Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kristus: Tuhan atas Keluarga

Mirandola's picture

Kristus: Tuhan atas Keluarga

Efesus 6:1-9

Oleh: Deky H. Y. Nggadas

Struktur Surat Efesus:

Psl. 1 : Salam dan berkat

Psl. 2 : Union with Christ yang dideskripsikan sebagai tindakan Allah yang menghidupkan manusia berdosa dari kematian

Psl. 3 : Penjelasan Paulus tentang pelayanannya kepada orang-orang non-Yahudi/gentiles

Psl. 4 : Pola hidup baru dalam kesatuan tubuh Kristus

Psl. 5 : Penyembahan berhala dan hubungan suami-istri sebagai representasi hubungan Kristus dengan jemaat-Nya.

Psl. 6 : sikap dan peran masing-masing anggota keluarga dan perlengkapan rohani

Pendahuluan

Bagaimana memahami perikop ini (dan juga perikop sebelumnya)?

  1. Berdasarkan pembagian strukur kitab ini, para ahli pada umumnya merumuskan pembagian isi kitab ini menurut tema utamanya: Gereja sebagai Tubuh Kristus. Dari tema utama ini kitab Efesus dibagi menjadi dua bagian besar: ps. 1-3 berbicara tentang Gereja yang hidup di dalam Kristus dan ps. 4-6 berbicara tentang Fungsi atau peran Gereja di dalam dunia. Itu berarti, perikop ini termasuk di dalam golongan nasihat-nasihat yang sifatnya praktis atau aplikatif. Konkretnya: nasihat tentang bagaimana seharusnya masing-masing anggota keluarga, khususnya orang tua (ayah dan ibu), anak-anak, dan para budak menjalankan peran mereka sehingga idealisme tentang keluarga yang sehat dan harmonis itu dapat terealisasi.
  2. Berdasarkan asumsi tersebut, maka seringkali bagian ini dijelaskan dengan arah penekanan kepada apa yang harus dilakukan masing-masing anggota keluarga. Tidak heran kalau bagian-bagian ini (termasuk 5:23-33) dikhotbahkan maka tema yang biasanya diberikan adalah: Keluarga Bahagia, Peran dan Fungsi masing-masing keluarga, Cara Hidup Keluarga Kristen, dsb.

Praktis Teologis or Teologi Praktis?

Pertanyaannya: Apakah hanya sebatas itu? Apakah perikop ini semata-mata nasihat praktis tentang relasi dan peran antar anggota keluarga (khususnya antara orang tua, anak, dan para budak)? Lalu apakah bagian-bagian seperti karena bersifat praktis maka tidak atau kurang teologis? Atau kalau dibalik pertanyaannya, maka apakah ketika Paulus sedang mengajukan suatu nasihat atau suatu konsepsi teologis lalu itu berarti bahwa konsepsinya itu tidak atau kurang praktis? Bagi saya, kalau memang ini penekanannya, maka paling tidak muncul beberapa persoalan yang sulit untuk kita jelaskan solusinya:

a. Menyatakan, melihat dan memahami bagian ini sebagai nasihat praktis semata, berarti kita sedang membuat suatu separasi yang berbahaya antara nasihat-nasihat yang bersifat teologis dan yang bersifat praktis. Salah satu contoh: dalam pasal 2:8-9, Paulus menulis tentang suatu doktrin Soterologi yang sangat fundamental bahwa manusia diselamatkan bukan karena berhasil menyogok Tuhan dengan perbuatan baiknya, melainkan karena kasih karunia Allah semata. Tidak ada andil manusia dalam hal keselamatan kita. Ini adalah konsep teologis yang sangat penting tetapi perhatikan bahwa Paulus langsung melanjutkan kalimatnya dengan “jangan ada orang yang memegahkan diri”. Sebenarnya, teologi Paulus adalah teologi yang praktis demikian pula bahwa nasihat-nasihat praktisnya tidak pernah kurang memiliki bobot teologis.

b. Jika ini semata-mata nasihat praktis, maka sebenarnya bagian yang Paulus tulis ini tidak memiliki suatu karakteristik atau suatu kekhususan yang olehnya kita menyatakan bahwa Paulus sedang berbicara tentang prinsip-prinsip Kristiani di sini. Mengapa? - Kalau kita perhatikan urutan atau ordo nasihat Paulus mulai dari: Hubungan suami – istri, orang tua – anak, dan hubungan para budak dengan tuan mereka, maka sebenarnya Paulus berhutang kepada ajaran tentang Household Codes yang diajarkan Aristotel yang memang pandangannya sangat popular dalam kebudayaan Greco-Roman pada waktu itu. Dalam Dictionary of NT Background, dikatakan bahwa urutan hierarkis ini merupakan kutipan dari ajaran Aristotel.-

Berbicara tentang seorang anak yang harus menaati orang tuanya (ay. 1), juga bukan merupakan suatu ajaran yang baru pada waktu itu. Oleh karena ternyata keharusan menaati orang tua merupakan suatu ajaran yang umum baik yang dicetuskan oleh para filsuf moralis, maupun oleh para rabi Yahudi. Bahkan seorang filsuf Skeptik bernama Sextus Empiricus menganjurkan agar hormat kepada orang tua harus dijadikan sebagai suatu ciri kebudayaan yang positif.-

Dengan memperlihatkan bagian-bagian seperti ini, saya ingin mengungkapkan bahwa kalau yang kita lihat dan yang kita cari semata-mata tugas praktis dalam suatu relasi rumah tangga, maka tulisan Paulus bukan merupakan pilihan satu-satunya. Dan kalau tulisan Paulus ini bukan merupakan pilihan satu-satunya, maka kita sedang menuju kepada pengakuan bahwa tulisan-tulisan para filsuf moralis dan rabi-rabi Yahudi dapat disetarakan dengan bagian ini.

Jika demikian apakah yang menjadikan bagian ini unik atau istimewa dibandingkan dengan anjuran-anjuran filosofis dari berbagai cendekiawan pada waktu itu?

I. Kristus sebagai fondasi

  1. Kristus sebagai fondasi kehidupan rumah tangga (dalam ps. 5:22-33 dijelaskan tentang hubungan suami-istri sebagai Sang Kepala yang mengendalikan dan menguasai hubungan sebuah keluarga Kristiani dan perikop 6:1-9 merupakan lanjutan 5:22-33)
  2. Semua bentuk imperatif selalu dikaitkan dengan Tuhan - Kristus (hupakuete yang berarti obey, be subject to; respond to, accept, adhere to; answer [the door]; tima yang berarti honor, regard, reverence; set a price on (Mt 27.9a; midd. Mt 27.9b); acknowledge edge the status of or give financial aid to (1 Tm 5:3); parorgijete yang berarti make angry, make resentful). Semua kata imperative dalam bagian ini ditulis dalam tense present yang menandai progesivitas atau kontinuitas penerapannya karena demikianlah yang dikehendaki Tuhan. Oleh karena Kristus adalah Sang Kepala rumah tangga, maka ketaatan, penghargaan, penghormatan, tidak membangkitkan kemarahan anak, dstnya menjadi sebuah imperatif yang kontinue. Artinya, seseorang tidak boleh memunculkan suatu alasan apapun untuk mengabaikan perintah-perintah tersebut. Tentu saja penerapannya harus selalu terkait dengan Kristus.

II. Kristus sebagai pemersatu perbedaan

Paulus memang ”mengadopsi” hierarki yang digagas Aristotel, namun ia memberikan suatu emphasis (penekanan) pada substansi yang sama sekali baru. Paulus menempatkan Kristus pada poros paraenesis-nya (nasihat). Perhatikan bahwa Paulus tidak berusaha menghapuskan perbedaan-perbedaan dalam relasi sebuah keluarga. Paulus justru menunjukkan bahwa perbedaan itu sendiri bukanlah suatu masalah yang harus dibuang. Bagi Paulus, perbedaan dapat ditempatkan pada konteks kebersamaan, jika Kristus ada di dalam relasi sebuah keluarga.

  1. Perbedaan peran. Dalam perikop 5:22-33 dan 6:1-9 dijelaskan tentang kewajiban dari masing-masing anggota keluarga dalam memelihara kelangsungan sebuah keluarga. Peran itu berbeda satu sama lain (peran suami, istri, anak-anak, budak). Tetapi setiap kali seorang anggota keluarga dituntut melakukan sesuatu, maka itu selalu diarahkan kepada Tuhan/Kristus. Peran dari masing-masing anggota keluarga menjadi sama-sama penting karena pada hakikatnya, arah dan tujuan adalah demi dan untuk Tuhan.
  2. Perbedaan status. Perhatikan bahwa dalam kultur Greco-Roman yang menganut sistem kekerabatan paternalistik mutlak (ayah/suami sebagai pengendali mutlak seluruh anggota keluarga) namun Paulus menunjukkan bahwa istri, anak-anak, dan budak patut diperlakukan sebagai pribadi yang berharga. Perlakuan terhadap budak, misalnya, harus dipandang dalam perspektif jangkauan pandangan Allah (ay. 9). Memang hierariki sebuah keluarga tetap terlihat dalam perikop ini (Kristus – suami – istri – anak-anak & budak) namun sikap terhadap mereka tidak semata-mata berdasarkan hierarki tersebut, tetapi berdasarkan apa yang Tuhan pandang baik. Menarik untuk diperhatikan bahwa ternyata kata hupakuete yang digunakan untuk anak-anak (ay. 1) juga digunakan bagi para budak (ay. 5). Memang kata tersebut kemudian diteruskan dengan istilah ”takut dan gentar” namun Paulus kemudian mengajak para budak itu melihat ketaatan tersebut sebagai sebuah pelayanan (ay.7). Jadi memang Paulus tidak mengatakan apa-apa untuk menghapuskan sistem perbudakan yang lumrah pada waktu itu. Memang itu bukan intens Paulus. Namun dapat dikatakan bahwa dari aspek relasi, tulisan Paulus dalam perikop ini merupakan sebuah terobosan yang sangat luar biasa. Seorang budak, dalam tulisan Paulus tidak lagi melihat dirinya semata-mata sebagai seorang budak (slave/doulos), tetapi juga seorang yang sedang melayani dalam tataran ketaatan seorang anak.

Konklusi

Jadi perikop ini bukan semata-mata berbicara tentang apa yang harus dilakukan oleh masing-masing anggota keluarga terhadap Tuhan tetapi juga tentang apa yang Tuhan sudah lakukan bagi setiap anggota keluarga. Itulah sebabnya beberapa prinsip penting yang perlu kita perhatikan dalam menata kehidupan rumah tangga kita, adalah:

1. Keluarga yang dapat merealisasikan apa yang Paulus nasihatkan di sini adalah keluarga yang menempatkan hubungannya dengan Kristus itu di atas segala-galanya. Orang tua, anak, atau seluruh anggota keluarga yang tinggal dalam sebuah rumah tangga haruslah orang-orang yang sudah ditaklukkan hati dan hidupnya oleh Tuhan Yesus. Mereka yang sudah berdamai dengan Tuhan, yang dari waktu ke waktu mempercayakan seluruh hidup mereka di tangan Tuhan yang maha kuat itu. Ini kedengarannya terlalu ideal, tetapi bukankah hubungan yang intim dengan Tuhan merupakan faktor fundamental yang mempengaruhi aspek psikomotorik seseorang?

2. Tuhanlah yang mengerjakan kemampuan dan kerelaan untuk menghargai perbedaan peran dan status masing-masing anggota keluarga. Pentingnya kehadiran seorang anggota keluarga bukan semata-mata ditentukan oleh status dan perannya, melainkan juga karena karya Tuhan yang dinyatakan melaluinya. Peran masing-masing anggota keluarga menjadi imperatif yang kontinue karena terlebih dahulu Tuhan sudah berkarya bagi mereka.

3. Dengan demikian, hendaklah kita menjadi anak-anak yang menghormati orang tua atau anak-anak kita adalah anak-anak yang tunduk kepada otoritas kita, demikian pula kita adalah orangtua2 yang menjadi teladan dalam kasih bagi anak-anak kata dst., karena Kristus adalah Tuhan atas rumah tangga kita!

__________________

<td <