Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Utusan (Gali Kata Alkitab dalam Tinjauan Tulisan Ibrani Kuno)

Hery Setyo Adi's picture

Kata “utusan” merupakan padanan antara lain dari kata Ibrani mal’ak (disusun dari huruf-huruf dan tanda baca Ibrani:  Mem-Patah-Lamed-Shewa-Alef-Qames-Kaf). Akar-kata induk mal’ak adalah LK (Lamed-Kaf), yang dalam tulisan-gambar (piktograf) Ibrani kuno menggambarkan benda dan melambangkan ide tertentu. Huruf Lamed adalah gambar tongkat gembala. Sedangkan huruf Kaf adalah gambar telapak tangan yang terbuka. Gabungan dua gambar tersebut berarti “tongkat di telapak tangan.” Seorang pengembara berjalan kaki dengan sebuah tongkat di tangannya untuk mendukungnya dalam perjalanan. Tongkat dapat dipakai sebagai senjata untuk mempertahankan diri dari serangan binatang buas atau perampok.

Pada zaman masyarakat lampau, tongkat merupakan senjata yang penting bagi seseorang pada saat mengadakan perjalanan. Ketika seseorang berjalan di jalan setapak dan melewati semak-semak yang menutupnya, tongkat dapat dipakai untuk menyibakkan semak itu. Pada saat ia berjalan dan menjumpai ular di tengah jalan, tongkat dapat dipakai untuk menyingkirkan atau memukul ular itu.

Di sampaing sebagai senjata, tongkat juga dapat dipakai sebagai penopang dalam perjalanan. Ketika seseorang menuruni lembah atau menaiki bukit, ia bisa menggunakan tongkat yang dibawanya untuk menopang tubuhnya. Tongkat sangat berarti bagi seseorang ketika melakukan perjalanan.

Seorang “utusan”, adalah seorang yang “di telapak tangannya memegang tongkat.” Maksudnya seorang yang siap untuk mengadakan perjalanan. Ia siap berjalan ke mana saja, sebab di telapak tangannya ada senjata dan penopang untuk berjalan. Seorang utusan berarti seorang yang siap pergi. Seorang utusan dikirim seorang raja kepada raja lain, berarti utusan itu siap pergi menyampaikan pesan raja kepada raja lain itu.

Yesaya 42:19

Siapakah yang buta selain dari hamba-Ku, dan yang tuli seperti utusan yang Kusuruh? Siapakah yang buta seperti suruhan-Ku dan yang tuli seperti hamba TUHAN?” (Yesaya 42:19).

 

Nabi Yesaya dikirim Allah untuk memperingatkan Yehuda dari dosa-dosanya. Ayat di atas ditujukan kepada bangsa itu yang telah gagal hidup taat dan setia kepada Tuhan itu. (Dosa Yehuda tersebut dapat dilihat di antaranya dalam ayat 24). Tuhan sangat kecewa terhadap Yehuda, sebab Yehuda adalah hambaNya (‘ebed), “utusan”Nya (mal’ak), dan suruhanNya (shalakh), tapi mereka buta dan tuli.

Kekecewaan Tuhan ini dapat dipahami, mengingat Tuhan mempunyai agenda besar melalui umat pilihanNya ini. Pada suatu hari nanti, Tuhan mau menyediakan keselamatan melalui Israel dan Yehuda bagi bangsa-bangsa. Tapi, bangsa itu malah memberontak kepada Tuhan.

Yehuda yang mestinya menjadi umat yang siap pergi memberitakan Firman Tuhan, tapi mereka sendiri buta dan tuli. Bagaimana seorang “utusan” siap pergi kalau ia buta? Bagaimana seorang “utusan” siap pergi membawa pesan untuk disampaikan kepada pihak lain kalau ia tuli?

Implikasi

Saya tinggal di sebuah desa yang berjarak lebih dari lima kilometer dari kota. Ketika saya pergi ke kota istri saya kadang meminta tolong untuk membelikan sesuatu. Sambil menyiapkan sesuatu saya biasanya menjawab “ya” kepada istri saya. Sepulang dari kota, istri saya bertanya, “Mana pesananku?” Saya kaget, “Oh…ya, lupa. Tadi pesan apa, ya?” Istri saya tentu kecewa. Saya meminta maaf kepadanya.  

Saya mendengar istri saya memesan sesuatu. Telinga saya tidak tuli. Tapi, saya kurang memperhatikannya. Karenanya, saya tidak dapat mengetahui, apalagi mengingat isi pesannya.

Bayangkan, seorang yang memiliki telinga dan dapat mendengar pesan, tapi kurang memberi perhatian, ia dapat melalaikan tugasnya. Bagaimana jika orang itu tuli? Apakah yang dapat diharapkan dari seorang yang tidak dapat mendengar pesan dan berkewajiban menyampaikannya kepada orang lain?

Saya dan Anda sekalian, yang sudah menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat dan Tuhan, adalah “utusan-utusan” Tuhan. Apakah kita sungguh-sungguh tidak tuli dan buta, sehingga “siap pergi” membawa berita dan menyampaikannya kepada orang lain? Atau, kita sendiri sebenarnya masih tuli dan buta, sehingga tidak “siap pergi” sebagai “utusan” Tuhan?

(Artikel ini ditulis oleh Hery Setyo Adi, yang menggunakan rujukan dari berbagai sumber)