Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Menyiapkan Diri

simon nugroho hadikusuma's picture
Mazmur 90:10
Masa hidup kami tujuh puluh tahun
dan jika kami kuat, delapan puluh tahun,
dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru,
dan kami melayang lenyap.
 
Seorang pendeta menanggapi ide yang merindukan ada pelayanan khusus untuk usia lanjut:
 
“Buat apa membuat pelayanan usia lanjut, kan sudah ada rumah khusus usia lanjut?”
 
Seorang dokter menanggapi ide yang sama:
 
“Kalau mau lebih baik, buat sekolah untuk usia lanjut.”
 
Sekolah? Ya setiap hari. Ada raport untuk semua kegiatan yang dilakukan. Menulis, mendengar, membaca, menghafal, mewarnai dan melengkapi gambar, memotong, menempel, apa saja yang dilakukan diberi nilai. Diberi penghargaan atas usaha mereka di tengah keterbatasannya.
 
Papaku, 82 tahun. Setiap Senin ikut persekutuan usia lanjut di satu kampung di Semarang Timur. Sering menanyakan:
 
“Ini hari Senin?”
 
Hari itu ditunggu-tunggu, seperti ada yang dinantikan dalam mengisi usia lanjutnya. Sepertinya ada kegembiraan yang dia dapat di persekutuan usia lanjut. Ingin hari itu segera datang lagi.
 
Papah serumah denganku, dapat kamar sendiri yang dekat dengan kamar mandi / wc karena dia masih mandiri walaupun sulit berjalan sendiri. Dia butuh penopang ‘walker’. Dalam sehari aku bisa 2 – 3 x ke kamarnya, menengok dengan sedikit bicara ‘klise’:
 
            “Pah, tadi malam bisa tidur?”
 
Aku tak memerlukan jawabannya, tengok kamar mandi / wc nya, kadang sedikit siram-siram air karena pesing , dan ke luar kamar.
 
Terulang lagi siang hari, sedikit bahasa basi:
 
            “Tadi makan apa pah?”
            “Dah mandi?”
 
Apa jawab papahku atas pertanyaan-pertanyaanku, itu tidak penting. Yang penting aku sudah tengok. Anak mantunya, setia mengantar makan / minum. Cucunya sesekali datang menggoda, dengan mengetuk-ketuk pintu, memeberi roti atau minuman lalu pergi. Anak, mantu, cucu, semua sama menengok seorang usia lanjut. Yang penting bagi kami, ketika ada tamu kami bisa cerita kalau kami melayani orang tua kami seperti yang kekristenan, agama kami ajarkan.
 
Tapi mengapa, hari Senin sungguh menawan hati papahku.
Apa yang kurang dengan yang kami lakukan?
 
Di persekutuan Senin, usia lanjut diajak bernyanyi dengan gerakan – malu-malu mereka mengikuti dengan wajah ceria, mendengar cerita, menghafal ayat, mewarnai sesekali menggunting dan memotong.Makanan tak selalu ada, bahkan minumpun juga demikian. Mengapa hari itu ditunggu-tunggu?
 
Beberapa kali aku menunggui persekutuan usia lanjut. Ketika para usia lanjut ini datang, pelayan menyambut, dengan sapaan hangat dan jabat tangan erat:
 
            “Selamat pagi oma, nanti cerita ya. Cerita apa saja boleh.”
 
Sambil tersenyum manis, manis sekali, oma menjawab:
 
            “Cerita apa? Oma ndak bisa cerita.”
 
Pelayan mendorong oma di atas kursi rodanya masuk ke ruangan. Sambil didorong kursinya, terjadi dialog antara pelayan dan oma. Akhirnya si pelayan diam dan si oma bercerita sendiri. Dia mengeluhkan anaknya tak pernah memberi uang jajan, dia cerita mantunya yang sukses kerja tai cucunya kalau mainan nakal sekali, teriak-teriak. Dia cerita pembantu rumah tangganya yang tak sopan, diajak bicara diam saja.
 
Sampai ada lanjut usia lain yang perlu disambut oleh pelayan yang sama:
 
            “Selamat pagi opa, wah minggu lalu tidak datang jalan-jalan ke mana?
Mana oleh-olehnya, opa?”
 
Tersenyum opa, tidak menjawab apa-apa, sambil mengulurkan tangan menyambut, menggenggam erat salam pelayan. Hal yang sama dilakukan oleh pelayan yang lain kepada sekitar 20 orang usia lanjut.
 
Persekutuan diawali dengan menyanyikan lagu Jalan Serta Yesus. Pelayan menanyakan apakah benar selama seminggu ini opa, oma berjalan serta Yesus. Dan mereka diajak untuk menyanyi dengan gerakan. Pikirku, berdiri saja sulit, mau diajak jalan putar, seperti anak-anak sekolah minggu menyanyi.
 
Ternyata pelayan mengajak mereka berjalan dengan tangan. Opa dan oma tetap duduk di tempat. Tangannya diayunkan seperti kaki berjalan, jari-jari tangannya bersamaan dengan ayunan di genggam dan dibuka kembali, kakinya diangkat bergantian.Tubuh opa dan oma bergerak ke kanan, ke kiri sesuai ayunan tangan dan gerak kaki. Ketika menyanyikan: “jalan dalam suka, jalan dalam duka,” tangan opa dan oma harus menarik pipi ke atas ke bawah. Sebagai ekspresi bibir ketawa dan bibir orang berduka. Meraka duduk bersebrangan membentuk lingkaran, saling memandang, lucu dan tertawa walaupun gerakan menunjukan ekspresi berduka.
 
Pelayan sedikit bercerita tentang peneyertaan Tuhan Yesus.
Pelayan sedikit bercerita tentang sendi / otot yang kaku dan perlu dilatih.
Pelayan sedikit bercerita tentang hati yang gembira adalah obat.
 
Persekutuan diawali dengan doa yang dipimpin oma Lan:
 
            “Bapa, terimakasih. Persoalan uang anak saya sudah Tuhan tolong. Terimakasih, amin.”
 
Doa pembuka yang tidak nyambung sama sekali dengan mengawali persekutuan. Tapi oma Lan merasakan betul,  berjalan serta Yesus dalam hidupnya. Kata pelayan, sudah beberapa minggu oma Lan minta anaknya didoakan dalam doa syafaat, karena sedang mengalami persoalan keuangan.
 
Hal yang sama dilakukan para pelayan terhadap papahku. Yang dirumah hanya dengan ucapan salam ‘copy-paste’ dari aku anaknya, dari mantunya dan juga dari cucunya.
 
Hari Senin itu ketika aku ada di sana, cuaca hujan lebih dari gerimis, seorang oma pensiunan perawat sebuah rumah sakit di Semarang Utara, datang bersepeda, cukup jauh dari rumahnya sampai ke persekutuan di Semarang Timur. Pelayan mengarahkan untuk ke persekutuan yang di dekat rumah oma saja, jalanan ramai, licin, bahaya kecelakaan, jangan ke sini. Persekutuan yang dekat rumahnya itu setiap datang mendapat makanan bahkan kadang makan nasi. Setiap kegiatan dapat kupon yang bernilai uang untuk belanja di bazaar yang diadakan setengah tahun 1x. Datang awal, dapat kupon. Hafal ayat, dapat kupon. Isi TTS, dapat kupon. Oma ini menjawab:
 
            “Saya ke sini tidak cari makanan yang kamu bagi, saya di sini merasa dihargai.
Di sana saya dimarah-marahi di depan ratusan orang, pakai pengeras suara sama pelayannya, saya malu, hanya karena saya terlambat.”
 
Opa dan oma yang lain mendukung: “Iya, datang kok ndak boleh.”
Oma pensiunan ini merasa dimiliki oleh teman-teman usia lanjutnya. Dia setia datang, walaupun hujan dengan bersepeda dan mengenakan jas hujan.
 
PENGHARGAAN, rupanya papahku juga menantikan hari penghargaan itu, hari Senin, hari perjumpaan papahku dengan para pelayannya, hari papahku diasah dan diisi dengan Firman Tuhan, hari olah raga, hari penuh penghargaan.
 
Pendeta yang mengawali kisah ini, mudah-mudahan PENGHARGAAN ini terbaca olehnya, MENYIAPKAN DIRI nya kalau-kalau suatu saat pendeta yang masih muda ini harus merawat jemaatnya yang lanjut usia, menasehati jemaatnya untuk menghargai oang tuanya, dan mungkin harus hidup bersama dengan orang tua / mertuanya yang diberi umur panjang yang penderitaannya adalah kebanggaanya, kata Firman Tuhan.
 
Dokter yang juga mengawali kisah ini dan mengusulkan sekolah untuk manula, dia tidak menyatakan kebutuhan usia lanjut akan PENGHARGAAN, namun aku membaca ucapannya setelah memperhatikan para usia lanjut termasuk papahku sendiri.
 
Mereka masih butuh penghargaan.