Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

M E R E N U N G

sarlen's picture

Karena itu
baiklah kita berusaha untuk masuk ke dalam perhentian itu, supaya
jangan seorangpun jatuh karena mengikuti contoh ketidaktaatan itu juga.

(Ibrani 4 : 11)

Ada
sebuah kebiasaan, disadari atau tidak, sesaat waktu setelah menjalani
satu jejak peristiwa kehidupan, seseorang pasti melalui masa-masa
perenungan, suatu masa waktu untuk mereview kembali setiap alur
peristiwa yang baru saja dilewatinya.

Pada dasarnya,
perenungan dilakukan untuk mendapatkan satu hikmah, yaitu benang merah
peristiwa, yang berisikan point-ponit permasalahan (kenapa itu terjadi,
kenapa itu bisa terucapkan), dan pada akhirnya menjadi sejumlah
kesimpulan, yang kelak dipakai sebagai bahan pelajaran kehidupan.

Hikmah
memang diperoleh setelah seseorang melalui satu masa perenungan, dimana
hakekat dari sebuah hikmah ada dua hal : adanya hal-hal yang baik dan
adanya hal-hal yang tidak baik.

Artinya : selama prosesi
peristiwa itu terjadi, ada sisi positif dan sisi negatif yang
mengimbuhi seluruh atau sebagian dari alur peristiwa yang telah
dijalani. Dalam mendapatkan hikmah tersebut, sesungguhnya manusia
belajar untuk mengetahui mana perbuatan serta perkataan yang benar, dan
mana perbuatan serta perkataan yang salah.

Dalam menganalisa
suatu permasalahan, setiap orang memiliki standar penilaian yang
berbeda-beda, terutama dalam menentukan, menempatkan, atau memposisikan
suatu perbuatan serta perkataan (baik yang diperbuat atau diucapkan
sendiri maupun oleh orang lain), apakah mengandung kebenaran, ada sisi
pembenaran, atau memang sesuatu hal yang terjadi itu merupakan sebuah
salah.

Pola penentuan mana yang baik dan mana yang salah
tersebut, sangat tergantung pada bagaimana logika manusia mampu
memilah-milah serta meyakini bahwa apa yang diperbuat dan diucapkannya
telah berada pada konteks serta koridor yang benar.

Ada
kecenderungan, sebuah penilaian yang diri seseorang lakukan akan
mendapatkan kesamaan pandangan dengan orang lain. Namun itu bukan
berarti bernilai absolute.

Perbedaan bisa saja terjadi. Ketika
seseorang meyakini bahwa peristiwa, kejadian, atau situasi yang
dihadapi telah dijalani adalah sesuatu hal yang benar, namun orang lain
justru menganggapnya sebagai sebuah kesalahan atau suatu tindakan yang
kurang tepat dan tidak perlu terjadi.

Yaaa...terkadang, sesuatu
yang dianggap sesuatu itu baik menurut orang lain, belum tentu
mendapatkan penilaian baik pula oleh pihak yang lainnya, karena memang
standar penilaian dan pola ekspetasi masing-masing orang adalah
berbeda-beda. Disini, adanya nilai-nilai yang mengandung sesuatu hal
yang prinsipil, terkadang membuat seseorang sulit menerima pandangan
orang lain.

Pada point ini, hati nurani (terutama yang berkaitan
dengan hal-hal yang prinsip) dan logika pemikiran manusia yang
sewajarnya, memiliki satu peranan besar untuk bisa memastikan hingga
akhirnya dapat meyakini, bahwa satu tindakan atau ucapan benar,
tidaklah mungkin salah.

Bisa dibilang, sesuatu hal yang sudah
dianggap sebagai sebuah prinsip, sulit untuk digoyahkan oleh
pernyataan-pernyataan lain yang mempertentangkannya, meskipun
terkadang, prinsip yang dipegang teguh tersebut merupakan sebuah
prinsip yang salah.

Tapi, yang tepat itu adalah : we must stay
dan berpegang teguh pada nilai-nilai prinsip yang suka melakukan
perbuatan dan mengucapkan kata-kata yang baik serta benar. Why? Karena,
apabila kita menginginkan agar arah kehidupan kita menjadi lebih baik,
maka sudah selayaknya kita menyerap hal-hal yang baik dan membuang atau
tidak melakukan lagi hal-hal yang buruk, di masa yang akan datang.

Ketika
satu hikmah baik telah didapatkan (tidak hanya segala sesuatu yang
terkait dengan masalah nilai-nilai moral), maka yang terjadi adalah :
manusia itu sendiri, pada saat menghadapi peristiwa yang lain suatu
saat kelak, ia sudah dapat mengetahui serta menentukan bagaimana
cara-cara bersikap untuk menyelesaikan masalah atau untuk menghadapi
orang lain dengan cara-cara yang arif, tepat dan bijaksana.

Saat
konteks kehidupan seperti itu sudah dapat dilakukan, dalam menjalani
hidup, seseorang tidak lagi mencari sisi pembenaran melainkan
kebenaran. Apabila manusia itu tetap saja menerapkan konsep hidup yang
cenderung mencari pembenaran, maka dimensi berpikir yang diterapkannya
telah berada pada sisi negatif dari mencari hikmah pada sebuah
peristiwa yang dihadapinya.

Kenapa begitu? Karena konsepsi dari
nilai pembenaran, adalah menutupi kesalahan atau membenarkan tindakan
atau perkataan yang tidak benar sebagai sebuah kebenaran. Apabila itu
terus berulang, maka kehidupan seseorang telah berada pada dimensi
berpikir yang suka mencontoh hal-hal yang tidak benar.

Bukankah
didalam Firman Tuhan juga dikatakan agar kita mengatakan yang benar
adalah benar dan yang salah adalah salah? Dalam kita belajar dari
hikmah dari peristiwa yang pernah kita alami, sudah sepatutnya kita
mencontoh atau menteladani tindakan serta perkataan yang benar dan
tidak mencoba-coba untuk mengaminkan sesuatu yang salah.

Ketika
seseorang sudah banyak belajar dengan terus menempa dirinya sendiri
untuk melakukan atau bisa berbicara dengan baik-baik dan benar, maka
seseorang itu sudah tahu bagaimana menjalani kehidupan ini dengan baik
serta benar pula.   

The other theme, is : orang lain juga bisa
menilai kita. Mau tidak mau, orang lain juga bisa menyampaikan
penilaian. Mencoba bergerak menjalani kehidupan ini dengan mengambil
hikmah yang buruk, justru bisa membuat kita berada dalam satu koridor
tidak menyenangkan karena adanya penilaian orang lain.

Suka atau
tidak suka, munculnya penilaian dari orang lain (apakah baik atau
buruk) karena kita justru mengikuti hikmat yang buruk, bisa membuat
kita menjadi lambat dalam beradaptasi dengan lingkungan pergaulan dan
atas kerasnya kehidupan. Kita justru akan terperosok ke dalam lubang,
yang tentu saja, seharusnya kita hindari.

Mungkin saja kita
menggunkana alasan kalau itu terjadi karena diri kita lalai. Namun
kelalaian tidak bisa terus-menerus terjadi. Kealpaan itu hanya bisa
terjadi sekali-kali, bukan menerus. Apalagi sebuah tindakan bodoh yaitu
dengan mengulang kesalahan yang sama.

Merenung memang merupakan
satu masa waktu dimana seseorang dapat mengintrospeksi atau mengkoreksi
dirinya sendiri atau pola kehidupan yang dijalaninya. Merenung adalah
satu metode belajar bagi pematangan diri, yang mampu menyadarkan diri
kita apabila kita telah berbuat salah atau ada yang salah, dengan
menganalisanya setiap alur langkah yang telah  kita jalani.

Berpikir,
bertindak, dan berkatalah yang baik, itulah pelajaran berharga yang
bisa kita petik dari setiap hikmah yang kita dapatkan dari sebuah
peristiwa. Keep stay in that point...

Sediakan waktu (meski
hanya sepuluh menit) dalam satu lingkaran hari kita, untuk merenung,
karena setiap perenungan yang kita lakukan, kita belajar untuk hidup
benar. Merenunglah... jangan melamun saja...

God Bless You everybody...

.Sarlen Julfree Manurung