Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kisah di Atas Sungai

anakpatirsa's picture

Sudah ada yang tidak beres dengan perjalanan ini sejak awal. Jam delapan pagi aku sudah tiba di dermaga dan langsung masuk ke kapal kecil yang disebut klotok. Bila saja tidak ada jam karet, jam sembilan seharusnya sudah lepas tambatan. Hampir setengah sepuluh, namun penjual tiket masih berteriak-teriak "Tehaw... Tehaw...!" Meneriakkan tujuan akhir perjalanan, kampungku. Padahal di dalam kapal sudah hampir seperti kaleng sarden, hanya di bagian atapnya ada beberapa tempat di antara tumpukan barang yang masih belum terisi.

Tidak ada gunanya protes. Klotok merupakan angkutan sungai kelas ekonomi. "Kalau mau cepat silahkan naik speedboat." Sebuah ungkapan yang memang tidak tertulis di stiker belakang bangku. Karena yang tertulis disitu Jangan membuang sampah di kapal, buanglah di luar! serta stiker lain lagi yang jelas-jelas berkata tentang kebutuhan semua orang, Anda butuh waktu, kami butuh uang.

Jam sepuluh lewat sedikit petugas dermaga melepaskan tambatan kapal. Juru mesin yang sejak tadi duduk melamun di belakang mesin berkekuatan sekian tenaga kuda mulai menghidupkan mesin. Aku merasa ada yang tidak beres waktu mesin tersendat-sendat, hidup sesaat lalu tiba-tiba diam. Serasa ada yang tidak enak. Kata orang, ini firasat buruk. Jaman dulu orang harus membatalkan perjalanannya bila mendengar mesin yang terbatuk-batuk di awal perjalanan. Katanya nasib sial pasti sudah menanti di tengah perjalanan.

Mesin baru benar-benar hidup setelah juru mesin mandi keringat. Kapal itupun terseok-seok membawa penumpangnya yang berjejal seperti sarden dengan kecepatan seekor siput, bahkan atapnya juga hampir penuh penumpang dan barang. Tetapi aku kembali harus menahan kejengkelan karena ternyata kapalnya tidak benar-benar langsung berangkat, malah berhenti di sebuah tempat pengisian bahan bakar terapung.

"Kenapa tidak mengisi minyak dari tadi." kataku dalam hati, benar-benar tambah jengkel. Tidak perlu bertanya kepada diri sendiri, jawabannya sudah tahu. Supaya calon penumpang yang ketinggalan masih sempat menyusul. Semua orang tahu, saat ketinggalan kapal, yang harus dilakukan hanyalah menyusul ke tempat pengisian minyak. Paling tidak kapal akan menunggu di sana selama setengah jam.

Semua orang sudah tahu jam sembilan pagi merupakan jam keberangkatan resmi. Tetapi karena pengalaman berkata tidak pernah kapal berangkat tepat pada jam tersebut, orang lebih suka menunggu di rumah sampai jam sebelas. Sehingga ketika hampir semua orang melakukannya dan menjadi kebiasaan, tidak ada yang protes. Salah sendiri kalau datang terlalu pagi.

Jam sebelas baru akhirnya benar-benar berangkat. Melawan arus menyusuri sungai yang panjangnya 600 km, yang hulunya berada di pegunungan yang menjadi pembatas dengan provinsi tetangga. Tetapi kami tidak akan sampai ke hulu, hanya sampai di kampungku, yang merupakan kampung tujuan terakhir. Butuh kira-kira 30 jam untuk sampai di sana.

Kejengkelan sudah hilang. Pemandangan begitu indah untuk dilewatkan begitu saja. Cukup banyak hiburan di tengah perjalanan. Melihat pohon yang akar atau dahannya menyentuh air sangat mendinginkan hati. Juru mudi sudah hafal jalur yang harus diambilnya. Beberapa kali ia membawa kami lewat daerah pinggir sungai, sehingga kami bisa merasakan kerindangan dahan disana. Suara mesin yang terpantul bila melewati kerindangan pohon tidak membuat telinga sakit, seolah-olah suara mesin yang keras terendam dengan sangat baik.

Kadang angkutan kelas atas, speedboat mendahului kami. Kadang berpapasan kapal penumpang yang penuh sampai ke atap. Biasanya akan ada acara saling melambai di antara sesama penumpang yang duduk di atap. Mungkin tanda untuk berkata, "Kita senasib, sama-sama merasakan panas teriknya matahari." Kadang mendahului kapal barang dengan barang bawaannya. Anehnya selalu saja ada yang merasa mengenal para pria bertelanjang dada yang sibuk mengurus barang-barang di atas kapal gandeng. Ada saja yang berteriak memanggil dengan teriakan yang mengalahkan suara mesin sehingga yang merasa dipanggil melambaikan tangannya. Kadang kami melewati kapal yang membawa ayam ras. Sebuah kapal yang lebih cocok disebut kandang ayam berjalan, tidak akan ada acara saling melambaikan tangan, karena semua penumpang menutup hidung, dan tidak seorangpun merasa mengenal pria-pria di antara kandang ayam.

Sebagai sebuah kebudayaan sungai, setiap rumah memiliki rakit yang disebut lanting. Berbentuk dua batang kayu besar sejajar berjarak dua meter, saling terikat erat dengan balok yang dipasang melintang serta papan yang terpaku kuat di atasnya. Di ujung hilir lanting selalu ada sebuah rumah kecil, tempat buang air besar, sebuah WC tanpa closed jongkok. Kami semua sudah sudah tahu dimana harus berjongkok bila berada di dalam jamban seperti ini, dan juga sudah tahu bagaimana caranya cebok tanpa gayung.

Bila melewati sebuah kampung dan melihat di atas sebuah lanting tergeletak tas atau kardus atau karung beras, kami berhenti di situ. Artinya ada penumpang mau naik. Bila pemiliknya tidak menampakkan batang hidung, juru mesin naik ke atas melalui tangga kayu yang selalu ada di dekat setiap lanting. Satu atau dua orang menggunakan kesempatan ini masuk ke jamban. Kadang terdengar suara yang tidak mengenakkan dari dalamnya. Maklum perjalanan membuat beberapa penumpang mengalami gangguan pencernaan.

Setelah lima atau sepuluh menit, baru juru mesin muncul kembali dengan calon penumpang beserta sanak-saudara yang ikut turun. Bila ada penumpang mengenal salah satu pengantar, ia berteriak memanggil namanya, atau nama anak tertuanya. Orang yang merasa mendengar namanya dipanggil menjulurkan kepalanya ke dalam kapal, mencari sumber suara. Si pemanggil membiarkan kepala itu celengak-celinguk sebelum berkata, "Hei, aku disini."

Lalu terjadi percakapan singkat. Tentang kabar orang yang sama-sama meraka kenal. Bila penumpang lain merasa mengenali nama-nama itu, ia ikut nimbrung, berkata, "Maksud kalian si anu yang pernah jatuh dari pohon anu itu? Aku juga kenal dia." Jadinya, baru sepuluh menit kemudian kami bisa berangkat. Diantar lambaikan para pengantar, disambut lambaian penumpang baru serta orang-orang yang duduk dekatnya.

Kadang berhenti di sebuah kampung bukan untuk mengambil penumpang, tetapi menurunkannya. Bila saat mengambil penumpang tidak satu batang hidungpun yang muncul, maka pada saat menurunkan penumpang, bahkan sebelum tali tertambat, kepala-kepala bermunculan di atas tebing, berharap sanak saudaranya yang datang itu. Ada acara penyambutan, orang yang merasa mengenal penumpang yang barusan turun berjejal di atas lanting. Bila seorang penjemput kecewa yang datang bukan orang yang terlalu dikenalnya, ia menjulurkan kepalanya ke dalam kapal, berharap melihat seseorang yang dikenalnya di situ. Setelah sepuluh menit atau lebih, baru kapal bisa berangkat lagi. Kali ini diantar lambaian para penjemput dan penumpang yang barusan turun.

Perjalanan baru berlangsung empat jam ketika terdengaran sebuah letupan keras dari belakang. Membuat semua orang kaget. Ada bagian mesin yang pecah atau patah. Entah apa, aku tidak tahu. Kapal lalu melambat bahkan akhirnya berhenti sehingga hanyut terbawa arus. Juru mudi akhirnya bisa membuat kapal berhenti di pinggir sungai lalu juru mesin mengikatnya ke sebatang pohon sebesar paha orang dewasa.

"Kita sampai dimana?" tanyaku kepada bapak di samping. Selama perjalanan aku lebih banyak diam dan menikmati pemandangan sambil melamun. Ia tahu aku lebih suka berdiam diri sehingga hanya mengajak mengobrol orang di samping kanannya.

"Di depan kita itu Desa Bukit Rawa." jawabnya ramah. Sebuah ciri khas orang daerahku, selalu menjawab pertanyaan dengan sukarela dan ramah.

Sudah sering mendengar nama desa ini, tetapi belum pernah ke sana. Ayah sering bercerita tentang desa ini, desa kelahirannya.

Seseorang di belakang menyebutkan tentang firasat jelek ketika tadi mesin sulit hidup, berkata, "Seharusnya tadi kita jangan berangkat. Tadi itu sebuah tanda. Aku sudah merasakannya tadi dan sudah mau bilang ke juragan-nya tetapi tidak jadi, biar saja mereka tahu rasa kalau mesin tiba-tiba rusak di tengah perjalanan."

Lalu seorang menimpali, berkata, "Ini malam Jum'at Agung. Seharusnya kita tidak boleh melakukan perjalanan. Malam ini kita harusnya datang ke kuburan keluarga kita untuk menyalakan lilin."

Seorang lagi, seorang ibu, menyalahkan suaminya karena mengijinkannya pergi hari ini.

Sepertinya kerusakan cukup parah, sehingga kapal tidak bisa melanjutkan perjalanan. Juru mudi menghentikan sebuah perahu motor tempel yang sedang melakukan perjalanan ke kota. Ia menaiki perahu yang disebut getek itu, kembali ke kota untuk mencari kapal lain yang akan mengantar kami pulang.

Jam tiga, sebuah kapal barang datang dari arah kota. Lalu berhenti dan menarik kapal kami ke desa kelahiran ayah. Aku tidak punya rencana apa-apa, tidak berniat naik ke kampung itu untuk mencari rumah saudara ayah. Mereka pasti tidak akan mengenalku. Berencana hanya tinggal di kapal saja dan menghemat uang yang tersisa dengan hanya makan mie.

Bersambung...

Rusdy's picture

Nostalgia

Duh, ceritanya jadi ingin ngikut pulang kampung :)
pyokonna's picture

hah?! ak malah ga kebayang

hah?! ak malah ga kebayang melakukan perjalanan seperti ini.. berdesakan kayak sarden selama 30 jam di dalam klotok? Menurunkan penumpang memakan waktu sampe 10 menit? terus sampenya kapan??????? Kapal macet di tengah sungai????? hanya membayangkan saja sudah bikin kepalaku pusing....... Waktu pertama baca sih rasanya pengen, apalagi sambil membayangkan rindangnya pepohonan dan air sungai yang mengalir. Tapi setelah dipikirkan kembali dengan akal sehat, sepertinya ak tidak akan menikmati perjalanan ini. Berani bertaruh, sardenisme yang terjadi tidak akan membuatku nyaman untuk mengagumi pemandangan di tepi sungai. Yang ada mual, pengen muntah, pegel, kepala pusing, lapar, dan kawan-kawannya. Mau muntah di jamban milik orang lain yang bentuknya ga jelas kayak gitu? duh sekarang aj ak udah pengen nangis.
__________________

We can do no great things; only small things with great love -- Mother Theresa

Kolipoki's picture

Jika Raka & Aku

Seandainya raka & aku masih di sana ...bisa kau bayangkan apa komen raka membaca tulisanmu ini?:) sekadar nostalgia, ...biasanya kita akan membahasnya sehabis plg dr kntr,...tentu saja di rumah depan,...rumah kita itu he3.dan biasanya muncullah rasisme ...hem.............
__________________

www.talentakasih.or.id

liontin's picture

Rasanya kenal

Rasanya kenal kosa-kata ini: lanting, pahuni, benggol, klotok.