Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Untuk Kuat (3mi)

Untuk Luat
Dipublikasi Artikel blog by 3m1

Lanjutan cerpen judul “Andai  Aku Tau”.
  Semua telah terjadi, kini yang tersisa hanya penyesalan  dalam. Andai
saja saat itu aku menegur Luat, waktu mencuri bensin, mungkin Luat
tak
akan mengalami nasib naas itu. Aku baru mengerti, mengapa bensin selalu
selalu diletakkan ditempat tersembunyi dan tak terjangkau. Bahkan di
rumah Luat, bensin  diletakkan di teras tinggi terpisah dari rumah.
Hanya bisa diambil bila mampu memindahkan tangga tinggi yang sangat
berat. Namun karena nekat, Luat pun memanjat agar bisa mendapatkan
bensin yang dibutuhkannya. Bensin ternyata sangat berbahaya. Bensin
yang
hanya digunakan untuk bahan bakar mesin itu, ternyata memang tidak
boleh
dijadikan mainan oleh anak-anak seperti kami.

  ***

  Dari balik jendela ku pandang rumah sepi, yang terletak di sebelah
rumahku itu. Tampak ketiga jendela yang berada di sana tertutup rapat,
turut mengatakan bahwa tak ada penghuni di dalamnya. Pak Udau dan Mak
Baun, bapak dan mama Luat penghuni rumah itu pergi mengatar Luat, anak
semata wayang mereka menjemput harapan yang masih tersisa.
  Entah berapa lama kami dapat kembali kesana lagi atau mungkin kami
sama sekali tidak akan kembali menjadikan rumah itu sebagai
“markas”
lagi, setelah kejadian semalam. Memikirkan hal itu aku benar-benar
sedih.
  Segala yang pernah kami lewati di rumah itu terlintas kembali. Saat
bermain kartu kocok hingga telinga memerah karena cubitan keras jepitan
jemuran. Saat bernyanyi bak vokalis band, diiringi suara petikan gitar
butut Luat. Senar tali nilon itu, menciptakan suara  mendayu-dayu,
membuat kami bertambah semangat mengeluarkan suara cempreng tak
beraturan, yang mengalahkan suara nyamuk. Terlebih lagi saat rumah itu
menjadi satu-satunya tempat aman untuk kami melarikan diri, ketika
induk
betina dirumah mengaum seolah ingin menerkam.
  Tak ada orang yang melarang kami bermain sesering mungkin disana. Pak
Udau dan Mak Baun, tidak keberatan kami sering berkumpul disana. Malah
terkadang ikut tertawa jika melihat tingkah kami yang lucu dan konyol.
Bila ada waktu luang, pak Udau yang pandai bercerita dan murah senyum
itu akan menemani kami. Dengan senang hati ia mulai bercerita tentang
perang ngayau, yang sempat ia saksikan ketika masih kecil. Demikian
pula
ketika habis berburu, ia sering menceritakan bagaimana ia mengejar
binatang buruannya hingga binatang yang saat itu berhasil ia tangkap,
tergeletak di ujung tombak tajamnya. Mak Baun pun demikian, ia sering
memasakkan kami pisang rebus atau ubi rebus. Sehingga bila dirumahnya,
perut kami selalu kenyang. Bagi aku, Ucang, Ibau dan Uyang,
sahabat-sahabat dekat Luat, orang tuanya adalah orang tua kami yang
lain, setelah orang tua kandung. Kebaikan mereka menurun kepada Luat,
sahabat yang selalu ada saat dibutuhkan.

  ***

  Airmataku tak dapat ditahan. Aku benar-benar rindu bisa menginjak
rumah itu saat ini, aku rindu dengan suasana kebersamaan kami. Aku
rindu
dengan tawa Luat, Ucang, Uyang, dan Ibau. Akupun menangis
sejadi-jadinya
tanpa bersuara karena tak ingin terdengar mama.
  Tangisku tiba-tiba terhenti, ketika samar kemudian jelas. Aku
mendengar suara ramai orang berjalan melewati jalan yang berjarak 4
meter dari depan rumahku. Jantungku berdetak kencang, perasaanku
was-was. Jangan-jangan … pikiran buruk menghantui kepalaku. Aku
panik,
keringat dingin mulai mengucur. Kakiku tertahan ketika ingin melangkah,
berat seperti sendang diikat. Dengan tubuh kaku, aku berusaha untuk
melangkah. Langkah pertama, kedua, dan selanjutnya.
  Napasku hampir habis ketika akhirnya samapai di ruang tamu, bagian
depan rumahku. Aku hanya ingin mengintip, karena tak yakin akan mampu
berdiri tegak saat akan melihat kejadian sebenarnya.  Segera kusingkap
gorden di balik jendela. Tampak olehku beberapa orang tak kukenal,
berjalan bersama pak RT, dikuti rombongan panjang dibelakangnya,
orang-orang yang sebagian ku kenal dan sebagiannya lagi tidak. Mereka
berjalan ke arah hulu kampung.  Melihat deretan panjang itu, aku
akhirnya sadar, jantungku kembali berdetak pelan. Hari ini
undangan-undangan dari kampung tetangga telah berdatangan. Mereka akan
memeriahkan tahun baru di kampungku, karena tahun ini, kampungku
menjadi
tuan rumah.
  Biasanya bila terjadi musibah dikampung seperti saat ini, acara
apapun pasti ditunda sebagai rasa simpati kepada yang berduka. Namun
kali ini sepertinya hal itu tidak dilakukan, mungkin karena
undangan-undangan yang telah terlanjur berdatangan dan tidak mungkin
menyuruh mereka pulang kembali ke kampung masing-masing.

  ***

  Iringan panjang itu siap memeriahkan perayaan tahun baru. Meski
demikian, pikiranku sama sekali tak terbersit untuk ikut bergabung
dalam
rombongan panjang itu. Aku merasa tak pantas untuk bersenang-senang
sementara seorang teman sedang mengalami musibah.
  Dari balik gorden, ku lihat Ucang, berlari kearah rumahku. Segera aku
masuk ke kamar dan menutup pintu tak ingin ditemui olehnya. Seperti
dugaanku, tak lama kemudian aku mendengar dia suaranya “Uren, Uren”
panggilnya dari luar kamarku, mendengar itu aku hanya diam tak ingin
menyahut. Yakin aku berada di dalam kamar ia pun kembali angkat bicara,
“hari ini kita main bola kasti, ayo cepat”, mendengar itu, aku
berpikir Ucang tak berperasaan, aku langsung menjawab “aku tidak mau
bermain, masak kita bisa senang-senang sementara teman kita ada yang
kesakitan”, mendengar jawaban seperti itu Ucang langsug mengerti
maksdku dan menjawab kembali “meski Luat tak ada, kita harus tetap
bermain, kita harus berusaha berjuang mempertahankan juara tahun lalu.
Pastilah Luat pun berharap seperti itu. Kita harus bisa mempertahankan
juara kita sebagai hadiah buat Luat”, kalimat itu membuat tangisku
pecah kembali.
  Aku ingat kemarin, Luat terlihat antusias sekali bila akan menang. Ia
bahkan telah berjanji kepada kami, akan memberikan sesuatu setiap kami,
bila nanti menang.  Namun kini semua tinggal janji, ia tidak memiliki
kesempatan lagi.
  Dalam isakku, aku kembali bertanya kepada Ucang, “kamu yakin, kita
bisa main tanpa Luat?”. Ucang dengan pelan menjawab, “sudah ada
penggantinya, si Bilung, tadi sudah ku kasih tau”, jawaban itu
terdengar sangat aneh ditelingaku. Mengingat Bilung sosok ceking tinggi
itu adalah seorang yang tak bisa bermain. Bilung yang berkaca mata
setebal pantat botol itu hanya bisa membaca buku dan mengerjakan
soal-soal ujian dengan cepat. Dia jarang sekali mengikuti praktek olah
raga. Dia  sepertinya hanya tertarik pada buku-buku, ia bahkan
menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan kecil sekolah yang
terletak
di ujung sekolah. Tidak salah bila dia akhirnya menjadi orang terpintar
dikelas V, kelas kami. “Bilung!” kataku memastikan, “bukankah dia
tidak bisa bermain. Aku tidak mau, pasti kita kalah, apalagi Luat tidak
ada”. Ucang tetap tak menyerah, “ayolah, kita harus buktikan.
Bagaimana kita tau kalau kita kalah kalau belum mencobanya?”, kalimat
itu sedikit menggerakkan hatiku, namun lagi-lagi, aku masih tak yakin
dengan Bilung si pendiam itu, akhirnya akupun bertanya kembali kenapa
Ucang memilih Bilung, “kenapa harus Bilung?”, dengan suara agak
meninggi, Ucang menjawab “Tak ada lagi yang mau, semua teman-teman
sudah aku tanya, hanya Bilung yang bersedia” entah kenapa nada itu
meninggi. Mungkin Ucang juga meragukan Bilung atau ia kesal dengan
teman-teman lain yang tak bersedia. “tak apalah, Bilung yang tidak
bisa bermain saja, bersemangat menggantikan Luat, masakan kita kalah”
suara itu bersemangat kembali. Aku hanya terdiam, setuju dengan kalimat
yang baru saja diucapkan Ucang. “buka dulu pintunya” kembali Ucang
berbicara, kini dengan suara pelan. Akupun akhirnya mengalah, memutar
potongan papan kecil yang terpaku di tiang les mulut pintu, kunci pintu
kamarku, setelah terputar 450 , pintu pun terbuka. Ku biarkan Ucang
melihat wajah kusam dan mataku yang bengkak. Ia menatapku tanpa bicara,
dimatanya pun aku melihat sisa kesedihannya, itu tak bisa
disembunyikannya dariku. Perlahan akhirnya ia berbicara dengan suara
pelan, “kita harus mencobanya, untuk Luat” mendengar itu aku
akhirnya memutuskan untuk ikut bermain, “benar, kita bermain untuk
luat”. Sebuah kalimat yang terlepas begitu saja, membuat beban hatiku
terasa sedikit ringan. Ucang tersenyum simpul mendengar jawabanku “ya
sudah, cepat siap-siap. Sudah jam setengah empat, kita main jam empat,
aku tunggu dirumah, mau ganti baju dulu” katanya sambil berlalu
dariku.

  ***

  Sekarang team kami sudah lengkap berkumpul di lapangan, Bilung si
tubuh ceking itupun telah bergabung bersama kami. Dia terlihat
canggung.
Benar-benar kesempatan emas buat si Anye usil untuk menggodanya. Dengan
mata nakal dan tangannya usilnya terus saja mencolek tubuh Bilung,
membuat Bilung terlihat benar-benar senewen. Melihat itu perasaanku
campur aduk, lucu namun salut, karena orang seperti Bilung mau saja
ditunjuk mendadak. Disudut lain terlihat Ibau  yang hanya diam sedari
tadi, biasanya pemilik tubuh besar ini juga paling senang meledek. Aku
tau pasti, diantara kami, dialah orang yang paling sedih dan merasa
bersalah. Dialah yang menumpahkan bensin ke belakang Luat, tentulah
bayangan kobaran api itu masih melekat di pelupuk matanya, seperti yang
juga aku alami. Prihatin dengan keadaannya, aku mendekatinya. Tersenyum
mencoba memberinya semangat, namun tak ada reaksi dari wajahnya, hanya
sebuah kalimat keluar dari mulutnya “aku ingin bermain untuk Luat”
suara itu pelan. Mendengar itu aku hanya menepuk-nepuk pundaknya,
berusaha memberi dukungan untuknya.
  Setelah melakukan pemanasan ringan, Ucang, Bilung, Uyang, Anye,
Jalung, Ibau dan aku telah siap bermain, demikian pula dengan pihak
lawan. Sesuai kesepakatan, masing-masing team terdiri dari 7 orang
campuran laki-laki dan perempuan, untuk team kami hanya aku dan Uyang
perempuannya sedang di team lawan terlihat hanya seorang perempuan.
Pertandingan dilakukan di sebuah lapangan panjang dengan. Dimana
ditengah lapangan telah tertancap 4 batang kayu berjejer sebesar betis
orang dewasa, dengan jarak antara masing-masing kayu 7 meter. Kayu-kayu
ini di sebut Pal, terbagi menjadi Pal 1, Pal 2, Pal 3 dan Pal 4,
berfungsi sebagai tempat persinggahan atau tempat aman untuk pihak
pemain sementara pihak penjaga mencari kesempatan untuk menggebok bola
bila tidak sedang memegang Pal atau bila sedang berlari dari satu Pal
ke
Pal lain. Dan bila gebokan bola terkena pada tubuh pemain maka secara
otomatis terjadi pergantian, pemain menjadi penjaga demikian
sebaliknya.
  Postur tubuh pihak lawan terlihat besar-besar, tak sebanding dengan
kami, hanya Ucang, Jalung dan Ibau yang bertubuh besar, sedang aku,
Anye
dan Uyang bertubuh kecil dan lagi-lagi Bilung sendiri yang terlihat
berbeda diantara kami, ceking, tinggi seperti tiang listrik. Meski
demikian aku tak putus asa, semangatku telah terbakar, aku ingin
bermain
untuk Luat, seperti alasan Ibau untuk bermain. Kalimat Ucang ketika
mengajakkulah yang membuat rasa pesimisku lenyap. Ucang memang teman
yang paling bersemangat. Aku banyak belajar darinya. Tubuhnya yang
tinggi dan berisi seperti ubi rebus yang sering kami makan dirumah
Luat,
mencerminkan semangatnya. Masih kelas V SD saja ia sudah berani ikut
bapaknya berburu ke hutan. Meski seringkali tertinggal ketika bapaknya
berlari mengejar buruan atau memanjat pohon ketika buruan terlihat
mengamuk, tidak sama sekali jera. Sepertinya ia telah terobsesi dengan
cerita-cerita Pak Udau untuk menjadi pemburu hebat. Setiap pulang dari
berpetualang, ia dengan bersemangat bercerita kepada kami, bagaimana
dia
melihat seekor babi di kepung oleh anjing-anjing hebat, kemudian mati
diujung tombaknya setelah ujung tombak bapaknya tertancap lebih dulu,
bagaimana terangnya mata Payau ketika disenter pada malam hari,
bagaimana seekor beruang besar mengejar ia dan bapaknya hingga lari
terbirit-birit memanjat pohon. Sungguh petualang yang sangat menarik
membuatku iri kepada anak laki-laki.

  ***

  Untuk menentukan pemain awal maka wasit pun melempar koin ke udara,
ketika jatuh undian ternyata memihak kepada kami. Kemudian dilanjutkan
pada menentukan urutan pertama pemukul bola, dengan mencabut undi.
Untuk
team kami, aku mendapat giliran pertama, dilanjutkan Anye, Bilung,
Jalung, Ucang, Ibau dan Uyang.
  Mengambil posisi dibelakang garis menuggu lemparan bola, aku telah
siap dengan kayu pukulan di tanganku. Saat bola dilempar dengan sigap
aku memukul bola. Pukkkk!!! Suara bola keras mengenai kayu pukulanku
melambung jauh. Kesempatan selanjutnya untukku berlari sekuat tenaga,
sorak dipinggir lapanganpun pecah menyerukan namaku, mendengar itu
kakiku dengan semangat berlari sekuat tenaga menggapai Pal 1, Pal 2
kemudian Pal 3, dan berhenti disitu karena bola sudah kembali.
  Selanjutnya giliran Anye yang memukul bola, aku tak kuatir dengan
Anye, badannya yang kecil membuatnya sangat lincah berlari, kini
saatnya
si mata sipit itu memukul bola, ketika bola mengenai kayu pukulan, bola
pun terpantul jauh melambung ke belakang lawan. Anye dengan cepat
berlari memegang Pal 1, Pal 2, Pal 3 dan Pal 4 lalu kemudian kembali ke
garis start mencetak 1 point. Demikian pula denganku, kesempatan itu
memberi peluang buatku menuju ke Pal 4 kemudian kembali ke garis start
mencetak 1 point, point kami secara bersamaan menjadi 2-0, sorak dari
pinggir lapangan terdengar girang.
  Kini giliran Bilung yang memukul bola. Dalam sekejap wajah-wajah
dipinggir lapangan terlihat tegang, siapapun tau Bilung bukan pelari
hebat, dia hanya hebat bila sedang mengerjakan soal ujian. Berdiri
didepan garis, Bilung terlihat sangat gugup, keringat di dahi mengalir
ke wajahnya yang putih memucat, kakinya bergetar, nampak sekali kalau
dia sangat gugup. Gaya Bilung yang seperti itu membuat aku pun tegang,
gugup. Aku takut kalau-kalau dia tak tahan lalu pingsan. Kamu bisa
Lung,
suara Ucang memberinya semangat dari belakang. Pukulan kayu ditangan
Bilung sudah siap menerima lemparan bola. Matanya terfokus pada pihak
lawan yang akan melempar bola. Satu detik, dua detik, tiga detik,
kedebukkkk….., suara bola keras mengenai pukulan kayu Bilung. Bola
melesat keatas melambung jauh. Entah bagaimana Bilung bisa
melakukannya,
wajah-wajah dipinggir lapangan terlihat heran. Hening beberapa saat dan
kembali pecah oleh sorak, saat melihat Bilung berlari menuju Pal 1.
Keberhasilan Bilung membuatku benar-benar lega, sungguh diluar
perkiraan. Aku sama sekali tak menduga Bilung bisa memukul bolanya.
  Demikian permainan semakin seru ketika point-point lainnya menyusul
dicetak oleh Ucang, Uyang, Jalung dan Ibau. Dua kali Bilung berhasil
memukul bola dengan tepat, namun kali ketiga pukulan Bilung meleset,
membuat wajahnya meringis tak berbentuk, karena kesakitan terkena
gebokan yang sangat kuat dari pihak lawan. Gebokan itu akhirnya
menggantikan posisi kami menjadi penjaga dan pihak lawan menjadi
pemain.

  Pertandingan itu akhirnya selesai. Team kami berhasil memenangkan
pertandingan. Team lawan yang berpostur tubuh besar-besar, sehingga
membuat mereka tidak terlalu kuat berlari dan cepat capek. Kalimat
Ucang
kembali terngiang, bagaimana seandainya kami tidak mencobanya, tentu
kami tak akan pernah tau bila kemenangan ternyata berpihak kepada kami.
  Kami pulang dengan kemengan, namun satupun dari wajah-wajah kami tak
ada yang terlihat senang. Hanya wajah-wajah kaku dan tegang, kami
kembali terdiam dan merasa was-was. Malam ini kami akan bersiap-siap,
menerima berita keadaan Luat dari supir mobil kampung, yang tadi pagi
mengantar Luat ke kota.

Bersambung