Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Hidup Selibat itu Alkitabiah

Purnawan Kristanto's picture

SelibatDalam tulisan Dede Wijaya tentang hidup selibat di gereja Katolik,  dia dengan gegabah menuduh bahwa hidup selibat yang dijalani oleh rohaniwan Katolik itu tidak Alkitabiah. Dia mengajukan argumentasi bahwa Petrus yang dianggap sebagai Paus yang pertama ternyata menikah. Setelah itu Dede mengutip Matius 19:12, lalu menyimpulkan bahwa kewajiban hidup selibat itu tidak Alkitabiah, sebab mestinya keputusan untuk hidup selibat itu harus berdasarkan kemauan sendiri, bukan karena diharuskan.

 
Mestinya yang lebih berkompeten menanggapi tuduhan Dede Wijaya adalah orang Katolik sendiri. Sembari menunggu tanggapan itu, baiklah saya paparkan hasil pembelajaran saya. Saya tidak berpretensi bahwa tulisan ini akan mengubah pandangan Dede Wijaya, tapi setidaknya tulisan ini akan memberikan perspektif lain yang dapat dipertimbangkan untuk mencerna sebelum mengambil kesimpulan bahwa hidup selibat para rohaniwan Katolik itu tidak alkitabiah.
 
Apa itu selibat?
 
Ensiklopedia Katolik mendefinisikan selibat sebagai berikut: Celibacy is the renunciation of marriage implicitly or explicitly made, for the more perfect observance of chastity, by all those who receive the Sacrament of Orders in any of the higher grades.
 
Menurut Ensiklopedia Britannica, selibat adalah "the state of being unmarried and, therefore, sexually abstinent, usually in association with the role of a religious official or devotee. In its narrow sense, the term is applied only to those for whom the unmarried state is the result of a sacred vow, act of renunciation, or religious conviction. Celibacy has existed in one form or another throughout history and in virtually all the major religions of the world."
 
Sedangkan menurut web trinitas, selibat berasal dari kata Latin “Caecibatus” yang berarti “hidup tidak menikah”.  Gereja Katolik Roma menuntut para imamnya untuk tidak menikah seumur hidup dan taat pada kemurnian pribadi dalam pikiran maupun dalam perbuatan.  Selibat bukan suatu pokok iman Katolik, melainkan tuntutan hukum Gereja yang mengatur cita-cita tentang hidup klerus Katolik.
 
 Hidup Selibat itu Alkitabiah
 
Di dalam Perjanjian baru tidak ada kewajiban bagi  para klerus harus hidup selibat. Meski begitu, juga tidak ada pernyataan bahwa hidup selibat itu tidak alkitabiah.  Yesus berkata, “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti” (Mat 19:12)
 
Ucapan Yesus ini dilontarkan dalam konteks maraknya perceraian di kalangan Yahudi saat itu. Melihat situasi itu, para murid saling berkata kalau begitu lebih tidak kawin saja supaya tidak timbul masalah.
 
Yesus menanggapi komentar para murid ini dengan mengatakan bahwa ada kebenaran dalam ucapan "lebih baik jangan kawin" itu. Menurut Yesus, ada 3 macam orang yang tidak dapat kawin.  Dalam naskah Yunani, Yesus menggunakan tiga kali kata "kebiri"[William Barclay menggunakan istilah "orang Kasim"]. Ada orang yang lahir dalam keadaan "kebiri". Itu adalah orang yang mempunyai kekurangan pada tubuhnya sehingga tidak dapat kawin. Kedua, orang yang dikebiri oleh orang lain, misalnya pelayan-pelayan di istana raja pada masa lalu kadang harus dikebiri supaya mereka tidak menggoda gundik-gundik raja. Kedua golongan ini disebutkan dalam buku ajaran para rabbi.
 
Kemudian Yesus menambahkan golongan ketiga yaitu orang yang atas kemauannya sendiri tidak menikah, supaya mereka bebas dari segala gangguan dalam pekerjaannya bagi Kerajaan Allah. Secara harfiah, golongan ketiga ini adalah orang yang dengan sengaja dan sukarela mengebiri dirinya sendiri, namun hal ini tidak dapat diterapkan mentah-mentah. Salah satu tragedi dalam gereja perdana adalah kasus Origins. Ketika masih muda, dia mengebiri dirinya sendiri walaupun kemudian ia sadar bahwa ia keliru.
 
Ayat lain yang menyinggung hidup selibat adalah tulisan Paulus dalam surat 1 Korintus 7: "Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu. Tetapi kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda aku anjurkan, supaya baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku . . .
 
Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi.
 
Perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya.
 
Semuanya ini kukatakan untuk kepentingan kamu sendiri, bukan untuk menghalang-halangi kamu dalam kebebasan kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu melakukan apa yang benar dan baik, dan melayani Tuhan tanpa gangguan.” (1Kor 7:7-8; 32-35).
 
Paulus menuliskan hal ini untuk menanggapi kehidupan jemaat di Korintus yang mulai meremehkan kehidupan perkawinan. Setelah dibaptis, jemaat di sana menganggap bahwa hidup baru itu mirip dengan asketisme total. Segala sesuatu yang merupakan kenikmatan duniawi harus ditanggalkan. Termasuk di dalamnya kehidupan perkawinan.
 
Paulus menentang hal ini. Meskipun berpendapat bahwa hidup selibat itu baik, tetapi orang-orang yang sudah menikah tidak boleh mengabaikan kehidupan perkawinan mereka. Menurut Paulus, setiap orang "menerima dari Allah karunianya yang khas." Soal keputusan apakah seseorang akan hidup selibat atau menikah itu harus sesuai dengan "karunianya yang khas itu."
 
Dari pernyataan Yesus dapat disimpulkan bahwa memang dimungkinkan adanya orang yang hidup selibat; Dan itu alkitabiah. Sedangkan dari Paulus kita mendapatkan kebenaran bahwa hidup selibat itu merupakan karunia atau anugerah dari Allah.
 
 

Selibat di Antara Klerus

 
Dalam Perjanjian Baru terdapat 2 pandangan tentang perkawinan klerus: Di satu pihak, beberapa rasul menikah (Mat 8:14; 1 Kor 9:5); Paulus pun menganjurkan para penilik jemaat untuk beristri (1 Tim 3:2).  Di lain pihak, hidup selibat ditekankan bagi mereka yang dipanggil untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada Kerajaan Allah. Dengan tidak menikah maka orang tersebut dapat mengabdikan kehidupannya lebih total kepada Allah karena tidak terikat pada banyak tugas keluarga. Dengan demikian, dia dan dapat mempersiapkan diri dengan lebih bebas dalam menyongsong kedatangan Kristus (1 Kor 7: 26-35). 
 
Tiga puluh tujuh Paus pada abad-abad pertama menikah dan berumahtangga.  Paus Hormisdas (514-523)  misalnya, adalah ayah dari Paus Silverius (536-537).  Paus terakhir yang beristri ialah Paus Adrianus II (867-872).  Sesudah itu masih ada Paus yang berkeluarga sebelum ditahbiskan menjadi imam, lalu sesudahnya hidup berselibat.  Kardinal Rodrigo Borgia (1431-1503) mempunyai 4 orang anak yang lahir sebelum ia ditahbiskan menjadi imam dan pada tahun 1492 ia terpilih menjadi Paus dengan nama Alexander VI.
Sejak abad ke-4, uskup-uskup di Yunani, Mesir dan Eropa Barat kebanyakan tidak menikah atau meninggalkan istri mereka sesudah ditahbiskan.  Tetapi pada zaman itu, para imam dan diakon di seluruh Gereja tetap boleh beristri dan tidak ada hukum yang melarang seorang imam menikah.
 
Di bagian Timur, sejak abad ke-6 dan ke-7 hukum melarang uskup hidup bersama istrinya.  Jika sudah menikah sebelum ditahbiskan, ia harus menitipkan istrinya dengan persetujuannya ke suatu biara yang jauh.  Tetapi, para imam dan diakon tetap berkeluarga sampai kini.  Selibat imamat dalam Gereja bagian Barat baru mulai menjadi tuntutan kanonik sesudah berbagai sinode partikular menekankan selibat.
 
Pada masa-masa selanjutnya terdapat dinamika tentang hidup selibat ini. Untuk mengetahui lebih detil silakan simak referensi yang saya sertakan di bawah. Yang ingin saya tekankan di sini bahwa tampaknya Dede Wijaya tidak melakukan studi yang lebih mendalam namun sudah mengambil kesimpulan bahwa: Gereja Katolik menerapkan kewajiban hidup selibat di antara rohaniwan Katolik karena mengikuti rasul Petrus sebagai Paus pertama. Padahal, menurut Dede Wijaya, Petrus sendiri adalah pria yang menikah. Ini kesimpulan yang tidak berdasar, karena paus-paus pada abad pertama ternyata menikah juga. Dengan kata lain, keputusan hidup selibat itu bukan serta merta meneladani rasul Petrus, melainkan karena alasan yang lain.
 
Pada tulisannya, Dede Wijaya juga menyatakan bahwa "Ajaran Katolik yg mengharuskan HIDUP SELIBAT adalah benar-benar TIDAK ALKITABIAH." Dia mengutip Matius 19:12, kemudian membuat kesimpulan : "Jadi, PAUS, Kardinal, sampai Romo, dan juga suster boleh menikah. Namun mereka juga boleh tidak menikah atas kemauan sendiri, bukan paksaan karena adanya Peraturan tertentu."
 
Sebelum membahas ini, mari kita lihat hasil belajar saya tentang kepemimpinan gereja menurut ajaran Katolik. Pada masa pelayanan-Nya Yesus mengumpulkan dua belas murid yang disebut rasul (bdk. Luk 6:12-16). Yesus mendidik dan memberi kuasa kepada mereka untuk menggembalakan umat (bdk. Yoh 21:15-17), mengajarkan segala sesuatu yang telah diperintahkan Yesus ( Mat. 28:20), merayakan Ekaristi (Luk. 22:19), mengusir roh jahat, melenyapkan segala penyakit dan segala kelemahan (Mat. 10:1).
 
Demikianlah Yesus memberi kuasa kepada para rasul untuk menjadi pemimpin umat-Nya. Kepemimpinan mereka tergabung dalam dewan para rasul yang diketuai oleh st. Petrus. Pengganti para Rasul itu adalah para Uskup, yaitu mereka yang menerima Sakramen Tahbisan. Dalam hierarki gereja Katolik dikenal ada jabatan Paus, Uskup dan para Imam. Mereka dikhususkan untuk mewartakan injil, menggembalakan umat beriman dan merayakan ibadat ilahi [kecuali imam, masih ada diakon yang ditahbiskan bukan untuk imamat, melainkan untuk pelayanan].
 
Semua pemegang jabatan imamat ini harus menjalani sakramen tahbisan yaitu penumpangan tangan sebagai tanda berkat, pencurahan Roh dan penyerahan kuasa, disertai doa.
 
Orang yang menerima sakramen tahbisan sebagai imam ini harus mengucapkan tiga kaul. Tujuannya agar orang yang tertahbis dapat memberikan diri seutuhnya kepada Kristus dan umat-Nya. Tiga kaul itu adalah:
 
Selibat: Sesuai Mat 19:12, gereja berpendapat bahwa orang yang tidak menikah akan lebih bebas menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan demi kerajaan Allah.
 
Taat: Nasihat dalam Yoh 4: 34 dan Flp. 2:6 tentang taat sampai diyakini, diamini oleh gereja. Seorang tertahbis bersedia taat kepada atasannya seperti Kristus taat kepada Bapa-Nya demi kerajaan Allah.
 
Miskin: Dalam Mat. 6:20 dan Luk 9:58 disebutkan bahwa Yesus tidak memiliki apa-apa. Seorang tertahbis bersedia hidup miskin dalam arti bersedia melepas secara sukarela hak untuk memiliki harta benda [catatan imam-imam praja tidak mengucapkan kaul ini].
 
Secara sekilas, kaul ini, terutama yang pertama, membenarkan pernyataan Dede Wijaya bahwa mewajibkan seseorang untuk tidak menikah adalah tidak alkitabiah. Benarkah begitu?
 
Saya punya pendapat lain. Dalam ulasan sebelumnya sudah dipaparkan bahwa hidup selibat itu adalah hal yang alkitabiah dan ditegaskan oleh Yesus sendiri. Demi kerajaan Allah, seseorang dengan sukarela memberikan diri untuk hidup selibat.
 
Kalau gereja Katolik meyakini bahwa hidup selibat dapat membuat seseorang dapat melakukan pekerjaan Allah dengan lebih baik, tentu saja itu adalah hal yang alkitabiah. Kalau gereja Katolik menetapkan syarat bahwa orang yang akan menerima sakramen tahbisan harus mengucapkan kaul, yang salah satunya hidup selibat, itu adalah keputusan yang ada dasar Alkitabnya.
 
Aturan ini berlaku hanya berlaku bagi orang yang mengajukan diri sebagai imam secara sukarela. Gereja Katolik tidak pernah memaksa seseorang untuk hidup selibat. Kalau ada orang yang tidak bersedia menuruti aturan ini, maka dia boleh mengundurkan diri kapan saja. Setiap institusi memiliki aturannya sendiri-sendiri. Kalau Anda masuk dinas ketentaraan, maka Anda wajib potong rambut sangat pendek. Anda tidak mungkin menolak kewajiban ini dengan dalih melanggar HAM untuk berambut gondrong. Kalau Anda tidak mau berambut cepak ya jangan jadi tentara [kecuali jika ada UU Wajib Militer]. Tidak ada yang memaksa Anda untuk menjadi tentara. Demikian juga kalau Anda tidak mau hidup selibat, ya jangan menjadi imam Katolik, sebab dalam gereja Katolik ada ketentuan hidup selibat. Tujuan dari ketentuan ini supaya para imam dapat melayani lebih baik. Dan ini Alkitabiah.
 
 
Buku:
Komkat KAS, "Mengikuti Kristus; Buku Pegangan Calon Baptis", Penerbit Kanisius.
William Barclay, "Pemahaman Alkitab Sehari-hari; Injil Matius Pasal 11-28"; BPK Gunung Mulia
William Barclay, "Pemahaman Alkitab Sehari-hari; Surat 1 dan 2 Korintus"; BPK Gunung Mulia.
Drs. J.J. de Heer, "Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22", BPK Gunung Mulia
  
Situs:
http://oce.catholic.com/index.php?title=Celibacy_of_the_Clergy
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/101371/celibacy
http://www.newadvent.org/cathen/03481a.htm
http://www.trinitas.or.id/gereja-dan-paroki/290-mengapa-imam-harus-hidup-selibat.html
http://yesaya.indocell.net/id1038.htm

 

__________________

------------

Communicating good news in good ways

hai hai's picture

MAs Wawan, Sangat komprehensif

Mas wawan, thanks untuk tulisannya. Sangat komprehensif. Semoga setelah membaca tulisan ini Dede wijaya BERTOBAT.

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

ground's picture

@Purnawan; lalu....

"Kalau gereja Katolik menetapkan syarat bahwa orang yang akan menerima sakramen tahbisan harus mengucapkan kaul, yang salah satunya hidup selibat, itu adalah keputusan yang ada dasar Alkitabnya" === Lalu apakah itu artinya kalo orang mau melayani (katakanlah terpanggil untuk melayani) menjadi 'pemimpin' seperti pastor maka diharuskan selibat, dikarenakan kalau tidak selibat maka tidak bisa sebagai pastor?

Apakah semua pastor harus selibat? Apakah tidak ada yang tidak selibat? Tx

__________________

(The proof of the pudding is in the eating)

Purnawan Kristanto's picture

@Ground: Mohon baca dengan cermat

Dear Ground,

Anda terburu-buru mengambil kesimpulan. Cobalah untuk membaca tulisan saya sekali lagi. Saya menyatakan bahwa keputusan gereja Katolik untuk mewajibkan para imamnya itu ada dasar alkitabiahnya.

Tapi kalau menilik sejarah gereja, kita akan mendapati bahwa dinamika wacana soal hidup selibat di kalangan klerus ini seperti bandul pendulum. Kadang boleh, kadang tidak. Untuk lebihdetilnya silakan baca link yang saya sertakan di bawah

 


“Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang berkomentar kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.”

Wawan

 

__________________

------------

Communicating good news in good ways

ground's picture

@Purnawan; benar itu alkitabiah untuk...

Purnawan,  benar itu alkitabiah untuk seseorang yang mau mengabdi bagi Kerajaan Allah dengan memilih untuk tidak menikah. Namun yang membuat itu tidak alkitabiah adalah sewaktu selibat (tidak menikah) dijadikan sebuah "peraturan" untuk melayani sebagai pastor (dlm katolik- pastor, frater, uskup dan paus tentunya).

Di PB, sebenarnya jabatan pastor adalah jabatan seseorang yang juga sekaligus menjabat sebagai penilik jemaat dan penatua. Artinya satu orang namun tiga fungsi jabatan sekaligus. Bahkan di dalam gereja, hanya ada Penatua, Diaken dan orang-orang kudus (cnth: salam Paulus buat jemaat filipi di Fil.1:1).

Yang kumaksud di sini, buat pastor (problemnya kata pastor di katolik tidak sama dengan pastor di kristen)-- di I Tim 3:1 adalah bukan sekedar anjuran namun suatu SYARAT. Tak heran di katakan selanjutnya "1Ti 3:5  Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah? ".

Jadi saya yang lihat adalah hidup selibat itu alkitabiah, namun menjadi tidak alkitabiah bila menjadi peraturan batasan buat jabatan pastor. Dan di surat Korintus itu Paulus menujukan kata-katanya kepada jemaat Korintus, bukan KHUSUS buat pastor (atau katakanlah para pemimpin gereja).

Lagipula Yesus mengatakan dengan kata-kata "...ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri...", yang artinya tidak dapat dibuat menjadi "peraturan" buat pastor (atau katakanlah pemimpin).

__________________

(The proof of the pudding is in the eating)

Purnawan Kristanto's picture

Dear Ground

Tanpa bermaksud menghindar, sesungguhnya yang layak menjelaskan soal ini adalah rekan-rekan dari Kristen Katolik. Saya sendiri masih dalam tahap belajar soal ini. Tetapi baiklah, inilah hasil pembelajaran saya.

Tampaknya kita sudah sepakat pada dua hal ini:

  • Hidup selibat itu Alkitabiah.
  • Jika ada orang yang memutuskan untuk selibat supaya dapat melayani Allah, maka hal itu adalah Alkitabiah.

Namun dengan mendasarkan diri pada kalimat : “karena kemauannya sendiri", Anda tidak sepakat kalau hidup selibat itu diwajibkan.

Supaya lebih dapat memahami makna ayat ini, matilah kita bagian terakhir dari kalimat tersebut, dalam berbagai versi Alkitab:

"…and there are eunuchs who have made themselves eunuchs for the kingdom of heaven’s sake” (NKJV)

"…. and there are others who have made themselves so for the kingdom of heaven” (BBE)

“…and there are eunuchs who have made themselves eunuchs for the sake of the kingdom of heaven” (RSV)

“Still others have decided to be celibate because of the kingdom of heaven” (GWV)

“And some decide not to get married for kingdom reasons” (Message).

 

Perhatikan semua kata yang dibuat tebal. Semuanya berjenis kata "majemuk." Itu artinya sekelompok atau sekumpulan orang. Kalau dibandingkan dengan terjemahan bahasa Indonesia, ternyata ditulis secara tunggal: “Dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga” (TB). Mengacu pada terjemahan dalam bahasa Inggris, mungkin lebih tepat diterjemahkan demikian: "Dan ada orang-orang yang membuat diri mereka demikian karena kemauan mereka sendiri oleh karena Kerajaan Sorga.”

Dengan dalam bahasa bebasnya dapat diterjemahkan begini: “…dan sekelompok imam Katolik membuat diri mereka demikian [hidup selibat] karena kemauan mereka sendiri.”  Para imam itu dengan sukarela memutuskan untuk hidup selibat karena mereka ingin berkonsentrasi lebih baik dalam melayani Tuhan. Mereka melakukannya dengan sukarela. Tanpa ada yang memaksa. Kemudian ketika ada orang yang berminat bergabung, orang itu diberitahu: "Kalau kamu mau menjadi seperti kami, maka kamu juga harus menjalani cara hidup seperti kami. Kalau kamu tidak bersedia, kamu masih bisa melayani dengan cara lain. Misalnya dengan menjadi pro-diakon atau aktivis gereja sebagai orang awam." Di sini tidak ada paksaan sama sekali.

Mungkin yang menjadi ganjalan adalah: "Mengapa gereja Katolik kemudian mengharuskan atau mewajibkan para imam hidup selibat?" Penjelasannya begini: Sebagai sebuah lembaga, tentu saja dibutuhkan sebuah aturan yang mengatur kehidupan lembaga tersebut. Sebagai contoh: Saya bersama teman-teman punya cita-cita yang sama dalam membela kepentingan konsumen. Kami punya kesepakatan: "Dalam menjalankan tugas, kami tidak boleh menerima sumbangan atau pemberian dalam bentuk apa pun dari pelaku usaha." Ini adalah keputusan sukarela yang kami buat sendiri. Tidak pernah ada yang memaksa kami untuk melakukannya. Teman yang tidak setuju dengan prinsip ini, boleh keluar perkumpulan ini. Ketika perkumpulan ini dibuat dalam sebuah badan hukum, dengan akta notaries, maka kesepakatan ini harus dituangkan dalam dokumen tertulis di dalam Anggaran Dasar: "Anggota Lembaga Konsumen dilarang menerima pemberian atau sumbangan dalam bentuk apa pun dari pelaku usaha." Apakah dengan memformalkan kesepakatan lisan menjadi aturan tertulis maka kami sudah melanggar kebebasan orang lain?

Dengan analogi yang sama [walaupun tidak sepenuhnya pas], ketentuan  yang dibuat oleh gereja Katolik merupakan bentuk formal dari kesepakatan yang dibuat dengan sukarela oleh sekelompok orang-orang yang memutuskan hidup selibat karena ingin melayani Allah.

***

Bagaimana dengan ayat berikut? "1Ti 3:5  Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah? ".  Dengan mengutip ayat tersebut, Anda berpendapat bahwa pada kenyataannya ada pemimpin jemaat yang menikah. Itu artinya, mestinya ketentuan hidup selibat itu tidak diwajibkan. Demikian maksud yang Anda sampaikan.

Mari sejenak kita kembali ke awal tulisan. Kita sudah sepakat bahwa jika ada pemimpin jemaat hidup selibat atau tidak menikah adalah hal yang alkitabiah. Itu artinya ada dua kemungkinan dalam kehidupan pemimpin jemaat, yaitu pemimpin yang menikah dan pemimpin yang selibat.

Berkaitan dengan surat Paulus kepada Timotius, saya mengajukan sudut pandang baru. Ayat tersebut merupakan rangkaian ayat-ayat yang memaparkan tentang syarat-syarat bagi Penilik Jemaat. Salah satunya, Paulus memberitahukan kepada Timotius demikian: Jika anggota jemaat memilih Penilik Jemaat hendaklah mereka memperhatikan juga kehidupan keluarganya.

Satu batu ujian yang baik untuk menentukan seseorang adalah bagaimana dia berfungsi sebagai pemimpin keluarga. Jika dia dapat memimpin keluarga dengan baik, maka ada kemungkinan dia dapat memimpin keluarga yang lebih besar dan dengan persoalan yang lebih kompleks, yaitu gereja. [Yang menarik, Paulus menggunakan kata yang sama "Oikos", untuk menyebutkan kehidupan keluarga dan gereja di sini]. Jadi ketentuan ini lebih tepat berkaitan soal kualitas, bukan soal status pernikahan. Kapasitas di sini bukan sekadar kapasitas pribadinya melainkan juga kondisi keluarganya. Dengan demikian, kita tidak dapat menggunakan ayat ini sebagai dasar bahwa seorang pemimpin jemaat haruslah orang yang sudah menikah.

Lalu bagaimana dengan "kewajiban" atau "keharusan" yang dibuat oleh gereja Katolik supaya para Imam hidup selibat?

Sebelumnya, saya ingin bertanya: Apa yang menjadi dasar pernyataan Anda bahwa gereja Katolik mewajibkan para imamnya hidup selibat? Tolong tunjukkan dokumen gereja Katolik yang memuat ketentuan ini! Saya menduga, Anda dan Dede Wijaya hanya mendasarkan tuduhan ini berdasarkan anggapan umum saja, tanpa melakukan penyelidikan yang mendalam. Anggapan umum atau persepsi bisa saja salah. Sikap terburu-buru ini pada akhirnya akan disesalinya kelak. Ini seperti meludah melawan angin.

Kali ini saya akan berbaik hati kepada Anda dan Dede Wijaya. Saya akan membagikan data saya tentang tanggapan dokumen gereja Katolik berkaitan dengan ayat 1Ti 3:5:

The Second Vatican Council conceded that celibacy 'is not demanded of the priesthood by its nature' and referred to these verses in 1 Timothy as evidence. Yet it argued that celibacy is 'in harmony with' priesthood )a) on the pastoral ground that celibate priests are 'less encumbered in their service,' and (b) on the theological ground that they are 'a living sign of world to come' in which there will be no marriage. So the Council exhorts priests 'to hold fast…with courage and enthusiasm' to their celibacy.

("The Life of Priests', dalam A, Flannery (ed.), Document of Vatican II (Costello, 1992).

Di dalam  Document of Vatican II ini tidak disebutkan bahwa gereja mewajibkan (to obligate), melainkan menganjurkan atau mendesak (to exhort). Jadi para imam itu menjalani kehidupan selibat karena kemauan mereka sendiri, bukan karena kewajiban.

 

***

Persoalan ini telah menjadi bahan perdebatan selama berabad-abad. Itu sebabnya saya kadang merasa tidak perlu menanggapi perdebatan seperti ini, karena sudah mirip anjing yang berlari berputar-putar untuk menggigit ekornya sendiri.

Di dalam mempelajari kebenaran firman Tuhan hendaknya kita tidak memakai kacamata kuda. Pakailah sumber-sumber dan perspektif pihak lain, karena kita tidak dapat memonopoli kebenaran.  

Saya kira penjelasan saya sudah terang. Jika Anda masih belum bisa memahaminya, mungkin itu karena keterbatasan kemampuan saya dalam menjelaskannya kepada Anda. Atau kemungkinan lain, Anda BUKAN termasuk golongan "orang yang sanggup menerima pengajaran ini” (Matius 19:12c BIS). Dalam hal ini saya hanya dapat memohonkan rahmat Tuhan untuk Anda.

__________________

------------

Communicating good news in good ways

ground's picture

Tanpa bermaksud menghindar,

Tanpa bermaksud menghindar, sesungguhnya yang layak menjelaskan soal ini adalah rekan-rekan dari Kristen Katolik. Saya sendiri masih dalam tahap belajar soal ini. Tetapi baiklah, inilah hasil pembelajaran saya.===> Purnawan, saya sendiri dulunya berlatarbelakang Katolik. Jadi saya komen berdasarkan apa yang saya ketahui dari alkitab sj. Dulu sekali saya baca buku 'soal paganisme dan katolik' (kira-2 thn 1995-an),  itupun buku teman, jadi sdh lupa detil isinya. Namun sejak itu saya tidak baca apapun untuk belajar soal katolik itu alkitabiah atau tidak.

Perhatikan semua kata yang dibuat tebal. Semuanya berjenis kata "majemuk." ...
..===>  "Dan ada orang-orang yang membuat diri mereka.." itu tidak membuat "alkitabiah" untuk menjadi "kelompok" selibat. Karena itu hanya mengatakan "ADA" saja,tidak dapat diartikan menjadi  "dan membentuk kelompok orang yang...".

Dengan dalam bahasa bebasnya dapat diterjemahkan begini: “…dan sekelompok imam Katolik membuat diri mereka demikian [hidup selibat] karena kemauan mereka sendiri.”  .....===> Maaf, Purnawan, saya meragukan bila pada mulanya para imam itu memang sukarela memutuskan hal demikian tanpa ada yang memaksa.  Lagipula itu pada akhirnya menjadi "kelompok" yang tak ada padanannya di alkitab, apalagi ini bicara 'posisi' kepemimpinan yang mana tidak ada "aturan keharusan demikian". Hal  ini sama tidak alkitabiahnya bila ada yang berkata: "Kalau kamu mau menjadi seperti kami, maka kamu harus menikah dan tidak bisa
selibat. Kalau mau melayani sebagai 'pastor' namun tidak menikah, maka ada tempat lain yang cocok untuk anda." Kenapa tidak alkitabiah? Karena hal yang fleksibel dibuat jadi "legalitas", sekalipun mungkin tidak pakai peraturan tertulis. Maka aturan tadi adalah buatan manusia yang "kaku".

Mungkin yang menjadi ganjalan adalah: ....===>Bila sebuah ATURAN demkian diterapkan dalam usaha, maka sah saja. Namun bila diterapkan dalam gereja, maka itu disebut "legalitas" yang mana berlawanan dengan kemerdekaan di dalam FT.

Dengan analogi yang sama [walaupun tidak sepenuhnya pas], ketentuan  yang dibuat oleh gereja Katolik merupakan bentuk formal dari kesepakatan yang dibuat dengan sukarela oleh sekelompok orang-orang yang memutuskan hidup selibat karena ingin melayani Allah. ===> bentuk formal inilah yang namanya "legalitas" terhadap FT, jadi tidak alkitabiah. Terlebih lagi diterapkan dalam hal "kepemimpinan gereja" yang mana tidak ada polanya demikian di PB. Jadi bentuk itu adalah buatan manusia, sekalipun bermaksud baik. Tidak cukup bermaksud baik bila 'menambahkan' FirmanNya dengan bentuk "legalitas". Itulah kesalahan pada orang-orang Farisi di zaman Yesus.

***

Berkaitan dengan surat Paulus kepada Timotius, saya mengajukan ....===> Benar, memang tidak harus menikah. Namun juga tidak berarti alkitabiah dengan menjadikannya peraturan HARUS MENIKAH karena itu sama saja dengan 'aturan' "HARUS SELIBAT".

Lalu bagaimana dengan "kewajiban" atau "keharusan".....===> Sudah saya jelaskan di atas bahwa saya tidak membaca apapun soal katolik selain saya menjawab ini dengan berdasar apa yang saya ketahui dari FT. Dasar saya juga mengatakan gereja katolik mewajibkan para imamnya hidup selibat adalah berdasar komenmu di atas dan fakta yang saya lihat.

Kali ini saya akan berbaik hati kepada Anda ....===> Tentu saja Gereja Katolik memiliki pandangan berkaitan dengan FT, namun tidak berarti itu harus disepakati (belum lagi masalah alkitabiah atau tidak) selibat
memang membuat lebih banyak waktu dalam pelayanan, namun tidak berarti lebih berkualitas dibandingkan dengan yang menikah. Dan selibat, dalam arti teologis menurut SVC (saya singkat sj ya), patut
di-argued apakah dasarnya dari FT. Lagipula pernikahan pun adalah gambaran dari pernikahan Anak Domba dan Gereja. Bahkan di PL, saya belum menemukan bukti para imam Lewi yang selibat! Pada murid-murid Yesus pun demikian. Jadi lebih mudah (atau alkitabiah juga) melihat bahwa selibat adalah suatu hal yang "terkecuali" dalam hal status seseorang yang melayani Kerajaan Allah, dan tidak dapat dijadikan "kelompok" (apalagi ber-posisi kepemimpinan gereja) yang "sukarela memilih selibat" namun tidak dapat menerima "orang lain status" (yang pada akhirnya menjadi legalitas juga).

 

***

Persoalan ini telah menjadi bahan perdebatan.
..===>karena ini adalah bagian dari "ketidak alkitabiahan" yang lebih besar lagi. Memang tampaknya demikian lama diperdebatkan, namun tidak semua orang (sekarang ini) tahu apakah hal itu alkitabiah atau tidak.

Di dalam mempelajari kebenaran firman Tuhan hendaknya kita tidak memakai kacamata kuda....===> setuju, tidak ada monopoli kebenaran, namun pastikan juga referensi yang dipakai memang SELARASdgn FT. Hanya pastikan bahwa kita juga tidak menjadi "legalitas" maupun "licentious" dalam penerapan FT. Bukankah berbahaya menambah-nambah FT?

Saya kira penjelasan saya sudah terang. ....===> Terimakasih banyak untuk usahamu menjelaskan kepada saya dalam komenmu, Purnawan.

Tampaknya anda 'ok' saja dengan katolik namun tetaplah diingat bahwa apa yang dibawa ke gereja sejak Konstantin telah menghasilkan abad kegelapan, dan semua dimulai dari Roma. Namun untuk menjadi alkitabiah saya percaya kita semestinya melihat kembali apa yang terjadi di gereja Yerusalem dan di antiokhia, bukan apa yang dari Roma! :)
 

__________________

(The proof of the pudding is in the eating)

Purnawan Kristanto's picture

Terimakasih Ground. Komentar

Terimakasih Ground. Komentar Anda semakin memperkaya topik ini. Saya yakin ada kebenaran terkandung di dalam komentar Anda. Saya tidak akan mengomentari lebih jauh karena semua yang ingin saya sampaikan sudah saya sampaikan.

Hanya satu hal yang masih mengganjal, yaitu soal pokok perdebatan kita hanya berdasarkan kesan orang luar atas gereja Katolik. Mestinya Anda dan Dede Wijaya menunjukkan dasar gugatan itu secara tegas. Kalau bisa ditunjukkan dokumennya tentu akan lebih baik lagi. Dengan demikian pembahasan ini hanya berdasarkan asumsi-asumsi: "kelihatannya", "kedengarannya", "kata orang"....dst

Sekali lagi terimakasih untuk susah payah Anda mengomentari tulisan saya.

 

Wawan


“Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang berkomentar kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.”

Wawan

 

__________________

------------

Communicating good news in good ways