Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

JAGA IMAGE

Purnomo's picture
         Dua jam terbang dari Medan ke Jakarta, 1 jam tiduran di airport Cengkareng, 1 jam terbang lagi, akhirnya saya sampai di my home town. Cuti 14 hari, setelah 1 tahun berkelana di seluruh daratan Sumatera. Rasanya seperti TKI pulang kampung. I feel absolutely free. Bebas dari pekerjaan yang tak pernah habis, yang menguras tenaga, pikiran dan mental. Bebas dari deringan hape yang jika tak ingat ini inventaris kantor pasti sudah saya tenggelamkan ke dalam mangkuk sup. Apalagi bila suara di seberang bermelodi panik datang dari Aceh yang suhu politiknya sedang mendidih.

To protect the company image is the highest rule.
              Di pintu keluar airport ketika saya menoleh kanan-kiri mencari taxi counter, ada suara menyapa, “Bos, cari taksi?”

         E, manajer pemasaran propinsi ini sudah ada di dekat saya disertai asistennya.
“Kemarin kamu telepon sekretarisku tanya nomor flight-ku. Ada yang bisa aku bantu?” tanya saya.
 
      “Kayak pelayan hotel saja gayamu,” jawabnya. “Begini. Masalah kecil tapi penting. Kamu lihat 2 mobil itu? Kamu harus pilih salah satu untuk kamu pakai selama berada di daerah kekuasaanku ini.”
 
         Itu mobil dinasnya dan asistennya. Yang satu sedan, yang lain mini van. “No way,” jawab saya. “Peraturan perusahaan bilang dilarang memakai mobil dinas untuk keperluan pribadi.”

           “Sekarang masalahnya jadi gede,” katanya sambil menggiring saya ke sebuah sudut sepi seperti preman mau menggarap korbannya. “Waktu aku tugas di Sumatera Barat dan jadi bawahanmu, aku kenal kamu luar dalam. Kamu mau melakukan hal-hal yang tidak akan dilakukan oleh orang dengan jabatan selevel kamu demi mencapai target pekerjaan. Makan di trotoar, tidur di emper warung di hutan Lampung, menyewa ojek berjam-jam keluar masuk kampung-kampung di kota Padang, menyelinap di desa-desa Aceh Utara main petak umpet dengan GAM. Tetapi di sini, jangan berkelakuan urakan dengan keliling kota pakai motor bebek. Kalau pakai motor tiger, silakan. Kamu tahu, tahun lalu dengan berbebek-ria kamu keliling kota, lalu mendatangi kantorku, yang juga kantor distributor kita, kamu sudah merusak company image.”

             Memang, salah satu agenda cuti saya adalah berbebek-ria keliling kota. Karena setiap hari harus bermobil, maka saya rindu sekali naik sepeda motor. Di perempatan yang macet panjang bisa menyusup sampai di depan traffic light; naik ke trotoar jalan jika bertemu banjir; berhenti kapan saja bila ada yang menarik untuk dilihat tanpa harus mewaspadai es coret yang kalau bermobil harganya mahal sekali. Juga bisa menelusuri lorong-lorong sempit untuk mengherani daerah sepi ini kok sekarang jadi padat penghuninya, tanpa kuatir bila jalan setapak itu buntu di ujung sana, karena mudah memutar balik motor. Dengan pakaian santai dan bersandal jepit, tidak akan membuat orang heran bila saya menghentikan es dawet pikulan di pinggir jalan dan kemudian menikmatinya sambil nangkring di atas sepeda motor. Bila kecapaian, saya bisa mampir di warung-warung kecil sambil mengenang saat dulu mengunjungi mereka sebagai seorang salesman pemula. E, masih dapat suguhan minuman dingin gratis.  Asyiknya!


              “Aku merusak imej kompeni?” tanya saya heran.

             “Gara-gara kamu, orang mengira perusahaan kita ini miskin. Masa orang yang sudah kerja belasan tahun cuma punya bebek jelek. Apalagi bawahanku. Mereka tanya berapa gajimu, gaji manajer yang mengurusi satu pulau. Motivasi mereka ambruk. Mereka tidak percaya itu kamu lakukan untuk mengenang masa lalumu ketika hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka juga tidak percaya kamu ini sebenarnya pelitlit, karena waktu kamu ke kantor kamu bawa setumpuk roti bakery untuk mereka. Jadi, kasihanilah aku. Pilih salah satu mobil itu. Dua-duanya sudah diservis dan diperiksa mesinnya. Bensin biar perusahaan yang tanggung. Kurang apa? Atasanku sudah menyetujuinya. Atau aku minta direktur personalia mencabut cutimu?” ancamnya.

 

           Dalam hirarki organisasi dia ada 1 tingkat di bawah saya. Dia orang baik. Saya juga tidak sakit hati mendengar kalimatnya yang tidak indah bunyinya, karena dulu saya ikut mendorongnya bicara jujur walaupun kepada atasannya. Tetapi kalau dia sudah mengancam, saya harus waspada, karena mengancam presiden direktur pun pernah dia lakukan tanpa takut.

 

        “Aku sedang cuti, jadi aku bebas dari semua peraturan,” saya masih mencoba berkelit.
      “To protect company image harus dilakukan 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu, termasuk hari libur dan cuti. Itu tercantum dalam buku peraturan untuk manajer. Masa kamu tidak ingat?” katanya dengan mata melotot.

         “Okey, okey, aku nurut. Aku ambil van aja.”

       Asistennya dengan wajah berseri bergegas menyerahkan kunci mobilnya berikut STNK. “Matur nuwun sekali, Pak. Saya menang taruhan.”

       “Taruhan apa?”

       “Jika mobil saya dipilih, maka mobil sedan bos boleh saya pakai, sementara bos pakai taksi. Minjamnya lebih lama lebih baik. Biar saya puas merasakan mobil manajer, sebelum jadi manajer beneran.”

       “Kalau kamu kalah taruhan?”
       “Malam ini saya harus traktir bos ngedugem sampai subuh.”

       Sambil berhahahihi mereka bergegas meninggalkan saya yang masih berdiri bengong. Demi sebuah image, saya harus mengorbankan sebuah kenikmatan pribadi. Jika saya menolak, berarti saya harus meninggalkan perusahaan ini. Onde mande!


To protect the company image means to do good things.

       Di gerbang parkir airport saya menyodorkan karcis parkir. Setelah selesai memeriksa, petugas mengembalikannya kepada saya. “Terima kasih,” kata saya. Senyum merekah di wajahnya yang tadi beku.

 

     Mengapa saya bilang terima kasih? Seharusnya petugas itu yang mengucapkannya. Ya, itulah tidak enaknya mengendarai mobil yang ditempeli sticker identitas perusahaan. Harus berbuat baik to everyone agar nama perusahaan makin banyak yang kenal. Nama saya? Perusahaan tak pernah mengijinkan mobilnya ditempeli nama pengemudinya. Memangnya mobil reli?

 

         Waktu masuk ke jalan utama, sebuah mobil jelek memotong jalan. Kepingin saya acungin kepalan tangan. Tetapi ingat mobil ini beridentitas, ya terpaksa saya melambaikan tangan mempersilakan dia duluan. Dengan mobil ini saya tidak bisa mencuri lampu merah; harus memarkirnya dengan rapi agar tak memblokir mobil lain; tidak bisa melarikan uang parkir apalagi tabrak lari; tidak boleh mengumpat lewat klakson kalau jalan macet; tidak boleh parkir dekat panti pijat tradisional atau salon plus; harus selalu memakai sabuk pengaman (walaupun baru 5 tahun kemudian ketentuan ini diresmikan oleh pemerintah); harus mencucinya setiap pagi agar selalu tampil bersih. Jika ada di jalan antarkota, harus berhenti bila melihat mobil perusahaan lain mogok dan memberikan bantuan; tidak ngebut atau membahayakan mobil lain; tidak ngemplang karcis tol; memberikan bantuan kepada korban kecelakaan lalu lintas.

 

      Tetapi kemudian saya melihat sisi lain yang menguntungkan. Mobil-mobil perusahaan kami tidak pernah mogok di jalan tanpa mendapat bantuan mobil lain. Jika saya menghentikan mobil di jalan antarkota karena perlu ke toilet alam raya, pasti setiap mobil perusahaan lain yang melintas akan memperlambat lajunya dan pengemudinya berteriak “mogok apa molor?” Karena itu saya berani menyetir sendiri sepanjang 700 km dari Medan ke Pekanbaru, dari pagi sampai sore, karena yakin “teman” saya ada di sepanjang jalan. Ketika Aceh bergolak, tidak ada satu pun mobil perusahaan kami yang bertugas di sana dibakar sementara perusahaan lain ada yang kehilangan mobilnya. Dan saya bisa mendatangi desa-desa di Kabupaten Aceh Utara tempat konflik senjata paling gawat tanpa gangguan walaupun berkeringat dingin sepanjang hari. Benih kebaikan yang kami tabur dengan penderitaan, hasilnya tak mengecewakan.


Where is the highest Name you stick on?

         Saya tidak malu mengakui tidak berkelakuan jelek lebih dikarenakan disiplin perusahaan ini ketimbang karena menaati perintah Bigboss alam semesta. Melanggar peraturan perusahaan jelas dan nyata hukumannya. Dipecat. Sedangkan melanggar perintah Tuhan hukumannya kan bisa dihapus pada hari Minggu. Semoga hanya saya yang berpendapat miring seperti itu.

 

        Tetapi marilah kita menengok pelataran parkir gereja. Berapa banyak mobil yang menunjukkan identitas pemiliknya sebagai orang Kristen? Mungkin tidak berupa sticker “Yesus loves you,” tetapi sekedar kutipan ayat Alkitab “Tuhan adalah Gembalaku – Mazmur 23:1.” Lalu lihatlah mobil milik gereja Anda, mobil dinas pendeta Anda, apa diberi identitas nama gerejanya? Enggak? Ah, yang benar aja. Barangkali mobil omprengan yang Anda lihat.

 

         Dalam rangka bulan keluarga, gereja saya memberi jemaat sticker yang berisi ayat Alkitab untuk ditempelkan di mobil mereka. Berapa orang yang menempelkannya? Jangan kata jemaatnya, penatuanya saja tak mau. Stickernya jelek, begitu alasannya. Kalau jelek mengapa tidak membuat sendiri yang bagus?

 

           Jujur sajalah, identitas kita sebagai anak atau hamba Tuhan lebih menguntungkan disimpan dalam dompet, di KTP. Dengan demikian kita mudah beralih peran dalam berbagai situasi kehidupan sehari-hari. Kita bisa mengumpat tukang parkir tanpa mempermalukan Tuhan Yesus. Kita bisa menteror orang yang terlambat melunasi pinjamannya tanpa mempermalukan nama Gereja. Kita bisa menolak menolong orang yang kena musibah tanpa perlu mendengar orang mengingatkan kisah orang Samaria yang baik hati. So, we can feel free every day every moment. Bebas untuk tidak menaati perintah Penguasa Jagat Yang Mahakaya. Tuhan itu Mahatahu dan Mahapengampun. Pasti Ia memaklumi betapa merepotkan dan tinggi risikonya menempelkan identitas itu di mobil, di sepeda motor, di rumah, atau di ruang kantor Anda.

** gambar diambil lewat google sekedar ilustrasi. 

 

(bersambung)
bagian ke-2 klik di sini.
joli's picture

@Purnomo... menjaga kelakuan bersih

Dear Purnomo Temen aku pernah cerita bahwa dia sangat seneng ketika suaminya dipilih menjadi penatua (majelis) di gereja. Ketika aku tanya dia kenapa? temen aku menjawab bahwa dengan diangkat menjadi majelis maka suaminya akan menjaga kelakuannya tetap bersih dan tidak berani macam2 karena yang menjadi mata-mata banyak.. semua jemaat akan menjadi pengawasnya.. Setelah membaca blog Pur ini maka aku jadi ngerti.. menjaga kelakuan bersih... walau hanya untuk "to protect.." it's Ok juga kali ya? Aku suka cara Pur bermain motor-motoran, blusukan masuk pasar, dan makan di warung.. Hal jajan di warung aku juga sering melakukannya selain enak dan murah meriah juga bisa ngobrol dengan penjual warung dekat proyek.. jadi tahu siapa yang suka bawa potongan2 besi di dalam tas ranselnya, ada becak masuk proyek malam hari dan keluarnya bawa semen.. Jadi tahu juga nih Pur feel free ketika menjadi "anak medan", daripada mengemban nama besar regional man.. Selain belajar menulis dari Pur.. kelihatannya mesti belajar juga jurus "memecah rahang" ala anakmedan. Kata suamiku joli pinter memodifikasi jurus2 menjadi lebih "OK" lho.. dia bilang begitu ketika mengajariku jurus judo.. teknik mengunci.. he..he..
Purnomo's picture

Menikahlah dengan orang Kristen.

Seorang gadis teman saya duluuuu pernah berkata kepada saya (yang saat itu sudah menikah) bahwa ia ingin menikah dengan seorang Kristen. Padahal ia bukan Kristen. Mengapa? tanya saya. Karena suami Kristen tidak akan menceraikan istrinya.

Mudah-mudahan, batin saya.

Di Medan, tetangga sebelah rumah kontrakan saya seorang perempuan muda yang diceraikan secara diam-diam oleh suaminya. Mereka sama-sama Kristen. Janda ini tetap dinafkahi oleh mantan suaminya. Apa pasal? Karena ia tidak bisa memberikan keturunan.

Kekristenan sering menjadi baju yang tidak pas di badan seseorang. Kita tidak tahu motif seseorang menjadi Kristen. Tidak sedikit istri yang hepi sekali bila suaminya diangkat jadi pengurus gereja. Mengapa? Karena banyak yang mengawasi tindak tanduknya. Bukankah ini lebih baik daripada hanya satu orang saja yang memata-matainya?

Saya sampai sekarang ini selalu menolak diangkat jadi penatua. Itu jabatan tidak pas dengan diri saya. Bisa menimbulkan konflik identitas. Karena itu saya juga tidak suka memaksa seseorang masuk ke gereja bila "tubuh"nya belum pas untuk memakai "baju Kristen". Bila dipaksa (oleh pasangan hidupnya, oleh mertuanya, oleh anaknya), kasihan yang bersangkutan. Ada 2 pilihan ending story yang akan terjadi.

Pertama, ia akan mengalami "luka dalam", minder, dan konflik batin. Kedua, ia akan menjadi agresor setiap berada di dalam gereja atau setiap berbicara tentang kekristenan. Apa saja asal berbau Kristen pasti diserangnya. Pendeta menyalaminya sambil tersenyum sudah membuat ia berpikir "Pasti ia mau mengakali uangku." Ia merekfleksikan kebenciannya (yang seharusnya) kepada orang yang telah menganiayanya, kepada gereja dan "agama" Kristen. Mengapa? Karena memusuhi orang yang memaksanya besar risikonya.

Karena itu saya sering ikut-ikutan paranoid terhadap aktivis Kristen. Pasti ketularan virusnya karena sering bertemu dengan orang-orang yang menderita konflik identitas. Ada ilustrasi cerita yang menggambarkan parno saya.

Seorang anak sangat sayang kepada bapaknya. Begitu suara sepedamotor bapaknya terdengar pada sore hari pulang kerja, ia bergegas merebus setengah matang 2 telur ayam untuk bapaknya. Sambil merebus ia menyanyikan sebuah lagu rohani sebanyak 2 bait. Karena suaranya jernih dan merdu suatu kali bapaknya memanggilnya keluar dari dapur. Ia menganjurkan puterinya ini ikut paduan suara pimpinan Oma Esti. Tetapi puterinya menolak. Setelah didesak berulang kali, puterinya marah. "Papa, sekarang telur buat papa pasti tidak lagi setengah matang. Saya selalu menyanyi lagu rohani yang itu-itu terus sebanyak 2 bait ketika merebus telur. Begitu bait kedua selesai, telur itu harus saya angkat. Pas setengah matang."

O, ouw, ternyata menyanyi itu adalah timer baginya, bukan kepujian buat Tuhan Allah.

Sekian dulu ya,

Salam.