Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Lulus SD dulu baru JADI BINTANG SINETRON

Purnomo's picture

          Mencari dana dan kemudian membagi santunan beasiswa memang susah. Tetapi terlebih susah menyadarkan orang tua siswa pentingnya pendidikan dan pembina karakter anak2nya. Terlebih lagi di pemukiman marginal di mana kawin cerai di antara penduduknya gak kalah cepatnya sama kaum selebritis yang kemudian dijadikan model oleh generasi penerusnya.


          Senin lalu aku ke SD Tabita dan lapor kepada kepseknya, "Bu, Sofi kelas 6 sudah 2 bulan ini tidak mengambil santunan beasiswa. Apa dia berhenti sekolah? Atau sudah tidak perlu disantuni?”

          Pernah ada anak yg 2 bulan tidak mengambil santunan dan aku tidak diberitahu kepsek bahwa anak itu sudah bilang kepadanya, "Bu, Bapak sudah dapat pekerjaan tetap. Kata Bapak santunan saya tidak boleh diambil lagi, buat teman lain yg membutuhkan."
          Jangan menyamaratakan mereka yang kurang mampu. Masih ada yang berhati mulia lho.
 
          Jawab Kepsek, "Sofi sudah 2 bulan tidak masuk sekolah. Kayaknya anak itu sudah malas sekolah. Sering lewat depan sekolah berboncengan motor dengan 2 anak laki. Dia duduk diapit di tengah."
          "Ibu sudah mengutus guru untuk menyambanginya?" tanyaku.
          "Saya sudah memanggil orang tuanya tetapi tidak datang."
          "Jadi sampai sekarang belum ada guru yang datang ke rumahnya?"
          "Nanti saya panggil lagi orang tuanya."

          "Tahun 2009 pernah terjadi kasus serupa di sekolah ini," kataku. "Namanya Ambar, baru 2 bulan di kelas 6, mendadak tidak mau sekolah. Kepsek yg dulu sangar. Baru 1 minggu bolos kepsek menyuruh guru mendatangi rumahnya, padahal bapaknya kerja di pemotongan hewan. Ha ha ha. Hasilnya? Anak itu tidak mau sekolah karena ingin jadi bintang sinetron. Kalau anak ini tidak ikut ujian akibatnya kelulusan sekolah ini tidak 100% karena Ambar sudah terdaftar sebagai peserta ujian. Baru 2 bulan menjelang ujian guru ke-4 yang dikirim ke rumahnya berhasil membujuknya kembali sekolah. Dia membohongi Ambar bahwa syarat jadi bintang sinetron paling tidak harus punya ijasah SD karena harus bisa baca tulis surat kontrak."

          "Ya nanti saya panggil orang tua Sofi ke sekolah."
          "Diamkan saja Bu. Tugas guru 'kan hanya mengajar mereka yang datang ke sekolah. Bwahahahahaha," kataku mengejek.
          Rumah Sofi berjarak 3 gang di belakang sekolah. Daerah ini memang pemukiman kaum marjinal. Tetapi tidak seseram sekitar SD Swasta Bandarhajo yang seorang teman bercerita pernah menyambangi rumah seorang siswanya dan disambut si ibu sambil menyodorkan botol minuman, "Mari ikut minum sama saya, Pak". Kalau yang disodorkan soft drink oke-oke sajalah. Tetapi itu botol miras Cong Yang.

          Hari Sabtu aku menyambangi rumah Sofi. Rumah kecil dan sempit tetapi tertata lumayan rapi. Neneknya yang menemui aku. Sofi gak mau keluar dari kamar tidurnya. Bapaknya sudah pergi kerja di Jl Barito. Ibu kandungnya sudah meninggalkan rumah ini sejak Sofi masuk TK-A. Beberapa tahun lalu bapaknya kawin lagi dengan seorang perempuan yg 2 anaknya juga siswa SD Tabita. Ibu baru ini cerewet dan sering memarahi Sofi yg sering ngluyur malam hari. (Gak tahu aku apakah Sofi gak betah di rumah gara2 ibu tirinya galak). Baru saja ibu barunya bercerai. Mungkin, cerita neneknya, Sofi tidak mau sekolah karena dia masih sekelas dengan mantan saudara tirinya.

          "Ya mau bagaimana lagi?" kata neneknya. "Apa saya harus memukuli Sofi? Dia 'kan sudah besar?"
          "Disabari, Bu," kataku waktu berpamitan. "Hanya tinggal beberapa bulan ujian. Kalau sudah dapat ijasah SD mau ngaso sekolah setahun dua tahun gapapa."

          Gapapa apanya. 7 bulan setelah Ambar lulus SD dan tidak ke SMP kepseknya bilang kepadaku, "Pak Pur, gak besuk Ambar? Sebentar lagi bpk bakal punya keponakan lho."
          "Keponakan?"
          "Iya. Ambar sudah hamil 4 bulan."
          "Ngapain saya besuk dia. Salah2 saya dituduh punya saham malah repot."

          Dua tahun sebelum kasus Ambar, ada seorang siswi lulusan SD Tabita yg lalu ke SMP dan baru kelas 7 sudah dinikahkan karena terlanjur hamil.

          Mencari dana dan kemudian membagi santunan beasiswa memang susah. Tetapi terlebih susah menyadarkan orang tua siswa pentingnya pendidikan dan pembina karakter anak2nya. Terlebih lagi di pemukiman marginal di mana kawin cerai di antara penduduknya gak kalah cepatnya sama kaum selebritis yang kemudian dijadikan model oleh generasi penerusnya.

                                                          (11.01.2015)

** gambar diambil lewat google sekedar ilustrasi.

manusia biru's picture

pendidikan vs karakter

Susah-susah gampang sih untuk menempatkan pentingnya pendidikan dan pembinaan karakter dalam porsi yang sama. Biasanya, kalau ortunya kaya ... pendidikan nggak masalah, biaya sekolah semahal apa pun nggak masalah, tapi pembinaan karakter ... ya nanti dulu ... sibuk banget nih pekerjaan hari ini, besok, lusa, sampai akhir minggu. Belum lagi kalau ada rapat/meeting ini itu.

Kalau ortunya miskin ... pendidikan bisa jadi masalah, biaya sekolah ngadat ... bahkan nggak bisa bayar, tapi pembinaan karakter ... juga belum tentu bisa dilakukan dengan baik. Ortunya sibuk cari duit (masih mending). Ada juga yang ortunya masih mikirin gimana cara dapetin duit ....

Sebelum ke karakter anak, karakter yang dimiliki ortunya juga mempengaruhi banget