Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Bajoi: Sebuah Proses Kreatif

anakpatirsa's picture

Aku selalu ingat hari pertama melihatnya. Ketika menyusuri lorong menuju papan pengumuman, aku berpapasan dengannya. Gadis berkulit seputih susu itu bertanya dimana tempat pemeriksaan kesehatan.

        "Lurus saja," kataku.

        Setelah ia lewat, kutatap punggungnya. Batinku, gadis secantik itu kalau belum menikah, pasti sudah punya kekasih.

        Di ruang pemeriksaan kesehatan, kududuki kursi kosong di sampingnya. Kulirik tangan yang putih halus itu, tidak ada cincin. Bekasnya juga tidak ada di jari manis yang begitu indah. Kualihkan tatapanku ke tempat lain. Di pojok, ada orang yang tangannya dibalut gips.

        "Itu patah ya?" kataku.

        "Tidak tahu," bisiknya pelan, takut laki-laki malang itu mendengar.

        Walaupun kecewa karena ia tidak tahu kalau tidak ada orang yang mau memakai gips kecuali ada tulangnya yang patah, aku kembali ke papan pengumuman. Kulihat nama dan tanggal lahir peserta urutan kedua dari atas, tepat di bawah namaku itu. Di lorong, aku kembali berpapasan dengannya. Aku tersenyum, ia membalas dengan senyum terindah yang pernah kulihat.

        Besok sorenya, kulihat ia duduk sendirian di bawah tiang bendera. Kutanya apakah aku boleh tahu nomor ponselnya. Ia bilang, "Ya." Setelah itu ia selalu duduk di sebelahku, membuatku lupa bayangan hari-hari membosankan duduk sampai pantat kempos itu. Keberadaannya membuatku berharap pelatihan itu berlangsung selamanya. Supaya aku bisa melirik wajahnya saat ia duduk menahan kantuk; menyentuh buku di depannya saat ia menulis; atau meletakkan tanganku di sandaran kursinya saat aku pura-pura menguap.

        Ia tahu itu semua kulakukan untuk menarik perhatiannya, tetapi ia hanya diam saja. Diam yang membuatku merasa di atas awan, membuatku menjadi seniman kasmaran. Ia suka mengintip apa yang kutulis itu, bertanya apakah boleh membacanya. Tunggu kalau sudah selesai, kataku. Ia selalu bertanya, kapan selesainya?

        Ia membacanya saat perpisahan. Sore itu ia menulis, "Kupikir kamu hanya bisa menjadi teman terbaikku, tidak lebih. Karena di dalam hatiku aku hanya punya satu cinta, satu kekasih, tetapi ia bukan dirimu. Sory. Mungkin itu menyakitkan hati kamu, tetapi itulah kenyataannya. Maafkan aku. Satu hal lagi kupikir, jangan marah sama aku. Kita hanya bisa berhubungan sebagai teman."

        Sebulan kemudian—karena ia menanyakan apakah aku baik-baik saja—kutanya apakah kisahku itu boleh kujadikan novel? Ia bilang tidak apa-apa. Aku boleh membuat cerita dengan angan dan duniaku sendiri. Asal ingat itu cuma ada di ceritaku, fiksi. Jangan sampai aku memaksakan cerita itu terjadi di dunia yang sebenarnya, menjadi seperti yang aku inginkan.

        Kisah itu kuperbaiki, lalu kukirim ke sebuah penerbit. Setelah hampir setahun, aku menerimanya kembali dengan catatan kalau gaya berceritanya memang menarik, tetapi klimaks ceritanya kurang terasa. Mungkin aku memang sedikit gila, kulanjutkan kisahku itu di buku kedua. Aku menulis satu halaman dalam satu hari, sehingga setelah lima bulan jadilah sebuah draft utuh. Kuedit selama tujuh bulan sampai hanya tersisa seratus halaman.

        Saat mengirim buku kedua, di benakku sudah terbentuk sebuah novel yang terdiri dari tiga bagian. Sambil menunggu kabar, kutulis buku ketiga-nya. Sebelum selesai, aku mendapat surat penolakan lagi. Kali ini katanya kurang narasi deskripsi. Aku mungkin memang sudah gila, buku ketiga tetap kulanjutkan. Di bulan April, setelah tiga tahun novelku selesai.

        Penerbit itu mungkin menganggapku sudah gila karena mengirimi naskah seperti itu. Mengirimkannya secara terpisah. Setelah ditolak, mengirimi sambungannya. Setelah ditolak lagi, malah mengirimkan sebuah naskah utuh yang terdiri dari sekumpulan naskah yang sudah ditolak. Sekarang naskah itu sudah lebih dari tiga bulan di sana. Tanpa kabar. Kalau ditolak lagi, akan kuperbaiki dan kukirim ke penerbit lain.

        Aku akan memperbaikinya sampai tidak ada satu kata pun yang bisa dibuang tanpa merusak isi ceritaku. Itu hidupku, sebuah cerita yang awalnya kutulis untuk menaklukkan hati seorang gadis. Lalu kutambahkan untuk melupakan sebuah sakit hati, dan akhirnya kuselesaikan untuk mengukir sebuah nama:

        Bajoi.

iik j's picture

senang kau kembali AP

senang melihatmu lagi AP... 

aku rindu pada tulisan2mu.. :D :D

anakpatirsa's picture

Terima kasih, Iik

Komen yang  memberi semangat.

Purnomo's picture

AP - welcome back

"Aku akan memperbaikinya sampai tidak ada satu kata pun yang bisa dibuang tanpa merusak isi ceritaku."

Rumus AP dalam menulis ini yang membuat aku tak pernah melewatkan karyanya.
Di sisi lain, kehadirannya membuat aku lebih mencermati naskahku sebelum aku aplot; menandinginya pasti sulit, tetapi setidaknya berusaha teliti agar tidak ada kata yang salah eja atau punya cela.

Salam.

anakpatirsa's picture

Terima kasih, Pak Pur

Bingung bagaimana harus membalasnya, terima kasih, juga untuk kepedulian Pak Pur dan teman-teman pada pasar ini ketika sepi. Kepedulian yang ditunjukkan dengan tindakan memposting tulisannya.

 

Tante Paku's picture

Ternyata Bajoi

Akhirnya, setelah dikitik-kitik di FB, Anak Patirsa nongol juga di sini, tentu saja Bajoinya masih diterusin, asyiiiiik................

__________________

Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat