Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Dipermuliakankah Allah di tempat kerja?

Inge Triastuti's picture

Aku bersyukur kepada Tuhan karena menuntunku melalui seorang seniorku yang Kristen ketika aku mulai bekerja. Bekerjalah dengan jujur, katanya. Jangan membawa pulang pinsil kantor biarpun panjangnya sudah seperti jempol kakimu. Walaupun kamu melihat ada orang melibas kertas kantor sampai satu rim, selembar pun jangan kamu pergunakan untuk menulis puisi cinta untuk pacarmu. Jangan minta surat istirahat dokter jika kamu hanya sakit kepala. Jika berhalangan masuk karena keperluan pribadi, mintalah ijin mengambil cuti sehari. Jangan bilang kepada bos tetanggamu meninggal dan kamu harus pergi melayat. Habis nanti penduduk seluruh RT-mu jika setiap kakakmu yang di luar kota datang menyambangimu, tetanggamu kamu laporkan meninggal. Jangan mencuri milik kantor biarpun itu hanya waktu semenit untuk mencat kukumu.

Kalaulah ia menduduki jabatan penting, pasti akan kuabaikan nasihatnya. Tetapi ia hanyalah operator data. Ia benar-benar mempraktekkan nasihatnya ini sehingga aku sering malu dibuatnya. Kerap ia menegurku bila aku mematahkan penggaris kantor dan belum menggantinya. Ketika ia melihat aku tidak senang atas tegurannya ini, ia berkata, “Belajarlah sedini mungkin dari perkara-perkara kecil, yang kelihatannya sepele. Ingatlah, makin tinggi jabatanmu nanti, makin keras angin menerpa. Bangunlah benteng pertahananmu mulai sekarang juga. Bata demi bata. Aku tahu kamu aktivis gereja yang tangguh. Tetapi jangan menepuk dada. Ancaman yang harus kamu hadapi di tempat kerja jauh berbeda dengan yang ada di dalam gereja. Tempat kerja adalah sebuah hutan belantara yang kejam. Di sini orang bisa menjadi serigala demi perut dan ambisinya. Bawalah setiap masalah pekerjaan dalam doa harianmu agar kamu tidak menajiskan Nama Tuhan dan pada akhirnya hanya kekejian yang lahir dari dirimu.”

Beberapa tahun kemudian baru aku mengetahui bahwa hal-hal yang kecil itu tidak berarti benda-benda kecil saja. Dengan halus ia telah menyitir Lukas 16:10 “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barang siapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar” Apakah kertas satu rim dan waktu kerja 8 jam sehari adalah yang dimaksud dengan perkara-perkara besar? Perkara-perkara itu jadi perkara kecil ketika jabatanku naik menjadi penyelia. Uang sejuta pun berubah menjadi perkara kecil karena dapat kulibas semudah mencuci rambutku. Lalu apa yang dimaksud dengan perkara besar? Ayat selanjutnya menjelaskan, “Jadi, jikalau kamu tidak setia dalam hal Mamon yang tidak jujur, siapakah yang akan mempercayakan kepadamu harta yang sesungguhnya? Dan jikalau kamu tidak setia dalam harta orang lain, siapakah yang akan menyerahkan hartamu sendiri kepadamu?”

Jadi jikalau kamu bisa setia (loyal, teguh hati) pada harta dunia yang bisa lenyap ini, Tuhan akan mempercayakan harta surgawi yang kekal kepadamu. Lalu jikalau kamu tidak bisa menjaga harta orang lain (“gue mau kerje gue mau molor ape pedulimu, ini ‘kan bukan perusahaan bokap lu”), apakah Tuhan bisa menyerahkan harta yang kekal kepadamu?

Sebelum berkicau lebih lanjut aku harus minta maaf kepada kamu-kamu yang kambuh asmanya bila membaca artikel yang banyak mengutip ayat Alkitab. Tidak, aku tidak menyalahkan kamu. Siapa tahu kamu sudah muak melihat penyalahgunaan Firman Tuhan dalam dunia bisnis. Bukankah kita sering mendengar perkataan “Kita ini sama-sama anak Tuhan, masa saya berbohong kepada saudara seiman?” Begitu kita mempercayainya, ia merampok kita habis-habisan. Sekarang aku terpaksa menulis banyak ayat Alkitab di sini. Aku ingin menunjukkan bahwa iman dan pekerjaan tidak dapat dipisahkan. Aku ingin kamu memperteguh benteng imanmu dalam peperangan yang melelahkan di tempat kerja. Agar kamu tidak menajiskan dirimu, menghapus doa syafaat dan syukurmu setiap hari dan berpihak kepada kekejian yang membinasakan sesamamu (Daniel 11:31,32).

Waktu aku pertama kali menghadiri acara Natal di perusahaan ini setelah beberapa tahun bekerja, baru aku menyadari betapa peperangan ini telah memakan banyak korban. Tercengang-cengang aku melihat di situ berkumpul orang-orang yang sering mengejek aku hanya karena aku berdoa sebelum menyantap bekal makan siangku; yang menyulap nota pembelian bahan bakar kendaraan dinas yang dipakainya; yang merubah angka dalam slip gajinya agar isterinya tak tahu sebenarnya ia menerima gaji dua kali lipat daripada yang diberikan untuk rumah tangganya; yang meminta upeti kepada karyawan baru; yang sering bertanya kapan aku mau diajaknya week-end ke Singapura padahal anak gadisnya sudah seumurku. Mereka adalah saudara-saudara seiman kita yang telah membiarkan ketamakan menguasai dirinya.

Tidaklah mudah mengikutsertakan Tuhan Yesus dalam pekerjaan tanpa tidak mengorbankan kenikmatan dunia. Uang, kemewahan dan kekuasaan tampak lebih menggiurkan daripada Kerajaan Sorga. Membawa iman percaya kita dalam pekerjaan berarti penyangkalan diri secara total.

Makin tinggi kamu naik, makin terasa angin menerpa. Begitu aku naik menjadi penyelia aku merasakan betapa sejuknya angin berhembus. Ketika aku sibuk di depan komputerku, seorang menyapaku, “Rajin benar kamu. Sudah jam 7 malam begini masih ngadepin komputer. Temen-temen elu udeh pade pulang.”
Aku menoleh ke belakang. Bos promotion agency rekanan perusahaan ini berdiri di belakangku. Ia baru saja selesai memaparkan proposal kegiatan musik ke divisi promosi.
“Mereka punya komputer di rumah. Jadi bisa saja membawa pulang kerjaannya,” jawabku.
“Omong-omong, kalo sibuk gini terus kapan sempat dapat pacar? Di kantor saya ada laptop ga kepakai. Besok saya suruh orang antar ke kos I’in ya.”
“Spesifikasinya?”
Ketika ia menyebutkan spesifikasinya, aku terpesona. Karena aku belakangan rajin mendatangi pameran komputer, aku tahu barang itu harganya tidak bisa kubeli dengan 2 bulan gajiku.
“Daripada rusak ga kepakai, bagusan kamu pakai saja,” tiba-tiba saja kepala divisi promosi datang dan ikut nimbrung. Alarm antivirus dalam otakku berdenging. Aku sedang melangkah di tengah ladang ranjau. Kepala divisi ini pernah kelabakan ketika aku mempresentasikan kekurangan-kekurangan bos event organizer ini dalam sebuah kegiatan promosi yang ditanganinya sehingga ia ditegur oleh atasannya agar tidak bersikap kompromis dengan rekanan.
“Ah, ga usahlah. Saya tinggal di rumah kos. Malahan saya nanti tak bisa tidur bila teman-teman kos main game di kamar saya.”

Sering aku menangis dalam doa malamku karena dituduh tak waras hanya karena ketaatanku kepada FirmanNya. Sering aku mengeluh melihat banyak temanku yang telah menjadi kaya sementara aku tetap saja miskin dalam materi. Sering aku digulung ketakutan yang mencekam karena ancaman orang-orang yang tidak berhasil menyuap aku atau mengikutikan aku dalam permainan kotor mereka. Dalam keadaan seperti ini aku menyadari betapa giatku dalam gereja selama ini telah memberikan dasar iman yang kuat dalam peperangan rohani ini. Dalam situasi yang menakutkan ini aku baru tahu betapa dalam dan sulitnya arti berserah kepada Tuhan. Menyerahkan masa depan kita, bahkan menyerahkan keselamatan badan dan jiwa ketika teror mengepung.

Jikalau aku masih bisa bertahan, itu karena aku percaya orang yang hidup dalam kebenaran, yang berani berbicara jujur, yang menolak untung hasil pemerasan, yang mengebaskan tangannya menolak suap, yang tidak mau terlibat dalam rencana mencelakakan orang lain, akan tinggal aman di tempat-tempat tinggi. Bentengnya ada di atas bukit batu, makan dan minumnya terjamin (Yesaya 33:15,16) Dan ini kuyakini setelah aku mengalami sebuah peristiwa yang teramat pahit.

Suatu hari aku dipanggil menghadap bos number one. Ia melambaikan selembar kertas. Aku tahu itu suratku yang merekomendasikan 3 orang bawahanku untuk mengikuti ujian kenaikan jabatan. “Apa mereka ini orang-orangmu yang paling berprestasi?”
Aku mengangguk.
“Menurut kamu sendiri, siapa yang paling berprestasi?” tanyanya dengan wajah menyelidik. Aku merasa seperti ditampar mendengar tekanan suaranya pada kata “kamu sendiri”. Terbata-bata aku menyebut sebuah nama yang tidak ada dalam surat rekomendasiku.
“Tulis nama itu!” bentaknya menggelegar.

Aku menggelengkan kepala. Atasanku, yang merupakan orang kepercayaannya, telah mendikte aku menulis nama-nama yang ada dalam surat itu. Tidak boleh lebih, tidak boleh kurang. Prestasi mereka jelek, tetapi aku tidak berani membantah. Aku takut dipecat. Sekelilingku telah dipenuhi orang-orang yang memihak atasanku ini, seorang yang gila hormat dan senang dijilat.

Ia mengebaskan tangannya. Aku keluar dari ruangannya dengan hati remuk. Hari ini aku telah menyingkirkan kesempatan emas untuk seorang bawahanku yang berprestasi gemilang karena aku takut kehilangan pekerjaan. Ketika malam hari aku berdoa, aku kehilangan Tuhan. Aku tak bisa menyentuh jemariNya. Tiba-tiba aku membenci diriku. Jiwaku terbungkus kotoran, seperti terbenam dalam lubang penimbunan tinja. Menjijikkan! Apakah aku masih bisa berdiri sebagai emsi di persekutuan pemuda? Apakah aku masih layak berdiri di depan anak-anak sekolah minggu? Aku tak berbeda dengan yang lain, yang terkapar di ladang ranjau. I’m nothing, nothing, nothing!!!

Keesokan harinya aku minta waktu menghadap the boss number one. Keputusanku sudah bulat. Aku ungkapkan ketidakpuasanku kepadanya. Orang kepercayaannya telah membuat keresahan di perusahaan ini. Telah banyak orang yang digiringnya meninggalkan perusahaan ini hanya karena tidak sependapat dengannya. Ada juga yang dipecat karena kesalahan yang tidak berarti. Aku ditekan untuk tidak jujur dalam mengisi laporan prestasi bawahanku sehingga bawahanku yang berprestasi bagus tetapi bukan anggota gengnya, tidak mendapat kenaikan gaji pada akhir tahun.

Aku tak mau terlalu lama membungkamkan hati nuraniku. Aku tak mau berlama-lama menyelamatkan diri dengan menginjak kepala orang-orang yang tidak bersalah. Bila keadaan ini dibiarkan berkepanjangan, aku akan keluar atas permintaanku sendiri. Aku tidak akan kelaparan di luar. Aku punya orang tua yang masih sanggup memberiku makan. Aku masih bisa menerima jahitan di rumah. Atau bekerja di warung fotocopy atau mengerjakan katering kecil-kecilan. Aku berharap dapat meninggalkan perusahaan ini dengan terhormat walaupun tanpa pesangon. Ini jauh lebih baik daripada aku dipehaka karena dijebak dalam permainan kotor. Aku mau menjual seluruh otak dan tenagaku untuk mendapatkan nafkah, tetapi aku tidak akan menjual harga diriku berapa pun taripnya.

Dia diam saja selama aku berbicara. Aku bangkit dari tempat dudukku dan meninggalkan ruangannya. Aku merasa melayang ketika melangkah ke pintu. Aku tahu, aku telah membuka sebuah arena pertempuran dan di sana aku hanya seorang diri tanpa teman. Ketika sampai di pintu, dia memanggil namaku. Aku menoleh. “Dengar baik-baik. Bila kamu harus dipehaka, aku sendiri yang akan menulis surat itu, bukan orang lain. Juga bukan atasanmu.” Aku menatap matanya berusaha mengetahui apakah ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Aku mengenalnya sebagai orang yang bersih. Tetapi apakah ia belum teracuni oleh orang kepercayaannya itu? Bukankah ia akan lebih membela atasanku yang jauh lebih pandai dan berguna bagi perusahaan daripada aku ini?

Ketika ujian itu dilakukan, semua orang yang namanya tercantum dalam suratku dipanggil. Juga orang yang kusebut namanya di hadapan the boss number one. Seminggu kemudian ia menunjukkan sepucuk surat kepadaku. “Dari unit kita yang lulus hanya satu, Mbak. Saya sendiri. Terima kasih atas bantuan Mbak.” Ia menelan ludahnya, lalu melanjutkan bicaranya, “Seandainya saya tidak Mbak rekomendasikan, saya bisa mengerti. Betul, saya bisa memakluminya. Terlalu berat resiko yang harus Mbak hadapi karena saya.”

Terasa pias wajahku mendengar kata “resiko”. Mendadak rasa takut menyusupi setiap pembuluh darahku sehingga terasa ada bau tembaga dalam mulutku. “Tak mengapa. Itu resiko jabatan yang harus saya tanggung,” jawabku nyaris tak terdengar. Rasanya tubuhku tak bertulang lagi. Lemas sekali. Lambungku terasa nyeri. Resiko itu bisa muncul di kantor, bisa juga muncul di jalan ketika aku berada dalam angkutan umum atau berjalan-jalan di mol.

Dua bulan kemudian perang intrik berakhir karena para perekayasanya digiring keluar oleh the big boss. Tuhan telah membuktikan jaminanNya untuk Yesaya masih berlaku sampai hari ini. Untukku, juga untukmu. Utamakanlah Kerajaan Sorga maka Tuhan akan melengkapi segala kebutuhanmu di dunia ini.

Dalam penilaian dunia aku adalah orang miskin karena tak punya rumah dan masih naik bis kota. Namun aku kaya dan bahagia karena aku masih bisa menyentuh jemari Tuhanku setiap saat. Orang sekelilingku melihat aku adalah orang bodoh yang selalu kalah dalam berebut rejeki. Tetapi aku percaya dalam KerajaanNya di atas bumi ini aku adalah jawara yang tak mau menyerahkan diriku pada kekejian sehingga aku boleh berdiri tegak di hadapan raja-raja bukan di hadapan orang-orang yang hina (Amsal 22:29). Bukan karena keperkasaanku. Tetapi hanya karena belas kasihan Tuhan Yesus saja. ***