Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Beri dan Kamu akan Diberi (2)

Andy Ryanto's picture
Ganga            : I just read your email, so you will come to Accra tomorrow?
Aku                 : Yes, do you want me to bring something from Lagos…..like suya (sate khas Nigeria).
Ganga            : Do you want me too pick you? Where will you stay?
Aku                 : Thank you, but I have booked hotel including airport pick up service
Ganga            : Just cancel it, you stay at my place and I will pick you at airport!
Aku                 : Thank you Mr Ganga, but….
Ganga            : Don’t say thank you please, you are my brother…
 
Begitulah kira-kira percakapan dengan Ganga di telepon pada malam sebelum keberangkatanku ke Accra, ibu kota Ghana, untuk suatu perjalanan bisnis. Aku tidak berdaya kecuali membatalkan pesanan hotel yang diperoleh setelah beberapa hari melakukan survei melalui google termasuk berkelana di Accra melalui google earth. Padahal di saat seperti ini aku lebih suka tinggal di hotel karena merasa lebih bebas.
 
Enam dari sepuluh unit komplek apartemen yang menjadi tempat tinggalku di Lagos, dihuni oleh orang-orang India. Orang India di sini pada umumnya jarang bergaul akrab dengan suku bangsa lainnya, dan mempunyai komunitas yang eksklusif, mungkin karena budaya dan agama mereka yang unik. Tetapi Ganga adalah sosok yang spesial. Ganga pernah menjadi tetangga kami di Lagos sebelum ia berganti perusahaan dan ditempatkan di Accra, Ghana. Menurut pengamatanku dan teman-teman yang tinggal se-apartemen denganku, Ganga meskipun asli India, tetapi sangat berbeda dengan orang-orang India yang pernah kami kenal di Nigeria. Bahkan kadang kami lupa kalau ia adalah orang India.
 
Keakraban kami tidak sekedar berbasa-basi ditambah senyum yang kadang terasa dipaksakan seperti yang sering diperagakan kebanyakan orang-orang India tetangga kami lainnya. Selain sering bertukar informasi dan cerita, baik yang menyangkut pekerjaan ataupun kehidupan di Lagos, kadang kami juga membuat beberapa masakan Indonesia dan China, dan mengundang Ganga untuk menikmatinya bersama. Suatu ketika kami mengundangnya makan di restoran China, selesai makan hampir terjadi keributan, karena Ganga dan kami berebutan untuk membayar. Orang-orang China yang makan di meja sebelah menyaksikan adegan tersebut sambil terbengong-bengong dan takjub. Setelah suasana reda, dalam bahasa Mandarin, salah seorang dari mereka bertanya kepadaku apakah benar orang yang berebut membayar bil restoran dengan kami itu adalah orang India. Ketika kujawab ya, ia hanya mengeleng-gelengkan kepala sambil berguman bahwa baru pertama kali dalam hidupnya menyaksikan ada orang India yang berebutan untuk membayar bil makanan di restoran. 
 
Tidak hanya itu, ketika meninggalkan Lagos, Ganga sempat mewariskan satu akuarium ikan lengkap dengan segala asesorisnya, satu set dumbel termasuk bangku sit-up, dan juga satu set house tool kit serta sepasang kura-kura kepada kami.
 
Setelah penerbangan hampir limapuluh menit pesawat yang membawaku dari Lagos mendarat di Accra. Tidak seperti bandara Internasional di Lagos, di bandara Kotoka International Accra semua proses imigrasi berjalan lancar, begitu juga ketika melewati bagian custom tas bawaanku tidak diperiksa, kalau di Lagos biasanya langsung dihadang dan dimintai uang. Aku dapat memaklumi hal ini karena menurut indeks persepsi korupsi 2010, Ghana jauh lebih bersih dibanding Nigeria bahkan Indonesia, Ghana ada diurutan 62, sedangkan Nigeria ada di urutan 134, dan Indonesia harus puas di urutan 110. Biasanya tingkat korupsi di suatu negara sudah dapat kita rasakan begitu berurusan dengan imigrasi dan custom di airport ataupun di perbatasan negara.
 
Sesampai di area penjemputan, Ganga langsung muncul dan melambaikan tangan. Kami berjalan menuju taksi, Ganga sengaja tidak memiliki mobil karena lebih dari dua minggu dalam sebulan ia melakukan business trip ke luar negeri. Kemudian yang membuatku sedikit terkejut adalah begitu keluar dari airport area, taksi yang kami tumpangi langsung belok kanan memasuki sebuah kompleks hunian. Ternyata tempat tinggalnya dapat dikatakan bersebelahan dengan terminal airport.   Kompleks hunian ini cukup mewah, terdiri dari 7 bangunan dengan setiap bangunan terdiri dari 6 unit flat. Bangunan-bangunan ini mengilingi lapangan coneblock yang luas yang selain berfungsi sebagai tempat parkir juga sebagai jalan utama. Kemudian di tengah-tengan lapangan coneblock yang sangat luas itu ada  sebuah kolam renang model laguna dan didampingi oleh bangunan bar lengkap dengan meja dan kursi santai.
 
Luas bangunan setiap unit flat ini paling tidak tiga sampai empat kali dibanding dengan tempat tinggalku di Tangerang. Bagian dalam flat didisain dengan gaya minimalis modern dan diterangi tata lampu yang memberi kesan mewah. Balkon ruang tamu langsung berhadapan dengan lapangan polo (pacuan kuda) dan dari kejauhan dapat menyaksikan berbagai tipe pesawat yang landing maupun take off tanpa diiringi suara berisik mesin pesawat.  Dan jika dibandingkan dengan apartemen  tempat tinggalku di Lagos, seperti membandingkan warteg dengan KFC.
 
Dan tak ketinggalan, seperti layaknya di hotel-hotel berbintang, fasilitas wireless internet yang sangat cepat di tempat ini membuatku tetap dapat menikmati obsesi kudus Pak Purnomo terhadap monyet…eh maksudnya nenek-nenek seksi nan centil, kenangan Tante Paku terhadap Mbah Marijan, juga semangat heroisme Pur Kristanto menghadapi amukan Merapi, dan tentu, serunya polemik dan pertarungan nabi-nabi palsu.
 
Hari kedua tinggal disana, tiba-tiba Ganga harus segera meninggalkan Accra kembali ke Mumbay, India, karena isterinya mendadak sakit keras. Ketika aku hendak pindah ke hotel, dia bersikeras bahwa aku harus tetap tinggal di tempatnya. Maka jadilah aku tuan rumah sementara. Setiap pagi seorang pelayan wanita asli Ghana selalu menanyakan sarapan yang aku ingini, begitu juga makan siang dan malam. Sarapan pagi ok-lah, tetapi selama di Accra aku selalu makan siang dan malam di luar.
 
Ketika aku duduk menikmati semua fasilitas dan pelayanan yang ada di tempat Ganga, aku teringat dan merenungkan kejadian-kejadian di apartemen tempat tinggalku di Lagos. Entah sudah berapa kali kami menerima tamu menginap di tempat kami.   Kami pernah menerima sepasang suami isteri misionaris dari Indonesia untuk tinggal selama beberapa bulan. Ada juga seorang suster biarawati dari Kupang yang bertugas di luar kota Lagos. Suster ini sering menginap di tempat kami ketika anak-anak panti asuhannya sedang liburan atau sesekali jika ia sedang kangen dengan masakan Indonesia, atau ketika sedang menjemput mengantar suster-suster ordonya yang harus pulang dari atau berangkat ke Italia melalui bandara Internasional Lagos. Beberapa anak panti asuhan yang tidak pulang kampung pun kadang menginap bersama di tempat kami jika sedang liburan, bahkan aku pernah harus berbagi tempat tidur dengan mereka. Masih ada lagi pastor Nigeria di paroki di mana misi suster itu berada, kadang juga menginap di tempat kami kalau sedang berkunjung ke Lagos.
 
Aku dan teman-teman menerima semuanya dengan tangan terbuka. Kami dengan riang menyiapkan berbagai masakan, makanan dan minuman, nonton video bareng, bercerita bersama dengan mereka. Kebersamaan dengan tamu-tamu yang datang dan tinggal bersama membawa kebahagiaan tersendiri buat kami yang jauh dari keluarga dan tanah air. Tetapi kali ini sebaliknya, aku menjadi tamu seperti mereka, aku dijamu, dan diperlakukan seperti tamu kehormatan serta diberi tumpangan yang mewah. Dan entah mengapa ketika aku menjadi tamu dan dilayani begitu baik di tempat orang, aku malah selalu teringat tamu-tamuku, apakah aku sudah melayani mereka dengan baik, seperti aku dilayani saat ini. 
Rusdy's picture

Duh, membaca tulisan ini jadi

Duh, membaca tulisan ini jadi mengingatkan saya untuk lebih giat dalam "Use hospitality one to another without grudging" (1 Peter 4:9).

Saya sendiri mengamini "Kebersamaan dengan tamu-tamu yang datang dan tinggal bersama membawa kebahagiaan tersendiri buat kami yang jauh dari keluarga dan tanah air". Bedanya, saya tamunya (he he). Jadi, saat ini adalah giliran saya untuk melakukan hal yang sama untuk sesama. Seringkali hospitality ini jadi terbengkalai karena capeknya dari kerja seminggu, sibuk sendiri dengan kerjaan rumah, de el el.

Jadi inget cerita di Lukas 11 tentang tetangga yang nggak tau malu minta roti malam2. Di konteks orang Yahudi waktu itu, menjamu tamu bukanlah hal sepele. Malu kalau tidak bisa menjamu tamu dengan baik. (rusdi lagi off topic: Apa gara-gara hal ini, cerita di hakim-hakim 19:22-24 sampai terjadi yah? Masa selir dan putri sendiri diberikan kepada orang jahat, daripada tamunya 'dilukai'?)

Intinya, mao jempoli "apakah aku sudah melayani mereka dengan baik, seperti aku dilayani saat ini". Kita melayani karena Tuhan kita sudah melayani terlebih dahulu...

Catetan samping: pendeta saya memberi nasehat untuk tidak perlu menunggu punya rumah mewah dan bisa masak aduhai bak Jamie Oliver untuk menjamu orang. Kalau tidak, nggak pernah kesampean. Seperti contoh pendeta saya sendiri, dia kalau sedang menjamu tamu saja, rumahnya 'apa adanya', nggak perlu muluk-muluk...

Andy Ryanto's picture

Chicken Soup

Dalam perjalanan kali ini aku membawa serta "chicken soup for the traveller's soul".   Kesibukan dan rutinitas sehari-hari sering membuat kita lupa dan melewati hal-hal kecil dalam kehidupan ini. "Chicken Soup" banyak mengingatkanku tentang hal-hal kecil dalam hidup ini yang berdampak besar bagi diri kita ataupun orang lain.
 
Dalam penerbangan pulang ke Lagos, penumpang di sebelah adalah orang Muslim dari Nigeria Utara, hal itu jelas sekali dari postur tubuh dan pakaian tradisionalnya.  Muslim Utara termasuk cukup ortodoks, jadi dapat kupahami jika Tifatul sampai tidak mau bersalaman dengan yang bukan muhrim "kecuali terpaksa" dengan Michelle Obama.
 
Pesawat yang kutumpangi termasuk low cost carrier jadi makanan dan minuman bisa dibeli di dalam pesawat.  Kebetulan sebelum berangkat aku sempat mampir di supermarket milik orang libanon dan terpikat serta membeli berjenis-jenis roti yang sangat menggoda tampilannya.  Di dalam pesawat aku merasa lapar setelah pesawat delay hampir satu jam.  Aku meraih beberapa roti yang tadi kubeli, dan kutawarkan kepada penumpang di sebelahku, bahkan kubelikan minuman yang dijajakan pramugari.
 
Di luar dugaan, sosok muslim nigeria yang tadi diam saja tiba-tiba berubah ramah dan segera kami terlibat dalam percakapan:
"Are you from China?"
"No, I m not from China, but Indonesia"
"Oh..Indonesia?  Are you muslim?"
"No...I am not, I am Christian"
Dia terdiam sejenak.  Aku sedikit tegang dan berharap dia tidak berubah muka dan tidak mengembalikan atau melemparkan roti yang yang sudah di tangannya. Beberapa saat kemudian kuperhatikan mimiknya tidak berubah dan tetap ramah seperti ketika menerima roti dari ku.  Kami makan roti bersama dan melanjutkan percakapan mengenai bisnis masing-masing, dan akhirnya bertukar kartu nama.  Dia berjanji akan menelponku keesokan harinya. Dan benar keesokan harinya dia menelpon hanya say hello mengucapkan terima kasih.
sweetyimel's picture

jadi ingat poin 48 ko hai hai ^___^

48. Yang mengajarkan jurus tabur tuai adalah PEMBUAL!
       hahahaha, just kidding :p
 
Nice blog, bikin kita ingeut tuk evaluasi diri. thx 
Andy Ryanto's picture

Terima

kasih...my sweetyimel....
PlainBread's picture

Tamu dijamu (berima :p)

Kalo tamunya Obama, dijamunya luar biasa. Biarpun macet, tapi saya gak dengar ada yg komplen.
 
Tapi kalo tamunya air dari atas, banyak yang pada ngedumel. Mereka gak sadar air itu pada berteriak ke orang-orang,"Kami mau bertamu loh. Bukan kami yang menghalangi anda, tapi anda yang menghalangi kami."
Andy Ryanto's picture

Yang dalem dulu

Satu hal yang pernah kupelajari, jangan sampai juga kita sibuk menjamu tamu-tamu dan orang lain-lain, tetapi orang-orang terdekat kita (suami/isteri, anak, ayah/ibu, kakak/adik kandung. dsb.) malah terlantar.   Sibuk memberi donasi sana-sini, keponakan sendiri kempas-kempis uang sekolahnya.  Sibuk menjamu tamu-tamu di luar, orang tua sendiri hanya makan bubur dan lauk seadanya.