Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kenosis

victorc's picture
(Kenosis, Christ, and $1 missionary)

Tgl: 5 mei 2016, hari Kenaikan Yesus ke surga
teks: Kis. 1:1-11

"Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi."  (Kis. 1:8)

Shalom saudaraku, selamat pagi. Pagi ini semua orang Kristen di seluruh dunia memperingati hari kenaikan Yesus Kristus ke surga. Amanat yang diberikan oleh Tuhan Yesus sesaat sebelum naik ke surga adalah agar para murid menjadi saksi di Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai ke ujung bumi. Namun kalau kita mau jujur, banyak orang Kristen hari ini yang belum menyadari akan tugasnya sebagai saksi Kristus. Mereka lebih suka menggosipkan berbagai hal di gereja masing-masing alih-alih keluar menjangkau orang-orang. Sebagian besar gereja di Asia juga belum melaksanakan misi, karena mereka mengatakan tidak punya dukungan dana yang cukup. Mari kita bahas akar masalah dari alasan ini.

Problem dengan misi konvensional
Dua hari yang lalu saya berkesempatan untuk menghadiri seminar oleh Dr. Wonsuk Ma, seorang ahli Perjanjian Lama sekaligus misionaris yang telah melayani masyarakat pegunungan di utara Filipina selama 27 tahun. Kini beliau menjabat sebagai Direktur Eksekutif di Oxford Centre for Mission Studies di Oxford University (2).
Beliau antara lain menyampaikan bahwa gereja-gereja di Asia kebanyakan belum melakukan tugas misinya karena mereka merasa belum memiliki dana dan sumberdaya yang cukup. Pandangan ini jika ditelusuri berakar dari definisi tentang misi yang banyak dipengaruhi oleh tradisi misi barat,yaitu misi adalah: "mengirim satu atau sekelompok kecil orang yang terlatih untuk pergi ke suatu daerah terpencil yang belum mendengar Kabar Baik." Pandangan ini lebih menyukai kata pergi "Go" dari Mat. 28:18–20.
Memang definisi itu cukup berguna di masa lampau, namun memiliki potensi masalah dan keterbatasan, yaitu memuat asumsi bahwa misi hanya dapat dilakukan oleh:
a. Negara-negara adikuasa
b. negara-negara kaya
c. Negara-negara dengan supremasi ras tertentu
Itu sebabnya gereja-gereja di Asia dan Afrika yang kebanyakan masih bergumul dengan masalah dana dan sumberdaya,*** merasa tidak sanggup memikul tanggungjawab untuk melakukan misi. Mereka merasa masih penuh dengan kelemahan. Lalu mereka tidak melakukan apa-apa. 
Bukankah kebanyakan dari kita juga tidak pernah memberitakan Injil seumur hidup kita?
Menurut Dr. Wonsuk Ma,** solusi untuk problem tersebut adalah kita mesti mengubah paradigma misi yang dianut gereja-gereja pada umumnya, dari paradigma misi yang bertumpu pada kekayaan dan kekuatan, menjadi paradigma misi yang bertumpu paa kelemahan (mission paradigm starting from weaknesses). Pesan Dr. Wonsuk Ma ini bertolak dari pengalaman beliau sendiri dalam melayani desa-desa terpencil di utara Filipina, beliau mulai dengan berbagai kelemahan, seperti:
a. kurang ongkos, sehingga mesti naik bis ke mana-mana;
b. kadang-kadang mesti tawar menawar barang di pasar;
c. Keterbatasan bahasa sebagai misionaris dari Korea yang melayani di Filipina.
Kini setelah beliau hijrah ke Oxford, beliau merefleksikan bahwa seringkali justru dalam kelemahan-kelemahan tersebut maka pelayanan misinya menjadi efektif.
Itulah sebabnya beliau menyarankan bahwa gereja-gereja di Asia mesti belajar mengembangkan paradigma misi yang berawal dari kelemahan. Untuk itu, beliau menganjurkan untuk mempelajari teladan Yesus sendiri yang mengosongkan diri dan menjadikan diriNya hamba untuk menyelamatkan dunia. Karena itu izinkan saya membahas sedikit tentang Teologi Kenosis.

Kenosis
Teologi Kenosis bertolak dari Filipi 2:5-7

    5  "Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,  
    6  yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,  
    7  melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. "

Kisah tentang Yesus yang mengosongkan diri-Nya (kata asli: kenoo) telah banyak diperdebatkan oleh para teolog bahkan sejak abad ke-3. Pertanyaan yang sering diperdebatkan misalnya adalah apa yang dikosongkan? Apakah Yesus tidak lagi menjadi Anak Allah ketika turun ke bumi? Dst. Karena itu kini teologi kenosis sudah banyak dilupakan.
Namun menurut Ed Mathew (1), prinsip kenosis justru bisa dikembangkan menjadi suatu model misi. Artinya, daripada berdebat tentang makna kenosis, sebaiknya umat Kristen belajar meneladan hidup Yesus yang meninggalkan kemuliaan di hadirat Bapa dan turun mengambil rupa seorang hamba. Dengan kata lain, Yesus mulai misi Kabar Baik bukan dari posisi yang serba berada dan kaya, namun justru dari posisi yang sangat lemah. Bahkan Ia rela untuk lahir di kandang hewan dan bahkan mati disalibkan bagai penjahat. Dalam konteks misi, umat Kristen di Asia yang seringkali berada dalam posisi yang lemah baik secara finansial maupun politis, justru dapat belajar banyak dari teladan kenosis Yesus. Dan untuk itu tampaknya perlu dikembangkan pendekatan misi poskolonial, lihat bagian berikut.

Misiologi poskolonial dan misionaris 1 dolar
Literatur poskolonialisme berkembang cukup pesat dalam beberapa dekade terakhir, dan mulai diterapkan dalam bidang hermeneutik.(4) Meskipun demikian, penerapan studi poskolonialisme dalam bidang misiologi tampaknya masih agak jarang.
Menurut hemat saya, pendekatan poskolonial terhadap misiologi masih luas untuk dikembangkan terutama jika kita mempelajari teks Kisah Para Rasul dari perspektif poskolonialisme, lihat misalnya disertasi Ruben Munoz Larrondo (5). Secara ringkas, Larrondo memaparkan tesisnya yaitu bahwa gereja perdana berawal dari gerakan kecil yang berjuang di tengah-tengah arus tiga worldview utama waktu itu, yaitu: Yunani, Romawi, dan Yudaisme. Artinya, tantangan yang dihadapi waktu itu tidak kurang hebat dibandingkan dengan yang dialami oleh gereja-gereja saat ini di banyak daerah di Asia dan Afrika.
Lalu apa yang dapat kita lakukan?
Di tengah-tengah berbagai tantangan tersebut, tampaknya kita mesti menemukan terobosan kreatif. Dalam pengalaman penulis, dua hal yang perlu dikaji adalah soal teknologi dan lintas budaya. Dari sejarah, kita belajar bahwa gerakan Reformasi yang dipimpin oleh Martin Luther juga awalnya banyak ditentang, namun ia dengan cerdik menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jerman. Dengan bantuan mesin cetak Guttenberg, alkitab terjemahan Luther tersebut kemudian beredar secara luas, sehingga akhirnya dukungan mengalir bagi gerakan Reformasi.
Saat ini, dengan teknologi informatika dan komunikasi, kita dapat menjadi apa yang mungkin bisa disebut misionaris 1 dolar ($1 missionary). Sebagai contoh, yang penulis lakukan dalam kurun waktu 5-6 tahun terakhir ini dalam konteks misi adalah sbb.:
a. Menulis artikel di blog, seminggu sekali. Biaya= 0 rp.
b. upload dan share melalui berbagai media. Biaya= 3000-5000rp (warnet 1 jam).
c. Tweet tentang blog tersebut melalui sms. Biaya= 200 rp per sms
d. Update status di facebook secara otomatis dari twitter. Biaya=0 rp.
e. setiap 4-5 bulan sekali, koleksi artikel blog tersebut dibendel menjadi ebook, lalu file pdfnya dishare di www.4shared.com dan www.academia.edu.* Biaya=3000-5000rp (warnet 1 jam).
Total biaya: antara 6200 sampai 10200, atau kurang dari $1.
Dengan kata lain, apapun latar belakang Anda, sepanjang Anda memiliki kerinduan untuk bersaksi tentang Kristus, Anda dapat menjadi misionaris 1 dolar.

Penutup
Melalui artikel ini, kiranya kita dapat belajar sesuatu dari teladan Yesus yang mengosongkan diriNya dan mengambil rupa seorang hamba. Artinya, gereja-gereja di Asia dan khususnya di Indonesia perlu belajar mengubah paradigma misi, dari pendekatan misi berdasarkan kekayaan dan kekuatan, menjadi misi dari kelemahan.

Bagaimana pendapat Anda?

versi 1.0: 5 Mei 2016, pk. 10:58
VC

* Artikel-artikel dan ebook dari metode $1 missionary tersebut bisa diperoleh di http://independent.academia.edu/VChristianto
** terimakasih kepada Dr. Wonsuk Ma. Artikel ini merupakan adaptasi terhadap gagasan beliau.
*** Pak Pur telah mengisahkan tentang para pendeta yang melayani di desa-desa terpencil, lihat artikel-artikel blog beliau di www.sabdaspace.org

Referensi:
(1) Ed Mathew. Christ and Kenosis: a model for mission. Journal of Applied Missiology, Vol. 2 No. 1. Url: http://www.ovc.edu/missions/jam/kenosis.htm
(2) http://www.ocms.ac.uk/staff/?ccid=118
(3) Dana L. Robert. Christian Mission. Wiley-Blackwell, 2009.
(4) R.S. Sugirtharajah. The Bible and the Third World. Cambridge: Cambridge University Press, 2004
(5) Ruben Munoz Larrondo. Living in two worlds - A postcolonial reading of the acts of the apostles. PhD dissertation submitted to Vanderbilt University. Url: http://etd.library.vanderbilt.edu/available/etd-07172008-161250/unrestricted/PhDDissertationRubenMunozLarrondo.pdf
__________________

Dari seorang hamba Yesus Kristus (Lih. Lukas 17:10)

"we were born of the Light"

Prepare for the Second Coming of Jesus Christ:

http://bit.ly/ApocalypseTV

visit also:

http://sttsati.academia.edu/VChristianto


http://bit.ly/infobatique