Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Pencobaan Sebagai Potensi Menuju Kesempurnaan

Rhoye Malmsteen's picture

By: Roy Firdaus, S.Th (Yakobus 1: 2-4) Keberhasilan seseorang dalam menghadapi sesuatu permasalahan sangat bergantung dengan bagaimana ia memberi penilaian terhadap permasalahan yang sedang berada di hadapannya. Karena penilaian tersebutlah yang akhirnya memberikan keputusan final tentang bagaimana cara atau strategi yang harus diambil dalam menghadapi permasalahan tersebut.

Demikian juga dengan kehidupan orang Kristen. Di dalam Matius 5:44 Tuhan berfirman “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” Ini adalah salah satu ciri pengajaran Tuhan Yesus yang bertujuan merubah pola pikir seseorang dalam memberikan pe-nilai-an terhadap suatu masalah. Ada pergeseran penilaian dari rasa benci terhadap musuh menjadi mengasihi. Firman ini berlaku tidak hanya untuk zona relationship secara sosial tapi juga terhadap nilai-nilai yang lain. Contohnya dalam hal penilaian akan arti pencobaan. Pencobaan seringkali mendapatkan tempat yang di-“musuhi”, bukan yang di-“kasihi” dalam kehidupan orang Kristen. Seperti di awal pembahasan ini, ternyata cara pandang atau penilaian seseorang sangat mempengaruhi dengan bagaimana ia melancarkan strategi dalam menghadapi permasalahan, atau dalam istilah Yakobus di sebut pencobaan. Strategi tersebut juga mempengaruhi apa hasil yang akan diperoleh. Core atau inti dari semua teologi yang tengah saya bangun dalam tulisan ini sebenarnya bertitik tumpu dalam pesan yang saya sampaikan di atas, yakni bagaimana orang Kristen harus mampu merubah pola pikir, stigma, stereotipe tentang kehadiran pencobaan dalam hidupnya. Sungguh ekstrim dan terkesan paradoks ketika Yakobus menganjurkan agar kita harus “berbahagia” ketika kita jatuh dalam berbagai-bagai pencobaan. Namun jika kita renungkan sungguh luar biasa hikmat yang ada di balik pesan tersebut. Pergeseran nilai dari bersedih menjadi berbahagia sejajar dengan keberhasilan yang akan ketika peroleh ketika kita juga menjalankan perintah Tuhan Yesus mengenai mengasihi musuh yang juga telah mengalami pergeseran nilai. Seseorang yang telah mengalami pergeseran penilaian dari memusuhi menjadi mengasihi tentunya sudah pasti akan memperoleh hasil yang sangat jauh berbeda dengan sikapnya sebelumnya. Demikian juga pencobaan, jika kita “mengasihi” dan tidak melihat sebagai sebuah “kutuk”, maka ia akan berubah menjadi sebuah potensi yang sangat menguntungkan bagi kita. Baik untuk penguatan, pematangan, ketekunan, hingga kesempurnaan. Adakah emas mendapatkan kemurnian tanpa melalui penyepuhan dalam api yang membara? Adakah keindahan dapat kita nikmati dalam sebuah pedang yang berkharisma tanpa pembakaran dan pembentukan melalui pukulan-pukulan yang berulang-ulang dari tangan sang maha karya? Demikian juga hidup kita di dalam tangan Sang Maha Kuasa... Amin

PlainBread's picture

Persepsi yang dinamis

Menurut saya Tuhan tidaklah bisa diukur dengan suatu hal2 yang sifatnya statis. Misalnya konsep "Tuhan mengasihi" membuat orang berpikir bahwa Tuhan adalah super duper baik. Jadi kalo misalnya mau masturbasi, ya masturbasi lah toh ntar kalo minta ampun bakal diampuni. Dan orang akhirnya kebingungan sendiri dengan jatuh-bangun-jatuh-bangun yang dilakukannya karena persepsi yang dilihatnya tentang Tuhan adalah Tuhan yang super duper mengasihi sehingga disalah artikan sebagai "gpp gak bakal diapa2in kok sama Tuhan kan Tuhan baik." Akhirnya Tuhan cuma terlihat dari satu sisi saja. Bukankah itu menyedihkan, seorang manusia yang ciptaan Tuhan pun punya banyak sisi atau karakter. Bagaimana mungkin Tuhan yang katanya tidak terlampaui akal dibatasi oleh sekat2 yang dibangun manusia?

Seperti meraba gajah yang katanya belalainya panjang. Tapi begitu dibilang belalainya selain panjang juga besar dan berbulu, orang yang sudah memiliki konsep soal belalai panjang jadi gak terima. Gak mungkin belalai gajah itu besar dan berbulu, karna sudah bertahun2 saya diajar bahwa belalai gajah itu panjang.

Begitu juga persepsi mengenai Tuhan. Kenapa harus menutup kemungkinan bahwa ada karakter2 Tuhan yang lain yang kita belum pahami atau mengerti? Tuhan baik, semua agama mengajarkan hal seperti itu. Tapi Tuhan sewenang-wenang, Tuhan kejam, tidak semua orang bisa menerima. Ada air bah. Lalu orang buru2 membuat justifikasi bahwa itu adalah untuk tujuan jangka panjang. Ada Sodom dan Gomora. Lalu dibuat justifikasi lagi. Ada neraka, dibuat justifikasi lagi. Ada kisah Ayub, lalu dibuat justifikasi lagi.  Bahkan Yesus membuat perumpamaan mengenai Tuhan sebagai hakim yang tidak adil (Luk 18).

 

 

Begitu juga kalo ngomongin soal cobaan dan ujian. Giliran dirinya mengalami masalah, dia pikir itu adalah ujian dari Tuhan. Tapi kalo orang lain yang mengalami masalah, dia mengambil kesimpulan bahwa itu cobaan yang datang dari keinginan hati orang tersebut yang sudah dibuahi. Sudah ada double standard di situ, perlakuan beda memperlakukan diri sendiri dan ke orang lain. Heck, bahkan ujian dan cobaan pun yang sering dipisah2kan oleh para pengkotbah bukankah sebenarnya gak ada bedanya berdasarkan asal katanya di alkitab?