Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Onesimus: Si Pendosa yang Cerdik

Mirandola's picture

Deky Hidnas Yan Nggadas.

Teks Alkitab:

 (Philemon 1:8-19)  

 Pendahuluan

Khotbah-khotbah dari Surat Filemon pada umumnya difokuskan pada permohonan Rasul Paulus kepada Filemon untuk mengampuni Onesimus. Namun, hari ini saya tidak memusatkan isi khotbah saya kepada Paulus, maupun Filemon, tetapi kepada Onesimus. Dan untuk itu, saya memberikan tema bagi khotbah saya hari ini: Onesimus, Si Pendosa yang Cerdik.

Harus diakui bahwa tema ini merupakan tema yang sedikit berbahaya karena dapat menimbulkan kesalahpahaman. Pertama, orang akan mendapat kesan awal bahwa khotbah tentang Onesimus dengan tema ini, akan memberikan penekanan kepada kecerdikan Onesimus dalam berbuat dosa. Artinya, pengertian negatif yang terkandung di dalam istilah “dosa”, sedikit “dilembutkan” dengan istilah “cerdik”. Oleh karena, memang kita pernah membaca dalam Kitab Injil, di mana Tuhan Yesus ingin agar kita “cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati” (Mat. 10:16). Dengan kata lain, kesan positif dari istilah “cerdik” dikhawatirkan akan “mengecilkan” arti dari istilah “pendosa”. Dan kedua, karena terkesan “mengecilkan” arti dosa/pendosa, maka tentu khotbah ini tidak biblikal (alkitabiah). Karena di sepanjang Alkitab, dosa tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang dapat disepelekan apalagi ditolerir. Bahkan, kita membaca misalnya di dalam Kitab Kejadian, dosa Adam dan Hawa mengakibatkan kutukkan yang berkepanjangan. Dan peristiwa itu disimpulkan Paulus dengan menyatakan bahwa upah dosa ialah maut (Rm. 3:23). Karena upah dosa adalah maut, maka seorang yang berdosa adalah, dalam istilah Paulus, “manusia celaka” (Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini? – Rm. 7:24).

Jika demikian, mengapa saya memilih untuk tetap memakai tema ini sebagai fokus khotbah saya tentang Onesimus pada hari ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus menelusuri terlebih dahulu data-data Alkitab dan juga rekonstruksi historis di balik perjumpaan Paulus dan Onesimus.

 

Rekonstruksi Historis: Pertemuan Paulus dan Onesimus

Untuk memahami hubungan Onesimus dan Filemon, kita hanya mendapatkan informasi dari Surat Filemon, yang dalam PB disebut Surat Penggembalaan atau Surat Pastoral (bersama 1 dan 2 Timotius dan Titus) karena di dalamnya terdapat berbagai nasihat-nasihat pastoral.

Berdasarkan Surat Filemon, dan juga yang diakui oleh para penafsir, Onesimus tampaknya adalah seorang budak di rumah Filemon. Filemon kemungkinan adalah seorang yang cukup kaya di Kolose, namun telah bertobat melalui pelayanan Paulus. Pada suatu ketika, Onesimus melakukan kesalahan, dan kita tidak tahu pasti kesalahan apa yang sudah dilakukan Onesimus terhadap Filemon. Meskipun demikian, para penafsir menduga bahwa kemungkinan Onesimus telah mencuri uang atau barang berharga dari rumah Filemon. Itulah sebabnya, ayat 18 diterjemahkan “Dan kalau dia sudah merugikan engkau ataupun berhutang padamu…” Padahal kata “merugikan” sebenarnya hanya berarti “melakukan kesalahan” (do wrong - adikeo).

Perihal Onesimus melakukan kesalahan terhadap Filemon, umumnya disepakati oleh para penafsir. Mereka sepakat bahwa Onesimus telah melakukan kesalahan (walaupun ada yang menduga bahwa Onesimus menemui Paulus bukan karena melakukan kesalahan tetapi justru diutus oleh jemaat Kolose untuk membantu Paulus di penjara. Pendapan ini sangat mudah dibantah berdasarkan ay. 18). Atau dengan kata lain, Onesimus adalah si pendosa. Si Pendosa yang telah merusak hubungannya dengan Filemon. Akan tetapi, apa yang dilakukan Onesimus sesudah melakukan kesalahan atau sesudah berdosa terhadap Filemon, inilah yang menimbulkan perdebatan karena kita sama sekali tidak diberitahukan tentang apa yang dilakukan Onesimus sehingga ia berjumpa dengan Paulus di penjara. Bukan hanya itu, soal Onesimus berjumpa dengan Paulus di penjara yang mana pun masih merupakan wacana diskusi (Roma, Kaisarea, dan Efesus).

Pertama, mayoritas sarjana Injili percaya bahwa Onesimus sesudah mencuri sesuatu dari Filemon, kemudian berupaya melarikan diri karena takut akan hukuman berat yang akan menimpanya akibat kesalahan tersebut. Memang pada waktu itu, jika seorang budak melakukan kesalahan terhadap tuannya, maka ia dapat dihukum mati. Untuk menghindari hukuman tersebut, Onesimus melarikan diri sejauh mungkin ke tempat yang dapat menghilangkan jejaknya. Itulah sebabnya, para penafsir ini berpendapat bahwa waktu itu Onesimus melarikan diri ke Roma, ibukota kekaisaran Romawi, yang berjarak cukup jauh dari Kolose dan merupakan kota metropolitan yang dapat menghilangkan jejakya dari pencarian Filemon. Jika rekonstruksi ini benar, maka Onesimus sama sekali tidak berniat untuk menyelesaikan kesalahannya atau dosanya, paling tidak sejak awalnya sebelum berjumpa dengan Paulus. Ia sudah melakukan dosa, dan ingin melarikan diri dari tanggung jawab terhadap dosanya. Ada juga yang berpendapat bahwa di Roma Onesimus bergabung bersama para penjahat dan akhirnya dijebloskan ke penjara di mana Paulus juga sedang dipenjarakan. Berdasarkan pendapat ini, ada yang menegaskan bahwa kemungkinan Onesimus setelah tiba di Roma, kembali melakukan pencurian sehingga ia dipenjarakan di penjaranya Paulus. Artinya, perjumpaan Onesimus dan Paulus merupakan perjumpaan yang tidak disengaja bahkan yang tidak diduga sebelumnya oleh Onesimus. Hal ini memang menarik, karena dalam Perjanjian Lama kita juga membaca bahwa setelah membunuh Habel, saudaranya, Kain berusaha melarikan diri dari hadapan Tuhan. Tetapi, ternyata ia tidak mungkin bisa melakukan itu, karena seperti ada tertulis, “mata Tuhan ada di segala tempat” dan pada akhirnya Kain “tertangkap basah” oleh Tuhan (meskipun demikian Kain tidak dikatakan bertobat setelah perjumpaan itu). Demikian pula Onesimus, ia berniat melepaskan diri dari akibat dosanya tetapi kemudian Tuhan justru menangkapnya, melalui seorang rasul bernama Paulus di penjara di kota Roma.

Kedua, Rekonstruksi di atas ternyata bukan satu-satunya rekonstruksi historis yang dapat diusulkan untuk kasus Onesimus. Beberapa sarjana, salah satunya, Frank Thielman memberikan usulan yang berbeda.  Menurut Frank Thielman, Onesimus meninggalkan rumah Filemon setelah melakukan dosa terhadap tuannya itu, bukan dengan tujuan melarikan diri dari hukuman. Sebaliknya, karena Onesimus tahu bahwa Paulus adalah orang yang sangat dihormati oleh tuannya, Filemon, maka ia dengan sengaja menemui Paulus di penjara (kemungkinan di Efesus, karena jaraknya cukup dekat dari Kolose) untuk meminta pertolongan Paulus terhadap persoalannya. Usulan ini, cukup masuk akal karena kasus seperti ini juga pernah tercatat dalam sejarah. Dikisahkan bahwa seorang pejabat Romawi bernama Plinny pernah didatangi seorang budak untuk meminta tolong agar Plinny bersedia meminta tuannya memaafkan dia atas kesalahannya. Dan akhirnya, dengan sebuah surat rekomendasi dari Plinny, budak tersebut mendapat pengampunan dari tuannya.

Berdasarkan uraian ini dan juga tema khotbah saya di atas, saudara mungkin sudah menduga di atas dasar  rekonstruksi yang mana saya meletakkan latar belakang dari tema tersebut. Saya setuju dengan usulan Frank Thielman bahwa kepergian Onesimus dari rumah tuannya setelah melakukan kesalahan bukan untuk melarikan diri dari tanggung jawabnya, melainkan untuk meminta pertolongan Paulus dalam menyelesaikan masalah tersebut.

Dan itu berarti bahwa tema ini sangat cocok dengan rekonstruksi tersebut. Onesimus sadar bahwa ia tidak dapat mengubah apa yang sudah ia lakukan. Ia tidak dapat memutar kembali waktu supaya ia tidak melakukan kesalahan (mencuri sesuatu) terhadap tuannya. Ia sudah terlanjur melakukan kesalahan tersebut. Dan kini statusnya bukan hanya seorang budak, melainkan juga budak yang telah berdosa terhadap tuannya dan layak dihukum berat. Meskipun demikian, si pendosa ini tidak mau membuang-buang waktu untuk sebuah penyesalan yang tidak berhikmat. Bukankah dalam Kitab Injil, Yesus juga mengajarkan agar ketika seseorang bersalah, maka sebaiknya ia berupaya sedapat mungkin untuk berdamai dengan orang yang kepadanya ia melakukan kesalahan? Dan inilah yang dilakukan Onesimus. Ia tahu bahwa pernah ada seorang rasul yang oleh pemberitaannya telah mengubah hidup tuannya dari orang kafir menjadi orang Kristen. Bahkan setelah itu, rumah tuannya menjadi tempat pertemuan rutin untuk kegiatan ibadah (bnd. Ay. 2). Mungkin di dalam pertemuan-pertemuan tersebut, Onesimus pernah mendengarkan mereka berbicara tentang kasih dan pengampunan; tentang anugerah dan kelepasan; tentang kasih karunia dan pembebasan dari dosa. Itulah sebabnya, Onesimus menetapkan hatinya dan pergi menemui Paulus. Ia pergi, bukan untuk menghindar dari masalah. Ia pergi justru untuk menyelesaikan masalahnya. Dan ia tahu Paulus dapat menolong dia.

 

Pendosa yang Cerdik

Jika demikian, apakah yang dimaksud dengan pendosa yang cerdik? Ternyata pendosa yang cerdik bukanlah pendosa yang cerdik berbuat dosa; yang pintar dan pandai menyembunyikan dosanya dan melakukannya terus menerus tanpa ketahuan. Itu bukanlah kecerdikan. Itu adalah kelicikkan yang picik karena siapakah yang dapat menyembunyikan dosanya dari Tuhan lalu berpikir bahwa Tuhan tidak melihat semua yang sudah ia lakukan? Pendosa yang cerdik bukanlah seorang yang membuang-buang waktu untuk penyesalan yang tidak berhikmat dan bersifat sementara, namun beberapa saat kemudian melakukan hal yang sama lagi. Pendosa yang cerdik juga bukanlah pendosa yang dapat menemukan cara-cara baru untuk melakukan dosa tanpa ketahuan. Pendosa yang demikian, bukanlah pendosa yang cerdik melainkan, sekali lagi, adalah pendosa yang licik dan picik.

Jika demikian, siapakah si pendosa yang cerdik itu? Pendosa yang cerdik adalah pendosa yang tahu dan sadar bahwa ia telah berdosa dan ada hukuman atas dosanya. Tetapi tidak cukup sampai di situ karena seorang pendosa, seperti Onesimus, disebut pendosa yang cerdik karena ia dapat menangkap peluang untuk menyelesaikan dosanya.

Itulah sebabnya, ketika menemui Paulus, Onesimus membuktikan keseriusannya menyelesaikan dosanya dengan melakukan apa yang baik dan menyenangkan serta menghiburkan hati Paulus di penjara. Melihat sikap pertobatan yang begitu mengesankan itu, Paulus menyebut Onesimus dengan sebutan “anak yang kudapati di dalam penjara” (ay. 10). Istilah “kudapati” dalam ayat ini secara literal berarti “yang kulahirkan”. Paulus melihat buah yang nyata dari pertobatan Onesimus. Bukan hanya itu, Paulus bahkan secara tersirat meminta kepada Filemon agar sesudah memaafkan Onesimus, ia berkenan mengembalikan Onesimus kepadanya karena ia “berguna bagiku” (ay. 11). Ternyata, kini Onesimus bukan hanya seorang pendosa yang cerdik menyelesaikan dosanya. Ia juga adalah seorang yang menunjukkan keseriusannya untuk bertobat dengan menjadi seorang yang berguna dalam pelayanan. Jika dulu ia menyusahkan, menjengkelkan, dan merugikan tetapi kini ia, bagi Paulus adalah seorang anak rohani yang berguna.

 

Penutup

Kita semua adalah orang berdosa atau si pendosa. Kita sudah, sedang, dan akan berdosa. Kita tidak dapat mengubah itu karena memang demikianlah status kita sekarang. Status kita adalah pendosa, pendosa yang layak dimurkai dan dijatuhi hukuman mati oleh Tuhan. Jadi persoalannya sekarang, bukan apakah kita ini berdosa atau tidak berdosa. Karena, tidak seorang pun yang benar, seorang pun tidak. Demikian kata Alkitab! Persoalannya adalah sesudah berdosa, apakah yang kita lakukan?

Beberapa di antara kita mungkin memilih untuk menutupi dosanya dengan berbohong, berpura-pura, munafik, bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Atau mungkin memasang wajah cerah dan menunjukkan senyum sebagai isyarat bahwa ada yang patut dicurigai. Artinya mereka berupaya menutupi dosa dengan menciptakan dosa yang lain. Beberapa yang lain, mungkin begitu terpukul dengan dosanya sehingga memilih untuk mengutuki diri, menyalahkan diri, bahkan tidak sedikit yang membunuh diri karena merasa tidak mungkin termaafkan lagi kesalahannya (misalnya, Yudas).

Akan tetapi, hari ini kita belajar dari kasus Onesimus. Kita belajar bahwa kita mungkin tidak dapat mencegah diri kita untuk tidak berdosa. Dan dosa yang kita lakukan itu tidak dapat lagi diubah menjadi tidak berdosa. Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk itu. Namun, kita belajar dari kecerdikan Onesimus bahwa ada jalan keluar bagi dosa kita. Jalan keluar itu bukanlah sesuatu yang bisa kita upayakan dengan kekuatan kita sendiri. Kita tidak dapat menciptakan cara untuk melepaskan diri dari dosa kita. Jalan keluar itu adalah anugerah semata di dalam Kristus. Pengampunan itu cuma-cuma. Tetapi, kita perlu berlari menuju jalan keluar itu. Berlari bukan untuk melarikan diri. Kita berlari ke sana, mendapatkan pengampunan dan pembebasan, karena Kristus telah terlebih dahulu menarik hati kita untuk berlari menuju sukacita di dalam Dia. Maka tepat seperti yang Paulus katakan, “Tetapi kasih karunia adalah hidup kekal dan damai sejahtera” (Rm. 6:23). Pertanyaan penutup, siapakah saudara: Pendosa yang cerdik? Ataukah pendosa yang licik dan picik?

 

 

__________________

<td <