Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Jangan jadi penolong

Purnomo's picture
Kisah gembala yang mencari seekor domba yang hilang dengan meninggalkan 99 ekor lainnya dalam Matius 18:12-14 adalah perumpamaan yang mengutamakan apa yang tersirat bukan yang tersurat. Bila tidak, tentunya di seminari Kristen seminggu sekali diadakan acara mencari seekor domba kurus kering (agar tidak berat menggendongnya nanti) yang disembunyikan dosennya. Memang masih bisa diperdebatkan apakah gara-gara acara itu tidak pernah diadakan membuat banyak pendeta sekarang ini kurang bersemangat mencari seorang jemaatnya yang hilang dari ruang ibadah sementara 99 orang jemaatnya yang gemuk-gemuk dan sehat butuh perhatiannya.

– o –

Jalan ke arah kampus itu tidak begitu lebar. Tetapi sebuah sepeda motor dengan kecepatan tinggi berusaha mendahului sebuah mobil dari sisi kanannya sehingga keluar dari jalurnya. Di samping kanan mobil itu dari arah berlawanan ada sebuah sepeda motor lain dengan kecepatan lambat. Sela yang ada dimasukinya tanpa mengurangi kecepatan. Si pembalap salah estimasi. Pijakan kaki kedua motor itu berbenturan. Motor si pembalap oleng ke kanan ke kiri berulang kali. Ia piawai. Hanya dalam waktu sekian detik ia berhasil mengembalikan keseimbangan motornya dan langsung tancap gas tanpa menoleh korbannya yang jatuh terpelanting di aspal jalan.

Pemuda itu pingsan. Kaki kanannya berdarah. Kelihatannya otot di belakang mata kakinya luka. Ketika diangkat ramai-ramai ke tepi jalan, di atas aspal ada genangan darah selebar 2 telapak tangan. Seorang penolongnya membebat pahanya dengan tali untuk menghentikan kucuran darahnya. Sepeda motornya yang tidak parah kerusakannya diangkat masuk ke sebuah toko. Seorang penolong yang lain menghentikan angkot yang sedang melintas. Dengan garang ia menyuruh penumpangnya turun. Ia memerintah teman-temannya untuk memasukkan pemuda ini ke dalam kendaraan umum itu. Lalu lelaki yang tubuhnya kekar berotot itu menyuruh sopir berbalik arah menuju rumah sakit terdekat.

“Mana yang menemani saya?” tanya sopir.

Tidak ada seorangpun di antara para penolong dan penonton yang bergerak.

“Kalau tidak ada yang menemani, saya bisa repot,” kata sopir.

Si kekar kembali mendekat dan memukul pintu angkot dengan tinjunya. “Sudah jangan cerewet. Berangkat sana!”

Sambil menyeringai sopir menjalankan mobilnya.

 

Saya yang ikut menonton sambil nangkring di atas sepeda motor diam-diam ikut menyeringai. Saya tahu keberatan sopir itu yang tidak diucapkannya. Begitu si korban dimasukkan ke UGD maka ia akan disodori sebuah formulir khusus yang minta keterangan kecelakaan itu terjadi di mana dan data diri pengantarnya. Bisa saja ia tidak boleh pergi sementara pihak rumah sakit memanggil polisi. Bisa saja terjadi ketika si korban sadar ia berteriak-teriak “Aku ditabrak angkot!” karena ada sel-sel otaknya kena black spot akibat benturan. Polisi paling tidak akan menahan STNK angkot itu dan SIM pengemudinya. Apalagi bila ia digiring ke kantor polisi bersama mobilnya, duh repotnya.

Jika tahu kerepotan yang mungkin dihadapi sopir angkot itu mengapa saya tidak ikut mengantarnya? Justru karena tahu kemungkinan-kemungkinan yang tidak enak itulah saya tidak mau ikut serta. Bagaimana bila sesampai di rumah sakit sopir angkot itu segera pergi meninggalkan saya seorang diri? Bukankah malah saya yang jadi tumbal? Memangnya enak jadi penolong dalam kasus kecelakaan lalu lintas?

– o –

 Apakah sebagai orang Kristen yang sudah hafal luar kepala cerita orang Samaria yang murah hati saya tidak risih hanya jadi penonton saja? Cerita yang dicatat dalam Lukas 10:30-36 adalah sebuah perumpamaan. Sebuah perumpamaan mengutamakan esensinya, apa yang tersirat bukan yang tersurat. Walau tidak ditulis, orang tahu korban yang tergeletak berdarah-darah itu adalah orang Yahudi. Orang-orang sebangsanya tidak menolongnya. Tetapi orang Samaria yang dibenci dan dinajiskan oleh orang Yahudi justru menolongnya. Pesan dalam perumpamaan ini jelas mengatakan kasihilah orang lain tanpa melihat etnisnya, bahkan bila ia berasal dari etnis yang membenci etnismu. Jika harus menuruti apa yang tersurat, malah saya tidak bisa memratekkan pesan Tuhan Yesus itu karena di kota saya tidak ada orang Samaria. Entah di kota Anda.

 

Begitu juga dengan kisah gembala yang mencari seekor domba yang hilang dengan meninggalkan 99 ekor lainnya dalam Matius 18:12-14. Itu sebuah perumpamaan. Bila tidak, tentunya di sekolah teologi dan seminari Kristen seminggu sekali diadakan acara mencari seekor domba kurus kering (agar tidak berat menggendongnya nanti) yang disembunyikan dosennya selain acara mencari telur pada waktu Paskah. Padahal kalau acara itu diadakan pasti lebih ayik daripada outbound. Memang masih bisa diperdebatkan apakah gara-gara acara itu tidak pernah diadakan membuat banyak pendeta sekarang ini kurang bersemangat mencari seorang jemaatnya yang hilang dari ruang ibadah sementara 99 orang jemaatnya yang gemuk-gemuk dan sehat butuh perhatiannya. Konon kabarnya para pendeta di pedesaan lebih care terhadap jemaatnya karena setelah pagi hari bekerja di SDN sebagai guru tembak siangnya menjemput kambing-kambing tetangga untuk merumput. Ini dikarenakan ia butuh uang dan tidak mau merampok jemaatnya, bukan karena ingin role play domba yang hilang. Jika kemudian gara-gara keseringan angon kambing pendeta ini jadi makin care terhadap jemaatnya, itu blessing in disguise namanya.

 

Jadi jelaslah bahwa kisah orang Samaria yang murah hati tidak menuntut kita melakukan yang tersurat. Tolonglah orang yang membutuhkan pertolongan tanpa memandang etnisnya. Tetapi mengapa saya tidak menolong pemuda yang terkapar itu? Karena saya ingat Firman yang mengatakan, “Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu” (2 Korintus 8:12). Jika saya belum memiliki ‘keberanian menanggung resiko’ mengapa saya memaksa diri? Jika saya hanya punya uang logam ketika anak jalanan menadahkan tangan, mengapa saya harus repot-repot mencari lembaran uang 5 ribuan? Memaksakan diri dalam memberi atau menolong bisa membuat jiwa kita tidak sejahtera, bukan? Masa ikut Tuhan Yesus malah tidak sejahtera?

– o –

Pada hari ke empat tahun 2010 ini menjelang pukul 20.00 saya dengan istri keluar dari gereja. Kesibukan mengurusi acara Natal dan Tahun Baru yang melelahkan belum selesai. Rumah kami ada di selatan kota di daerah perbukitan yang untuk mencapainya harus melintasi 2 jalan menanjak terjal. Tanjakan pertama disebut tanjakan Tanah Putih karena konon daerah itu dulu tanahnya berwarna putih karena merupakan garis pantai purba. Setelah melintasi tanjakan itu jalan agak mendatar dan kita akan tiba di daerah Jatingaleh yang berarti jati berpindah. Mungkin saja dulu daerah itu adalah hutan jati yang mendadak saja dalam semalam semua pohon jatinya berpindah ke dalam gudang penguasa. Tepat di selatannya jalan menanjak kembali lebih terjal. Ketika belum ada jalan tol inilah satu-satunya jalan keluar kota Semarang ke arah selatan sehingga kendaraan apa saja harus melewatinya bila menuju Solo atau Jogja. Seingat saya waktu itu setiap bulan tanjakan Gombel ini minta korban jiwa akibat ada bus atau truk yang remnya blong ketika menuruninya dan bablas masuk ke jurang atau menyapu kendaraan lain yang sedang menanjak.

 

Mendekati Jatingaleh kecepatan mobil saya kurangi menjadi sekitar 30 km per jam karena kendaraan ke arah selatan masih padat. Saya mengambil jalur kiri sambil mewaspadai kaca spion karena sering masih ada sepeda motor yang nekat mendahului dari sisi kiri walau ruang yang tersisa sangat sempit.  Di sebelah kanan saya berbaris mobil-mobil lain ke arah yang sama. Ada sebuah sepeda motor dengan 2 penumpang tiba-tiba berada di sebelah kanan saya memanfaatkan sela 2 mobil yang sempit. Segera saya mengurangi kecepatan untuk memberinya kesempatan mendahului. Tetapi pengemudinya tergesa-gesa membelok ke kiri padahal sela yang ada masih sempit dikarenakan mobil di depannya mendadak menurunkan kecepatannya. Sepeda motor itu terguling tepat di depan saya sehingga saya harus menghentikan mobil saya.

 

Kedua orang itu tergeletak 1 meter di depan mobil saya. Beberapa sopir ojek yang mangkal di dekat tempat itu segera berhamburan menolong kedua orang itu yang tidak pingsan. Seorang mendatangi saya dan meminta saya memarkir mobil di jalan yang berbelok ke kiri agar tidak menganggu arus lalu lintas. Saya menjalankan mobil dengan sangat lambat agar tidak dikira ingin melarikan diri. Saya meninggalkan mobil dengan tubuh yang lemas dan minta istri tetap didalamnya. Saya masih ingat menaikkan doa singkat, “Tuhan, tolong bimbing saya.”

 

Pasangan suami istri yang berusia kira-kira di atas 65 tahun itu duduk di trotoar. Di atas aspal ada pecahan plastik kuning dan merah. Yang kuning pasti berasal dari lampu sein sepeda motor itu. Tetapi yang merah? Pecahan plastik merah itu menunjukkan bagaimana kecelakaan itu terjadi. Motor itu berada di kiri belakang sebuah mobil. Ketika saya mengurangi kecepatan terjadi ruang antara sudut kanan depan mobil saya dengan sudut kiri belakang mobil yang diikutinya. Ia segera membelok ke kiri karena ruang itu makin melebar. Mendadak mobil di depannya mengurangi kecepatan sehingga gerak melebar itu terhenti sementara motornya sudah terlanjur memasukinya. Akibatnya lutut kanan istrinya memecah kotak lampu belakang mobil itu dan motornya oleng hingga terjatuh.

Kulit lutut istrinya terbuka. Ada darah di sekitar lukanya tetapi tidak lagi mengucur. Di bagian yang terbuka ada yang berwarna putih. Saya tidak tahu itu tulang tempurung lutut atau lapisan lemak karena tubuh ibu ini tambun. Seorang polisi berdiri di samping saya. Oi, cepatnya ia muncul.

Segera saya menjelaskan kepadanya. “Motor bapak ini menabrak mobil di depannya lalu jatuh di depan mobil saya, Pak.”

Saya berharap, berharap sekali, bapak itu mengiyakan keterangan saya. Tetapi ia diam. Ia tidak menderita luka sama sekali. Ia sedang sibuk dengan hapenya.

“Lalu mobil yang ditabraknya ada di mana?” tanya polisi.

“Saya tidak tahu. Sudah lari.”

“Betul, Pak. Motor itu menabrak belakang mobil mersi putih,” seseorang di belakang berkata.

Saya menoleh. Ada seorang pria berusia sekitar 50 tahun bercelana pendek di dekat saya. “Mobil saya ada di belakang mersi putih itu sehingga saya tahu bagaimana kecelakaan itu terjadi,” ia melengkapi keterangannya.

“Terima kasih, Pak,” kata saya sambil menjabat tangannya. Terima kasih, Tuhan.

“Sebaiknya selesaikan masalah ini secara kekeluargaan,” kata polisi itu kepada saya.

Lho, gimana seh? Menyelesaikan kasus kecelakaan secara kekeluargaan itu berarti saya harus mengongkosi korban. Padahal saya tidak salah. Celakanya, korban itu tetap saja tidak memberikan kesaksiannya.

 

Polisi itu pergi, juga para sopir ojek sehingga tinggal saya berdua dengan bapak yang baik hati itu.

“Aku sama Bude kecelakaan di Jatingaleh,” kata bapak tua itu di hapenya. Ia sesaat terdiam sebelum mengantongi hapenya.

“Menelepon siapa, Pak?” tanya saya.

“Keponakan. Ia bekerja di RSUP.”

“Yok, saya antar ke RSUP biar luka Ibu dijahit,” saya menawarkan jasa. Apa boleh buat bila saya harus menjadi donatur karena dipaksa. Pasti sebelum masuk UGD ada uang yang harus disetor ke kasir rumah sakit.

“Tidak usah ke rumah sakit. Saya mau pulang,” jawabnya.

“Ayo, saya antar,” kata saksi utama saya. “Rumah Bapak di mana?”

“Tuntang.”

“Tuntangnya di mana?”

Di Semarang ada Jalan Tuntang. Sebelum masuk kota Salatiga juga ada desa yang bernama Tuntang.

“Tuntang dekat Salatiga.”

 

“Kalau jalan macet bisa 2 jam baru sampai,” kata saya. “Begini saja. Kita bawa Ibu ke rumah sakit di Banyumanik biar lukanya dijahit dulu sebelum dibawa pulang ke rumah.”

Banyumanik ada di selatan tanjakan Gombel on the way to Salatiga. Tetapi bukan itu yang menjadi dasar penawaran saya. Dalam perjalanan ke rumah sakit kecil ini saya akan menelepon 2 orang teman yang tinggal di daerah itu. Saya takut sendirian mengantarnya ke desa kecil itu karena ingat sebuah peristiwa.

– o –

Ketika saya punya masalah dengan seseorang, saya diajak ke rumahnya di sebuah desa di utara kota Solo. Walau hari sudah hampir tengah malam, saya meluluskan permintaannya agar masalah bisa segera beres. Ternyata ayahnya telah menyiapkan beberapa preman. Saya dipaksa membuat pernyataan tertulis yang menyatakan saya ada di pihak yang salah. Dua lembar kertas yang disisipi karbon disodorkan. Ia mendikte apa yang harus saya tulis dengan tulisan tangan. Untung kecerdikan saya tidak menguap akibat dibentak-bentak preman. Saya menulis dengan tulisan cetak tegak padahal saya biasa menulis miring ke kanan. Di atas meterai saya membubuhkan tanda tangan yang agak berbeda dengan yang ada di KTP saya yang saat itu sedang ia pegang. Bagaimana bila sesampai di rumah bapak ini di desa Tuntang terjadi hal yang sama? Saya sangat kuatir karena ia tidak juga mengatakan bukan saya yang menyebabkan kecelakaan itu terjadi.

 

Beberapa hari kemudian ketika saya sedang berada di terminal Tirtonadi Solo, saya bertemu kembali dengan ayah orang itu. Ia minta maaf karena setelah menginterogasi anaknya, ia tahu anaknya yang bersalah. Ia bertanya kapan dan di mana bisa bertemu lagi dengan saya untuk mengembalikan surat pernyataan itu. Saya jawab tak usah. Saya percaya kepada ketulusan hatinya dan memintanya untuk merobek saja surat itu. Tentu saja saya tidak menjelaskan bahwa malam itu ia melakukan blunder ketika melepas saya pergi. Setelah 2 lembar kertas itu saya serahkan kepadanya dan ia periksa dengan teliti, ia memberikan selembar kepada saya. Ia memberikan lembar pertama yang bermeterai.

– o –

“Bagaimana, Pak?” kembali saya bertanya.

“Kejadiannya bagaimana?” seseorang bertanya.

Saya menoleh. Ada 2 polisi berdiri dekat saya. Kembali saya menjelaskan peristiwa itu. Bapak yang baik hati itu kembali menguatkan cerita saya. Tetapi pak tua itu tidak berkomentar.

“Kalau begitu antar saja si korban ke ke RSUP. Selesaikanlah secara kekeluargaan,” kata pak polisi sebelum mereka dengan tenang meninggalkan TKP. Juga bapak yang baik hati itu. Sebagai gantinya istri saya sudah berada dekat saya.

“Yok, kita ke RS Banyumanik,” kata saya memaksa.

“Lebih baik dibawa ke RSUP saja,” suara perempuan membuat saya menoleh. Perempuan itu masih muda dan usianya sekitar 25 tahun.

“Banyumanik lebih dekat,” kata saya.

“Kebetulan suami saya dokter di RSUP,” jawab saya.

“Maaf, Mbak siapa?”

“Mobil saya yang ditabraknya dari belakang. Itu suami saya,” katanya sambil menunjuk seorang lelaki muda yang sedang berjalan mendekati kami.

Ya Tuhan, terima kasih. Engkau telah mengirim orang yang bisa meluputkan hamba dari kemungkinan difitnah. Saya menyalami mereka berdua sambil mengucapkan terima kasih atas kedatangan mereka. Yang lelaki minta waktu untuk mendekatkan mobilnya. Seorang polisi muncul lagi. Kali ini perempuan muda itu yang menjelaskan peristiwanya.

Istri saya menyodorkan kertas tisiu menyuruh saya menutup luka ibu itu.

“Kalau ditutup tisiu nanti membersihkannya jadi sulit tidak?” tanya saya kepada perempuan muda itu. Dia tidak menjawab. Pasti dia bukan mantan jururawat. Bukankah tidak ada keharusan seorang dokter menikah dengan jururawat? Saya berjongkok di depan lutut ibu itu untuk menutup lukanya. Luka itu ternyata daging yang terbuka selebar 3 jari. Kulitnya entah nyangkut di mana.

Ketika dia diangkat masuk ke mobil mersi itu, baru pak tua berkomentar. Ia menyalahkan mobil yang ditabraknya itu karena berhenti mendadak. Nah, ketahuan sekarang aslinya. Ia yang salah tetapi menyalahkan orang lain.

“Apa tadi ada kendaraan dari depan yang memotong untuk berbelok ke jalan sebelah kiri itu?” tanya pak polisi.

“Betul, ada sepeda motor yang mendadak memotong,” jawab pria muda itu.

“Selesaikan saja secara kekeluargaan,” kalimat yang sama saya dengar kembali untuk ketiga kalinya. Tetapi kali ini ditujukan kepada dokter muda itu.

 

Begitu mobil mersi itu bergerak, saya dan istri bergegas berjalan ke arah mobil saya sementara pak tua itu masih sibuk menstarter motornya berulang kali.

– o –

Jalan itu sepi. Sebuah sepeda motor melaju kencang. Tiba-tiba seorang anak berlari menyeberang jalan. Motor itu menyenggolnya sehingga ia terpelanting ke tepi jalan. Motor itu terus melaju. Anak itu terkapar tidak bergerak. Jika saya kebetulan sedang bermobil di belakang motor itu, apa yang akan saya lakukan? Terus melaju tanpa menoleh seperti para rohaniwan Yahudi di jalan antara Yerusalem dan Yerikho, atau seperti orang Samaria yang murah hati?

 

Maaf, saya tidak mau menjawab. Saya berharap perumpamaan itu tetap tinggal sebagai perumpamaan dan tidak muncul sebagai sebuah kenyataan dalam hidup saya.

 

 (the end)

 

 

 

dennis santoso a.k.a nis's picture

trikora?

GANYANG MOTORIST !!!!!

*....kabur....*

Purnomo's picture

Tidak semua motoris

berkelakuan jelek, Nis. Beberapa kali di jalan saya ditolong oleh motoris yang mau berhenti dan bertanya "apa yang bisa saya bantu." Jadi, sebaiknya jangan karena satu dua kasus kita langsung menerapkan prinsip globalisasi bahwa motoris sedunia begitu adanya.

Salam.

 

Daniel's picture

menolong memang tidak mudah

Tadi malam, ketika kami sedang makan bakso di sebuah warung pinggir jalan, seseorang datang menggumamkan beberapa kalimat yang tidak saya tangkap dengan jelas, tapi menurut tunangan saya itu artinya dia minta uang karena sudah beberapa hari tidak makan. Kami menolak memberinya uang, tapi menawarinya makan bakso kalau dia mau, dan dia menerimanya.

Beberapa menit kemudian, sepasang pemuda, laki-laki dan perempuan datang, mengamen. Uniknya yang dinyanyikan adalah lagu-lagu rohani, dan bukan sembarang lagu rohani, tapi lagu-lagu yang biasa dinyanyikan di persekutuan mahasiswa Kristen. Beberapa lagu dinyanyikan secara medley, termasuk Give Thanks dan lagu favorit kamu berdua, Grace is Thy Faithfulness, sehingga saya yang tadinya cuek campur geli, jadi menaruh perhatian.

Selesai menyanyi, pemilik warung memberi uang seribu rupiah dan menyuruh mereka pergi, tapi sepertinya si perempuan melihat tatapan mata saya dan memberanikan diri mendekat.

"Gerejanya di mana?" tanya saya, dan dijawabnya "Kalau saya berjemaat di HKBP, tapi kami adalah badan pelayanan interdenominasi yang bergerak di bidang misi". "Oya? Kalau boleh tahu, badan misi apa itu?" lanjut saya. "Kami dari World View". "Oo, begitu ya." Dan beberapa pertanyaan lagi sambil saya menarik uang lima ribuan dari dompet dan meletakkannya dalam sampul putih yang dia sodorkan.

Setelah mereka berdua pergi, tunangan saya mengingatkan saya bahwa sepengetahuannya tidak ada yayasan misi yang bernama World View, adanya World Vision, dan mereka tidak pernah mencari dana dengan menyuruh stafnya mengamen. Hehe, ya sudahlah.

Selesai makan, saatnya membayar tagihan sebesar 43 ribu rupiah dengan perincian: 26 ribu untuk kami makan berdua, dan 17 ribu untuk orang yang kami "traktir" makan tadi. Hehe, ya sudahlah.

Menolong memang tidak mudah :)

Purnomo's picture

Menolong ada resikonya.

Resiko paling ringan adalah mereka tidak berterima kasih seperti yang dialami oleh Yesus (Lukas 17:17). Walau Ia tahu apa yang akan terjadi, Yesus tetap saja menolong.

Resiko yang lain adalah yang Oom Daniel alami, dibohongi. Yang menjengkelkan adalah ketika mereka berbohong mereka bawa nama Tuhan Yesus. Saya juga pernah dibohongi lewat kesaksian seseorang yang dituturkan sambil bercucuran air mata. Lebih jengkel lagi bila pelakunya adalah pendeta.

Paling parah adalah diperas oleh orang yang kita tolong. Kasus-kasus inilah yang kerap membuat tidak sedikit orang Kristen tidak lagi mau menolong orang lain yang tidak ia kenal.

Thanks untuk sharingnya.

Salam.

Rusdy's picture

Sulitnya Berbuat Baik

Iya yah, kenapa mao berbuat sulit aja kok disulitin bangeeeet yah? Test-nya dari Tuhan kok nggak tanggung2 yah?

Purnomo's picture

Masih ada pilihan

ketika kita menghadapi testing dari Tuhan: take it or leave it. Take it berarti menempuh perjuangan yang berat tetapi bisa membuat kita makin trampil. Leave it berarti tidak ada yang perlu dirisaukan hanya saja rohani kita tak akan bertumbuh-kembang.

Sayangnya, Tuhan kadang hanya memberi pilihan tunggal "take it" seperti ayah yang dengan jengkel mendorong anaknya nyebur masuk ke kolam renang karena kita selalu menolak belajar berenang.

mama nia's picture

@Purnomo: sekedar share..

Salam kenal Purnomo,

Sewaktu saya msh mahasiswa, dlm suatu acara retret, seorang pembicara bercerita ttg bagaimana kecewanya dia terhadap seorang anak yg ia bantu sehingga anak itu bisa sekolah, namun sekalipun udah dibantu, anak itu ternyata bukan anak yg tahu berterima kasih. Anak itu bukan hanya bersikap seperti kacang lupa akan kulitnya, anak itu bahkan berani melawan atau tidak menghormatinya.

Waktu itu saya berpikir bhw kalo sebagai pembicara (yg menurut pemikiran saya wkt itu pastilah udah mengerti byk ttg firman Tuhan) aja masih merasa kecewa yg luar biasa terhadap orang yg ditolong, apalagi saya yg tidak begitu ngerti soal firman Tuhan, jika saya yg alami seperti itu pasti lbh parah kecewanya.

Karena saya tidak ingin kecewa, maka saya pikir satu2nya cara adalah jangan mengharapkan balasan apapun dari org yg ditolong, bahkan keberhasilannyapun tidak usah diharapkan karena bisa saja dia gagal memanfaatkan dgn baik pertolongan yg kita berikan. Tp mungkinkah?

Saya lalu berpikir, supaya itu mungkin, saya hanya akan menolong jika saya punya kemampuan dan punya keinginan utk menolong, jika tidak ingin apalagi tidak mampu utk menolong saya tidak akan maksain diri. Sebelum memberi pertolongan,segala hal hrs diperhitungkan matang2 termasuk resiko2nya. Jika mampu menanggung resikonya silahkan tolong, jika tidak mampu lbh baik mundur aja.

Sampai sekarang saya msh merenungkan kata2 yg pernah diungkapkan oleh Ko Hai Hai yaitu:  ketika cerdik,tuluslah..ketika tulus,cerdiklah..Mungkin dalam memberi pertolongan kepada seseorang, pesan dari kata2 Ko Hai Hai ini perlu dipraktekan.

Thanks

Purnomo's picture

Tulus sekaligus cerdik - perasaan sekaligus pemikiran

Thks sharingnya.

Apa yang Anda alami tidak saya herani (yang ditolong tidak berterima kasih) karena saya juga tidak pernah disapa lagi oleh orang gereja yang pernah saya tolong. Tetapi untuk jemaat gereja saya tidak mau berhenti menolong karena dasar pemikiran yang saya pegang adalah "saya sedang membayar sebuah hutang yang besar sekali." Dulu saya banyak menerima kebaikan orang-orang, bahkan yang tidak pernah saya kenal. Mereka tidak pernah meminta balasan, maka saya membalasnya lewat orang lain. Itu juga yang saya pesankan kepada mereka yang saya tolong. Lebih dari semuanya itu saya selalu mengingatkan diri bahwa "saya adalah hamba Tuhan yang prabayar."

Tulus sekaligus cerdik menurut saya adalah perasaan dan pemikiran harus dipergunakan bersama-sama dalam bertindak. Jangan karena emosional kita lupa berpikir rasional. Sebaliknya jangan pula perhitungan-perhitungan logika membungkamkan suara Roh Kudus yang telah kita miliki.

Salam.

mama nia's picture

@Purnomo: makasih

Syalom Purnomo,

Tulus sekaligus cerdik menurut saya adalah perasaan dan pemikiran harus dipergunakan bersama-sama dalam bertindak. Jangan karena emosional kita lupa berpikir rasional. Sebaliknya jangan pula perhitungan-perhitungan logika membungkamkan suara Roh Kudus yang telah kita miliki.

Makasih Purnomo, anda udah memberikan rumusan yg jelas ttg bersikap tulus sekaligus cerdik.