Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

MBOKYAO - 1

Purnomo's picture

         Jumat 25 September 2015 pagi aku pergi ke sebuah SMK di Jl. Dr Cipto. Sebuah gereja memberiku data diri 10 anggota PPA yang dinaunginya, siapa tahu aku bisa ikut menyantuni mereka. Ada teman-teman yang tidak setuju bila seorang siswa yang telah mendapat santunan yayasan PPA aku santuni agar distribusiku bisa lebih luas dibanding apabila aku menyantuni mereka yang sudah mendapat santunan dari pihak lain. Tetapi bagaimana bila SPP-nya 180 rb sedangkan donasi PPA hanya 70 rb? Terlebih lagi bila ortunya betul-betul tidak mampu? Karena itu aku ke SMK ini untuk keperluan itu.



         Begitu duduk di depan petugas TU aku ditanya, “Dari mana Pak?”
        “Dari rumah,” jawabku.
         Dia tertawa.
        “Betul kok, saya tidak bohong. Tadi dari rumah langsung ke mari ndak pakai mampir-mampir,” jawabku serius. Lalu aku jelaskan ada gereja yang meminta aku menyantuni beberapa anggotanya dan ada yang bersekolah di sini. Aku ingin tahu “riwayat” pembayaran spp-nya.

        “Brando kelas 10, spp 275 rb, apa spp Septembernya sudah dilunasi?”
        “Sudah, baru minggu ini.”
        “Dia dapat santunan dari AAT Anak Anak Terang?” tanyaku karena tahu sekolah ini mitra AAT.
        “Tidak.”
        “Mengapa? Padahal dia miskin.”
        “Dia masih kelas 10, tetapi sudah didaftarkan. AAT memberi santunan kepada yang kelas 11 dan 12.”

       “Lalu Danis, kelas 11.”
       “Di sini tidak ada yang bernama Danis.”
        Aku melihat berkas yang aku bawa. “Ooo, maaf, saya salah baca. Danis di SMK Islam Taman Progo. Bagaimana dengan Lala? Berapa bulan tunggakannya.”

        Setahun yang lalu begitu melihat nama Lala ada di daftar AAT aku segera ke rumahnya. Ibunya cerita menunggak 2 bulan sehingga aku mengomel, “Mbokyao kalau sudah dibantu orang itu ya jangan nunggak lagi. Kalau orang AAT jengkel lalu semester depan tidak lagi disantuni ‘kan sayang? SPP 275 rb, dapat dari PPA 70 rb, sekarang AAT ikutan 100 rb, tinggal 105 rb kok ya masih nunggak.”

       “Baru saja dilunasi sekaligus sampai September,” kata petugas TU.
       “Lalu Stephen yang yatim piatu, biasanya yang datang membayar apo(nenek)-nya. Dia masih dapat dari AAT?”
        Apo ini merawat 3 cucunya yang datang dari 2 anak dan 2 menantunya yang telah meninggal sampai pernah aku bertanya kepadanya, “Apo, 4 anak dan menantu Apo meninggal sungguhan?” sampai ortu lain yang mendengarnya tertawa ngakak. Sekarang ini ada pasangan muda yang bercerai kemudian anaknya dititipkan neneknya sedangkan mereka masing-masing cari pasangan baru. Apo dengan sepedanya berkeliling berjualan mi gelas, tinggal di kamar kontrakan.

       “Stephen masih disantuni AAT. Untuk Juli neneknya baru nitip 125 rb. Bpk juga menyantuni dia?”
       “Tidak. Itu ‘rejeki’ pendetanya.”
       “O, pak Thomas ya?”
       “Betul.”

        Lalu aku ke SMP di sebelahnya mencari petugas urusan SPP. Dalam berkasku ada adik Lala yang kartu spp-nya sejak Juli masih bersih. Sayang petugasnya hari itu tidak masuk. “Ke sini hari Senin saja Pak,” kata guru yang menemuiku.

        Satu halaman dengan SMP ini ada SD yang hari Senin yang lalu aku temui Kepseknya untuk menyerahkan 30 lembar surat pemberitahuan kepada 30 siswanya bahwa santunan September bisa mereka ambil di rumah penyalur santunan yang telah aku tentukan. Selain itu aku juga memberikan 5 formulir permohonan santunan untuk diteruskan kepada lulusan SD-nya yang kemudian pindah ke SMP ini. Di antaranya untuk 1 siswa yang selama 3 tahun tidak membayar spp dan dengan santunan yang aku berikan kemudian berhasil dibujuk untuk membayar spp-nya bulan berjalan sementara tunggakannya di’putih’kan. Ini repotnya sekolah yang terima BOS: tidak bisa memecat siswa yang tidak bayar uang sekolah.
    
        Lepas dari sekolah ini aku menyusuri jalan di sebelahnya. Ada berkasku yang beralamat di jalan ini bernomor 42-F. Aku mau menengok rumahnya, gedung atau gubuk. Nomor 42 ternyata kelenteng. Di sebelahnya ada gang kecil. Aku masuk ke sana dan melihat deretan rumah-rumah kecil. Aku tak perlu mampir karena pemandangan itu sudah cukup bagiku.

        Aku membelokkan motorku menyusuri sungai. Di tepi sungai itu ada SD yang dalam artikel-artikelku aku samarkan dengan nama “SD Tabita”. Bulan ini 30 siswa masih aku santuni seluruh biaya pendidikannya, kecuali pakaian seragam. Aku masuk ke kampung kecil di belakangnya, ke rumah Lala.

       Mbakyu ibunya Lala dan buliknya yang menemui aku. Buliknya masih muda belia dan cantik. Enam tahun yang lalu rumah Lala adalah rumah yang pertama aku kunjungi ketika memulai kegiatan penyantunan ini dan di sini pula aku pertama kali menerima ‘semprotan’ yang pedas dari buliknya ini.
      “Mengapa cuma Lala? Kalau mau menolong itu ya sekalian 3 adik kembarnya. Jangan tanggung. Orang kaya itu sok. Nyumbang hanya 1 orang tetapi dikorankan berhari-hari.”
      “Mbak, daripada mbak sewot dan saya kena vertigo, nama Lala saya coret dari daftar saja ya,” jawabku membuat dia tak bisa omong lagi. Tetapi sekarang dia tidak seram lagi kok. Perempuan cantik ‘kan gak boleh galak ya.

      “Pak pur, ibunya Lala sedang kerja. Sekarang sudah dapat pekerjaan tetap,” kata budenya. Dia masih ingat namaku. Beberapa bulan yang lalu ketika blusukan di daerah ini aku disapa ibu Lala yang ada di sebuah rumah bagus.
      “Wow, rumah barunya bagus ya Bu.”
      “Jangan nyindir gitu,” jawabnya. “Babu cuci keliling kampung kapan seh bisa punya rumah sebesar ini?”

       Kepada budenya aku berikan lembar fotokopi kartu spp adik Lala yang di SMP yang masih bersih. “Dari 10 siswa yang disodorkan oleh pak pendeta gereja Kanalsari, ada 2 yang sejak Juli masih bersih. Harusnya saya gugurkan. Tetapi saya mau KKN untuk adik Lala karena sudah terlanjur kenal baik dengan keluarga ini. SPP 160 rb, terima dari PPA 60 rb, tinggal 100 rb. Mbokyao santunan pendidikan jangan dipakai untuk dapur. Tolong sampaikan kepada ibunya Lala kalau dia bisa segera melunasi Juli sampai September, saya bantu.”

       Lepas dari rumah ini ketika saya menyusuri Jln Citarum terpaksa saya harus batal berbelok ke Taman Progo karena waktu saya sudah habis. Pukul 09.30 saya harus sudah sampai di sekolah DB di kota atas. Saya juga tidak berhenti ketika melintasi sebuah kios bensin eceran dan tambal ban motor. Penjaganya seorang ibu, suaminya terkapar sakit paru-paru. Puterinya di sebuah SMK Katolik dengan spp 195 rb, setiap hari harus bawa uang 8 rb untuk transport dan 6 rb untuk makan siang di sekolah. Aku senang gadis ini jujur waktu menjelaskan santunan yang sudah diterimanya.

       “Dari PPA 70 rb, dari TTA 100 rb.”
       “Te-Te-A ??? A-A-Te !.”
       “O ya, AAT.”
       “Hati-hati, kalau sampai mbak2 AAT dengar kamu salah ngucap, santunan kamu bisa kena diskon.”
        Ha ha ha ha ha.

** semua nama disamarkan.