Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Tragedi Pohon Rindang

SAMMY SIGA's picture
Aku terbelalak menangkap siluet sosok yang baru saja melintas lewat depan pintu kantin kantor. Hahh! Benarkah? Masa iya sih? Sedetik kemudian kuurungkan menyeruput teh yang gelasnya baru saja kuangkat. Kuletakkan kembali. Buru-buru kulangkahkan kaki dengan langkah panjang-panjang mencapai pintu masuk kantin. Lalu kupalingkan pandangan ke arah berlalunya sosok modis dengan dua rekan berjalannya. Berhasil! Aku memandang dengan seksama bagian belakang tubuhnya. Juga cara berjalannya.
My God! Itu memang dia, batinku yakin. Sepersekian detik terjadi perdebatan di benakku. Panggil! No! Panggil aja! No, konyol tau! Gapapa lagi, emang kenapa? Gak malu? Kok malu? Oke, sepakat kalo dia menoleh. Namun hingga mereka masuk ke dalam lift, aku tak menemukan momen yang tepat untuk mengudarakan namanya.
Aku melangkah gontai kembali kemejaku. Bergeming terhadap tatapan mengandung tanya beberapa orang yang hadir di kantin ini. Fuihh! Begitu duduk, kuhembuskan napas usai menariknya dalam-dalam. Jantungku berdebar. Penasaran. Kok bisa ya? Seandai, oh seandai…. Detak jantungku kian terpacu. Lalu ingatanku memutar ulang peristiwa 7 tahun silam yang tertata apik di sudut memori kepalaku…. 
*****
 
Dalam penantian aku didera cemas. Rasa percaya diriku perlahan lumer menyisakan ketakutan yang kian mewujud. ‘Gue kate juge ape, sok gakperhitunganlo. Di mane-mane yang namanye  nekadlebih sering apes ketimbang sukses. Ngeyel lo.’ Kata hatiku menyalahkan diri sendiri.
“Gue menghargainya, Dy.” Akhirnya kudengar suaranya setelah sekian detik dia menghela napas. Tapi, diam lagi. ‘Hmm, maknanya apa ya? Naga- naganya ini pertanda buruk? Ahh, belom tentu!’ adu argumen di benakku. ‘Week, cuma segitu?’ batinku nelangsa. ‘Tidak adakah penjelasan lebih lanjut? Ato to the point ajagitu: “yes” or “no”. Simple toh?’
Dalam keheningan, aku menimbang, sejurus kemudian kuputuskan menuruti kata hatiku yang mengharap sepotong kepastian. ‘Kalo mau remuk, mending tahu sekarang aja Dyo, and case is closed. ‘ suara di hatiku. Dan di mulutku,
“Maksud Ofel?” Busyeet. Aku gagal menyembunyikan getaran di nada suaraku. Kulirik wajah gadis di sebelahku. Entahlah, tiba-tiba aku merasa menjadi orang bego sedunia. Atau barang kali lebih tepatnya, keberanianku untuk coba mereka-reka makna yang terpancar di balik raut wajahnya, telah menguap diterbangkan angin siang yang sedari tadi ramah menyapa kami di bawah pohon rindang halaman sekolah.   
“Waktunya ga tepat …, eh, maksud gue…, kita temenan aja ya Dy….”
Dugg…!
Duarr…!
Aku terhenyak. Tercekat. Galau. Tanpa permisi, segera kesedihan menggayuti ruang hatiku. Ternyata selama ini gue kegeeran, batinku lesu.
“Maafin gue, Dy….” Lamat kudengar suaranya.
“Ya, gapapa. Gue juga menghargai dan berterima kasih buat kejujuran lo.” Meski patah hati, aku berucap tulus.
                                                            *****
 
‘Tragedi pohon rindang’, begitu aku menyematkan label pada momen bersejarah di hidupku itu. Itulah kali pertama aku menyatakan cinta kepada seorang gadis yang aku taksir. Deandra Lioffelyta. Teman cukup karib, sekelas, sekaligus musuh terberat dalam memuncaki peringkat terwahid di sekolah. Wajahnya cantik, meski tidak sekaliber Anne Hathaway or Kierra Knightly, namun menurut survey tak resmiku dia terhitung top ten cewek bidikan utama di sekolah. Tambahan pula dia memiliki suara emas dan  jari jemari yang lincah menari di atas tuts-tuts piano. Bagiku pribadi, tak bisa kupungkiri, dialah wanita impian!
Sejujurnya, semula aku cukup tahu diri untuk memadamkan percik pesonanya yang tersulut di ruang hatiku. Dari sisi tampang sih, aku ga terlalu minder. Meski tidak selevel, menurutku selisih grade kami di kisaran interval 1 saja. Ga terlalu menyolok. Dan itu diiyakan oleh sahabat kentalku Andi. “ Pokoknya lo kalo jalan bareng Deandra, ga sampe orang bergumam, ‘Waaww…, dapet durian runtuh tuh si cowok…! Ato, Dea diledekin, ‘Nih cewe cakep-cakep napa bloon yaah…!” begitu dia suatu kali melukiskan tentang kami, yang selanjutnya kuhadiahi sebuah jab ringan di pundaknya.  Disusul pecahnya tawa kami berdua.
Dari sisi ekonomilah aku cukup tahu diri (ato minder?). Maksudku, sangat mungkin bila keluarganya tidak setuju. Aku bisa mengerti itu. Soalnya status sosial kami memang jauh berbeda. Setidaknya ada dua jenis mobil mewah yang pernah terekam benakku mengantar jemputnya: A****** dan B** seri terbaru. Rumahnya memang belum pernah kusinggahi, namun kawasan elite perumahan ‘P***** I****, adalah jaminan kemegahan dan kemewahan. Sementara keluargaku? Meski kami tidak masuk kategori pra sejahtera, namun, weleh weleh, tidak bijaksana rasanya melakukan perbandingan dengan mereka.—p
Usahaku gagal total. Percik pesona itu menjalar kian membara hingga menghanguskan seluruh sudut hatiku. Sikapnya yang hangat dan lepas, jauh dari kata jumawa, membius sekaligus menggelorakan asa. Apalagi kami menjadi semakin dekat, karena acap kali menjadi duta sekolah dalam berbagai ajang kecerdasan. Perdebatan hangat di kelas tak jarang kami lanjutkan di kantin sekolah. ( Cuma ga pake kata keramat, tolol, bego, dll, hehehe, ngelantur dikit.)
Dan aku tak kuat menahan luapan magma cintaku padanya. Aku menerjemahkan kedekatan kami sebagai sesuatu yang bernilai spesial pula di hatinya. Hingga di klimaks keyakinan dan keberanian yang pelan-pelan kurangkai, kutetapkan waktu membidikkan panah asmara. Di halaman sekolah, suatu sela istirahat bimbingan guna persiapan menghadapi cerdas cermat SMU antar kotamadya, kuajak dia menyisihkan waktu berdua. Nekad!
*****
 
Aku bersyukur kepada Tuhan usai tragedi bersejarah dalam hidupku itu, cuma hitungan hari pertemanan kami kaku. Belum genap seminggu perlahan kekakuan mencair berganti dengan keceriaan seolah ‘tragedi pohon rindang’ hanya sepenggal kisah yang tertinggal dalam mimpi. Aku senang Lioffel kembali bersikap hangat dan lepas dan tidak berusaha membangun tembok pembatas. (Bahkan kemudian kusadari kekakuan beberapa hari itu sejatinya bersumber dari sikapku yang sungkan bersikap lepas atau apa adanya.)
Di sudut hati aku bersyukur dan sukacita menikmati masih bisa dekat dengan wanita impianku itu. Mencuri pandang cantik wajahnya, menghidu harum bau tubuhnya, menikmati pesona gaya bicaranya, hmm, bahkan segala yang melekat padanya kusuka deh.
Dua bulan berlalu. Kala hari terakhir sekolah menjelang pembagian rapor kenaikan kelas 3, aku terhenyak surprais menerima ajakannya bertemu usai pulang sekolah berdua. Ada apa? Hatiku gedebak gedebuk disaput tanya. Kami menahan diri di kelas hingga teman-teman membubarkan diri. Setelah kelas sepi, menyisakan kami berdua, dengan langkah gagah kuhampiri bangkunya. Sesaat dia menatapku. Sikapnya yang agak canggung plus siluet semu merah wajahnya, tiba-tiba menghadirkan asa yang, jujur kuakui, masih kupelihara dengan baik di hati.(Ternyata case isn’t closed.) Namun kali ini, tentu saja aku tidak berani ber-geer ria.
“Apakah Nona akan mengajak saya taruhan siapa yang akan jadi pemuncak besok?” kubuka pembicaraan sambil mengambil tempat di sebelahnya yang kesehariannya adalah tahta Dini, teman sebangkunya. Dia nyengir.
Dyo,” suaranya empuk di telinga menyebut namaku,” Gue cuma mo nyampein kalo gue mo pindah ke Amrik. Ikut mom and dad yang pindah ke sana.”
“Daddy lo pindah tugas ke Amrik?” tanyaku tak bisa menutupi kekagetan. Dan, juga kesedihan yang lagi-lagi usil menyergap. Dia mengangguk.
“Bagaimana juga lo salah satu sahabat terbaik gue. Makanya gue mo ngucapin perpisahan.... 0h ya, gue juga mo ngomong sesuatu…,” Lioffel terdiam sejenak. Sudut matanya melirikku sebelum melanjutkan, “Sejujurnya gue juga menyukai elo Dyo. Cuma gue belom tau ato belom berani nerjemahin itu cinta. Gue cuma merasa belom saatnya direpotkan dengan yang namanya pacaran. Gue mo nikmati masa-masa es em a gue dengan kebebasan seperti selama ini. Gue mo semua  mengalir alamiah….”
Aku terbengong dalam diam. Berbagai rasa campur aduk mengisi ruang hatiku. Sedih, sepi, tersanjung, bloon, plong, menyesal, silih berganti mendominasi.
“Semingguan sebelom lo ngajak ngomong, dad udah ngomong ke gue tentang kepastian kami mo pindah ke Amrik. Gue bingung. Satu hal lagi, gue ga percaya sama hubungan jarak jauh. Kebetulan gue punya beberapa contoh nyata yang fail. Jadi akhirnya gue pilih ngomong begitu ke elo. Gue ga mau melukai elo tapi juga ga mau ngasih harapan muluk ke elo. Maaf gue ga terus terang kemarin itu ….”
Aku semakin terpaku dan kelu. Kesulitan  merangkai kata. Terbayang kelebat hari-hari ke depan yang sepi tanpa kehadiran mahluk cantik di sebelahku ini. Duuhhh!
Setelah sesaat hening meraja, aku memecahkannya dengan berucap, “tapi kita bisa tetap keep in touch kan?”
“Tentu boleh Dy,” Lioffel mengangguk. “Siapa takut?” dia melanjutkan dengan senyum mengembang.
 Kuberanikan diri meminta ijinnya mengecup lembut punggung tangannya. Setelah itu kami berjabat tangan untuk kemudian beriringan meninggalkan kelas. Di parkiran, sopir dan Dini telah menantikan kedatangannya. Lalu kami berpisah. Itulah kali terakhir aku menatap sosoknya.
*****
 
Selama 6 bln setelah perpisahan kami, jalinan komunikasi kami masih lancar. Lioffel rajin membalas sms dan mengirimkan foto-fotonya di Amrik. Dia berbagi cerita tentang sahabat barunya di sana. Satu yang membuatku jengah adalah perkembangan kisah sahabatnya Kevin. Teman sekelas sekaligus tetangganya itu semula jahil habis. Lioffel mengaku sebal dan selalu ingin ngejitak jidatnya. Kejengkelannya memuncak hingga dia memutuskan untuk tidak akan berbicara padanya. Dia selalu mencoba menghindar dari Kevin.
Seminggu kemudian menurut Lioffel, Kevin berubah drastis. Lalu di suatu malam dia datang meminta maaf dan berjanji tidak akan jahil lagi padanya. Lioffel sukacita. Ketika itu aku menggodanya mengatakan kebencian bisa berbalik jadi rasa suka.
‘ Waah… asyik dong. ‘ Begitu balasan smsnya. 
Namun memasuki bulan ketujuh dia tidak pernah lagi membalas smsku. Kucoba menghubunginya. Tak ada respon. Di luar jangkauan. Kucoba mencari info dari Dini. Ternyata sahabat karibnya itu pun tidak pernah dihubungi lagi. Ada apa? Aku gelisah. Beragam pikiran buruk menghantui benakku. Jangan-jangan….
                                                            *****
 
Getaran hape di kantong kemejaku menyadarkanku dari lamunan panjang. Aku tersentak. Buru-buru merogohnya. Aku melirik  layar memastikan identitas sang pengganggu lamunanku: My Dear. Ternyata dari wanita yang baru 4 bulan lalu kunikahi.
“ Yes honey, ini da mau go kok. Tadi minum teh sebentar.” Kututup telepon sambil bergegas ke kasir. Sejurus kemudian kutuju tempat parkir. Pulang. Langit senja cerah di atas kota Jakarta.
                                                            *****                                     
 
__________________

PlainBread's picture

Gimana kelanjutannya?

Apakah Lioffel jadian sama Kevin, atau jadi nyonya Dyo? :)

One man's rebel is another man's freedom fighter

SAMMY SIGA's picture

@PB : Ada rencana.

Salam. Ada rencana  melanjutkan sih. Mudah-mudahan segera. Plan dari sisi Liofffel.

 

Tuhan Gembalaku

__________________

SAMMY SIGA's picture

@PB: Oiya

Kelupaan, Dyo menikah dengan wanita lain. Adik kelasnya di ***

 

Tuhan Gembalaku

__________________