Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

kidung malaikat-malaikat kecil

Benia Herawati's picture

Hujan deras!

Aku tidak tahu kenapa hari ini sangat tidak bersahabat untukku. Aku ngantuk berat karena malam sebelumnya tidur hanya 2 jam. Program pajak entah kenapa bisa rusak file-filenya hingga setiap 5 menit user bagian pajak konfirmasi, padahal pekerjaan yang kutinggal cuti seminggu menumpuk di meja, tetapi bosku lebih suka aku mengurusi apa yang dia minta.

“Scan naskah-naskah ini trus kirim lewat email,” katanya sambil memberikan surat berlembar-lembar. Dia tidak mau tahu kalau satu-satunya scanner di kantor tidak bisa dipakai dan aku mengusulkan naskah itu dikirim lewat pos saja. Dia tidak peduli bagaimana caranya, surat itu harus dikirim lewat email siang itu juga.

Jadi, disinilah aku sekarang, di studio photo untuk scan, tapi belom juga selesai, hujan deras sudah turun padahal aku sedang ngantuk, pusing, lapar karena lupa makan siang dan aku menyesal menyuruh teman kantorku balik duluan selagi aku masih di studio itu.

Aku marah dengan kondisiku, kalau aku sudah di kantor barangkali aku bisa kerja dan menyelesaikan pekerjaanku yang menumpuk, aku tidak perlu membawa lagi pekerjaanku ke rumah, mungkin aku bisa tidur nyenyak!

“I’m pretty.., I’m so pretty..” bisikku iseng sambil masih dongkol sendiri ingat adegan dalam film “Anger Managemen”.
Aku tersenyum sedih, waktu itu aku nonton film itu sambil terbahak-bahak.
“I’m pretty…so pretty..”
Setelah naskah-naskah selesai di scan, aku berdiri di ambang pintu studio memandangi hujan di luar yang turun sangat deras. Angin memutar-mutar daun-daun yang rontok sebelum jatuh ketanah.

“I’m pretty…so pretty..”
Aku berbalik dan duduk dikursi bangku di ruang tunggu studio itu, di ujung kursi yang berhadapan denganku, seorang pria dan wanita duduk mengapit seorang gadis kecil yang duduk membungkuk dan bahu agak miring. Wanita yang kukira ibunya mengelus kepala anak itu dan pelan-pelan menegagkan bahunya yang miring.

“Nanti kala di photo harus tegak seperti ini, Dede kan jadi cakep dan kakek pasti seneng, ya?” Kata wanita itu lembut sambil menegakkan bahu gadis kecil itu kembali.

Gadis kecil itu mengangguk. Tapi bahunya kembali melorot dan miring kearah kiri. Merasa diperhatikan, anak itu memandang mataku, aku tersenyum, aku merasa seperti dia, merasa tidak berdaya dengan keadaan yang sedang kualami. Aku merasa mataku agak berkabut, berusaha menaklukkan keterbatasankah yang sedang dia lakukan?

Tiba waktu mereka dipanggil, pria itu membantu bocah perempuan itu berdiri, tangannya jatuh terkulai dikedua sisi tubuhnya, dia memandangku sekilas, berdiri limbung, seperti mencari tumpuan, beberapa saat kemudian, dia menemukan keseimbangan.

Gadis kecil itu berusaha menegakkan bahunya dan menepiskan tangan ibunya lembut dan berjalan ke pintu ruang studio, dia menoleh lagi kearahku, mengangkat bahunya lebih tinggi, seperti berkata "See what I'm doing," kemudian menghilang di balik pintu.

Aku meluruhkan bahuku dan menyembunyikannya di balik kursi, bahasa gadis kecil itu seperti bahasa anak laki-laki yang kulihat di hari natal kampusku beberapa hari lalu.

Aku sudah disana hampir dua jam, menyapa tamu-tamu yang datang, mengucapkan halo, syalom dan sambil memberikan lilin kecil ke tangan mereka, kadang-kadang mengantarkan mereka ke bangku yang sudah di sediakan, aku merasa lelah tapi senang melakukannya.

Dua hari sebelum hari H, aku menolak jadi penerima tamu di acara natal kampusku. Aku tidak cukup luwes, kataku menolak karena merasa gamang sendiri, mengingat yang diundang pasti orang-orang dari berbagai denominasi gereja. Aku sudah senang dipilih jadi bendahara, tapi Ibu Jun dan Ibu Syeane berpendapat lain, kamu pasti bisa, katanya meyakinkan, jangan lupa kamu juga ikut di candle light service.

Warna natal kali ini berbeda dengan tahun kemarin, pikirku menerawang di antara orang-orang yang sedang berbincang-bincang, tahun lalu aku merayakan natal dengan seorang teman yang kepadanya aku merasa nyaman mengungkapkan beban-bebanku, kami saling memberi doa dan meneguhkan semangat untuk menjalani hidup masing-masing.

Suasana yang ramah dan saling sapa terlihat di sana sini. Alunan lembut keyboard dari atas panggung membuat suasana bertambah hangat.

“Melamun,” tepuk Hidayat pelan di tanganku, “Acara sudah dimulai tuh, tapi lihat, masih ada undangan yang datang.”
Dari pintu ruang kebaktian aku melihat seorang pria menuntun gadis kecil berpita putih yang berjalan lincah di sampingnya dan seorang wanita mungkin istrinya menuntun seorang anak laki-laki berumur kira-kira tujuh tahun berjalan lambat dan limbung didepannya.

Gadis kecil itu dan ayahnya cepat mencapai pintu, aku segera menyalami mereka dan memberikan lilin kecil. Entah kenapa aku tergerak menyongsong ibu dibelakangnya dan anak yang sedang dia tuntun.

Kulitnya anak itu kuning bersih tampak pucat dengan bajunya yang biru langit, kaki dan tangannya kecil dan agak bengkok, aku menunduk menyambut tangannya yang lemas, dia menyambut tanganku sambil memandang tepat ke bola mataku, sinar mata seorang anak yang cacat mental.

Aku tersenyum, menyerahkan lilin kecil ke telapak tangannya dan mengucapkan halo, dia bergumam dan menggenggam lilinnya erat-erat, wanita yang menuntunnya tersenyum lebar, “Anakku,” katanya tanpa nada kesedihan, dengan dagunya dia menunjuk ke arah gadis kecil dan pria yang sudah mendahului mereka. “Selalu minta ikut kemana saja kami pergi, gadis kecil itu adiknya.”

Aku mengangguk dan mengantarkan mereka ke bangku. Aku masih berjaga di pintu bagian dalam dekat ruang kebaktian waktu acara memberi kata sambutan dari orang-orang yang telah ditentukan dimulai. Anak-anak undangan yang kebanyakan berumur sekitar lima tahun ke bawah bermain-main di dekatku, di depan pintu ruang masuk.

Aku mengawasi anak-anak kecil itu yang kebanyakan anak dosen-dosenku, aku tertegun melihat anak laki-laki yang cacat itu bergeser pelan-pelan dari samping ibunya dan berjalan tertatih-tatih ke belakang. Dia duduk dibangku menonton anak-anak lainnya bermain-main.

Sesekali di wajahnya tampak senyuman, dia mengikuti mereka dengan bola matanya, bibirnya kadang-kadang menganga seolah takjub melihat gerakan-gerakan anak-anak itu, dia bertepuk tangan waktu adik perempuannya berhasil melompat dari bangku. Tiba-tiba aku ingin menyapa adik-adikku.

Anak itu masih sendirian di bangku panjangnya dan aku sendirian di tempatku duduk karena teman lainnya sedang menyanyi di depan. Hingga tiba waktunya penyalaan lilin, aku beranjak ke depan untuk bergabung dengan lima teman lainnya membawa lilin besar yang sudah menyala dan akan menyerahkan lilin itu kepada undangan kehormatan yang dipanggil untuk menyalakan lilin utama di depan panggung.

Aku bertugas memberikan lilin kepada bapak pendeta yang diundang berkotbah malam itu, sementara lagu “Silent Night” dinyanyikan, aku kembali ke bangku diantara undangan, menunggu lilin kecilku dinyalakan.

Aku berdoa untuk orang-orang yang kusayangi setelah lilinku menyala, tidak terasa airmataku menetes, diantara orang-orang yang sedang menyanyi, aku merasa sendirian dan sangat jauh dari orang-orang yang kurindukan.

“Selamat ulang tahun,” bisikku pada diri sendiri. “Semoga panjang umur.”
Aku teringat anak kecil yang cacat itu, anak-anak lainnya sudah kembali pada orang tua mereka, aku berbalik ke belakang dan mendapati dia sedang berdiri dibangkunya sendirian dikegelapan memandangi lilin-lilin orang didepannya, dia tidak menangis tapi dia menatap wajahku lekat saat aku mendekat, aku mengulurkan lilin kecilku dan meletakkan ditangannya yang kuning bersih dan kurus, airmataku semakin menggenang.

“Selamat natal,” bisikku. Dia mengambil lilinku dan memandangnya dengan wajah sukacita. Dia tersenyum sekilas kearahku kemudian di tengah kegelapan ruangan dia memandang lilinnya dan larut dengan suasana lembut dari lagu yang sedang dinyanyikan.

Aku kembali ke kursiku pelan-pelan ditempat penerima tamu dan membiarkan gelap tanpa nyala lilin. Kupikir seorang malaikat telah menyapaku melalui anak kecil yang cacat itu, kehadirannya seakan bicara bagaimana aku harus bersyukur dengan semua yang kumiliki ditengah rasa tidak berdaya dan rasa kesendirian yang tiba-tiba merayapi sanubari, seperti hari ini, malaikat itu datang lagi dalam bentuk kecacatan seorang gadis kecil berbahu miring.
Dia berusaha menegakkannya!

Dan itulah yang harus terjadi, menegakkan semangat dari diri sendiri. Semoga Tuhan memberkati kita semua dan selamat menyongsong tahun baru.

Salam, Benia

 

Purnomo's picture

Berbahagialah mereka yang mengetahui maksud Tuhan

melalui peristiwa yang terjadi di sekelilingnya.

Salam.

Benia Herawati's picture

thankyou..:)

bener..kadang2 Tuhan Bicara ngak hanya lewat Firman aja ya...:)

dennis santoso a.k.a nis's picture

aku jatuh cinta

24 des 2009 malam, perapatan simpang dago, bandung...

seorang anak lelaki mengamen dengan biola disertai adiknya yang menabuh gendang. kombinasi yang aneh bin ga masuk, tapi anak ini menarik. matanya... tatapan liar yang sungguh indah. kuat. gue rasa suatu hari dia akan jadi orang, selama mata itu masih ada.

 

25 des 2009 siang, di FO the secret, bandung...

seorang anak cewek yang tampangnya kayak berhari2 nggak mandi, menarik celana pendek gue dari belakang, "om, kasian om, beli koran dong om, buat beli buku sekolah om, kasian om". gue ngeliat anak itu dari atas ke bawah, berulang2. gue melihat koran yang dia jual, "buset koran kemaren", pikir gue.

anak itu terus merengek dengan pandangan iba, mata berair, mulut ngos2an kayak baru lari dua km.

herannya, gue sama sekali ga merasa iba. malah gue jijik. gue pernah ada di posisi anak ini tapi saat itu tidak sekalipun gue membuang harga diri dengan mengucapkan kata2 klise nan menjijikan seperti "...buat beli buku sekolah".

 

25 des 2009 sore, perapatan simpang dago, bandung...

pengamen ber-biola yang kemaren datang lagi. rupanya dia emang mangkal disini. lagi2 gue jatuh cinta sama matanya. anak lelaki yang kuat, kesan gue. tanpa sadar tangan gue merogoh dompet dan mengeluarkan duit 10 ribu. "ga ada artinya buat gue... juga ga ada artinya buat dia... tapi gue suka matanya", pikir gue.

gue buka jendela dikit, tangannya terulur menerima duit yang gue sodorin, kepalanya mengangguk sedikit, senyum kecil yang dipaksakan... bener2 anak yang punya harga diri... gue bener2 jatuh cinta.

 

27 des 2009 pagi, lapangan basket kota wisata, jakarta

somehow gue jadi selalu teringat sama "si mata" dan juga "si cengeng". gue merasa apa yang gue yakini sebagai kebenaran sampai suara nan halus terngiang di kepala...

"kadang, ketika dunia runtuh, saat itu harga diri akan menguap. harga diri ga bisa dipake buat makan... kamu jijik tapi itu masalah kamu... dia ga akan keberatan dengan kejijikan kamu selama dia bisa makan"

 

Benia Herawati's picture

bit similar:)

critanya hampir sama ya:) butuh kejelian bisa menangkap detail kaya gitu diantara cerita hidup sehari2:)

thanks dah share...

God bless...

salam