Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Memeluk Dinda

antowi's picture

 Ada bunga di sudut ruangan, lalu disampingnya meja dengan beberapa teman – teman setiaku, ada Teddy si beruang, Windy boneka cantik dan Bombom si orang hutan. Mereka semua adalah teman – teman yang masih bersamaku untuk saat ini. Sungguh aku nggak tahu kenapa sehabis kehujanan pulang sekolah kemarin aku langsung jatuh sakit dan kini berada disebuah rumah sakit. Mengherankan, aku kan Cuma sakit flu saja. Kenapa mereka sangat ketakutan dan memperlakukanku seperti ini?  Aku ingin pulang. Pulang, ya aku nggak tahu apakah aku pantas pulang ke tempat itu. Tempat itu bukanlah suatu rumah yang bisa disebut rumah. Tidak ada kehangatan mama. Tidak ada canda adik ataupun kakak.

Hanya ada beberapa orang yang aku harus menyebutnya saudara dan teman. Ah.. tapi mereka tidak bersikap seperti saudara dan teman. Mereka lebih pantas untuk aku sebut sebagai orang asing yang tinggal bersama – sama denganku. Kini disini aku bisa merasa sedikit lega. Aku telah jauh dari orang – orang yang selalu menjauhi aku. Disini aku nggak perlu menyendiri di pojokan ruang sempit penuh buku – buku berdebu dengan tulisan – tulisan yang menurut salah satu pengasuh kami adalah ejaan lama. Kadang ketika merasa bosan aku duduk disebuah tempat diluar ruangan, namun masih didalam pagar “rumah besar” itu. Disebuah tempat yang mereka sebut taman. Bukan Taman yang indah karena hanya ditumbuhi rumput liar dan pohon teh – tehan. Meskipun demikian aku cukup terhibur dengan tingkah polah burung gereja liar yang masih mau tinggal sementara bermain – main di taman ini. Kadang – kadang aku mengambil segenggam beras dari gudang dan menaburkannya di tanah agar mereka datang dan mematuki butiran – butiran beras itu. Ah aku kangen juga celotehan – celotehan teman – teman di sana. Walau aku hanya bisa mendengarkan gurauan – gurauan mereka. Aku malas mendekat karena akan berubah menjadi kesunyian jika aku mendekat.

 

—00—

Entah sudah berapa bulan aku berbaring disini. Hanya berbaring dan berbaring saja. Kadang – kadang dari sudut mataku aku melihat beberapa orang yang melihatku dari balik jendela kaca itu. Aku nggak tahu berapa lama mereka ada disitu. Tubuhku sangat lemah dan aku hanya bisa memejamkan mata. Sesekali aku bisa membuka mata, tapi itu terasa sangat berat. Ketika aku membuka mata pun yang kulihat hanya satu orang yang aku nggak bisa melihat wajahnya. Dia selalu merawatku. Membersihkan tubuhku dan kadang – kadang menusukku dengan jarum berselang yang di taruh di atas kepalaku. Entah berapa peralatan yang dihubungkan dengan tubuhku. Mulutku pun tertutup sesuatu.

Kini tidak ada lagi Teddy, Windy dan Bombom. Aku nggak peduli lagi dengan mereka. Aku nggak bisa lagi menuangkan keluh kesahku kepada mereka. Semua ruangan ini serba menjemukan. Peralatan – peralatan aneh dan semua perabotan berwarna putih. Aku nggak suka warna putih. Pucat, monoton dan menjemukan. Tapi apa peduliku? Yang aku inginkan saat ini adalah beristirahat dan beristirahat. Aku ingin segera sembuh dan bermain – main lagi dengan burung – burung gereja liar. Membaca berulang – ulang cerita – cerita kuno sampai aku hafal semua ceritanya. Ah.. aku ingin segera pulang. Pulang ke tempat yang mungkin tidak pantas untuk disebut sebagai rumah. Aku ingin sekali bertemu dengan kak Rani yang lembut suaranya dan matanya yang meneduhkan. Aku kangen lagi dengan omelan – omelan kak Febri walau kadang aku kesal dengannya.

Ah aku percaya dengan ucapan Bu Ida. Beliau bilang kalau kita percaya kepada Yesus kita akan disembuhkan segala penyakit apapun itu. Aku ingin lagi mendengarkan cerita – cerita Alkitab dan menyanyikan lagu Tuhan Sumber Gembiraku di sekolah minggu.

—00—

Nenek membawaku ketempat ini beberapa 2 tahun yang lalu. Dengan diam – diam tanpa pengetahuan oom – oom dan juga tante – tanteku, nenek membawaku ke sini. Sebenarnya aku sayang sama nenek karena hanya beliaulah yang selama ini memperhatikan diriku. Aku benci dengan semua oom dan tanteku, kenapa disaat mamaku sakit mereka selalu membicarakan mama. Mama kata mereka adalah anak yang durhaka, dikutuk Tuhan karena tidak mau mendengarkan nasehat dari Nenek dan almarhum Kakek. Sedangkan aku, walaupun tidak pernah diucapkan di depanku aku pernah mendengar bahwa akulah anak hasil kutukan. Ya Tuhan begitu tega mereka mengucapkan itu. Seandainya aku sudah besar pasti aku labrak tante – tante cerewet itu. Aku selalu berusaha menjadi anak baik yang selalu menurut sama Nenek. Mamaku oh… aku nggak ingat bagaimana mamaku mengendongku. Bagaimana mamaku memandikan aku, menyusuiku dan menyayangiku. Aku tidak ingat itu.

“Dinda, mulai saat ini kamu harus tinggal di sini” Begitu kata nenekku setelah bertemu dan berbincang dengan seseorang yang kemudian aku tahu bernama Ibu Ida.

“Nenek, bagaimana dengan Nenek? Mengapa aku harus tinggal sendirian di sini?”

“Dinda, Nenek merasa sedih kamu selalu terlihat murung di rumah. Kamu nggak pernah ada teman bermain. Lihatlah disini banyak teman – teman yang bisa kamu ajak untuk bermain bersama. Bukankah kamu sangat merindukan mamamu? Nenek akan merawat dan menunggui mama kamu yang sakit. Jadi nenek sudah tidak bisa lagi menemani kamu. Kamu di sini dulu ya sayang, Nenek berjanji akan menjemput kamu setelah mama kamu pulang kembali”

“Benarkah? Benarkah mama akan segera pulang?”

“Nenek janji”

Nenek memang beberapa kali datang lagi ketempat ini. Hanya saja pertemuan dengan nenek tidaklah lebih dari 10 menit. Nenek selalu saja bilang bahwa besok saat beliau datang lagi pasti akan membawaku pulang dari tempat ini. Sampai akhirnya Nenek nggak pernah lagi datang ketempat ini. Beliau hanya sesekali telepon dengan diam – diam. Ya sepertinya Nenek meneleponku dengan sembunyi – sembunyi. Aku tahu dengan cara berbicaranya yang berbisik dan jika terdengar suara salah satu dari oom dan tanteku, beliau buru – buru menutup teleponnya. Huff.. kini ketika nenek meneleponku aku tidak lagi membicarakan tentang mama. Sungguh walaupun aku sangat merindukan mama tapi semua keluarga besar sepertinya tidak menginginkanku untuk bertemu dengan mama. Aku hanya menangis dan berdoa kepada Yesus. Yang aku inginkan hanya bertemu mama dan memeluknya. Aku ingin mengucapkan kepada mama bahwa Dinda sangat sayang Mama. Dinda nggak mau kehilangan Mama. Dinda ingin Mama.

—00—

“Dinda kenapa disini sendirian” Suara lembut itu membuyarkan lamunanku. Lamunan tentang masa – masa aku masih dirumah bersama Nenek dan Mama. Ya hanya dua orang tersebut yang aku kenal secara dekat. Padahal masih banyak orang – orang yang berada disekelilingku. Memang aku nggak begitu teringat dengan Mama. Yang aku ingat Mama memiliki mata lembut yang menghangatkanku. Aku selalu di pelukannya dan dia sungguh menciumku dengan hangat. Tak terasa kedua mataku meneteskan air mata.

“Dinda jangan menangis, lihatlah teman – teman kamu. Tidak maukah kamu bergabung dengan mereka?”

“Aku mau kak, tapi mereka nggak mau bermain denganku”

“Tidak, mereka mau bermain denganmu. Atau kamu mau Kak Rani mengatakan kepada mereka kalau kamu mau bermain dengan mereka”

Aku hanya terdiam. Kak Rani memang pengasuh yang selalu memperhatikan dan menyayangiku. Aku tahu ketika Kak Rani membawaku kepada teman – temanku sebenarnya mereka pun mau bermain denganku. Hanya aku merasa nggak dianggap. Bagaimana tidak? Ketika bermain petak umpet aku selalu terakhir yang ketemu hingga nggak pernah jaga. Bukan, aku bukannya pintar mencari tempat untuk sembunyi. Kalau bermain kejar – kejaran mereka juga cepat menyerah mengejarku. Kata bu Ida aku nggak boleh terlalu capek, karena aku membawa virus yang bisa membuatku gampang sakit. Huh.. menyebalkan. Bukankah aku saat ini sehat – sehat saja. Aku bisa berlari, aku suka melompat – lompat. Bahkan anak laki – laki disekolah banyak yang pernah aku kalahkan ketika berlari. Tapi itu dulu, aku kini hanya banyak sendiri. Sebenarnya tidak sendiri aku selalu berangan – angan Teddy, Windy dan Bombom adalah makhluk yang bisa berbicara. Mereka nggak pernah memperlakukan aku teramat istimewa.

“Bagaimana Dinda?” Kak Rani bertanya sekali lagi.

“Nggak usah Kak, aku ingin membaca di ruangan perpustakaan saja” Jawabku sambil beranjak ke ruangan di sudut.

Di ruangan itu ternyata ada Kak Febri. Hmm sebenarnya dia juga baik tapi aku nggak tahan dengan kebawelannya, dia selalu banyak melarang ini dan itu.

“Dinda, kamu boleh baca semua buku di perpustakaan ini. Tapi ingat nanti dirapihkan”

“Iya kak”

“Jangan ambil buku yang ditumpukan itu, itu sudah Kakak rapikan capek – capek. Lagian juga itu kan buku untuk anak – anak usia TK. Memangnya kamu masih TK?”

“Tapi kak, aku suka dengan ceritanya. Aku ingin menjadi pengarang cerita”

“Dinda, jangan membantah. Keluar saja kalau kamu nggak mau menurut sama pengasuhmu”

Huh… sebel. Aku memang bukan anak TK lagi. Tapi apa salahnya aku membaca cerita – cerita tersebut. Toh pengarangnya juga orang – orang dewasa. Aku kan ingin juga menjadi penulis cerita. Dengan menjadi penulis cerita aku bebas berhayal apapun yang aku mau. Akhirnya aku hanya bisa manyun dan membaca buku – buku pengetahuan terjemahan.

–00—

Pagi ini Bu Ida menyuruhku untuk tidak masuk sekolah. Ada tamu yang katanya khusus datang untukku. Hff…. Tamu apa ya? Aku kan tidak kenal banyak orang. Bahkan semua teman mamapun tidak ada yang mengenaliku. Tapi aku menurut aja dengan perintah ibu Ida. Aku ingin jadi anak manis mulai sekarang terlebih aku nggak mau lagi kak Febri ngomel – ngomel. Aku mandi dan berdandan manis. Oh aku hampir lupa hari ini adalah hari ulang tahunku. Seumur – umur baru 1 kali di rayakan ulang tahunku. Dan ini kali ke dua yang semua dirayakan di tempat ini. Ternyata banyak orang yang datang. Aku nggak habis pikir mengapa aku menjadi seorang yang istimewa di hari ulang tahun ini. Ah… mungkinkah mereka teman – teman mama yang selalu diceritakan tante – tanteku. Tapi aku lihat semua orang – orang ini baik – baik saja. Semua memakai kaus yang ada gambar pita merahnya. Semua memberi selamat ulang tahun kepadaku. Sungguh ini adalah waktu yang sangat indah bagiku. Kata Kak Rani aku terlihat ceria dan cantik. Ya memang aku sangat bahagia hari ini. Banyak hadiah yang aku dapatkan. Salah satunya adalah Bombom boneka orang hutan. Bombom di berikan oleh seorang laki – laki yang bernama Oom Bono. Oom Bono orangnya lucu dan baik banget, entah kenapa walaupun baru sekali ini ketemu ada kedekatan yang aku rasakan. Hmmm… ya ternyata aku merindukan papa yang entah bagaimana wajahnya . Aku bisa mendapatkan sosok papa pada diri Oom Bono, dia juga bilang kalau sayang aku dan pernah berteman dengan Papa dan Mamaku. Dia banyak bercerita tentang mereka, bagaimana mereka saling menjaga sebagai teman. Bahkan perkenalan papa dan mamaku pun Oom Bono menceritakan. Sungguh suatu cerita yang membahagiakan sekaligus menyedihkan. Air mataku menetes sungguh aku sangat merindukan papa dan mama berada disini memelukku. Tapi Oom Bono menghiburku dan mengatakan bahwa dia mau untuk aku anggap sebagai papaku karena dia adalah sahabat papa dan mama. Aku menangis di pelukan Oom Bono sampai pesta . Oom Bono berjanji untuk menengokku setelah perpisahan kami. Oh.. Tuhan mengapa kebahagiaan ini hanya sesaat.

–00—

Hari ini aku merasakan tubuhku menjadi enak. Ah aku merasa bisa bangun dan berjalan – jalan untuk sekedar meninggalkan tempat tidur agar tidak bosan. Oh.. Tuhan aku bahagia sekali. Kini tubuhku merasa ringan. Ingin aku segera beranjak dari sini, berlari – lari dan melompat. Aku ingin minta ijin Bu Ida agar bisa bertemu Nenek, Bertemu Mama dan aku ingin diantar ke rumah Oom Bono untuk mengucapkan terimakasih atas penghiburannya selama ini. Aku mau nanti yang mengantarku menemui nenek dan mama adalah kak Febri. Kak Febri ya bukan Kak Rani. Selama aku sakit aku baru tahu bahwa Kak Febri memperlakukanku sama dengan teman – teman yang lain. Kak Febri mengomel demi kebaikanku. Tapi aku juga merindukan Kak Rani seorang pengasuh sabar dan sayang kepadaku.

Hmmm… tapi sungguh aneh, hari ini aku berasa di ruangan yang lain lagi. Kenapa tidak ada siapa – siapa.

“Dinda..” Suara hangat dan merdu memanggilku. Suara seseorang yang sepertinya aku mengenalnya, tapi siapa? aku menoleh ada sosok yang menedukan hatiku, wajahNya tak begitu jelas karena bercahaya. Aku tidak kenal Orang ini tapi kehangatannya yang luar biasa membuatku tidak takut untuk mendekatiNya. Dia semakin dekat dan ketika dipelukNya aku memejamkan mataku dan merasakan kedamaian yang luar biasa.

selesai

Balikpapan 1 Desember 2009

Cerpen ini kupersembahkan untuk memperingati hari AIDS sedunia. Thema tahun 2009 Hentikan AIDS. Jaga Janjinya – Akses Universal dan Hak Asasi Manusia

 

__________________

Semut,bangsa yang tidak kuat, tetapi yang menyediakan makanannya di musim panas, Amsal 30:25