Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Omong Kosong Pengajaran

Miyabi's picture

Setahun yang lalu ia datang diantar ibunya. Baru dua tahun setengah. Ibunya orang Indonesia dan ayahnya Jepang. Sehari hari di rumah menggnakan bahasa Inggris.

"Saya tidak bisa bahasa Jepang," kata ibunya. "Tapi saya mau dia belajar. Ayahnya sibuk, jadi tidak bisa mengajari bahasa Jepang.  Saya tidak mengharapkan target apa-apa. Yang penting anak ini belajar bahasa ayahnya."

Meski tidak ada target, jelas ini perkara yang tidak mudah. Tanpa praktek di rumah, seorang anak akan lambat sekali dalam belajar bahasa. Selama setahun inilah Keiko mengikuti kelas seminggu dua kali. Selama setahun ini sudah 2000 lebih lembarkerja yang digunakan untuk dia. Semuanya lembar kerja level yang sama, yaitu level terendah. Ia datang, duduk, melihat gambar, menirukan instruktur menyebut bunyi-bunyi.

Namun hari itu kelas terkejut gembira. Keiko menunjuk sebuah tulisan dan ia bisa membaca. Setahun kerja keras tidak sia-sia. 2000 lembar kerja tidak terbuang percuma. Dia bisa membaca hiragana. Dan logatnya?

"Jepang banget!" kata guru pembimbingnya.

Tak ada yang bisa diburu-buru dalam mengajar balita. Banyak orang lebih suka merusak, memperkosa otak anak, memaksakan suatu jalan pintas.Banyak orang tuanya sendiri yang tidak mengerti bahwa memaksakan target-target di atas kemampuan anak justru membuat anak stress dan mengakibatkan hambatan belajar.

Ada masanya ketika bahasa dipelajari dalam bentuk rumus-rumus gramatika. Bahasa menjadi hapalan-hapalan dalil. Selesai belajar, si anak cuma menguasai dalil, bukan menguasai bahasa.

Yang terpenting adalah meletakkan dasar secara benar. Dan dasar itu adalah kecintaan si anak terhadap bahasa yang dipelajarinya. 

Hari itu Keiko pulang seperti biasa. Kehebohan justru ada kemudian di antara para pembimbing. Satu fase telah dilewati dengan sukses dan tanpa goresan trauma.

__________________

".... ...."

Miyabi's picture

@ferrywar: nyemplung lagi

Tidak mudah mengajar bahasa asing ke anak balita yang di rumah pun orang tuanya tidak berbahasa itu dengan dia. Murid seperti ini biasanya ditolak, karena dianggap membuang waktu. 
 
Selama beberapa waktu, bahasa jepang dieksposekan ke anak ini, gambar-gambar dan bunyi-bunyi. Selama setahun anak ini menginternalisasikan 2000 lembar kerja dan akhirnya ia pun bisa membaca.
 
Kira-kira ini gambaran bagaimana anak bisa masuk ke lingkaran makna bahasa asing dengan cara paparan langsung.
 
Tentunya noise seperti omelan, labeling dan kata2 kasar sangat dihindari dalam pengajaran anak. 
__________________

".... ...."

ferrywar's picture

paradigma sudah berubah

  Pengajaran bahasa sudah banyak direvisi dari hubungan guru-murid menjadipara murid belajar bersama, kalau ada masalah cari solusi.
 
Bisa dicoba, satu anak asing diminta belajar setahun, tiap hari berguru dengan seorang pakar, belajar bahasa. Bandingkan dengan kalau anak itu, dibiarkan hidup bergaul, bersosialisasi dalam masyarakat. Mana yang lebih efektif menyerap bahasa itu.
 
"Noise" itu hanya legitimasi bagi seseorang untuk disebut "guru" dan menunjuk sisi satunya sebagai "murid". Ketika relasinya sebenarnya bukan seperti itu, maka noise akan tetap menjadi noise. Akhirnya "noisy". :)
 
Miyabi's picture

betul sudah berubah

Paradigma pengajaran bahasa sudah berubah. Lembaga kursus yang saya rajin datangi ini tergolong kuno. Metodenya masih gabungan antara coaching dan drilling
 
Komunitas ini orangnya datang dan pergi. Jadi seberapa kerusakan akibat noise tidak mudah diukur. Misalnya noise di stasiun kereta api jabotabek. Mereka yanga da di situ kan sudah terbiasa. Sementara para penumpang datang dan pergi dan memang tidak lama-lama ada di stasiun.
 
Perlu waktu untuk membuktikan suatu cara pengajaran. Yaitu kita tunggu murid yang lulusnya nanti seperti apa.
__________________

".... ...."

ferrywar's picture

 Apa mungkin belajar dengan

 Apa mungkin belajar dengan kebebasan bisa kalah efektif dibandingkan dengan belajar dengan represi?. Kebebasan membuat komunikasi lancar. Sedangkan represi tentu saja sebaliknya.
 
Mungkin untuk menyimpulkan baik buruknya tidak perlu menunggu muridnya "jadi seperti apa", Mia.