Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

SAAT MUSIM TOWER TIBA

anakpatirsa's picture

Tujuh tahun lalu, tidak ada ponsel di sini, juga tidak banyak yang pernah mendengar kata handphone atau telepon genggam. Kalau telepon satelit, hampir semua pernah mendengarnya. Itu mainannya orang kaya atau anak orang kaya. Seperti cerita kakakku saat terpaksa pulang kampung naik speedboat. Katanya seorang penumpang yang membawa telepon satelit meminta jurumudi mematikan mesin, supaya bisa mendengar lawan bicaranya di telepon. Sang jurumudi tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menurut, maklum, gadis cantik bertelepon satelit itu putri sulung pemilik perahu mahal yang sedang dikemudikannya.

Sekarang semuanya berubah. Kakek-kakek yang sebentar lagi masuk peti berbentuk sabun batangan bisa duduk di teras sambil menggenggam ponsel; nenek-nenek yang mulutnya merekah kemerahan bisa berguman tidak jelas di ponsel sambil mengunyah sirih; Anak-anak yang masih mandi telanjang bisa membungkus ponselnya dengan pakaian yang tergeletak begitu saja di atas lanting.

Hampir semua memiliki ponsel. Termasuk aku akhirnya memiliki benda yang selalu menjadi pembicaraan saat menunggu jam kuliah, atau saat menunggu giliran memakai kamar mandi di kost. Kelompok pendatang bernama mahasiswa, memang suka berdiskusi tentang banyak hal. Tentang mahasiswa miskin yang barusan membeli ponsel seharga empat juta, tentang teman sekamar yang kehilangan ponsel di kamar mandi, atau tentang teman yang menukar sepiring nasi dengan pulsa sepuluh ribu.

Adanya benda ini tidak lagi membuatku ketakutan seperti lebih dari lima tahun lalu. Saat jantungku deg-degan karena mendapat telpon di siang bolong. Tiba-tiba saja pikiranku melayang ke masa itu.

"Tadi adikmu menelpon," kata Oksan, teman se-kost yang berasal dari Palu. Membuatku menjadi gugup dan gelisah.

Menelpon interlokal dari kampung sangatlah mahal, apalagi di siang bolong. Sehingga sangat jarang aku mendapat telpon, bahkan hampir bisa dikatakan tidak pernah. Tetapi sekarang, saat matahari tebat berada di atas Malioboro, adikku menelpon.

"Pasti sesuatu yang sangat penting," kataku dalam hati sambil menghela nafas berat, "bukan hanya sangat penting, berita buruk!" Hanya sebuah berita buruk yang mampu membuat adikku menelpon di siang bolong, tetapi aku harus kembali ke kampus.

"Tadi adikmu menelpon lagi, namanya Nyai Mantuh," sorenya Oksan kembali menyambutku di teras

Si Kembar menelpon? Sesuatu menghantam jantungku. Keduanya punya cara menyebutkan nama secara bersamaan -- Nyai Mantuh -- Nyai yang paling tua, dan Mantuh si bungsu. Nyai Mantuh, artinya mereka berdua yang menelpon.

Oksan melanjutkan lagi, "Tadi aku bilang kamu jam empat pulang dari kampus, dia akan telpon jam empat nanti."

"Seperempat jam lagi," kataku dalam hati. Bersyukur punya kehidupan yang begitu rutin. Orang kost sudah tahu. Senang Oksan ingat, jam empat sore aku selalu ada di kost, menonton film kartun.

Seperempat jam itu merupakan salah satu waktu terpanjang dalam hidupku. Jantung berdetak kencang, dan seolah-olah tidak ada tenaga untuk bangkit dari kursi. Menunggu berita terburuk dalam hidup benar-benar bukan pengalaman menyenangkan.

Akhirnya telepon berdering, membuat darahku kembali berhenti mengalir.

"Hallo," kataku, siap mendengar berita terburuk.

"Hei..." itu sebuah teriakan yang begitu kukenal. Tanpa nada sedih, itu teriakan si Nyai seperti saat ia memanggilku dari atas pohon manggis, "kami disuruh Kak Maria menghabiskan pulsa. Ia tidak pernah memakai handpone-nya. Padahal bulan ini pulsanya harus habis, kalau tidak, hangusss...!"

Tiba-tiba suara di telpon berganti, kali ini tidak ada teriakan mirip penyanyi opera. Mantuh pasti merebut ponsel dari tangan kakaknya, "Hei, kalau pulang bawa untuk kami MP3-nya Whitney Houston, Celine Dion, dan semua penyanyi pop cewek, ya? Kami sekarang sudah tidak suka lagi sama Boyzone, Backstreet Boys dan Nick Carter. Sekarang kami suka Whitney Houston dan Celine Dion. Kami juga sekarang suka sama Michael Ballack.

Aku pikir Michael Ballack ini penyanyi. Entah berapa rental MP3 di kawasan Kolombo dan Demangan aku ubrak-abrik hanya untuk mencari albumnya. Baru saat Piala Dunia 2006 aku tahu siapa idola baru kedua adikku. Ini artinya, lima tahun setelah mereka membuatku ketakutan, aku melihat Michael Ballack berlari-lari kecil di lapangan hijau. Saat itu aku menemani kedua adikku menonton idolanya menjebol gawang lawan sambil mendengar MP3 pesanan yang barusan mereka dapatkan setelah lima tahun.

Saat percakapan berakhir, hanya bisa berkata dalam hati, "Semua sudah berubah, telpon bukan lagi alat penyampai berita buruk."

***

Sepuluh tahun lalu, tiang bambu yang di puncaknya terpasang antena televisi sepanjang dua meter, mencuat di samping beberapa rumah. Setelah musim antena parabola, benda bulat yang lebih besar dari kuali penggorengan dodol, menggantikan tiang bambu dan menghiasi atap rumah yang bocor di sana-sini. Dua tahun yang lalu, antena parabola memang masih menghiasi atap rumah, tetapi tiang bambu kembali berdiri tegak. Hanya antena di puncaknya jauh lebih kecil. Kata orang, namanya antena seluler.

Tetapi setahun yang lalu, antena seluler kembali lenyap. Jika proses penggantian antena tiang bambu dengan antena antena parabola membutuhkan beberapa tahun, maka proses penurunan tiang bambu seluler hanya membutuhkan dua hari. "Ada sinyal masuk kampung," kata orang, saat sebuah tower setinggi puluhan meter berdiri tegak di tengah kampung.

***

Saat menuju warung janda yang terletak seratus meter dari rumah, aku melihat seorang nenek hampir lima puluhan tahun berdiri di teras rumahnya yang terletak persis di samping warung. Sebuah ponsel menempel kuat di telinganya, dan dari mulut yang sambil mengunyah sirih terdengar suara yang tidak begitu jelas.

"Ayungkuh As kea nah," katanya setengah bergumam. Artinya, "Punyaku As juga, nah!"

Ia terdiam sebentar, pasti mendengarkan lawan bicaranya. Sesaat kemudian kembali berkata, “Yoh, jituh labih murah SMS bara SIMPATI. kakute aku hapa due SIM-Card." -- "Ya, nomor ini lebih murah untuk SMS daripada SIMPATI. Makanya aku pakai dua SIM-Card."

"Hebat, nenek-nenek pakai dua nomor dan tahu istilah SIM-Card," kataku dalam hati sambil menaiki tangga warung, membeli kopi sachet-an yang sudah ada gulanya.

Aku masih tetap bisa mendengar nenek di teras samping membanggakan dua kartu yang dipakainya, membuatku sedikit teringat iklan televisi. "Amun pander aku masih hapa SIMPATI, tapi amun SMS aku hapa As. Anak kuh nah uras hapan ponsel INDOSAT, awi sinyal ah kuat."  -- "Kalau bicara aku pakai SIMPATI, tetapi kalau SMS pakai AS. Anak-anakku semuanya pakai INDOSAT, karena sinyalnya lebih kuat."

Di rumah, kuceritakan apa yang kudengar tanpa sengaja saat membeli kopi three in one. Mantuh, adik kecil yang sudah tumbuh menjadi gadis cantik berkata, betapa ia bahagia punya kakak laki-laki yang suka iri sama nenek-nenek, serta suka menggosipkan hal-hal remeh. "Betapa senangnya punya kakak cowok yang telinganya selalu terpasang supaya bisa mendengarkan percakapan orang di telpon," tambahnya. Aku yakin ini bukan sebuah sarkasme, ia pasti benar-benar senang punya kakak seperti aku ini.

Sambil tiduran didepan televisi, kami mengobrol tentang kampung yang sudah tidak ketinggalan jaman lagi. Aku lalu bercerita bagaimana dulu, waktu ia dan saudara kembarnya masih bayi, kami selalu berkumpul di depan radio. Duduk manis mendengarkan siaran "Berita Keluarga" setiap jam enam sore.

Tidak ada alat komunikasi lain, sehingga kalau seseorang mau menyampaikan berita untuk keluarganya yang berada di hulu sungai, ia harus pergi ke kampung yang ada pemancar radionya, atau menggunakan jasa yang kami kenal sebagai ORARI. Petugas menyampaikan pesan itu ke RRI Propinsi, sehingga semua orang bisa mendengarkannya pada jam siaran "Berita Keluarga". Sebuah siaran yang biasanya berupa berita kematian, kecelakaan. Kadang diselingi juga dengan berita gembira berupa kelahiran seorang anak atau anak naik kelas, kadang diselingi dengan berita yang sedikit membuat senyum kecut.

Pola kalimat beritanya hampir selalu sama, yang dalam dunia komputer sekarang, istilahnya, memakai template yang sama. "Berita keluarga disampaikan oleh Pak Budi, di kampung Lawit. Ditujukan kepada Ananda Malit yang berada di hulu sungai Kulat. Isi berita: Kakek meninggal karena sudah tua. Harap segera pulang ke Desa Murut." Itu pola berita duka. Lalu ada berita minta kiriman uang, "Dari Ananda Mira di kota Palak. Ditujukan kepada Ayahnda Lumit di desa Tilut. Isi berita: Harap segera mengirimkan uang sebesar seratus ribu, beras kami sudah habis."

Setelah ada televisi, kami mulai lupa menghidupkan radio setiap jam enam sore. Walaupun demikian, kami tidak pernah ketinggalan berita "penting". Saat berita itu ditujukan kepada ayah, ibu atau kakek, tetangga berlomba memberitahukannya. Tetapi sekarang, saat si kembar sudah bisa mencari duit sendiri, tidak ada lagi yang peduli tentang siaran tersebut, bahkan aku sudah tidak yakin itu masih ada. Sekarang sudah jamannya ponsel.

***

Hanya dua bulan aku di kampung, saatnya untuk kembali ke kota. Kebetulan se-mobil dengan petugas survei dari sebuah operator baru. Ia sedang melakukan survei sekaligus bernegosiasi dengan beberapa pejabat daerah tentang pendirian menara BTS. Ia sempat menceritakan bagaimana bisa sebuah tower menghabiskan satu milyar lebih.

Penumpang di sampingnya bertanya, dengan biaya seperti itu, apakah pihak operator tidak rugi.

Ia menjawab dengan memperkenalkan sebuah istilah. Katanya daerah kami merupakan sebuah backbone, sebuah istilah untuk menggambarkan daerah-daerah yang memberi keuntungan luar biasa dengan berdirinya tower-tower. Daerah backbone inilah yang mendukung daerah lain yang tidak terlalu menjanjikan. Artinya keuntungan di daerah backbone menutupi kerugian di daerah lain.

Daerah yang dulu begitu terisolasi, sekarang mendapat mainan baru. Sebuah mainan yang membuat seorang ayah bisa menghubungi anaknya yang ada di seberang sungai. Sebuah mainan yang membuat seorang anak tidak perlu mengirimkan berita yang bisa didengar oleh satu provinsi. Sebuah mainan yang membuat kami menjadi backbone lagi setelah pohon-pohon habis.

Hidup backbone

***

ely's picture

beruntung,

Salam kenal anakpatirsa, Cerita yg bagus dan sedikit lucu, Kejadian yang sama dengan di kampungku, Baru2 ini berdiri Tower Lamp yang bisa menjangkau daerah perkampungan, Pihak yang merasa paling beruntung adalah orang2 yang tanahnya digunakan tempat mendirikan tower lamp karena mereka dapat ganti rugi yang lumayan... (rugi kok malah untung, hehehe...) Selanjutnya mereka yang memiliki HP, karena komunikasi bisa tetap lancar walau pun harus pulang kampung. Kemudian petani2 yang baru belajar menggunakan HP, mereka tidak perlu lagi capek2 harus pulang pergi dari kebun ke rumah hanya untuk mengambil barang yang kelupaan atau sudah habis... Dan keberuntungan terbesar pastinya diraub oleh operator telpon terkait ...
__________________

Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...

clara_anita's picture

Backbone...

Halo AP,

Backbone ya? Aku tahunya sih Andra and the Backbone yang aku yakin juga meraup keuntungan dari maraknya bisnis seluler :) Soalnya RBT mereka laris manis sih....

Nice story lho

GBU

anita

 

 

 

wahanawahli's picture

Keren

Ceritanya asyik

bacanya enak

ampe 'ga nyadar ama sindirannya

 

Dua  jempol buat pendekar berselimut loreng