iblis! Mengapa? Karena alat musik ini di Afrika dipakai untuk ritual-ritual kuasa kegelapan. Untung para pendengarnya tidak bertanya tentang instrumen gamelan yang telah lama dipakai oleh gereja Jawa. Jengkel boleh, ngawur jangan dong. Malu-maluin sekolahnya saja!
 
Pernah saya mengunjungi sebuah gereja yang alat musiknya lengkap. Yang menarik, drumnya dikurung dalam kotak kaca tebal seperti akuarium raksasa dan sebuah kabel menghubungkannya dengan peralatan sound system. Saya tanya mengapa kepada penatuanya. “Kami kuatir saat dimainkan stik drumnya terlepas sehingga melukai jemaat yang duduk di depan,” jawabnya. Saya tertawa. “Sampeyan tidak efisien. Seharusnya biaya jutaan rupiah itu bisa dihemat bila ujung stiknya diikat tali elastis dan ujung lainnya dikalungkan di leher pemainnya. Jika stiknya terlepas, tidak ada jemaat terluka, tetapi dia kena penalti tercekik lehernya”. Langsung saja mukanya merah.
 
Mengapa sih tidak jujur saja mengatakan penatua terpaksa menuruti tuntutan jemaat muda untuk memasukkan drum ke ruang kebaktian sementara jemaat tua kuatir pemainnya menggebuknya tanpa mengingat selaput gendang telinga kakek-nenek mereka sudah tidak lentur lagi untuk menerima suara dentuman? Harusnya ia bangga bahwa gerejanya telah menemukan the best solution. Biar penabuhnya trance dan menggebuknya sampai mandi keringat, petugas sound system tinggal memutar tombol volumenya ke arah angka nol.
 
Tetapi ada orang-orang muda di sebuah gereja yang cerdik menyiasatinya. Mereka memunculkan suara drum tanpa mengusung alatnya, tetapi melalui keyboard. Setiap instrumen musik yang ada dimanfaatkan dengan membuat partiturnya sehingga lagu-lagu dalam buku nyanyian resmi tidak lagi terdengar membosankan. Khusus pada Minggu terakhir setiap bulan, atas perkenan majelis gereja, buku ini tidak dipakai. Sebagai gantinya liturgi diisi dengan lagu-lagu rohani populer dan tim musik menggarap serius aransemennya. Mereka tampil all-out sehingga sering membuat pemusiknya frustasi karena harus menjalani latihan berhari-hari. Dalam sebuah kebaktian pernah dipakai 6 instrumen sekaligus: piano, organ, clavinova, keyboard, biola, terompet. Majelis gereja juga membiarkan para musisi menghadirkan gitar akustik dan bas betot, kecapi Cina dan gendang Batak, instrumen musik keroncong dan gamelan. Kebanyakan alat itu dipinjam dari gereja lain atau jemaat sendiri yang makin bergairah menyanyikan lagu-lagu kuno yang kini terasa baru dan merasuk sukma.
 
Menyanyi memang menyenangkan, sampai sebuah lagu Sekolah Minggu berkata, “Menyanyi trus sampai Tuhan datang.” Saya juga selalu terpesona mendengarkan para penyanyi rohani yang membawakan pujian sambil merem-melek saking menghayati lagunya. Saya tahu senangnya menjadi anggota paduan suara. Teman banyak dan semua dikerjakan ramai-ramai. Kalau koor nyanyi jelek tidak ada individu yang disalahkan karena koor adalah kegiatan kelompok, bukan individual seperti guru Sekolah Minggu. Tetapi jangan menyanyi terus. Lagu SM itu selalu dinyanyikan dengan bait keduanya, “Bersaksi trus sampai Tuhan datang.” Lantas, apa menyanyi dalam koor itu bukan bersaksi?
 
Sabar, jangan buru-buru marah. Saya pernah mendengar ada orang yang sudah memutuskan bunuh diri sepulang dari kebaktian terakhirnya, membatalkan rencananya gara-gara lagu yang dinyanyikan paduan suara. Ada orang yang mendengar suara Tuhan melalui lagu yang dibawakan paduan suara sehingga ia menceraikan selingkuhannya. Ada pemuda yang menyerahkan diri menjadi pendeta karena sebuah lagu. Tetapi – this is the key question – di manakah Anda menyanyi? Di dalam gereja! Entah gereja Anda sendiri atau gereja tetangga. Anda menyanyi di zona aman. Anda menunggu bola, tidak menjemputnya karena takut repot.
 
Dalam Alkitab ayat-ayat tentang kegiatan pemberitaan Injil tidak pernah mencantumkan kata “tunggulah” tetapi “pergilah”. Apakah ini berarti Anda harus menyanyi di pasar swalayan, di setasiun kereta api atau bandara? Tidak begitu! Itu namanya beriman tanpa akal budi. Tetapi, sudahkah ketika berada di luar gereja, Anda “menyanyikan kesaksian iman” dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah ataupun di tempat kerja? Jangan sampai terjadi ketika seorang bernyanyi solo di depan mimbar, ada jemaat berbisik, “Buat apa nyanyi pake nangis segala, kalo di kantor jadi tukang palak bawahan. Bertobat dulu, baru nyanyi sambil nangis di gereja.” Apa tidak repot kalau ini terjadi di dalam gereja Anda?
 
Apakah bedanya penyanyi lagu populer dan penyanyi lagu rohani,” tanya seorang pelatih koor di tengah latihan. “Keduanya sama-sama berlatih dengan disiplin yang keras untuk bisa menampilkan suara prima dan meniti not-not sulit,” kata perempuan lulusan sekolah musik Italia yang tinggal di Jakarta dan bersedia ke kota kecil ini untuk melatih kami. Ia sering menegur orang yang salah membaca not di depan umum. “Kepada Tuhan, berikanlah yang terbaik, jangan asal-asalan,” begitu yang sering dikatakannya. Dari sekian puluh ritrit yang pernah saya hadiri, ritrit koor inilah yang paling tidak enak. Minumnya hanya air putih. Makanannya tidak mengandung lemak. Sekian jam berusaha menyanyi dengan selembar kertas tipis sejengkal di depan hidung tanpa menggetarkannya. Saya kurang tidur karena menjalani latihan ketrampilan olah suara tanpa henti. Suara saya lenyap usai ritrit ini.
 
Bedanya adalah,” akhirnya ia menjelaskan sendiri, “penyanyi lagu rohani menyanyi dengan segenap jiwa dan hidupnya sedangkan penyanyi lagu populer tidak demikian.” Karena itulah sebelum latihan ada renungan selama 15 menit yang bisa jadi panjang bila ada lagu baru. Latar belakang lagu dijelaskan, Firman di balik syair dibahas. Saya tidak tahu apakah konsistensinyalah yang mendorong kami ber-PI secara pribadi dan membuat separuh jumlah anggota koor ini juga aktip sebagai guru Sekolah Minggu dan solois di pos-pos PI.
 
Suatu hari kami ke rumah sakit pemerintah menjenguk seorang teman yang sakit. Setelah beramah-tamah dengan si sakit, membacakan ayat-ayat Alkitab, menyanyikan sebuah lagu penghiburan, ia berkata, “Berpencarlah ke seluruh rumah sakit ini. Setiap orang harus mendapat satu pasien yang tidak punya pelawat. Ajak ia mengobrol dan akhiri dengan menaikkan doa untuk kesembuhannya. Kerjakan sendiri-sendiri, tidak berkelompok.”
 
Ini tugas yang menakutkan. Saya masih SMA dan belum pernah melakukan PI sendirian. Padahal sebagai guru SM saya pernah berkata “walau masih kecil, kamu harus membawa Injil kepada orang lain”. Tetapi saya sendiri tidak pernah melakukannya. Saya takut. Agak lama, karena selalu kedahuluan teman lain, saya akhirnya menemukan seorang lelaki tua yang terbaring dengan mata menerawang. Saya menyalaminya, memperkenalkan diri, mengajaknya mengobrol tentang sakitnya, tentang keluarganya. Ia malas menjawab. Jawabannya pendek-pendek. Saya tahu ia tidak menyukai kehadiran saya. Saya jadi serba salah. Ketika bel akhir jam bezuk berbunyi, saya berkata kepadanya, “Pak, boleh saya sembahyang menurut keyakinan saya, meminta Tuhan memberikan kesembuhan kepada Bapak?” Ia mengangguk lemah. Lalu saya berdoa dan menutupnya dengan kalimat “dalam nama Tuhan Yesus yang mau mati disalibkan untuk menyelamatkan umat manusia, saya berdoa. Amin.” Saya menjabat tangannya dan astaga! Ada air menggenangi bola matanya. “Terima kasih,” bisiknya lirih menahan tangis.
 
Menyanyikan kesaksian iman” di tempat kerja dapat dilakukan dengan menjaga kelakuan. Yang pertama-tama harus dilakukan adalah memproklamirkan “saya orang Kristen” dengan berdoa makan ketika makan bersama rekan-rekan kerja. Berdoa sebelum makan? Memangnya itu alkitabiah? Perlu tidaknya “ritual” ini pernah saya bahas dalam blog berjudul “Jaga image bag-2”.
 
Lalu apa untungnya penginjilan pasif ini? Setiap saya menghadiri rapat yang sering diadakan di hotel Jakarta, seorang rekan Moslem yang tinggal di Jakarta selalu meminjam kamar saya untuk menunaikan kewajiban sholatnya. Suatu kali saya berkeberatan karena “Saya tadi terlambat bangun. Kamar masih berantakan, pakaian kotor bertebaran.” Tapi bagi saya masih jauh lebih bersih daripada kamar teman-teman yang lain, katanya. Wah, saya jadi senang karena tidak malu-maluin Bigboss saya.
 
Hampir tengah malam, setelah selesai rapat perusahaan di sebuah hotel, pintu kamar saya diketuk orang. Ternyata seorang manajer senior dari divisi lain berkunjung. Mengapa tidak telepon saja? Jawabnya, “Saya mau bicara face to face. Saya heran bagaimana kamu tetap bersih sekian lama bekerja di perusahaan ini. Jabatanmu memberi kamu kesempatan untuk dapat uang ekstra yang tidak sedikit dengan aman di luar gajimu. Tetapi, mengapa tidak kamu lakukan? Ini membuat banyak orang tidak suka kepada kamu. Kamu tidak takut?” Hehe, akhirnya ada juga yang tergoda untuk tahu mengapa saya beda. Ia mau melihat apa yang ada di balik “baju” saya. Kalau saya buka baju di depan orang banyak, kantor pasti geger dan saya ditangkap polisi. Kalau berdua saja kan lebih asyik. Bisa pelan-pelan, aman dan nyaman.
 
Mengapa saya harus korupsi bila Tuhan Yesus mengatakan “burung pipit yang kecil dikasihi Tuhan”? Apalagi diri saya, pasti Tuhan cukupkan kebutuhan hidup saya selama saya mau menjadi burung yang terbang di langit bukan hanya tinggal di sarang (Matius 6:26).
 
Kenangan akan pengalaman rohani ini sering muncul bila saya menyanyikan Firman itu dalam lagu Kidung Jemaat nomor 385, “Burung pipit yang kecil, dikasihi Tuhan. Terlebih diriku, dikasihi Tuhan.” Lagu sederhana, pendek tapi seksi ini – seperti halnya kesaksian iman para awam yang tulus – juga memunculkan sosok penulisnya dalam ingatan saya. Ia tidak sadis, tetapi berdisiplin. Ia menghajar asuhannya, karena menyayanginya. Melodi lagu itu mengungkapkan kelembutan hatinya. Ialah Debora Samudera (Elga Oey) pengasuh koor yang membangkitkan keberanian saya untuk melakukan penginjilan pribadi. Ialah yang mendidik saya yang tidak bisa membaca not menjadi pencinta lagu rohani. Ia juga yang mendorong saya walau masih memiliki banyak kekurangan dan kelemahan untuk melantunkan lagu “Menyanyi trus sampai Tuhan datang” dalam hidup sehari-hari tanpa meninggalkan bait keduanya,
 
 
Bersaksi trus sampai Tuhan datang,
bersaksi trus sampai Tuhan datang.
Bersaksi, bersaksi, bersaksi, Haleluya,
bersaksi trus sampai Tuhan datang.
 
(selesai) –