Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kisah di Atas Sungai (2)

anakpatirsa's picture

Sudah beberapa kali melewati kampung ayah, berhenti hanya jika kapal yang kutumpangi menjemput atau menurunkan penumpang. Sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di sana, tetapi kali ini benar-benar berhenti di dermaga kampungnya.

Beberapa kampung mempunyai dermaga kecil yang jarang digunakan. Bila mau naik kapal, orang lebih suka meletakkan barang di lanting lalu kembali minum kopi dirumah; Bila mau turun kapal, orang lebih memilih turun di lanting yang paling dekat dengan rumah. Dermaga Bukit Rawa sedikit lain, berfungsi dengan baik. Mungkin karena adanya beberapa warung makan di atas tebing serta jamban berderet di dermaga.

Akupun turun dari kapal. Lapar, sehingga duduk di salah satu warung. Memesan mie rebus campur telur.

"Kapal kalian rusak apanya?" tanya pemilik warung, seorang wanita agak gemuk berumur 30-an tahun, sambil meletakkan segelas teh panas.

"Aku tidak tahu," jawabku, "hanya tadi ada letupan besar yang membuat kami semua kaget."

"Rumah Indu Guliat dimana?" tanyaku, sebelum ia menanggapi jawabanku tadi. Hanya basa-basi, walaupun dalam hati ada sedikit niat memperkenalkan diri jika rumahnya ternyata hanya di sekitar dermaga.

Guliat sepupuku tinggal bersama kami waktu aku masih kelas dua SD. Karena suaminya meninggal, maka ibu si Guliat, adik perempuan ayah, menitipkan anaknya supaya bisa bersekolah. Beberapa tahun lalu ibu si Guliat meninggal, tetapi menanyakan orang yang sudah meninggal bukan masalah selama pertanyaannya berhubungan dengan rumah, bukan orangnya.

"Itu disana, agak jauh dari sini," jawabnya dengan menunjuk melalui dinding belakang warung, "kalau kamu mau kesana, anaknya, si Guliat masih disana."

Aku tidak bertanya lebih jauh lagi. Apalagi ia harus melayani seorang penumpang yang mau membayar makanan. Dalam hati berkata, "Yang penting sudah bertanya." Soalnya kalau ayah tahu aku tidak memperkenalkan diri saat terdampar di kampung saudara kandungnya, ia akan sangat kecewa. Ini adalah kampung yang selalu ia banggakan.

Setelah menghabiskan sebungkus mie rebus, akupun kembali ke kapal. Menghabiskan waktu duduk di atap, mengarahkan pandangan ke tengah sungai.

"Hei ngapain di situ?" sebuah teriakan keras membuatku menoleh dengan otomatis, seolah-olah tahu suara itu memang sengaja memanggilku.

Seorang pria menuruni tangga, aku mengenal mukanya yang sangat mirip dengan muka ayah. Setiap kali ke kota, ayah selalu mengajakku ke tempat kakak lelaki tertuanya. Disana beberapa kali bertemu dengan adiknya yang sedang menuruni tangga ini. Aku memang sudah mengenal kedua saudara lelaki ayah, tetapi lima saudara perempuannya, sama sekali belum pernah kulihat.

"Mengapa kamu tidak naik ke atas?" ada nada kemarahan di situ, aku merasa tidak enak. Aku tahu ia tinggal di sini, kepala sekolah di satu-satunya SD di kampung ini. Sama sekali tidak terpikir masih ada saudara ayah yang pasti mengenalku. "Kamu tinggal bilang nama keluarga dan semua orang akan mengantarmu ke rumah."

Aku tidak bisa berkata apa-apa, benar apa yang ia katakan. Seandainya di warung tadi aku berkata ayahku berasal dari kampung ini, ceritanya akan lain. Dan memang benar, dari atas tebing, dari warung tadi aku mendengar pemiliknya berkata, "Anak siapa itu?"

"Anaknya si Gin!" ada nada ketus di situ, "Lihat itu duduk seperti orang benggol di atap kapal."

Orang bengkol, sebuah kata bahasa daerah yang tidak hanya berarti bodoh, tetapi juga tolol, goblok, idiot, dan segala macam kata sejenisnya menjadi satu. Itulah arti kata benggol.

"Oh... itu bukan salahnya. Ia tadi bertanya tentang ibunya si Guliat, tetapi aku tidak terlalu paham maksudnya. Aku pikir hanya orang yang sekedar bertanya, tidak tahunya sepupuku sendiri. Jangan marahi dia, itu bukan salahnya." kata pemilik warung yang tadi melayaniku, sambil menuruni tangga dengan kecepatan yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang dilahirkan di pinggir sungai.

Akupun turun dari kapal untuk dipeluk oleh sepupuku. Ia ternyata anak saudara perempuan ayah yang paling tua. Akupun kembali ke warung untuk dipaksa sepupuku menghabiskan sebuah porsi luar biasa.

"Kalau makannya sudah selesai baru kami antar kamu menemui semua tantemu," katanya.

Paman masih diam, masih tidak percaya keponakkannya tidak berbuat apa-apa ketika terdampar di sebuah desa yang penuh keluarganya.

Sepupuku berkata betapa miripnya aku dengan ayah, tetapi paman menjawab sinis, betapa ayah begitu supel dalam pergaulan, bahkan dalam sebuah kampung asingpun ia bisa mendapatkan seseorang yang mengenal nenek buyutnya.

"Sudahlah!" kata sepupuku membela aku.

Setelah kenyang, mereka berdua membawaku meninggalkan warung. Sepupuku pamitan kepada pelanggannya, "Aku mau mengantar adikku ini dulu. Kalau kalian perlu sesuatu, ambil saja dulu."

Dalam perjalanan, paman mulai melunak. Setiap kali bertemu orang sebayanya atau lebih tua, ia berhenti dan berkata kepada mereka, "Lihat ini anaknya si Gin."

Kepadaku ia memperkenalkan mereka, "Ini teman ayahmu memancing dulu."

"Sangat mirip ya," kira-kira itu tanggapan mereka, "Lihat rambutnya benar-benar mirip, sama-sama berdiri."

Akhirnya bertemu semua saudara perempuan ayah. Tentu saja semuanya sudah tua. Aku juga bertemu dengan Guliat, teman sekamar saat ia kelas dua SMP dan aku kelas dua SD.

"Ayo kami antar kamu ke rumah ibu lagi." kata sepupuku setelah bertemu dengan tante yang rumahnya paling jauh, "kamu akan tidur disana, karena itu yang paling dekat dengan dermaga."

Akupun kembali ke rumah yang kudatangi pertama kali tadi. Paman pamitan dan berkata besok pagi-pagi akan datang kesini lagi. Sepupuku juga pamitan untuk menjaga kembali warungnya.

Rumah tante bercat biru tua, rumah warisan keluarga, berlantai dua dengan sebuah jendela kecil di loteng bagian depan. Warna catnya tidak pernah diganti sejak dulu. Aku pernah melihat foto ayah yang masih muda berdiri di depan rumah ini, catnya tetap sama.

Tante tinggal sendirian, suaminya sudah meninggal, anak-anaknya sudah besar dan sudah berkeluarga semua. Tante yang tampak masih kuat ini menanyakan keadaan ayah, ibu dan saudara-saudaraku.

"Sebentar ya, aku mau menangkap ayam dulu." katanya tiba-tiba. Membuatku merasa tidak enak karena ia sampai memotong seekor ayam untuk menyambut kedatangan seorang keponakkannya.

"Oh, jangan macam-macam," kataku. Tidak berbasa-basi, hanya orang besar dan terhormat yang mendapat kehormatan berupa acara pemotongan ayam.

"Eh... maksudku mau memasukkan ayam ke kandangnya, sudah sore." jawab tante, membuatku tidak tahu apa bentuk dan warna mukaku saat itu. Untung ia tidak mempermasalahkannya dan pergi ke belakang rumah, memanggil-manggil ayamnya.

***

Malam itu tetap ada acara pemotongan ayam. Tante tidak mau sesuatu terjadi padaku, sehingga memutuskan memotong salah satu ayamnya. Aku telah menyebutkan sesuatu tentang ayam yang akan dipotong, kalau tidak ada ayam yang dipotong, ia takut nasib sial menantiku di perjalanan besok.

Ada yang namanya pahuni, artinya jika seorang menyiapkan makanan lalu terpaksa meninggalkannya sebelum selesai, orang tersebut bisa terluka atau mengalami kecelakaan atau digigit ular. Bila terpaksa harus pergi meninggalkan makanan yang baru disiapkan, ia harus menyentuh atau mencicipinya sedikit sambil berkata, "Pahunan ih helu." Artinya kira-kira "Aku menyentuh atau mencicipi makanan ini supaya tidak tertimpa celaka."

Tante tidak ingin aku kena celaka dalam perjalanan karena tidak jadi merasakan seekor ayam potong.

Malam itu tidur cukup nyenyak. Pagi-pagi paman dan saudara-saudaranya datang. Kembali makanan dihidangkan dan aku harus makan sisa ayam tadi malam. Untung tante tidak bercerita mengapa tadi malam ia memotong ayam.

Jam tujuh, giliranku dijemput juru mesin. Ia berkata kapal sudah siap dan tinggal berangkat, hanya menunggu aku. Aku sedang makan, tetapi tante berkata aku harus menghabiskan makananku dulu. Ia bahkan mengajak penjemputku ikut makan. Ia menolak, tetapi tante berkata "Kalau kamu tidak makan, nanti kamu kena pahuni."

Cukup ampuh untuk membuat penjemputku berkata, "Aku akan mencicipinya saja."

"Ya, cicipin saja." kata tante sambil menyerahkan satu piring nasi beserta sepotong besar ayam

Setelah makan cepat-cepat, kamipun berangkat. Selama ini aku selalu jengkel melihat rombongan pengantar, merasa jengkel harus menunggu. Sekarang aku mengalami sendiri dijemput juru mesin dan diantar seluruh sanak-saudara ayah. Di dermaga, semua orang sudah masuk ke kapal pengganti. Juru mesin berbicara sebentar dengan jurumudi, mungkin menjelaskan mengapa agak lama, lalu ia kebelakang. Bersiap-siap menghidupkan mesin.

Aku jadi bintang di kapal untuk beberapa saat, ternyata malam itu sepupuku bercerita pada mereka tentang adik sepupu yang melamun di depan matanya. Lalu ia bercerita tentang kampungku, tentang keluargaku, tentang kakekku, dan tentang segala yang hanya ia dengar juga. Seorang penumpang berkata kepadaku dirinya penah menjadi murid ayah waktu SMP, katanya ayah suka memarahi dia. Seorang berkata ketika kecil, ia dan orang tuanya pernah menumpang kapal barang kakek. Membuatku ingat cerita kakek ketika ia masih punya kapal barang kecil yang bolak-balik ke kota mengambil barang.

***

Ketika akhirnya sampai di kampung, setelah perjalanan 36 jam lebih, aku bercerita tentang perjalanan ini. Ibu selalu menyuruhku mengulangi bagian insiden potong ayam setiap kali ada sanak keluarga yang berkunjung ke rumah selama liburan itu.

Kolipoki's picture

KEPUNAN

K'lo di Bangka ada istilah kepunan untuk pahuni. klo ndak sempat makan di toel aja sambil blg takut kepunan he..he..
__________________

www.talentakasih.or.id

Purnomo's picture

@AP: seperti berperahu dari pasar Angso Duo

di kota Jambi ke pedalaman ketika saya menikmati cerita Anda ini. Terkenang kembali bau air sungai kecoklatan, tenangnya hati di atas perahu kelotok ketika membaca cerita ini. Bukan main. Anda memang trampil membawa pembaca melihat apa yang Anda lihat. Salam.