Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kisah Seorang Pendeta

anakpatirsa's picture

Jika boleh menyalahkan seseorang atas nasibku saat ini, maka orang itu adalah adikku. Seorang calon pendeta yang entah karena tahu kakaknya tidak pernah ke gereja atau yang ada di pikirannya hanya kata Kristen -- aku tidak tahu yang mana -- memilih sebuah universitas Kristen di tengah sawah untukku. Kepada keluarga ia beralasan Anakpatirsa lebih cocok kuliah di universitas Kristen bila mengambil jurusan komputer.

Aku juga tidak tahu alasan ini benar atau tidak, tetapi yang pasti waktu itu aku tidak punya banyak pilihan, disamping tidak tahu apa-apa tentang Jogja, uang yang ada juga pas-pasan.

Banyak cerita yang kami alami bersama di sana. Jadi ingat bagaimana dalam perjalanan pertama dari Semarang ke Jogja, pura-pura tidak melihat keluar bis. Bergaya seolah-olah sudah biasa melihat jalanan yang begitu mulus, deretan bangunan tanpa ujung di sepanjang jalan, serta jembatan yang begitu kokoh. Seperti kata orang, hanya sekedar jaga image, tidak ingin adikku memergoki kakaknya yang selama ini terkenal begitu sok tahu tiba-tiba bertingkah kampungan di kota besar.

***

Akhirnya aku bisa melihat kampus adikku, bekas sebuah SMP. Melihat kampus tersebut, aku jadi teringat bagaimana cerita ia bisa sampai di kota ini.

Masih jelas bagaimana ibu berusaha menyembunyikan air matanya ketika pertama kali Dein pulang setelah setahun di Jogja. Waktu berangkat setahun sebelumnya, adikku laki-laki satu-satunya ini sedikit gemuk. Terkenal sangat suka makan. Kami semua benar-benar kaget ketika ia pulang dengan tubuh yang sangat kurus. Kami hanya bisa mendengar cerita di sana ia hanya makan tempe.

Setahun sebelumnya, ia dan ayah ke tempat kost kami di kota. Ayah akan mengantarkannya mendaftar di sekolah teologia yang disediakan oleh sinode gereja, di provinsi lain, tetapi di pulau yang sama. Malam itu menantu ibu kost datang. Ketika tahu Dein besoknya akan berangkat bersama ayah, bercerita adanya penerimaan mahasiswa teologia di Jogja. Gratis! Ayah menanyakan bagaimana kalau Dein kuliah di Jawa saja. Kami semua tahu ayah belum punya uang jika Dein diterima di sekolah teologia yang akan didatangi besok. Jadi kami ikut senang ketika Dein menerima usul ini dengan senang hati. Ayah hanya mengingatkan, kuliah di Jawa berarti kesempatan menjadi pendeta di gereja kami sudah tidak ada.

Dein berangkat, dengan semangat tinggi, bersama sekitar 50 orang calon mahasiswa teologia lainnya. Semuanya gratis, kecuali membayar 50 ribu kepada orang yang menjadi koordinator. Biaya yang ternyata sebuah pungutan liar, karena siapapun yang menjadi koordinator akan mendapat bayaran dari sekolah teologianya, sesuai dengan jumlah kepala yang berhasil dikumpulkannya.

Semuanya tidak seperti yang mereka bayangkan sebelumnya. Mengira akan kuliah dan berasrama di sebuah bangunan beton megah yang putih bersih. Ternyata hanya sebuah bekas SMP beratap rumpia yang sudah berlubang di sana-sini. Tempatnya memang di Jogja seperti yang dijanjikan, tetapi di daerah perkampungan, satu jam dari Malioboro. Untuk urusan makanan, juga cukup sederhana, berbagi jatah nasi dan tempe -- Namanya juga gratis.

Tiga bulan pertama, separuh dari lima puluh orang itu pulang. Di tahun ketiga empat orang tersisa. Hanya tiga yang diwisuda dari angkatan itu setelah enam tahun kuliah, Dein, adikku; Eva dari kampung tetangga; serta satu orang yang aku lupa namanya, anak bekas teman ayah waktu bujangan.

Setelah dua tahun di Jogja, suatu hari aku ikut menginap di tempatnya. Dein sudah keluar asrama, peraturan kampus menetapkan seorang mahasiswa tahun kedua dan seterusnya harus tinggal bersama masyarakat. Ia menumpang sebuah keluarga sederhana dengan bayaran dua ratus ribu pertahun.

Malam itu turun hujan, kamar Dein terletak di bagian belakang rumah berdinding gedek dan beratap rumbia itu. Aku terbangun karena sesuatu menetes di dipanku, merasakan seseorang menyelimutiku. Mungkin supaya tidak terbangun dan terganggu dengan air yang bertetesan di hampir seluruh kamar.

Malam itu aku baru menyadari mengapa ia tidak pernah mengajakku tidur di tempatnya.

Setelah itu, selama sama-sama di Jogja, ia beberapa kali membuatku marah atau jengkel. Tetapi rasa marah atau jengkel itu langsung hilang bila ingat apa yang dilakukannya malam itu, apalagi membayangkan ia mengalami malam-malam seperti itu selama bertahun-tahun.

Ya, kadang-kadang ia memang membuatku jengkel. Sebenarnya hanya sepele, seperti datang ke kampusku, hanya untuk meminjam jeans pemberian pendetaku yang memang tidak pernah kupakai. Ia akan ke Surabaya dan ingin merasakan bagaimana rasanya memakai jeans waktu keluar kota. Kampusnya memang melarang pemakaian celana berkain tebal itu, tetapi ia merasa tidak akan ada yang memergoki dia memakainya di Surabaya. Ingat kejadian malam berhujan itu membuatku tetap meminta ijin dosen hanya untuk mengambil sebuah sebuah celana dari kost.

Setelah lulus ia pulang kampung.

Ayah dan ibu tidak bisa berkata apa-apa ketika adikku ini tidak langsung memimpin sebuah gereja. Kami sama-sama tahu gereja di kampung punya sinode dan sekolah teologia sendiri. Tetapi pendeta kami tidak menolak ketika Dein datang hanya untuk sekedar membantu, kadang-kadang hanya sebagai koster gereja. Tidak ada yang berani mengambil resiko memberi kesempatan khotbah kepada seorang lulusan sekolah teologia yang dianggap tidak jelas "alirannya".

Aku masih di Jogja, kabar itu membuatku hanya bisa ingat bagaimana suatu hari aku hanya bisa memberikan recehan untuk dia bisa pulang ke asramanya. Aku tahu apa yang dialaminya selama kuliah, sehingga tidak kaget ketika mendengar ia mau mencari keladi untuk makanan babi pendetanya.

Setahun sebelum aku wisuda, suatu hari ia menelpon, meminta aku mengurus pengesahan ijazah dan transkripnya. Lalu kehidupannya mulai berubah, lebih layak, dan semua orang menjadi tenang. Ia akhirnya menjadi seorang pendeta di sebuah gereja yang tidak mengenal istilah lahir baru. Lalu entah mengapa, kedua temannya yang sama-sama berhasil lulus juga diterima oleh Sinode itu, tentu saja setelah menjadi koster selama beberapa tahun.

***

Itulah adikku, kadang-kadang aku bertanya, jika ia tahu perbedaan antara ilmu komputer dan informatika komputer, aku tidak akan kuliah di tengah sawah. Delapan tahun lalu aku menelponnya, berkata, "Carikan aku universitas yang ada fakultas informatikanya." Ia malah mendaftarkanku ke Fakultas Ilmu Komputer, mengira keduanya sama.

Aku mengenal Yesus di sana dan semuanya berubah, semua cita-cita berubah, bahkan tujuan memperdalam dunia komputer juga berubah.

Jika boleh jujur, aku tidak menyesalinya. Tidak menyesali hanya kuliah di sebuah perguruan tinggi kecil. Di tengah sawah lagi, sehingga kuliah kadang-kadang terganggu bila ada orang yang membajak sawah tepat di samping ruang kuliah.

Lalu, bila suatu hari nanti ada masalah antara aku dan adikku, aku hanya tinggal mengingat malam ketika ia menyelimutiku di tengah hujan lebat.

mercy's picture

Gaya penulisannya bagus

Dear Anakpatirsa  

Sudah beberapa tulisan Anda saya yg baca dan sungguh saya bukan cuma diberkati tetapi juga kagum dengan kemampuan Anda dalam menulis.

Mudah-mudahan satu ketika saya bisa menulis dengan minimal mendekati kemampuan menulis Anda  

Tuhan Yesus memberkati

 

Sola Gratia

__________________

 

 

 

Sola Gratia