Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Cuka di atas luka

Inge Triastuti's picture

Selama aktif di gereja, baru sekali itu aku hepi banget. Artikelku dimuat di majalah pemuda gereja. Di rumah aku masih menyimpan 4 artikel yang siap kirim, tinggal moles dikit. Agar lebih kinclong, aku menemui pimpinan redaksi majalah itu dan bertanya, “Apa yang menarik dari artikel saya sehingga dimuat?”’

Ia tampak bingung. Setelah lama terdiam ia berkata, “Kamu ini kritis. Pasti kamu tahu kalau aku bohong. Jadi aku jujur saja ya. Sebelum artikel itu, kamu sudah mengirim 6 artikel. Semua artikelmu masih banyak kekurangannya.”
“Apa kurangnya?” suaraku terdengar serak.
“Susah aku menjelaskan. Tetapi begini saja. Setiap kamu selesai menulis, simpan artikel itu seminggu di laci. Lalu kamu baca kembali seolah-olah kamu orang lain. Pasti kamu akan tahu.”
“Kalo tau banyak kurangnya ngapain lu muat?” suaraku naik dua oktaf.
“Ya, gimana ya. Redaksi kesian ame lu ‘kali.”
Rasanya pagi dapat kerjaan sore kena pecat, hatiku mengumpat. Mengumpat diri sendiri yang terlanjur ge-er. Biar dia berkata dengan lemah lembut, biar dia kawan akrabku, biar dia udah mo nangis lihat kemarahanku, tetap aja hatiku pecah berantakan.

Aku udah lupa berapa bulan ga lagi menulis gara-gara kejujuran pengurus majalah pemuda itu. Akhirnya aku sadar bahwa aku betul-betul tidak mampu menulis. Ini bukan karena frustasi, tetapi dari penelusuran sejarah hidupku. Waktu di SMA, aku selalu mendapat nilai 6 untuk mengarang. Itu pun masih diberi tulisan merah oleh guru BI-ku, “jangan banyak membaca komik Jepang.” Ini sih kritik-ganda. Suatu saat orang majalah yang menghancurkan aku menemui aku. Ia menyuruhku menyatukan beberapa surat pembaca yang mengkritik gereja kami dalam sebuah artikel. Why me? Karena bahasamu berantakan dan itu cocok untuk membuat artikel tentang hal yang berantakan. Nah, ga enak lagi kan ngomongnya. Kamu pasti bisa, katanya sambil cengengesan.

Aku berdoa minta Tuhan memberi talenta menulis artikel, untuk kemuliaan NamaNya, bukan namaku. Dan bila Tuhan beri talenta itu, aku akan selalu ingat bahwa sebelumnya aku benar-benar ga punya ketrampilan merangkai kata. Guys, mujikzat itu terjadi. Belum seminggu aku berhasil menyatukan belasan surat itu dalam sebuah artikel mbeling. Pembaca bergairah, majelis marah. Tetapi terus saja aku diberi catatan-catatan untuk dijadikan artikel-artikel pendek lain demi perbaikan kehidupan gereja. Akhir cerita bisa ditebak. Majalah ini dicabut ijin terbitnya oleh majelis. Tetapi orang-orang majalah tidak protes. Mereka hanya bilang, “kejujuran di gereja ini mahal harganya.” Apalagi di luar gereja, mahalnya bukan main. Bisa-bisa yang dicabut ijin hidupnya.

Angka dari langit

Setiap akhir semester, perusahaan tempatku bekerja mengumpulkan kepala unit kerja seluruh Indonesia di Jakarta untuk memaparkan hasil kerja unit yang dipimpinnya dan perkiraan hasil kerja mendatang. Selesai aku memberi paparan, seorang bertanya, “Angka-angka perkiraanmu terlihat jauh lebih optimis dibanding dengan unit kerja lainnya. Dari mana perkiraan itu kamu hitung?”

Aku menjelaskan angka itu bertumpu pada perkiraan tingkat inflasi daerah, terbukanya beberapa daerah yang sebelumnya terisolir, dibukanya beberapa sentra perdagangan dan industri, naiknya anggaran belanja pemerintah daerah. Tetapi aku tidak bisa menayangkan angka-angka itu karena catatannya terselip.

Mendadak seseorang yang duduk di belakang bertanya, “Terselip atau . . . . ? Jangan-jangan angka itu kamu ambil dari langit.” Dan ruang pertemuan jadi riuh karena yang lain ikut membonceng melontarkan pendapatnya masing-masing. Rasanya seperti orang berdosa dirajam ramai-ramai. Aku berdiri di depan tanpa tahu mo omong apa. Aku tahu aku salah. Tetapi aku tidak tahu sebelumnya hukuman yang harus aku terima begini sadis. Bahkan ada yang sirik dengan meragukan hasil kerjaku yang telah lalu, “Jangan-jangan paparan hasil kerjamu semester yang lalu itu juga karangan saja.” Aku benci pemicu huru-hara ini, yang aku tahu setiap akan makan tidak lupa membuat tanda salib di tubuhnya. Bila saja aku punya kekuasaan, pasti aku akan menyalibnya.

Pengalaman traumatis ini membuat aku menjadi sangat hati-hati bila akan memberi paparan. Aku takut dirajam lagi. Di kemudian hari setiap selesai aku memberi paparan, aku sengaja berpaling kepadanya, “Ada pertanyaan?” Dan setiap pertanyaannya selalu bisa aku jawab. Suatu kali ketika kami semeja makan di kantin waktu rehat kantor, aku berkata kepadanya, “Aku benci sama mulutmu yang tajam. However, aku harus berterima kasih atas ejekanmu dulu tentang “angka dari langit” yang mendorong aku menajamkan akurasiku.”

“Berterima kasih dengan mulut saja tidak cukup, Non,” jawabnya. “Bayarlah apa yang beta pesan.” Aku oke saja. Ia terbahak ketika melihat mataku mendelik waktu pesanannya diantar. Sop buntut, nasi goreng sea food dan milk shake. Kena lagi deh gue.

Perkataan yang jujur

Guys, siapa sih yang suka kena kritik? Kritik adalah cuka di atas luka. Bohong besar kalo ada orang bilang “saya terbuka terhadap kritik.” Hanyalah sebuah permainan kata-kata pernyataan yang berbunyi “kami senang menerima kritik yang membangun.” Kritik adalah kritik, yang berisi hal-hal yang negatip tentang diri kita, atau apa yang telah kita lakukan. Soal kritik itu mau dimanfaatkan untuk membangun atau menghancurkan, itu wewenang si penerima kritik, bukan urusan orang yang mengkritik. Contohnya begini.

Ketika kamu en geng lagi hang-on, kamu liat ristleting celana teman co kamu terbuka. Coz kalian mo rame-rame ke mol, kamu bilang, “Boy, betulin dulu tu ristleting lu biar kita nggak tergoda.” Dia malu? So pasti. Sekarang dia punya 2 pilihan. Doski tuding jidat lu dan sibuk ngatain lu tukang fitnah, pikiran lu ngeres en sinfull, dan melupakan celananya yang berventilasi. Atau, dia segera membetulkan keteledorannya agar nanti di mol dia nggak kena malu yang lebih parah. Pilihan itu ada di tangannya, bukan di tanganmu. Ga sopan gals, kalo kamu kemudian mengerahkan gengmu untuk menelikung dia dan tanganmu sendiri yang menaikkan ristletingnya. Hiiiiii.

So, “kritik membangun” dan “kritik menghancurkan” hanyalah diplomasi kata para penerima kritik untuk ngeles aza. Yang pasti, ketika kritik datang, pertama-tama yang kita rasakan adalah kehancuran harga diri kita. Kita malu, kecewa dan kemudian marah.

Aku melihat di dalam gereja kritik haram hukumnya. Jangan menghakimi agar kamu tidak dihakimi, begitulah sebuah ayat Alkitab selalu dimanfaatkan sebagai perisai. Kalau mau mengkritik pakailah bahasa yang lemah lembut. How can it be? Dengan contoh paling awal tadi apakah orang yang bersangkutan akan tahu kekurangannya bila kamu berkata: “Nyo, gue ini seneng banget ame cara lu berbusana. Celana lu mereknya berkelas. Lu modis deh pake celana itu. Apalagi kalo pake belahan di atas. Cuman gue nggak tau di negara mane model celana pake bukaan di atas lagi ngetren. Perasaan gue sih, di Indo belon model. Ape lu nggak kuatir nanti di mol lu dicolekin tante-tante? Lu nggak kuatir mati kegelian?”

Bahasa berbunga-bunga malah sering mengaburkan maksud kita. Aku pernah menegur seorang solois gereja dengan bahasa krama inggil : “Suara kamu bagus lo. Kamu juga pintar berimprovisasi dengan bermodulasi tanpa permisi.” Yang terjadi kemudian aku kena marah seksi kebaktian gereja. Orang ini nekad mendaftarkan diri jadi song leader kebaktian umum. “Jangan sok puitis. Bilang saja suaranya fales. Titik. Gara-gara kamu sekarang dia buang muka kalo ketemu aku karena aku bilang modulasi-tanpa-permisi hanya bisa dilakukan dalam lagu jez, dan lagu gereja gak boleh dibuat nge-jez.” Antara tersanjung dan tersandung memang sangat kecil bedanya. Cuma beda 1 huruf. Bukankah memberi pemanis overdosis dalam kritik telah merubah aku menjadi pembusuk, bukan pembisik lagi?

Perkataan dusta memang bagaikan wewangian di hidung, sedangkan perkataan jujur bagaikan pecahan kaca dituangkan ke lobang telinga. Sering bikin orang tidak mau lagi dengar omongan kita lagi gara-gara kita pernah mengkritiknya. “The singer, not the song,” begitulah yang biasa orang pikirkan. Kalau “the singer”-nya jelek, pasti yang dinyanyikan selalu lagu jelek. Atau, ini yang menakutkan, mereka diam-diam merencanakan balas dendam untuk membuat kamu kapok omong jujur lagi.

Otoritas & Senioritas

Sebetulnya, kritik telah kita akrabi sejak di Sekolah Dasar dalam bentuk nilai ulangan atau nilai di rapot. Memang itulah intisari sebuah kritik, penilaian orang lain terhadap apa yang kita lakukan. Kita mau menerima penilaian itu karena datang dari orang yang memiliki otoritas dan senioritas yang jauh lebih tinggi daripada kita. Kalau bossku bilang, “I’in, kalo kerja jangan datang terlambat,” aku oke-oke saja. Tetapi bila kalimat yang sama ini diucapkan oleh bawahanku, wah perang dunia deh. Memangnya perusahaan ini bokap loe yang punya? Apa seh pangkat loe berani-beraninya negur aku? Ya ampun, anak bawang belum setaon umurnya di sini mau kasi nasihat gue?

Aku tahu kritik itu penting untuk membenahi diri. Tapi pinginnya sih kritik itu datang dari pendeta, dari guru, dari atasan, dari ortu. Mereka orang yang lebih tahu, yang tidak sembarangan omong. Sayangnya, yang lebih tahu kelemahanku adalah teman-temanku bahkan bawahanku – yang otoritas dan senioritasnya tidak lebih tinggi daripada aku – karena dengan merekalah aku lebih banyak melewatkan waktu. Tetapi karena akrab, lebih sering mereka memberikan kritik tanpa dibungkus kertas kado yang apik. Mana enak lemper dibungkus daun jati?

So what?

Boleh-boleh saja kita berharap tukang kritik belajar bahasa krama inggil. Tetapi kapan mereka selesai belajar? Bukanlah lebih baik kitalah yang belajar menerima kritik apabila meyakini kritik itu sedikit banyak pasti punya manfaat?

Ketika aku selesai melakukan presentasi, yang bagiku adalah yang pertama kali sejak aku menduduki jabatan kepala unit, atasanku memberi secarik kertas. Di situ ia menulis beberapa “plus point” presentasiku. “Materi dipersiapkan dengan baik; data backup tersedia; percaya diri dalam menanggapi pertanyaan kritis; body language okey; mau menerima usulan perbaikan dari audience.” Wow, hatiku berbunga-bunga. Tapi cuma sebentar. Berikutnya ia menulis, “Harap menulis ‘minus point’mu. Tiga saja cukup, dan strategi perbaikannya. Sore ini setelah jam kantor bawa catatanmu ke ruang kerja saya.”

Ketika aku menemuinya, catatanku masih kosong. Rasanya aku tidak melakukan kesalahan apa-apa. Sabar ia menuntunku dengan mengingatkan beberapa momen dalam presentasiku. Aku bisa tertawa ketika dengan halus ia mengingatkan bahwa aku berbicara terlalu cepat, memberikan paparan terlalu luas – tidak fokus, berbicara 10 menit lebih lama dari jatah waktuku sehingga presenter berikutnya harus didiskon waktunya. Dan ia pun tertawa ketika aku mengakui ada satu materi yang tidak aku paparkan karena aku tidak siap. Satu lagi, “Saya sering mengucapkan kata-kata dalam bahasa Jawa padahal tidak semua yang hadir tahu artinya.” Lalu kami merundingkan apa yang harus aku lakukan agar cacat itu tidak terulang. Wow, jika begini caranya, kritik tidak lagi seperti cuka di atas luka, tetapi minyak di atas luka. Adem dan menyembuhkan.

Di akhir diskusi ia memberi sebuah nasihat yang sampai sekarang aku lakukan. “Setelah selesai sebuah kegiatan, pekerjaan atau proyek, lakukan sebuah evaluasi tertulis untuk kamu simpan sebagai catatan pribadimu. Pertama-tama, tulis seluruh plus pointmu dan apa yang membuat kamu bisa mendapatkan plus point itu. Kedua, tulis paling tidak 3 minus pointmu tanpa mengkambinghitamkan orang lain atau keadaan. Ketiga, tulis apa yang kira-kira bisa kamu lakukan untuk meningkatkan plus point dan mengurangi minus point itu.”

Karena membiasakan diri melakukan evaluasi pribadi dengan konsep Pluminex (Plus point, Minus point, Next action) ini, aku sekarang tidak lagi terlalu senewen bila diterjang kritik. Kadang-kadang malah tertawa dan berkata dalam hati, “Kamu ceriwis banget sih. Apa yang kamu katakan sudah terlebih dahulu aku catat dalam evaluasi pribadiku kok.” Tetapi sering juga ada satu dua point yang ia katakan belum ada di catatanku. Biasalah, penonton lebih awas daripada pemain.

Silakan mencoba Pluminex. But be carefull. Jangan masuk ke Next Action bila Plus Point-mu masih kosong melompong sementara Minus Point-mu penuh sesak, atau sebaliknya. Apakah ini bisa terjadi? Mengapa tidak bila di depanmu hanya kejelekan-kejelekanmu saja yang tampak sehingga menghalangi mata batinmu melihat Plus Point-mu walau hanya satu. Jika kamu nekad, pasti di Next Action hanya satu kata yang bakal kamu tulis, “suicide” – bunuh diri.

Jika kamu tidak berhasil melihat satu pun Plus Point-mu, ijinkan aku membantumu. Tulis di situ kalimat ini, “Aku berharga di mata Allah”. Bagaimana mungkin bila Minus Point-ku panjang berlerot? Cara Tuhan memandang berbeda dengan manusia, guys. Nah, sekarang kamu bisa menulis Next Action dengan lebih mudah karena kemungkinan-kemungkinan lain telah terbuka lebar.

Percayalah, sejelek-jeleknya manusia pasti punya Plus Point. Seperti aku ini.**** (Yesaya 43:4, Matius 10:31, Lukas 12:6-8)

dennis santoso a.k.a nis's picture

i love u inge :-)

udah lama sekali ga ada yang beginian di sabdaspace, tulisan yang inspiratif dan membumi dan menyenangkan untuk dibaca. cepet nulis lagi, udah ga sabar nih ;-)
anakpatirsa's picture

Hoby-ku

Aku tidak akan pernah percaya jika seorang berkata, "Mari kita terbuka, katakan apa yang kurang dalam diri saya!" Kalau aku mau jujur, seandainya aku yang mengatakan kalimat di atas, artinya aku berkata, "Mari kita terbuka, katakan hal-hal menyenangkan tentang diri saya." Aku belum pernah bertemu dengan orang yang mau benar-benar dikritik. Dan aku bukan orang yang suka dikritik, 'kadang-kadang' aku memang lebih suka mengkritik. Dari pengalaman suka mengkritik ini, aku tahu, ternyata tidak seorangpun yang benar-benar suka dikritik. Padalah mengkritik itu sangat mudah dan kadang-kadang sedikit menyenangkan.