Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Suka duka memiliki telinga super

mujizat's picture

Banyak orang mempercayai bahwa Tuhan Maha Mendengar, namun sempatkah orang berpikir suka duka Tuhan mempunyai telinga dengan kemampuan super, yang dapat menangkap setiap suara, dari mulai suara semut (barangkali) sampai suara halilintar dapat Dia dengar tanpa distorsi, atau dari suara “infrasonic” sampai “ultrasonic” dapat Dia dengar dengan jelas. Muji berpikir bahwa “bandwidth” telinga Tuhan, dari sisi amplitude, tentulah sangat lebar, sehingga level suara yang sangat lemah, mungkin di bawah -100 dB masih tetap dapat didengar-Nya sampai ke suara terkeras, yang di atas +100 dB juga tetap didengar-Nya. Sebagai pembanding, manusia diberi kemampuan menangkap suara terlemah dengan ukuran 0 dB, setara sebuah bisikan atau desah lembut, dan masih mampu menerima suara terkuat sedikit di atas +100 dB yang setara suara pesawat terbang (jet) sedang take-off.

Tetapi Muji yakin bahwa besar kecilnya amplitude suara tidak menjadi sesuatu yang mengganggu perasaan Tuhan, melainkan “isi” atau contents atau informasi yang terkandung dalam setiap suara lah yang sepertinya dapat berarti “hiburan” atau sesuatu yang menyenangkan bagi Tuhan, namun dapat juga berarti “tusukan” yang dapat memberikan rasa sakit di hati Tuhan.

Mencoba memahami perasaan Tuhan ketika mendengar “contents” dari suatu perkataan, frase atau kalimat, khususnya yang dilontarkan oleh mulut manusia, sepertinya respons manusia dapat dipakai sebagai pembanding, mengingat manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah dalam beberapa ukuran tertentu.

Normalnya, kata-kata serapah tidak akan diucapkan ketika hati seseorang sedang merasa damai, merasa sejahtera, merasa bahagia, sukacita. Seandainya di bawah kondisi yang baik seperti itu, terlontar juga kata-kata jorok ataupun serapah, maka Muji melihat dua kemungkinan. Pertama, ia sudah terbiasa mengucapkan kata-kata seperti itu. Kedua, ia sedang bercanda. Sebaliknya, di saat hati seseorang tidak sedang merasa damai, sedang tersinggung, sedang marah, sedang kecewa, sedang iri hati, sedang sakit hati, sedang panas hati, maka (kebanyakan) akan seperti merasakan sebuah dorongan untuk “menyerang” orang yang dia benci dengan serentetan sumpah serapah. Muji dapat menambahkan, bahwa seseorang (bukan Tuhan) yang tidak “sehat rohani” akan mempunyai kans yang lebih banyak untuk melakukan itu.

Terlepas dari apakah seseorang memang pantas untuk menjadi sasaran sebuah sumpah serapah, atau hanya salah sasaran, namun setiap orang yang kepadanya tertuju sumpah serapah, akan dapat menimbulkan efek siksaan di hati. Tergantung “daya tahan” orang bersangkutan. Jika kebetulan orang itu memang sehat rohani, maka gangguan itu mungkin tidak akan signifikan. Contoh yang nyata dapat dilihat pada tokoh Stefanus yang menerima lebih dari sekedar kata-kata, melainkan siksaan fisik juga, namun karena Diakon ini sehat rohani, oleh sebab penuh Roh Kudus, maka serapah dan siksaan fisik tidak membuatnya sakit hati, bahkan dengan tulus memintakan ampun untuk para penganiaya sebelum dia mati sebagai martyr. Muji dapat memahami kondisi Stefanus, sebagaimana fenomena damaisejahtera yang melebihi segala akal yang pernah dialami Muji di blog Muji “Ketika roh bermanifestasi” yang mungkin saja ada orang yang menganggap blog itu sebagai “hoax”.

Lalu bagaimana dengan perasaan Tuhan ketika Beliau mendengar perkataan manusia?

Ketika sebuah perkataan buruk diucapkan oleh manusia, khususnya yang “menyerang-Nya” , yang mencela-Nya, yang menghina-Nya, menghujat-Nya, maka secara pasti Dia akan mendengar itu semua, karena Dia Maha Mendengar. Jika sejuta orang di waktu yang sama sedang mencela Tuhan, maka sejuta tusukan juga yang sedang dirasakan Tuhan di menit tersebut. Jika saja Tuhan tidak mengendalikan diri, maka mudah saja bagi-Nya untuk menghukum orang-orang tersebut, saat itu juga. Namun kesabaran Tuhan mencegah itu, yang mungkin di salah pahami banyak orang sebagai: “Tuhan tidak ada”, atau “Tuhan tidak mendengar”. Namun yang perlu kita pahami, bahwa setiap “serangan” kepada Tuhan akan tercatat dengan baik.

Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman(Matius 12:36)

Sebaliknya, setiap perkataan yang berisi pujian, pengagungan, pemujaan dan ucap syukur kepada Tuhan adalah laksana persembahan yang membahagiakan di hati Tuhan.

Menyadari bahwa Tuhan mempunyai telinga super tajam, biarlah membuat kita semakin cermat menggunakan baik mulut maupun hati kita, supaya bukan “serangan” yang kita naikkan kepada Tuhan, melainkan segala perkataan tulus yang baik, yang menyenangkan dan membuat Tuhan merasa nyaman. Rajin mempersembahkan sesuatu yang harum kepada Tuhan, Muji yakini akan membuat kita semakin “dikenali” Tuhan. 

__________________

 Tani Desa