Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Music I sing for You is more than music.

Purnomo's picture

Sejak dahulu orang telah bernyanyi dan bermain musik. Alkitab mencatat Jubal sebagai pemusik purbakala dan nyanyian sewaktu keluar dari Tanah Mesir sebagai catatan lagu yang pertama. Sementara itu di luar Alkitab bentuk lagu yang tertua adalah nyanyian para dukun dan irama genderang perang. Keahlian purba ini terus berkembang sehingga menjadi bentuk musik yang kita kenal saat ini. Rangkaian nada indah telah menjadi milik setiap manusia.

       

          Ini tidak mengherankan bila kita tahu bahwa menyanyi adalah mengungkapkan perasaan hati dalam rangkaian nada indah. Oleh karena itu setiap orang bisa menyanyi, entah dengan mulut, alat musik atau hanya dengan senar-senar kalbu hatinya. Karena jiwa manusia kaya dengan emosi, maka menyanyi yang merupakan salah satu pernyataan emosinya bisa menjadi bahasa yang universal. Richard Wagner dalam bukunya “Bethoven” menulis demikian, “The language of tones belongs equally to all mankind, and melody is the absolute language in which the musician speaks to every heart.” Tanpa harus mengenal siapa Eric Clapton, kita bisa merasakan duka hidupnya dalam lagunya “Tears in Heaven.” Tanpa harus mengenal diri penciptanya, kita bisa merasakan semangat berkompetisi penulis lagu “We are the Champion.”

 

          Apakah mereka yang tidak mengerti bahasa Inggris dapat mengetahui apa yang ingin diungkapkan oleh pengarang lagu itu? Mari kita mendengarkan lagu-lagu dalam bahasa yang tidak kita kenal. Setidaknya, melalui lompatan-lompatan nada dan keras lembutnya suara atau musiknya kita bisa merasakan apakah lagu itu mengungkapkan kegembiraan atau kedukaan. Mari kita dengar musik klasik lama tanpa vokal, atau lagu-lagu instrumental Kitaro. Memang kita tidak tahu lagu itu berkisah tentang apa. Tetapi anehnya perasaan kita ikut bergetar mengikuti rangkaian melodi lagu-lagu itu. Yes, the musician speaks not to your brain, but your heart.

 

          Dalam tugas pekerjaan yang membuat saya harus bermobil ratusan kilometer dalam sehari di Sumatera, saya selalu membawa belasan kaset musik dalam berbagai genre. Saya memerintah supir saya untuk mempercepat atau memperlambat laju mobil melalui kaset-kaset ini. Lagu-lagu baik dengan syair atau tidak yang bertempo cepat, riang, gempita akan membuatnya berkendara lebih cepat. Sebaliknya lagu-lagu sendu bertempo lambat akan membuatnya tanpa sadar memperlambat laju kendaraan.

 

          Karena itu saya setuju dengan William Congreve yang dalam bukunya The Morning Bride menulis, “Music hath charms to soothe the savage beast, to soften rocks, or bend a knotted oak.” Dalam perjalanan hidup kita telah menyaksikan kebenaran pernyataan ini. Dengan lagu para komponis telah mengobarkan semangat bertempur para pejuang; mendorong pendengarnya asyik menari; melambungkan cita yang sedang bercinta; bahkan pemerintah Perancis pernah melarang sebuah lagu karena dicurigai mendorong orang frustasi bunuh diri. Kita tak mungkin bisa menghitung berapa banyak jiwa yang telah diselamatkan oleh lagu “Amazing Grace” dan lagu-lagu rohani lainnya.

 

          Namun demikian reaksi emosi seseorang terhadap musik tidak lepas dari suasana jiwanya saat itu karena musik tidak mematikan perasaan tetapi “berbicara” kepada perasaan kita. Lagu-lagu yang berbicara tentang cinta yang kandas punya perbedaan reaksi emosi di telinga orang yang sedang bermalam panjang dengan mereka yang sedang sendirian di malam Minggu. Bahkan pada saat tertentu musik bisa punya arti lebih dari sekedar musik seperti kata seorang penulis novel, “Music I heard with you was more than music.” Siapakah yang berani menyangkal kebenaran perkataan ini? Terlebih lagi manakala seikat bunga cinta sedang tergenggam erat di tangan dan rindu bergayut di kening.

 

          Bukankah lagu kebangsaan juga bukan sekedar lagu lagi? Demikian juga lagu sakral lainnya dan lagu-lagu gerejani. Bahkan Tuhan pun berkenan bersemayam di atas puji-pujian kita (Mazmur 22:3) sehingga Daud mempunyai 4000 musisi untuk melantunkan lagu-lagu pemujaannya (1Tawarikh 23:5).

 

          Ketika Koes Plus berjaya, mereka memasarkan lagu-lagu Natal dalam irama dangdut. Anda pernah mendengar lagu-lagunya ini? Setiap saya mengetik artikel pada tengah malam selalu radio saya tuning ke program Lagu Nostalgia. Banyak lagu Koes Plus yang dikumandangkan, tetapi walau dalam bulan Desember lagu-lagu Natal dangdut ini tidak pernah diputar atau diminta oleh pendengar radio. Tidak ada orang Kristen yang menyukainya karena “roh” lagu ini telah berubah dari aslinya.

 

          Saya pernah malu ketika menghadiri konser musik di sebuah gereja. Di sebelah saya duduk 2 orang perempuan asing. Setelah berkenalan, saya tahu mereka diutus oleh sebuah gereja di Jerman untuk mengurus sebuah panti asuhan Kristen di kota ini. Ketika para musisi melantunkan lagu Haleluya, tanpa suara mereka berdiri tegak dengan sikap hormat. Hampir satu menit mereka berdua saja yang berdiri. Untung saya segera ingat sejarah lagu ini. Saya segera ikut bangkit berdiri. Jemaat lain kemudian menyusul.

 

          Di gereja saya setiap paduan suara selesai menyajikan lagu, jemaat bertepuk tangan. Himbauan dari sinode untuk tidak bertepuk tangan diabaikan. Pendeta dan penatua juga mendiamkannya. Ada suara-suara tidak senang dari beberapa orang yang mengatakan hal ini sama dengan mencuri kemuliaan Tuhan. Tetapi karena mereka bukan orang-orang yang terpandang statusnya, keluhan mereka terabaikan. Saya juga tidak mengajukan protes karena ada hal-hal lain yang jauh lebih penting yang harus saya kerjakan. Suatu kali saya dipermalukan oleh kebiasaan jelek ini.

 

          Sebuah paduan suara dari sebuah kota datang bertandang ke gereja kami menggelar acara malam pujian yang disuguhkan dalam bentuk ibadah. Mereka menyajikan lagu-lagu sepanjang ibadah itu. Setiap mereka mengakhiri sebuah lagu, jemaat bertepuk tangan tidak peduli lagu itu berisi doa. Hilanglah suasana hikmat yang hendak mereka bangun. Saya yang duduk di bangku paling belakang sangat berharap pendeta atau penatua berdiri dan mengingatkan jemaat untuk tidak bertepuk tangan. Tetapi mereka tidak bereaksi. Di depan saya duduk berderet beberapa musisi gereja-gereja tetangga.

 

          Seorang dari mereka menoleh ke belakang dan bertanya kepada saya, “Ini ibadah apa pertunjukan?” Saya terpaksa meringis saja dan menjawab, “Kamu tanya saja sama pendetaku.” Setelah kantong kolekte diedarkan, dia berkata kepada saya,

          “Ga papa ya kami pulang sebelum ibadah selesai. Yang penting ‘kan sudah melunasi uang pertunjukan.”

          Saya mengikuti mereka keluar.

          “Kok kamu ikut keluar?”

          “Memang cuma kamu saja yang kena vertigo?”

 

         Keragaman emosi dalam syair dan dinamika lagunya akan menuntun kita menemukan fungsi lagu gerejani. Di antaranya adalah : -

1. Untuk mengungkapkan perasaan hati kita kepada Allah – antara lain ucapan syukur, pengakuan dosa, pembaruan janji, pengharapan, jawaban terhadap Firman Tuhan.

2. Untuk memperkenalkan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat dalam hal ini berfungsi sebagai alat perkabaran Injil.

3. Untuk mempersiapkan hati menerima Firman Tuhan fungsi ini nyata sekali dalam Kebaktian Kebangunan Rohani, dimana lagu itu dinyanyikan berulang-ulang.

4. Untuk menyembah Allah fungsi tertinggi ini selalu dimanfaatkan dalam kebaktian gereja karismatik yang syair lagunya hanya berisi kata-kata pujian kepada Allah.

 

          Sering kita kurang menyadari fungsi-fungsi ini. Kita menganggap menyanyi dalam ibadah hanyalah pelengkap. Sikap ini akan membuat kita menyanyi dengan cara yang salah sehingga jiwa lagu menghilang terutama dalam gereja-gereja main stream. Mau menyanyi lagu apa saja, kecepatan iramanya selalu tetap sama, lambat, sehingga slogan “Christian is a singing religion” berubah menjadi “Christian is a sighing religion.” Bagaimana orang muda tidak bingung diajak menyanyi “Laskar Kristen Maju” dengan tempo lambat seperti kala menyanyikan lagu “In Moment Like This”? Semangat yang tersirat dalam syair lagu dilemahkan oleh tempo yang salah. Ketika kawula muda mengajukan protes, tenang saja penatua menjawab, “Kalau pakai tempo yang sebenarnya, kasihan jemaat lanjut usia. Mereka bisa kehabisan nafas.” Ah, apa iya? Ketika gereja ini merayakan ulang tahun Sekolah Minggunya seluruh liturgi ibadah Minggu berisi lagu-lagu anak-anak dengan tempo cepat. Saya terharu melihat opa oma ikut bertepuk tangan (yang biasanya diharamkan) sambil menyanyi. Memang mereka tidak ikut menyanyi pada lagu-lagu bertempo sangat cepat. Tetapi melihat mereka bertepuk tangan sesuai irama dan tubuh bergoyang tanpa ada yang memerintah dengan wajah berbinar-binar, saya tahu mereka sedang menyanyi dengan hatinya.

 

          Hampir setiap gereja mempunyai alat musik dari mulai yang sangat sederhana berupa gitar sampai yang lengkap dan canggih. Bila alat musik difungsikan untuk membimbing (bukan mengekor) jemaat menyanyi boleh dipastikan mereka akan menyanyi dengan penjiwaan yang tepat.

 

          Fungsi alat musik yang paling mendasar adalah menentukan tempo sebuah lagu. Di sebuah gereja di Padang menjelang kebaktian dimulai, seorang song leader melatih jemaat menyanyikan lagu “Haleluya, amin” sebagai lagu penutup ibadah. Ia meminta jemaat menyanyi dengan sedikit cepat dan stacato (agak terputus-putus) sehingga berkesan gagah. Memang terasa beda dengan bila menyanyikannya dalam tempo lambat dan berat yang membuat kata “amin” seolah ragu terucap.

 

          Fungsi berikutnya adalah memunculkan jiwa lagu melalui pemilihan ritem yang bisa dipilih dalam menu keyboard. Suatu ketika kebetulan saya melihat para singer gereja sedang berlatih. Ketika mereka menyanyikan lagu “Gembala baik bersuling nan merdu” (KJ 415) saya menganjurkan mereka mempergunakan ritem country tanpa merubah tempo. Hasilnya, suasana lincah dan sukacita muncul dari lagu itu.

 

          Fungsi-fungsi lain alat musik bisa digali sesuai dengan kemampuan dan kreativitas para musisinya serta jenis alat musik yang tersedia. Yang perlu diingat adalah jangan karena mempunyai banyak alat musik maka setiap alat musik dimainkan sama kerasnya dan dalam durasi yang sama. Ketika jumlah alat musik bertambah, beban para musisi bertambah karena mereka harus mulai mempergunakan partitur yang mengatur kapan mereka memainkan alat musiknya di bagian mana sehingga musik yang mereka mainkan tidak terdengar hingar-bingar. Bahkan bila perlu pada suatu bagian lagu semua alat musik berhenti bermain membiarkan jemaat menyanyi akapela (tanpa iringan musik).

 

          Selama ini lagu Di hidupku, ‘ku ada Sobat yang setia, yang s’nantiasa berjalan sertaku (NKB 201) bagi saya adalah sebuah lagu yang sarat dengan harapan akan penyertaan Tuhan sewaktu saya menjalani kesulitan hidup. Suatu ketika di sebuah gereja di Jl. Jenderal Sudirman Surabaya untuk mengiringi lagu ini, para musisi melakukan improvisasi dengan sedikit mempercepat temponya dan piano dimainkan satu oktaf lebih tinggi sehingga memunculkan suasana ceria dan lincah. Yang saya rasa saat itu bukan lagi sebuah harapan, tetapi keyakinan akan penyertaan Tuhan.

 

          Tentunya ide improvisasi seperti ini tidak akan muncul begitu saja. But believe me, ketrampilan-ketrampilan ini bisa kita miliki melalui kerja keras tanpa henti yang dilandasi ucapan syukur kepada Tuhan Yesus sehingga suatu hari kita bisa berkata, “Music I sing for You is more than music,” seperti lagu di bawah ini.

Catatan: Lagu ini dikutip dari buletin MLMm-13 edisi ke-58.

 

](06.09.2010)

 

artikel sebelumnya: Canda tembang anak

 

minmerry's picture

Mr. Pur : Music Heals Too.

For me, Music is healing too. And min setuju dengan blog Mr.

Yes, the musician speaks not to your brain, but your heart.--> Agree 100%

 

Min pernah ikutan Teen Choir dan nyanyikan Hallelujah. Untuk 24-25 Des (lupa taon-nya). Ratusan jemaat berdiri saat bait pertama dinyanyikan, dan semua Majelis Gereja ikutan mengajak jemaat yang lain untuk berdiri.. U know what it feels how it ends in the last chord? I feel SO SO proud to sing that song in my life! Dengan jubah choir, dengan pianis paling hebat in Town. Katanya temponya sangat susah, hingga setelah malam pertama, malam berikutnya kami harus mengganti pianis kami (yang sesungguhnya sangat berbakat) dengan seorang guru piano paling jenius in town.

Music/ Song can heals me. Min menyanyikan We Wish u a Merry Christmas sepanjang tahun, even ga Christmas. I like the song, it brings joy and smiles.

Kalo lagu-lagu bukan dalam lingkup musik gerejawi (istilahnya apa ya? haha), min suka lagu ini. Ini liriknya :

Breathe In Breathe Out – Mat Kearney

Breathe in, breathe out
Tell me all of your doubts
Everybody bleeds this way, just the same
Breathe in, breathe out
Move on and break down
If everyone goes away, I will stay
We push and pull
And I fall down sometimes
And I’m not letting go
You hold the other line
Cause there is a light in your eyes, in your eyes

Hold on, hold tight
If I’m out of your sight
And everything keeps moving on, moving on
Hold on, hold tight
Make it through another night
In every day there comes a song with the dawn
We push and pull
And I fall down sometimes
And I’m not letting go
You hold the other line
Cause there is a light in your eyes, in your eyes
There is a light in your eyes, in your eyes

Breathe in and breathe out
Breathe in and breathe out
Breathe in and breathe out
Breathe in and breathe out

Look left, look right
To the moon and the night
Everything under the stars is in your arms

Cause there is a light in your eyes, in your eyes
There is a light in your eyes, in your eyes
There is a light in your eyes, in your eyes

Dan kalo mau try to listen, ini link-nya.

Papa dan mama dulu di rumah sudah biasa denger lagu-lagu kristen. Now, mama bisa nyanyi lagu kristen ama cucunya leh!

Sori, bawel-nya mulai lagi.

__________________

logo min kecil

iik j's picture

Christian music.. wew...

komen ya pak

dulu banget.. waktu saya cuma iseng aja ke gerejanya... he he he minggu (kalo lagi mood baik) ke gereja, kemudian kamis / hari lain ke tempat lain lagi... saya ga ngerti kalo nyanyi di gereja itu bisa untuk meng-ekspresikan hati/diri kita kepada Tuhan. yah... nyanyi ya asal 'mangap' dan ikut -ikut aja.

Pertama kali diajak ke gereja (orang bilang gereja saya kharismatik kalo dilihat dari cara ibadahnya.. hah peduli amat) saya bengong karena melihat mereka menyanyi dengan melompat menari, bertepuk tangan dengan heboh. Sangat berbeda dengan tempat ibadah saya yang dulu yang khusuk dan sangat hening (apalagi kalo lagi pada meditasi).

Setelah akhirnya lahir baru, tanya kiri kanan, diterangkan, diajari  dan jadi 'Kristen' beneran. Saya tahu lagu - lagu yang saya nyanyikan di gereja ga bisa cuma asal 'mangap' aja, karena ada sesuatu yang bisa saya nyatakan di hadapan Tuhan.

Wahhhhhhhhh... ini hebat! hanya itu pikiran sederhana saya. Aku bisa menyembah Tuhan, memuji DIA dengan menyanyi, keren... Akhirnya bukan hanya dalam ibadah saja, tetapi kapan pun, jika saya mau dan saya pengen menyanyi, saya bertepuk tangan karena DIA hebat! Saya menari (tapi ga ngawur) karena DIA hebat, dsb... he he he.

Bertahun- tahun kemudian, setelah masuk SS saya baru tahu kalo hal menyanyi dengan heboh, bertepuk tangan, menari di ibadah suka di'omongin' sama saudara2 dari gereja lain dan dikasih cap karismatik lah, atau apalah. hi hi hi.. sebelumnya aku pikir itu ga masalah...

yahhh begitulah!

Namun demikian reaksi emosi seseorang terhadap musik tidak lepas dari suasana jiwanya saat itu karena musik tidak mematikan perasaan tetapi “berbicara” kepada perasaan kita.

Nah, ini dia ... kayaknya saya dah sampai ketergantungan sama musik nih.. Di saat tertekan saya lari ke musik, di saat mellow abis... saya lari ke musik, di saat 'gila' saya juga lari ke musik... he he he

dengan musik, 'selalu' dan 'seolah' saya lebih mudah 'berbicara' kepada DIA.

he he he... gitu aja yah pak..

 

 

Purnomo's picture

Minmerry, flying without wing

          Saya lebih senang menyebut lagu yang kamu link itu sebagai lagu populer. Tidak setiap lagu populer jelek karena tidak sedikit yang membawa nilai-nilai spiritual. Just for a sample let’s take a look these sentences.

  

Everybody's looking for a something
one thing that makes it all complete
You'll find it in the strangest places
places you never knew it could be

Some find it in the face of their children
some find it in their lover's eyes
Who can deny the joy it brings
when you've found that special thing
you're flying without wings

Some find it sharing every morning
some in their solitary lives
you'll find it in the words of others
a simple line can make you laugh or cry

You'll find it in the deepest friendship
the kind you cherish all your life
and when you know how much it means
you've found that special thing
you're flying without wings

So, impossible as it may seem
you've got to fight for every dream
cos who's to know which one you let go
would have made you complete

Well, for me it's waking up beside you
to watch the sunrise on your face
to know that I can say I love you
in any given time or place

It's little things that only I know
those are the things that make you mine
and it's like flying without wings
cos you're my special thing
I'm flying without wings

And in this place I long to be
you'll be where it ends
I'm flying without wings
And that's the joy you bring
I'm flying without wings

                     Saya menyanyikan lagu ini mengawali presentasi saya dalam sebuah pertemuan bisnis. Semua yang hadir ikut menyanyi. Setelah itu, seperti yang pernah saya tulis dalam blog “Just a kid,” saya bertanya,

                “Mengapa lagu-lagu Westlife dalam irama sweet langsung meroket meninggalkan lagu-lagu penyanyi lain yang jauh lebih dinamis? Dan ledakan ini sangat tinggi di kawasan Asia Tenggara. Apakah karena syair-syairnya berbicara tentang nilai-nilai spiritual yang selama ini telah disingkirkan oleh penyanyi-penyanyi sebelumnya, tetapi sebetulnya dirindukan oleh banyak orang? Seperti dalam I have a dream, atau Angel’s wings?”

                     Jika meeting itu berlangsung di gereja, pasti pertanyaannya saya rubah menjadi, “Mengapa kita lebih senang menyanyikan lagu-lagu Westlife (atau lagu populer lainnya) daripada lagu-lagu rohani?”

                               Salam and thx for your sharing.

Purnomo's picture

Iik, yang nyanyi gila yang buat lagu juga ada yang gila

Di saat tertekan saya lari ke musik, di saat mellow abis... saya lari ke musik, di saat 'gila' saya juga lari ke musik... he he he

          Saat 'gila' kamu lari ke musik. Seorang penulis lagu, puteri pendeta top markotop Semarang yang belajar musik 1 tahun di Ausie, dalam sebuah seminar Musik Gerejani di Satya Salatiga waktu tampil sebagai pembicara bercerita "ada lagu saya yang saya buat waktu BAB." Untung tidak ada peserta yang tanya "lagu yang mana." Kalau ada yang tanya dan dia jawab, pasti lagu itu tidak lagi akan dinyanyikan oleh peserta.

         Terlepas soal sedang BAB atau gila, memang dorongan untuk menyanyi atau menulis lagu bisa muncul kapan saja karena lagu adalah salah satu bentuk pengungkapan emosi. Begitu juga ragam pengungkapannya, ada yang heboh ada yang seperti melagukan tembang Jawa. Soal disukai umum itu masalah budaya yang sedang berlaku dan bisa berubah di waktu mendatang.

          Waktu gereja saya membongkar gudang, saya menemukan sebuah buku lagu tebal terbitan Pusat Gereja Presbeterian London yang dicetak tahun 1900. Dalam kata pengantarnya ditulis "inilah untuk pertama kali lagu-lagu kita diberi garis birama." Ini berarti pada tahun itulah musik gereja ini mulai mengenal tempo (tidak lagi model nembang Jawa yang bisa ditarik-ulur). Di buku itu untuk tempo hanya ditulis "lambat," "sedang" dan "cepat." Informasi ini menunjukkan bahwa sebelum tahun itu lagu-lagu Kristen yang punya tempo atau ritme belum diterima sebagai lagu gereja, tetapi lagu populer. Lagu-lagu spiritual Negro tidak ada dalam buku itu.

          Ada informasi lain yang mengejutkan. Lagu "Holy, holy, holy" yang saat ini boleh dikategorikan lagu sakral gereja, saat itu hanya boleh dinyanyikan dalam persekutuan pemuda, tidak dalam ibadah umum. Perkiraan saya, lagu ini karena mempunyai lompatan nada yang tinggi (nyaris melengking), seperti juga Hallelujah yang sebelum dihormati oleh Raja Swedia (?), dianggap lagu populer/umum. Seorang teman STh yang mendalami musik punya pengetahuan lain. Katanya, "Karena lagu Holy-holy-holy itu ditulis oleh penciptanya ketika sedang berada dalam cafe."

          Kok seperti nasib lagu "Haleluya puji Tuhan, Haleluya Amin" yang pernah diharamkan oleh gereja karena ditulis oleh penciptanya ketika sedang berada dalam penjara.

          Jadi, menyanyilah dengan bebas sambil ingat di mana kamu sedang menyanyi supaya tidak membuat orang lain melipat-lipat kulit keningnya. Saya jadi ingat pertanyaan lucu seorang anak Sekolah Minggu,  "Boleh tidak kita menyanyi memuji Tuhan waktu mandi?"

        Salam.

Yenti's picture

Sama pertanyaannya:)

Saya jadi ingat pertanyaan lucu seorang anak Sekolah Minggu,  "Boleh tidak kita menyanyi memuji Tuhan waktu mandi?"

Pak Pur, pertanyaan itu pernah saya tanyakan juga waktu kecil kepada guru sekolah mingguku:). So, kalo bapak ditanya begitu, jawabnya apa tuh ?? he..he..

Saya pernah mendengar seorang pendeta berkata : " bukan masalah boleh ngak boleh, tetapi kenapa kamu ngak keluar cepat2 dari kamar mandi dan bisa menyanyi sepuasnya di luar kamar mandi.

Purnomo's picture

"Boleh tidak kita menyanyi memuji Tuhan waktu mandi?"

"Bukan masalah boleh ngak boleh, tetapi kenapa kamu ngak keluar cepat2 dari kamar mandi dan bisa menyanyi sepuasnya di luar kamar mandi."

               Harusnya seperti kata pendeta itu agar tidak merusak "etika" memuji Tuhan. Tetapi rasa syukur bisa mendadak datang dan kita tidak bisa menahan diri untuk tidak langsung melantunkan nyanyian pujian kepada-Nya walau masih di kamar mandi. Misalnya? Ketika kita melihat benjolan di payudara menghilang; ketika kita membuka pembalut luka di paha dan melihat bengkak akibat infeksi sudah menghilang.

             Waktu BAB bisa jadi begitu yang keluar bukan lagi cairan merah kehitam-hitaman seperti yang sebelum-sebelumnya saya kesenangan sehingga tak terasa menyanyi memuji Tuhan.

           Jadi, anak SM yang bertanya kepada saya, saya beri jawab, "Boleh-boleh saja karena Tuhan melihat hatimu sedang bagaimana bukan apa yang sedang kamu pakai."

      Salam.

Rusdy's picture

Alkitab Irama

Saya jadi penasaran, andai para pemusik ulung di jaman Mazmur diabadikan, iramanya apa yah? Mungkin campuran dangdut, melankolik dan rock and roll juga.

Ibu saya suka iramanya lagu Ir Niko. Kalau dia sedang duduk di belakang mobil, saya sengaja setel speaker yang di belakang, yang speaker depan dimatikan, kalo ndak saya bisa ketiduran di kursi supir :). Ditambah lagi bersumpah serapah kepada penulis lagu yang syairnya super cetek, tapi itu topik lain...