Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kertas jimat di depan mimbar

Purnomo's picture

Pendeta meminta cincin kawin. Saya merogoh saku celana. Saya tak bisa segera mengeluarkan kotak kecil berisi 2 cincin kawin itu karena tertutup beberapa lembar kertas. Saku celana saya sempit. Saya tidak bisa mengeluarkan kotak ini tanpa lembaran kertas itu ikut serta. Jemari saya sibuk menyingkirkan lembaran itu agar tidak tersangkut di kotak. Saya makin panik ketika pendeta memelototi kain saku celana saya yang bergerak-gerak seperti menyimpan seekor tikus kecil. Kertas itu berwarna kuning ditulisi huruf-huruf kanji. Jika kertas-kertas dari kelenteng ini terjatuh di depan mimbar disaksikan sekitar 600 jemaat, habislah saya!

 
The wedding day
Waktu mobil pengantin datang menjemput, kertas itu sudah menempel di setiap pintunya. Ini kerjaan adik ipar saya. Saya berkeberatan karena orang-orang di gereja bisa gempar melihat saya datang dikawal kertas jimat. Tapi ia juga tidak mau saya berangkat tanpa penangkal kuasa kegelapan itu. Saya tahu maksudnya baik dan saya tidak tega mendengar ratapannya. Saya berangkat. Di tengah jalan saya menyuruh sopir berbelok ke sebuah jalan kecil. Di situ saya melepasi kertas itu. Saya tidak berani membuang kertas itu karena kuatir membuat beberapa orang di jalan yang menonton perbuatan saya sakit hati. Kertas itu saya jejalkan ke saku celana.
 
Waktu menjemput pengantin perempuan, ada kerabatnya yang menanyakan “pelengkap keselamatan” yang tidak terpasang di mobil. Menurut perhitungan beberapa orang pintar, saya tidak cocok dengan calon isteri saya. Sangat tidak cocok dan mudah bercerai. Saya katakan jika kertas itu ditempel di mobil bisa terlepas kena angin, jadi lebih aman saya kantongi. Padahal kertas itu dalam saku celana saya remas-remas. Saya tidak menduga remasan kertas itu malah membungkus kotak cincin. Akhirnya, saya berhasil mengeluarkan kotak cicin kawin itu tanpa menjatuhkan kertas jimat itu di depan mimbar. Saya yakin kesulitan yang terjadi itu bukan karena saya kuwalat. Buktinya, sampai sekarang saya belum dipecat oleh isteri saya.
 
Sebaliknya, adik ipar saya akhirnya menerima Yesus sebagai Juruselamatnya dan berkukuh memberi persembahan persepuluhan dalam keterbatasannya seperti yang pernah saya kisahkan di “Kisah-kisah sekitar persembahan persepuluhan” pada kisah ke-7.
o—
Saya terlambat datang di pesta pernikahan sepasang GSM. Mobil pengantin sudah ada di pelataran parkir. Tukang foto berdiri di pintu aula. Saya bertanya kepada penyambut tamu apakah pengantinnya sudah lama masuk. “Belum,” jawabnya, “itu, masih di mobil.” Kuatir ada masalah, saya menghampiri mobil pengantin. Mereka masih duduk di dalamnya. “Ruang pesta sudah penuh. Mengapa belum turun?” tanya saya.
 
Biar, belum waktunya. Masih kurang 4 menit,” jawabnya.
Kamu ini gimana sih? Sudah lama mengajar Sekolah Minggu masih percaya hitung-hitungan seperti itu.” Tapi mereka cuek saja.
 
Jadi, tak perlu heran bila Anda melihat ada mobil pengantin maju-mundur berulang kali di halaman gereja hanya untuk memersiskan jam-menit-detik turunnya pengantin menginjak tanah sementara pendetanya di pintu gereja memandanginya dengan senyum-senyum kecut.
 
Katekisasi tingkat lanjutan
Perbedaan 2 perilaku di atas menurut saya bersumber dari pengalaman yang berbeda. Dulu, setelah saya selesai katekisasi, saya digiring pendeta ke acara PA mingguan. Di PA, pembimbingnya mendorong kami berani bertanya. Bagi saya, PA ini seperti katekisasi lanjutan yang mengajarkan bagaimana memraktekkan ajaran-ajaran Gereja yang kami peroleh dari katekisasi sebelum menerima sidi.
 
Waktu pertama kali menjadi GSM, saya terkena aturan yang mewajibkan GSM yang bertugas Cerita untuk hadir di acara pembekalan. Ini berarti PA setiap minggu bagi GSM. Tidak ada Komisi lain yang serajin ini mengadakan PA. Boro-boro sebulan sekali. Ada saja sudah harus disyukuri.
 
Saya senang bila dalam persiapan mengajar ini, pemimpinnya memaparkan latar belakang Firman yang akan kami sampaikan, pesan Firman itu untuk hidup kami pribadi dan memberi kesempatan kami untuk bertanya bahkan mendebatnya. Bagi saya ini adalah pembinaan iman yang jauh lebih efektif daripada KKR atau kotbah Minggu karena apa yang tidak kami ketahui bisa kami tanyakan. Bahkan kami bisa mengajukan pertanyaan yang bagi sementara orang dianggap pertanyaan konyol. Misalnya-
 
Hawa jatuh ke dalam dosa karena digoda Iblis. Lalu siapa yang menggoda Iblis sehingga ia jadi jahat?”
 
Ketika manusia jahat sekali, Allah membinasakan mereka semua dengan air bah. Mengapa Allah tidak membinasakan Lucifer dan anak-buahnya saat mereka memberontak? Apa mereka lebih mungkin bertobat daripada manusia pada jaman Nabi Nuh?”
 
Abraham pasti bukan orang bodoh karena ia memimpin banyak pegawai. Tetapi mengapa waktu ia tawar-menawar dengan Malaikat Tuhan untuk meluputkan pemusnahan Sodom dan Gomora, ia berhenti pada angka 10? Mengapa bukan pada angka 5, yaitu Lot dan isterinya beserta 3 orang anaknya?”
 
Katekisasi tingkat lanjutan di SM inilah yang membuat saya tidak ragu melepas kertas jimat dari mobil pengantin walau kami berdua sudah diramal tidak cocok, tidak jodoh, tidak klop. Sementara 2 GSM dalam kisah kedua, ternyata tidak pernah menghadiri acara pembekalan mengajar SM. Walaupun bahan pelajaran katekisasi diberikan dengan lengkap, tetapi tanpa penyegaran terutama menghadapi perubahan-perubahan norma dalam kehidupan sehari-hari, seseorang bisa lupa atau mengabaikan apa yang pernah mereka dapat di kelas katekisasi.
 
Dengan rajin menghadiri “katekisasi tingkat lanjutan” ini, perlahan tapi pasti, kita dibiasakan menerima Firman secara utuh, tidak dilepas dari konteknya. Kita dibiasakan kritis terhadap penafsiran Alkitab. Dengan demikian kita bisa menengarai ajaran-ajaran yang tidak benar yang memelintir ayat-ayat dalam Alkitab. Kita tidak akan diombang-ambingkan oleh pengajaran yang setengah benar. (Efesus 4:11-14) Bahkan, kita terdorong untuk membawakan kasih dalam bentuk tindakan bukan sekedar niat saja (Yakobus 2:14-17).
Tindakan, indikator pertumbuhan rohani
Paduan suara remaja ini sedang mengalami musibah. Pengasuhnya mendadak berhenti melatih mereka. Namun mereka tetap datang untuk berlatih. Sebagian besar dari mereka adalah mantan anak SM saya. Karena mereka tidak punya lagu, saya memberikan lagu “Sobat Dari Galilea” dalam 2 suara dan menunggui mereka berlatih. Mereka berlatih sungguh-sungguh dan seorang dari mereka mencoba menjadi dirijen. Saya salut karena mereka tidak berhenti melayani ketika kehilangan pemimpin. Merekalah “suluh di pantai” yang kelak menjadi pandu kapal hidup rohani saya ketika “lampu mercu suar” padam atau meredup sinarnya (Nyanyikanlah Kidung Baru 206).
 
Jadwal tampil mereka di kebaktian umum pun tiba. Kebaktian ini juga merupakan kebaktian terakhir yang saya hadiri setelah tinggal di Palembang selama 4 tahun. Minggu depan saya akan pindah ke kota lain. Ketika orang terakhir telah menempati posisinya di depan mimbar, baru saya tahu sang dirijen berada di antara teman-temannya. Agaknya pada saat-saat terakhir ia kehilangan rasa percaya dirinya. Wajah mereka tegang.
 
Saya memandangi wajah mereka satu persatu mencoba mematerinya dalam ingatan. Saya akan meninggalkan mereka. Saya tahu 10 tahun lagi, wajah mereka akan terhapus dari ingatan. Tetapi pengalaman bersama mereka akan lebih lama terekam. Seperti kebiasaan mereka yang bersegera mengeluarkan buku tulis begitu penyampaian Firman diberikan. Mereka rajin mencatat pelajaran yang diberikan oleh para gurunya, yang lebih menekankan kepada doktrin gereja. Sebulan sekali kami mengadakan “ulangan” dan hasilnya tidak pernah mengecewakan. Padahal, sebelumnya saya tidak pernah mencatat kotbah yang saya dengar di kebaktian umum. Saya kemudian menirunya. Sampai sekarang saya masih menyimpan catatan kotbah yang dibawakan ibu pendeta gereja ini.
 
Saya akan lama teringat ketika mereka mendesak para gurunya untuk memimpin mereka berdoa puasa satu hari. Karena mereka ada di kelas tertinggi, kelas SMP, mereka ditugasi untuk menyelenggarakan bazar Sekolah Minggu. Walau gamang, surut berpantang. Karena itu mereka bersikeras mengawali kegiatan ini dengan doa puasa. Padahal saya sendiri sebagai gurunya tidak pernah mengawali kegiatan sebuah panitia yang saya pimpin dengan doa puasa.
 
Saya tidak akan lupa ketika melihat mereka berjalan keluar dari halaman gereja dan saya sangka akan ke pusat perbelanjaan. Ternyata tidak. Mereka akan ke rumah teman SM-nya yang ayahnya baru saja meninggal. Saya kagum karena itu mereka lakukan dengan inisiatif sendiri. Sebab itu saya mengikuti mereka berjalan ke halte bus yang tidak dekat letaknya. Dengan bus kami ke pinggir kota, lalu berjalan masuk ke sebuah lorong. Mereka menyanyikan sebuah lagu dengan iringan gitar yang mereka bawa. Ibu yang berdarah Sangir-Talaud itu menangis haru. Dalam perjalanan pulang, saya tercenung. Mereka telah mendemonstrasikan kasih yang proaktif, yang segera bertindak tidak menunggu komando orang lain. Yang rela mengorbankan uang sendiri tanpa menunggu kucuran dana dari organisasi. Kelak saya berusaha meniru apa yang mereka lakukan ini, yaitu menjadi aktivis proaktif dan prodeo (=tanpa bayaran, gratis, berasal dari kata pro Deo, untuk Tuhan) di dalam maupun di luar organisasi gereja.
 
Saya trenyuh melihat kemurungan mereka. Sekarang mereka berdiri di depan jemaat tanpa pemimpin. Apakah tugas saya sebagai pengasuh mereka telah berakhir? Apakah saya tidak akan turut bersedih bila mereka nanti menangis karena tidak berhasil memberikan yang terbaik untuk Tuhan? Bila ini terjadi apakah saya . . . . , o tidak, saya tidak ingin membawa potret wajah-wajah sendu ini dalam ingatan saya ketika meninggalkan kota ini. Saya sangat mengasihi mereka. I do deeply love them. Mendadak saja saya jadi nekad. Saya berdiri dan melangkah maju ke depan. Tiga meter menjelang mereka, saya berhenti.
 
Lutut saya gemetar. “Tuhan Yesus, tolong saya!” teriak saya dalam hati. Dengan masih gemetaran, saya mengacungkan tangan kanan ke arah remaja yang duduk di depan keyboard. Saya menjentikkan jari, dan ia mulai memainkan intro lagu itu. Jari tangan kiri saya tekan ke pipi dan, senyum bermunculan di wajah mereka. Ajaib. Senyum mereka membuat saya pede. Tanpa ragu saya mengayunkan tangan kanan saya dan dengan lembut mereka mulai melantunkan lagu itu. Sampai sekarang saya tidak bisa melupakan indahnya mereka menyanyikan lagu itu dengan mata berbinar. Bagian penutup lagu yang telah saya rubah menjadi rangkaian nada-nada tinggi dan perkasa, untuk mengungkapkan keyakinan atas penyertaan Sobat dari Galilea itu, mereka bawakan dengan gempita. Dan kemudian tiba-tiba melembut dalam akapela yang teduh di akhir lagu.
 
Usai kebaktian, seorang majelis menemui saya. Ia jengkel karena selama berjemaat di gereja ini saya menyembunyikan kebisaan saya memimpin paduan suara. Saya tertawa. Apanya yang disembunyikan? Orang yang akrab dengan dunia paduan suara pasti tahu gerakan saya memberi aba-aba di luar aturan karena saya lebih banyak menari di tempat. Ini bukan sok kontemporer, tetapi memang saya tidak tahu caranya. That is the first time saya jadi dirijen paduan suara. Modalnya hanya nekad gara-gara tidak tega melihat bekas anak-anak SM saya memasang wajah sendu. Cinta sering melahirkan tindakan nekad, bukan?
Pohon yang sehat, tak berhenti berbuah
Pengalaman ini kelak membuat saya berani membentuk vocal group SM kelas remaja di kota lain, yang tampil 2 minggu sekali di kebaktian umum membawakan lagu-lagu dari Kidung Jemaat agar jemaat mau mempergunakan buku nyanyian itu. Ini misyen imposibel, kata orang. Karena bukan hanya jemaatnya, tetapi hampir seluruh penatua juga tidak ingin memakai buku ini. Ketika saya membeli 20 buku nyanyian itu di BPK dan petugasnya mengetahui di mana saya berjemaat, dia kaget. “Apa tidak dimarahi bapak pendetanya? Biasanya ‘kan pakai buku Nyanyian Rohani dan Mazmur.” Semangat saya anjlok.
 
Dan makin amblas ketika seorang pendeta yang gerejanya satu sinode dengan gereja saya dan kebetulan ada di toko buku itu berkomentar, “Nanti kalau dimarahi, gereja saya mau menerima bekasnya kok.” Saya menjelaskan kepada beliau bahwa adalah aneh bila seluruh gereja anggota sinode ini sudah mempergunakan buku itu sementara gereja saya dimana sebagian besar pengurus sinode ada di dalamnya malah tidak memakainya. Jawabannya tidak menghibur saya. “Sudah biasa orang membuat peraturan untuk orang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Juga dalam organisasi gereja.”
 
Saya gamang tetapi mundur berpantang. Pertama tampil, kami menyanyikan “Gembala baik bersuling nan merdu” dengan iringan gitar yang lebih banyak saya mainkan di senar-senar bassnya untuk memberikan suasana dinamis. Di beberapa kalimat lagu, kami menyanyi dalam 2 suara. Dan jemaat tahu dari mana lagu itu berasal karena kami semua memegang buku nyanyian itu, walaupun kami sudah hafal lagunya. Namanya juga demo.
 
Dua minggu kemudian kami tampil dengan “Betapa kita tidak bersyukur.” Melihat tidak ada jemaat yang memrotes kami menyanyi sambil sedikit bergoyang, maka kami muncul setiap 2 minggu. Hasilnya? Tidak ada setahun jemaat minta buku nyanyiannya diganti. Mereka tidak berkeberatan membeli buku itu, padahal dulu mereka mengatakan tidak punya uang untuk membelinya. Mereka tidak lagi menolak belajar lagu baru karena tidak ingin kesukaan memuji Tuhan hanya dimiliki anak-anak Sekolah Minggu. O ya, hampir lupa. Kami menerima “upah”. Setiap SM akan mengadakan kegiatan keluar, entah itu ritrit sehari atau sekedar piknik ke tepi sungai, jemaat berebut menyediakan kendaraan atau makanan kecil gratis. Mereka jatuh cinta kepada Sekolah Minggu! It’s so wonderful ! Hepi banget jadi GSM di sini.
 
Saya harus berterima kasih kepada mantan anak-anak remaja Palembang yang telah mengajar saya untuk pantang surut walau hati kecut dalam kegiatan pelayanan. Jujur saya akui, saya tidak pernah menjadi teladan bagi mereka. Sebaliknya, saya mengkopi mereka.
 
Banyak ketrampilan yang saya peroleh dari pelayanan di SM. Membaca notasi angka, menulis lagu baru, menyusun alur cerita, menulis kotbah, melakukan konseling, berorganisasi dan lain sebagainya. Tetapi keuntungan yang paling utama adalah, kerohanian saya bertumbuh karena menggumuli pelayanan ini. Anda begitu juga, bukan?
 
(selesai bagian ke-6)
 
Bersukaduka bersama Sekolah Minggu
bag-6: Kertas jimat di depan mimbar
 

 

inot dadu's picture

@purnomo

God is Love

Saya senang sekali bisa membaca blog ini, ringan, aktual dan faktual, dengan sedikit sindiran2 yang oke.

Two thumbs up u/ bro purnomo..

TApi berhubung server SS yg sedang bermasalah, saya jadi tidak bisa menemukan artikel "Bersukaduka bersama sekolah minggu" bag 1 s.d. 5....

Apakah bisa di post lagi artikelnya ? atau kalau berkenan, dikirimkan ke email saya...toni75hw@yahoo.com....

Terima kasih, karena tulisan2 anda memberi banyak inspirasi bagi saya....

GBU. Keep blogging....

__________________

God is Love

Purnomo's picture

@inot, jangan jadi orang gila

Terima kasih atas apresiasinya.

BBSM bagian 1 dan 2 sudah berhasil saya posting kembali dan ternyata saya tidak membalas komen Anda tentang TSM yang Anda tulis di bagian ke-2.

Ada usulan saya tentang masalah itu yang bisa dibaca di bagian akhir bagian ke-2. Yang ditiru adalah pendampingan penatua, bukan jadi orang gilanya lho.

Salam,