Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

PDT EME-2 – KETURUNAN CIU PEK TONG

Purnomo's picture

               Bpk Soemardiyono badannya bukan kecil, tetapi langsing. Gerak tubuhnya masih lincah. Waktu menyalami istrinya aku bertanya “Ibu pensiunan pegawai negeri?”
              “Yg pegawai negeri itu istri Bapak yg dulu. Saya istri sambungan, hanya bidan desa.”
              Begitu duduk di kursi tamu istrinya segera menyajikan minuman air mineral cup, sesisir pisang dan setandan kecil buah anggur. Padahal dia belum tahu tamunya ini datang bawa berkat atau laknat. Kepada Pak Mar aku menjelaskan maksud kedatanganku ke gerejanya.

              “Lepas dari lembaga gereja atau yayasan, saya dan teman-teman prihatin atas fasilitas hidup pendeta pedesaan. Dua tahun yang lalu saya menemukan masih ada hamba Tuhan yang hanya menerima honor 400 ribu setiap bulan.”

              “Biar di desa mana ada pendeta yang dapat honor 400 ribu?” sanggahnya.
              “Pendeta Lukas tadi cerita dapat honor 1 juta rupiah. Tetapi rekannya sesinode – Pdt Puji – di desa Ndelik 2 tahun yang lalu hanya dapat 500 ribu sehingga saya kirim donasi 400 ribu setiap bulan.”
              “O ya? Cuma segitu? Kenal dengan Puji yang pindah ke Gresik? Dia itu sudah saya anggap anak sendiri. Gereja Ndelik itu berdiri tahun 1973.”
              “Kok Bpk tahu tahun berdirinya?”
              “Itu gereja kedua yang saya rintis.”

              “Lalu yang pertama?”
              “Di kampung kelahiran saya, Sekaran, tahun 1968, 6 kilometer dari Ndelik.”
              “Dan Gereja Dadimulyo ini yang ketiga?”
              “Betul, gerejanya Pak Lukas itu berdiri tahun 1982.”
              “Bpk mendirikan gereja di sini karena orang sekampungnya sudah Kristen semua?”

              “Setelah saya menikah dengan Ibu ini, saya pindah ke kampung ini. Dia satu-satunya orang Kristen di sini, anggota GKJ. Lalu saya mulai ‘nitili’ tetangga satu persatu. Sekarang hampir seluruh orang di kampung ini anggota gerejanya Pak Lukas.”

              “Maaf Pak Mar, kalau Bpk kelahiran desa Sekaran dan dari etnis lokal, apalagi lahir tahun 1931, saya perkirakan Bpk ini tidak lahir dalam keluarga Kristen.”
              “Betul sekali. Jelek-jelek begini saya ini keturunan ke-16 Sunan Fatah Demak.”
               Seingatku yang disebut Sunan Fatah adalah Raden Patah raja pertama Kerajaan Demak yang konon ibunya orang Tionghoa Palembang.
              “Saya juga Pak Mar, jelek-jelek begini saya ini masih keturunan ke-12 Ciu Pek Tong pesilat kondang di daratan Tiongkok jaman dulu.”
               Jan purnomo pengecut tenan, beraninya ‘nylekit’ hanya kepada pendeta tuwir. Sama pendeta muda beraninya cuma a-o-a-o saja, takut ‘dikaploki’.
               Biar tidak kelamaan dia bengong aku bertanya, “Lalu bagaimana ceritanya sampai Bpk jadi Kristen?”

               Kesukaan tiyang sepuh adalah ‘ditanggap’ - disuruh bercerita tentang dirinya. Kesukaanku ‘nanggap’ untuk ‘kulakan’ cerita. Klop deh. Maka berkisahlah beliau sementara aku berkonsentrasi menyimaknya.

               Waktu dia masih di Sekolah Guru, guru agama hanya ada 1. Suatu ketika guru agamanya diganti oleh Ibu Siti yang datang dari Bukit Tinggi. Karena sekelas nilai agamanya paling top, dia dipanggil ke depan kelas. Ibu Siti mengucapkan sebuah kata dalam bahasa Arab dan dia disuruh menulis di papan tulis kata itu dalam aksara Arab. Dia tidak bisa karena guru agama yg lama menulis ucapan Arab dengan aksara Latin agar siswanya mudah menghafalnya.
              “Nilai ulangan selalu 9, 10, 9, 10, tetapi menulis kata Arab yang paling sederhana saja tidak bisa.”
               Dia tidak bisa menjelaskan mengapa dia tidak mengenal aksara Arab karena jaman dulu siswa tidak boleh bicara kepada guru kecuali ditanya. Apalagi ngomong OOT, bisa dijemur seharian di lapangan sekolah.
              “Saya dipermalukan di depan kelas. Dikata-katai entah berapa lama. Hati saya sakit, sakit sekali.”
          
               Suatu hari kepsek masuk ke kelasnya bersama 2 orang pria. Yang satu berjubah putih berkalung salib besar. Temannya berbaju putih dan berdasi. Kata kepsek mulai hari ini guru agama ditambah 2: Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Siswa diperbolehkan pindah guru untuk pelajaran agama.
              “Gara-gara sakit hati saya ikut pindah. Saya pilih yang Protestan karena biasanya yang memrotes lebih pintar daripada yang diprotes.” (Hahahaha yang Katolik jangan ikutan sakit hati ya)

               Lepas dari Sekolah Guru pada tahun 1955 dia sudah mengajar di 5 SD di daerah Lampersari Semarang sebagai – istilah sekarang – guru wiyata. Subuh gelap dia sudah mengayuh sepedanya berangkat dari Karangawen ke Semarang. Dia hidup berkecukupan sehingga bisa menikah. Dan dia mulai menekuni kejawen, mistik dan klenik. Kok begitu?
   
              “Inilah yang harus diingat oleh setiap penginjil. Kalau seorang sudah terima Yesus, pekerjaannya belum selesai. Sebab, ybs bila menghadapi masalah hidup dan tidak mampu menemukan solusinya dalam keyakinannya yang baru karena pengetahuannya masih terbatas, maka dia akan mencari jawaban di ajaran yang lain. Camkan itu. Setiap jiwa baru perlu pendamping, tidak bisa ditinggal begitu saja.”

               Dan pada tahun 1966 datang masalah hidup yang bagai angin beliung melumat Pak Mar. Oleh pemerintah dia dianugerahi gelar tahanan politik selama 2 tahun gara-gara halaman rumahnya yang luas dipergunakan latihan tari oleh organisasi guru yang berafiliasi dengan partai terlarang.

              “Lebih dari pemenang” adalah sebuah slogan yang sering diteriakkan dari mimbar tanpa si pengkotbah menjelaskan bagaimana prosesnya dan berapa ‘biaya’nya untuk menjadi seperti itu. Bahkan aku belum pernah mendengar seorang pendeta mengajarkan bagaimana bersikap bila seseorang gagal menjadi “lebih dari pemenang”. Cerita Pak Mar selanjutnya tidak menunjukkan dia ingin seperti itu. Dalam keterpurukannya dia hanya berusaha mati-matian bertahan hidup tanpa kehilangan iman kepada Tuhan Yesus.

Dia bukan pemenang,
dia seorang pejuang
yang pantang
berhenti berperang.

                                                                 (Sabtu 29.08.2015)

** Nama orang dan kelurahan disamarkan.