Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Pendeta: panggilan dengan profesionalisme

Purnomo's picture

Sekitar bulan April 1980 saya kehilangan sepeda motor waktu menghadiri persekutuan mahasiswa di gereja. Ini satu-satunya yang saya punya. Berbagai Komisi meminta bantuan ke Majelis Gereja, tapi yang ke rumah saya waktu itu almarhum Boksu yang kemudian bilang ke saya, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Bacalah Kitab Ayub.” Ini yang tak bisa saya lupakan sampai mati (bener lho!).

 
          Itulah satu di antara sekian kesaksian dalam buku kesan dan pesan yang diterbitkan dalam rangka ulang tahun gereja saya tahun 2010 ini yang membuat saya tertawa. Penulisnya begitu selesai kuliah pindah ke Surabaya sehingga sejak itu saya tak lagi bertemu. Tetapi bila hari ini di jalan saya bertemu dengan perempuan ini pasti saya bisa menengarainya karena saya tak pernah lupa akan matanya. Matanya sipit sekali sehingga saya tak pernah tahu ketika duduk diam dia sedang tidur atau tidak. Ia bukan dari keluarga berada sehingga kehilangan sepeda motor bukan masalah kecil baginya.
 
          “Boksu kita itu bagaimana sih?” begitulah yang dia adukan kepada teman-temannya saat itu. “Lha wong sudah saya lapori maling yang mengambil kok dibilang Tuhan yang memberi Tuhan yang mengambil. Apa kalau kehilangannya di gereja berarti Tuhan yang mengambil?”
 
          Saya tidak tahu maksud penyusun buku memuat kesaksian di atas. Tetapi bagi mereka yang tidak mengenal Boksu gereja ini bisa berpikir, “Pendeta ini tidak profesional. Di mana sih sekolahnya?”
          “Memangnya jadi pendeta harus sekolah terlebih dahulu?” Anda boleh heran mendengar pertanyaan semacam ini. Tetapi saya pernah mendengarnya. Penjelasannya? Pendeta itu hanya bertugas menyampaikan Firman Tuhan. Kalau Allah berkenan, Ia bisa mengirim Roh Kudus atau Yesus untuk mengajar kita.
 
          Seorang yang mengaku diajar langsung oleh Tuhan Yesus ketika memimpin kebaktian penghiburan di sebuah rumah teman memberi penyataan yang membuat kami terperanjat. “Saya ditemui langsung oleh Tuhan Yesus karena Allah mengasihi saya. Yesus sendiri yang membimbing saya mengerti Alkitab. Orang yang dikasihi Allah paling tidak sekali dalam hidupnya pasti pernah ditemui-Nya.” Belum reda keterkejutan kami, ia berkata “Orang yang mengasihi Tuhan Yesus tidak mati muda.” Saya yakin walau menyebut dirinya hamba Tuhan, orang ini belum membaca tuntas Alkitabnya apalagi pernah sekolah teologi.
 
          Seorang pendeta harus memiliki profesionalisme bila ingin berhasil memenuhi panggilan Tuhan dan tidak mempermalukan Tuhannya. Bagi saya ada 3 syarat dasar untuk bisa disebut profesional. Yaitu,
 
1* Memiliki pengetahuan pada bidang kerjanya.
          Karena sekolah nabi yang dirintis oleh sebuah denominasi gagal, maka mau tak mau pengetahuan tentang Tuhan harus dipelajari paling tidak selama 3 tahun di sekolah teologi atau seminari yang sudah ada. Memang ada sekolah yang hanya menuntut waktu lebih singkat, 1 tahun bahkan 6 bulan. Tetapi sekolah singkat itu sebaiknya hanya untuk mereka yang akan bertugas memberitakan Injil, bukan menggembalakan jemaat. Kalau terpaksa kelak harus menjadi gembala – seperti halnya Boksu saya itu – lebih tepat bila di jemaat kecil atau kota-kota kecil di mana masalah jemaat tidak komplek.
 
          Pernyataan saya di atas tidak bermaksud merendahkan mereka yang belajar teologi kilat. Jika Anda pergi ke kota kecil dan menemui sebuah gereja, cobalah mewawancarai jemaatnya tentang sejarah berdirinya gereja mereka. Para penginjil yang tidak bergelar sarjana inilah yang meletakkan batu penjuru gereja-gereja ini. Mungkin mereka kemudian belajar lagi untuk mendapatkan sarjananya dan menjadi gembala gereja ini. Bisa juga mereka tidak Anda temui karena mereka kemudian menyerahkan jemaatnya kepada para sarjana teologi sedangkan mereka pindah ke tempat lain untuk merintis gereja baru.
 
         Ketika tinggal di Palembang sekitar tahun 1992 saya mengenal seorang pensiunan guru sekolah negeri yang dengan kendaraan umum berkeliling dari desa ke desa memberitakan Injil. Modalnya hanya belajar teologi di gerejanya beberapa bulan dan uang pribadinya untuk biaya akomodasi dan transport. Saya memberinya video player. Cerita puterinya yang rekan GSM saya, “Bapak berhari-hari keliling desa sambil memanggul video player. Kalau capek ia numpang mengaso di teras rumah penduduk. Kalau ia melihat rumah itu punya tivi, ia menawari video playernya untuk memutar filem-filem hiburan umum sementara ia rebahan di teras. Kalau sudah kehabisan filem umum yang memang tidak seberapa, barulah Bapak memutar filem rohani sambil memberi penjelasan.”
          Suatu hari pensiunan ini menemui saya. Dengan wajah berseri-seri ia memperlihatkan foto baptisan 2 keluarga. Ia menyerahkan keluarga ini ke gereja yang terdekat. Empat bulan berkeliling desa dengan hasil memenangkan 2 keluarga bagi Tuhan Yesus adalah sukacita yang teramat besar baginya – seorang yang tidak bergelar sarjana teologi.
 
          Tetapi jangan sekali-sekali berkotbah di kota besar tanpa pengetahuan teologi yang memadai. Waktu pengkotbah api bersaksi di gereja saya, ia jujur mengatakan belajar teologi hanya beberapa bulan. Sekolah teologi itu hanya berisi 3 mahasiswa, termasuk dirinya. Waduh, pasti lokasi sekolah itu di tengah sawah, pikir saya. Dan betul juga. Selama ia mengkotbahkan alam gaib dan masa lalunya yang gelap, ia tidak pernah membaca ayat Alkitab untuk mendukung pernyataannya. Pendeta dan penatua jadi repot ketika para aktivis kemudian mempertanyakan atas dasar apa pengkotbah ini diundang berbicara di gereja kami. Karena, beberapa pernyataannya menabrak doktrin utama gereja.
 
          Pada dekade 1960 pengetahuan yang dimiliki Boksu saya cukup memadai. Jemaatnya belum kritis. Ajaran sesat tidak sedahsyat sekarang ini. Tetapi dari “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Bacalah Kitab Ayub” jelas bahwa ia tidak memiliki pengetahuan konseling sehingga membuat seorang jemaatnya jengkel. Namun dalam hal memberitakan Injil semua orang salut. Jumlah jemaat terus bertambah karena pengetahuannya tentang penginjilan.
 
          Setelah bergelar sarjana, seorang pendeta tidak patut berpuas diri atas pengetahuan teologi yang dimilikinya. Ia harus terus belajar. Jika dulu pendeta boleh menganggap dirinya satu-satunya orang di gerejanya yang mengerti bahasa Yunani dan Ibrani, sekarang kaum awampun dengan mengandalkan teknologi informasi bisa menguji apakah kata-kata kuno yang diucapkannya itu tidak salah arti. Jika dulu ia bisa memimpin Bible Study dengan tenang, sekarang ia harus betul-betul mempersiapkan bahan sebaik-baiknya karena – nah ini kurang ajarnya kaum awam – jemaatnya yang hadir ada yang membawa laptop. (Dalam hal ini Yayasan SABDA punya andil besar dalam mengganggu kenyamanan hidup pendeta.) Jika dulu yang disebut penyesat adalah Saksi Yehova dan Mormon yang kasatmata, sekarang penyesatnya jauh lebih banyak dan tidak kasatmata karena bisa saja datang dari jemaatnya sendiri yang mencoba merasionalisasikan segala sesuatu.
 
          Menyadari perlunya terus menerus menambah pengetahuan pendeta, beberapa denominasi memberi uang tunjangan pembelian buku bagi pendeta-pendetanya. Sayang sekali bila fasilitas ini ditebas mentah dalam arti uangnya diambil tetapi buku tidak dibeli. Jangan juga membuat bingung auditor dengan menyetorkan nota tanda bukti pembelian buku yang berasal dari toko besi. Yaaaa, siapa tahu pemilik toko besi itu menjual buku milik pribadinya berjudul Teologi Kontemporer. Tidak setiap warga jemaat seperti yang di gereja Yenti gemar menraktir pendetanya, bukan?
 
2* Memiliki ketrampilan mengaplikasikan pengetahuannya.
          Seorang fresh graduate punya idealisme yang membuncah sampai ubun-ubun. Karena itu saya tidak merasa direndahkan setiap melakukan rekrutmen karyawan pemasaran baru bertemu dengan yang berujar, “Saya akan membuat perusahaan ini jauh lebih baik daripada sekarang.” Begitu mereka masuk masa percobaan, saya menempatkan mereka di pekerjaan yang berada beberapa tingkat di bawah jabatan yang kelak akan mereka tempati. Tugas pertama menjadi supir atau pembantu salesman. Bagian ini biasa kami sebut mengenal lingkungan pekerjaan.
 
          Di sinilah saya bertemu dengan Jack yang kisahnya pernah saya tulis di blog berjudul “Pintar Plus”.
          “SIM A aku punya, tapi aku ndak pacak nyetir, Pak”
          Ia punya pengetahuan mengemudikan mobil karena pernah kursus. Tetapi menyetir semasa kursus dengan lepas dari guru kursus jauh berbeda. Waktu kursus ia tahu tidak akan menabrak mobil lain karena ada rem kedua di kaki gurunya. Tetapi sekarang bila ia lengah ia akan mengalami kecelakaan dengan akibat-akibat yang harus ditanggung sendiri.
 
          Bila berbincang-bincang dengan fresh graduate teologi yang tampak tidak merendahkan orang lain, saya memberanikan diri menganjurkannya untuk paling tidak 3 bulan tidak memberi macam-macam usulan kepada gereja. “Simaklah sekelilingmu dan pelajarilah. Apa yang baik juga yang buruk menurut penilaianmu, selidikilah mengapanya. Banyaklah bergaul dengan semua lapisan komunitas di sini dan timbalah pengalaman mereka.”
 
          Suatu kali dalam kebaktian penghiburan di rumah duka saya mendengar seorang pendeta berkotbah dengan mengambil topik Mazmur 90:10 “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.” Ayat ini merupakan favorit pendeta dalam ibadah kedukaan. Tetapi banyak pendengarnya yang melongo sementara mendengar kotbahnya. Bukan karena kotbahnya memesona, tetapi karena mereka tahu almarhum tutup usia pada usia 42 tahun. Kasihan istri dan anak-anaknya. Bukan terhibur, malah pecah tangis mereka. Dan sang pendeta makin bersemangat karena mengira kotbahnya tepat sasaran.
 
          Karena saya tidak berjemaat di gereja pendeta ini, saya tidak tahu apakah ada jemaatnya yang memberitahu beliau adanya kekhilafannya ini. Tentunya akan muncul pertanyaan “Apakah pantas seorang jemaat awam teologi mengingatkan pendetanya?” Keengganan ini akan membawa jemaat mengritik pendetanya melalui pergunjingan saja. Tetapi punya pendeta yang hobi khilaf juga ada enaknya kok. Jemaat tidak pernah kehabisan bahan cerita dan makin sering “persekutuan” saja.
 
          Sebelum lulus sekolah, setiap mahasiswa teologi pasti pernah ditugaskan di sebuah gereja untuk beberapa bulan. Ada sekolah yang mewajibkan mahasiswanya berada di sebuah gereja selama 1 tahun sebelum diwisuda. Penugasan ini adalah kesempatan untuk mengasah ketrampilan mengaplikasikan pengetahuan. Sayangnya – seperti yang pernah terjadi di gereja saya – begitu tiba, belum sempat menengok kamar tidurnya ia ditugaskan memimpin acara tutup peti mati. Lalu pendeta dan penatua menguburnya dengan tugas-tugas yang tidak berkeputusan. Mumpung ada tenaga gratis, mumpung ada orang penurut, mari kita peras habis-habisan.
          Memang ini juga sebuah pembelajaran. Tetapi yang jadi pertanyaan adalah apakah penugasan-penugasan ini dibarengi dengan bimbingan dan evaluasi? Membimbing berarti mendampingi, melakukan coaching bukan training. Tidak salah mengirim mereka sendirian ke acara tutup peti. Tetapi alangkah baiknya bila sebelum berangkat ia dibekali informasi lengkap tentang almarhum dan anggota keluarganya.
 
          Di pihak lain, ada juga mahasiswa yang tidak menjalankan tugas keluar ini dengan baik. Ia hanya mengejar setoran sehingga tidak melihat esensinya lagi. Seorang dari mereka bercerita kepada saya pernah membatalkan penugasannya di sebuah gereja kecil di pedesaan. Sebabnya? Ketika ia tiba di sana, ternyata penatua belum menyiapkan tempat pemondokan baginya. Ia diminta mencari sendiri. Merasa tidak dihargai dan diharapkan kedatangannya, tanpa memberitahu kepada yang berwenang ia langsung mencari kendaraan umum pulang kembali ke kampusnya. Padahal jaraknya lumayan jauh, 3 jam perjalanan.
 
          Ia menanyakan pendapat saya. Saya tidak menjawab karena sibuk berpikir seperti apa nantinya kalau ia sudah jadi pendeta. Setiap kali saya dipindahtugaskan oleh perusahaan ke kota lain, saya diberi kesempatan untuk pergi ke kota itu terlebih dahulu untuk mencari sendiri rumah kontrakan dan sekolah untuk anak-anak saya. Semua biaya perusahaan yang menanggung. Tetapi usaha mencari harus dilakukan sendiri. Suatu kali saya mempertanyakan mengapa bukan cabang perusahaan di kota itu yang menyediakan bagi saya. Atasan saya mengomel, “Kamu punya KTP, kamu bisa bahasa Indonesia, kamu punya pengetahuan komunikasi, apa lagi yang kurang? Jika dengan 3 modal itu kamu masih butuh bantuan, apa perusahaan tidak akan mempertimbangkan kembali jabatanmu sebagai kepala cabang?”
 
         Betul juga. Jika untuk mencari rumah kos saja sudah malas apalagi mencari jiwa yang terhilang bagi Yesus. Disebut “terhilang” karena terselip entah di mana, tidak kelihatan, susah lho menemukannya. Apalagi membawanya kembali ke jalan yang benar.
 
          Karena itu tak perlu diherankan apabila ada pendeta yang berpendapat tugas mereka hanyalah mengajar Firman Tuhan. Jadi MC tidak mau; diminta mengantar orang ke rumah sakit tidak mau; diminta majelis membantu menghitung uang kolekte tidak mau; diminta melatih paduan suara tidak mau. Sebetulnya tidak mau atau tidak mampu sih? Beruntunglah mereka bila majelis gerejanya tidak marah bila maunya (atau mampunya) hanya berkotbah. Tetapi payahnya, pendeta yang seperti ini biasanya kotbahnya juga sulit dicerna oleh pendengarnya. Mengapa? Karena lebih sering mengutip catatan kuliahnya sehingga bertaburan kata-kata Yunani, Ibrani, Inggris dan alurnya juga susah diterima oleh otak yang sudah lama lepas dari bangku sekolah. Tetapi kadang-kadang kotbahnya enak juga kok. Menanggapi komentar positip saya, pemuda yang duduk di sebelah berbisik, “Pendeta ini pasti rajin internetan karena apa yang dikotbahkan pernah saya baca di beberapa situs.” Nah loe!
 
          Seorang pendeta yang punya basis pelayanan di sebuah gereja tugas pokoknya adalah menggembalakan jemaatnya. Kegiatan mengajar merupakan bagian dalam tugas penggembalaan, tetapi bukan satu-satunya. Mereka harus mencontoh gembala domba di Israel yang berjalan di depan, bukan meniru tukang angon bebek di Kalasan yang berjalan di belakang. Sayangnya, di sekolah teologi mereka tidak pernah mendapat praktek lapangan menggembalakan ayam, kambing, domba atau kerbau untuk belajar mengaplikasikan pengetahuan mereka dalam berbagai keadaan khusus.
 
          Seorang pendeta harus mengaplikasikan pengetahuannya pertama-tama kepada dirinya sendiri agar ia mendapatkan pengalaman yang bisa melengkapi pengetahuannya. Tanpa pengalaman, apa yang dikotbahkan hanyalah sebatas konsep saja karena ia tidak bisa memberi contoh-contoh yang membumi. Bagaimana ia bisa menyemangati jemaatnya untuk memberitakan Injil bila ia sendiri tidak pernah melakukan penginjilan pribadi? Bagaimana ia bisa mengaplikasikan pengetahuan diakonianya kepada jemaatnya yang miskin apabila ia tidak pernah berkunjung ke rumah para marjinal ini dan duduk mendengarkan mereka berbicara? Bagaimana ia bisa memberi konseling pernikahan bila ia sendiri belum pernah menikah?
 
          Maaf, mohon pola kalimat-kalimat di atas tidak dipergunakan dengan “Bagaimana ia bisa memberi konseling kepada mereka yang hamil di luar nikah apabila ia belum mengalami sendiri.”
 
3* Memiliki etos kerja.
          Sejak bekerja sebagai pembantu salesman sampai bertugas sebagai manajer senior pemasaran, saya punya etos kerja tinggi. Saya tidak pernah terlambat masuk kerja atau pulang lebih awal bahkan di rumah masih bekerja menyelesaikan tugas administrasi; tidak pernah absen bila tidak betul-betul sakit dan ini sangat jarang terjadi; taat kepada peraturan perusahaan; menjaga citra perusahaan dengan tidak melakukan sesuatu yang tercela – baik di luar jam kerja apalagi dalam lingkungan pekerjaan; mendidik bawahan tanpa kuatir kelak seorang dari mereka menjadi atasan saya; memberi penilaian bawahan dengan jujur dan mengabaikan ancaman-ancaman yang bisa muncul sebagai akibatnya; tidak pernah menolak tugas dan menyelesaikannya tepat waktu kecuali ketika akan ditugaskan selama sebulan di Sri Langka karena lebih takut kepada Macan Tamil yang sedang mengganas daripada dipehaka.
 
          Pasti Anda akan bertanya nama perusahaan tempat saya bekerja. Saya tahu apa yang ada dalam benak Anda. Anda betul. Bagaimana bisa seorang punya etos kerja bila gajinya hanya cukup untuk hidup 2 minggu; bila tidak ada tunjangan kesehatan yang layak bagi dirinya dan anggota keluarganya; bila jenjang karirnya tidak jelas; bila tidak ada reward and penalty; bila tidak ada komitmen perusahaan untuk mencerdaskannya dengan mengirimnya ke seminar-seminar secara berkala; bila tidak ada aturan kerja yang ditulis rinci dan jelas sehingga main kayu antarkaryawan bisa ditiadakan.
 
          Begitu pula dengan pendeta, bukan? Bagaimana bisa seorang pendeta memiliki etos kerja bila fasilitas dan kenyamanan kerjanya tidak seperti yang saya miliki? Mencoba mencari jawaban atas pertanyaan ini akan menjebak kita kepada sebuah kesalahan fatal yang mengakibatkan yang bersangkutan tidak akan pernah menjadi pendeta yang profesional. Sebab, yang harus dimiliki oleh seorang pendeta bukan etos kerja tetapi etos pelayanan.
 
          Mengapa sekarang ini ada kecenderungan pendeta menyebut dirinya hamba Tuhan? Menyenangkan domba-dombanya bila kecenderungan ini didasari oleh semangat menghamba karena ia akan melayani mereka tanpa membedakan strata pendidikannya, kemapanan ekonominya atau kemuliaan pekerjaannya. Tetapi memerihkan hati bila kemudian ia menjelaskan, “Memang pekerjaan pendeta itu melayani jemaatnya. Tetapi ini tidak otomatis menempatkan jemaat itu sebagai atasan pendetanya. Atasan pendeta adalah Tuhan. Karena itu pendeta disebut hamba Tuhan, bukan hamba jemaat.”
 
          Siapa yang waspada tentu tahu arah maklumat ini. Sopir Pak Lurah tentu beda fasilitasnya dengan sopir Pak Presiden. Petugas sekuriti SD Negeri tentu beda gajinya dengan petugas sekuriti Istana Negara. Mengutip respon saya terhadap komen Bang Rusdy dalam blog “Pendeta: profesi atau panggilan?”:
          Pembantu rumah tangganya Presiden SBY tentu fasilitasnya beda dengan PRT-nya Rusdy (itu pun kalau ia punya). Pendeta itu ibarat PRT-nya Presiden yang ditugaskan melayani Rusdy. Biar Rusdy bepergian ke sana ke mari naik sepeda, PRT-nya datang ke rumahnya naik mobil sedan. Wow, keren!
 
          Tentunya PRT ini tidak boleh bekerja asal-asalan hanya karena yang dilayaninya jauh di bawahnya dalam banyak hal. Lalu bagaimana jika PRT ini tidak bekerja dengan baik? Rusdy pasti akan mengirim surat pengaduan kepada Bapak Presiden. Lha kalau yang bekerja asal-asalan itu pendeta, piye jal? Tidak ada salahnya kita juga mengirim surat pengaduan kepada Tuhan yang menjadi atasannya. Jangan lupa mengirim tembusannya kepada yang bersangkutan.
 
          Pernah melakukannya?
 
(the end)
smile's picture

Pak Purnomo : DIBUKA KELAS PENDETA

sATU lagi pengetahuan dan wawasan bertambah dari blog pa Purnomo,....Emang asik di Sabda Space ini,..banyak guru,..gratis pula...hiii..

Biar kito dak sekola alkitab, pacak belajar be di pasar...banyak pulo guru yang ngajarnyo......Gratis pulo...

Apo pendeta pendeta itu duruh belajar Be Di pasar klewer, Pa....hihihihi

DIBUKA PENDAFTARAN Homeschooling PENDETA

GELAR setara dengan STH,PDT,MDiv, DSB DE EL EL

Syarat :

-Memiliki Fasilitas Internet
-Memiliki komputer / laptop
(jika tidak segeralah ke WARNET)

-Jam belajar suka suka sendiri,..(KARENA GURU PENGAJAR SELALU STANDBY DAN SIP SIP an..(BAHKAN SAMPAI JAM 4 PAGI PUN MASIH BISA BELAJAR)

Menyediaakan waktu tentunya, dan membuka pikiran dan niat untuk belajar
(Urusan praktek emang gue pikirin...)

SEKIAN. PENDAFTARAN DIBUKA SELAMANYA....TANPA BATAS WAKTU

 

 

sincerely,
smile

*Penakluk sejati adalah orang yang mampu menaklukkan dirinya sendiri*

 

__________________

"I love You Christ, even though sometimes I do not like Christians who do not like You include me, but because you love me, so I also love them"

Purnomo's picture

Smile, lemak nian

          kalau UT juga buka jurusan teologi Kristen dengan gelar STh (Sok Tahu) dan MMin (Mung Minteri).

Salam.

 

Rusdy's picture

Surat Komplen Jemaat

Kalau saya harus menulis surat kepada atasan pendeta, tembusannya (Carbon Copy) harus para jemaat. Alasannya, pendeta yang melayani di gereja saya termasuk di golongan 'punah', yang melayani pagi-siang-malam, termasuk istrinya sehingga rumahnya berantakan tak terurus. Ketika saya dan istri saya bertandang ke rumahnya minggu lalu, kami memutuskan untuk beres-beres rumahnya sebentar (ketika mereka harus meninggalkan kami untuk urusan lain). Jadi, ketika ada tamu-tamu yang bertandang ke rumah mereka, istrinya tidak perlu dicap "ih, istri pendeta kok nggak becus ngurus rumah??".

Ketika mbah Pur nulis "Tetapi punya pendeta yang hobi khilaf juga ada enaknya kok. Jemaat tidak pernah kehabisan bahan cerita dan makin sering “persekutuan” saja.", saya hampir dilihatin hampir semua orang kantor ngakak sendiri (masalah kenapa si rusdi sempet me-nyabdaSpace di jem kantor, itu dosa lain). Masalahnya, pendeta yang nggak suka khilaf aja suka digosipin, apa lagi yang suka khilaf. Ah, tapi tidak mengapa, gereja jadi makin ramai dengan "persekutuan" kan?

Mengapa sekarang makin jarang pendeta profesional? Yah, bagaimana tidak? Siapa sih, yang mau jadi Pembantu Rumah Tangga, walau dibubuhi PRT-Profesional? Belum lagi harus memerangi 'nabi-nabi palsu', seperti yang ditulis di atas:

"Jika dulu yang disebut penyesat adalah Saksi Yehova dan Mormon yang kasatmata, sekarang penyesatnya jauh lebih banyak dan tidak kasatmata karena bisa saja datang dari jemaatnya sendiri yang mencoba merasionalisasikan segala sesuatu."

Makanya jadi banyak pendeta jadi-jadian, seperti analisa mbah Pur di atas yah? Astaga, marilah kita berdoa puasa (tapi saya ogah puasa) bareng-bareng, "cepatlah Gusti Yesus datang, kalau tidak, mau berapa yang tersisa setelah disesatkan??"

Purnomo's picture

Rusdy ngakak yang di sini mendelik

          Minggu 13 Juni saya membagi 10 exemplar print-out 2 blog “Pendeta” (termasuk komen-komennya) di gereja saya dalam format ½ A4 20 halaman kepada beberapa mahasiswa teologi praktek, penatua dan calon pendeta. “Wah, mulai lagi,” begitu komentar mereka yang dulu pernah setiap 3 minggu menerima buletin saya.

          Karena banyak yang minta maka daftar penerima tidak bisa diberlakukan. Stok habis sebelum pendeta saya beri. Terpaksa minggu depan fotocopy lagi karena di sini yang senang mendelik jumlahnya lumayan.

          Salam.

 

joli's picture

@purnomo, emang ada guna-nya?

Purnomo : Lha kalau yang bekerja asal-asalan itu pendeta, piye jal? Tidak ada salahnya kita juga mengirim surat pengaduan kepada Tuhan yang menjadi atasannya. Jangan lupa mengirim tembusannya kepada yang bersangkutan.

Emang bisa ya tulis surat ke Tuhan? jadi ingat setiap tanggal 5 desember, dulu waktu kecil Joli selalu tulis surat keinginan kepada Sinterklas, dengan harapan dapat apa yang diinginkan.

Kata-nya dalam pemerintahan Tuhan, ada ring 1 yaitu 12 rasul, lalu ring 2 yaitu 70 murid lalu ring ring banyak... Jadi mana bisa nulis langsung ke Tuhan, mesti lewat RT, RW, Lurah, Camat, Bupati, Gurbernur, Menteri baru ke Presiden. Wuih terlanjur pensiun ;)

Dan bisa jadi kebijakan Presiden menjadi bias ketika sampai RT, jadi maklum-lah, bila kebijakan PRT tidak sama bahkan bertolak belakang dengan Presidennya. Yang lagi ngetrnd sekarang adalah win-win solution, menegakkan kebenaran bukanlah cara populer untuk menjalankan roda pemerintahan gereja. So apa guna-nya menulis surat ??

Purnomo's picture

Joli, potong kompas saja

          Jika menulis surat kepada Tuhan dengan kalimat pembuka “Yth Tuhan yang memimpin Kerajaan Sorga” lama sampainya karena ruwet birokrasinya. Ganti kalimat pembukanya dengan “Bapa kami yang di sorga” lalu tempel surat itu di pintu gerbang gereja agar ketika Bapa masuk gereja bisa langsung melihatnya.

           Gitu lho.

 

iik j's picture

purnomo, lagi sensi soal profesi pendeta?

Pendeta : profesi atau panggilan?

Pendeta: pelayanan atau kehidupan?

Pendeta: Hidup munafik atau bermuka dua?

Pendeta: boleh ngejob atau miskin selamanya?

Pendeta: jabatan atau gelar?

Pendeta: kehormatan atau tragedi?

ha ha ha ha .. embuhhhhhhhhhhhhh... no koment!!!

Maaf, komentar ini iseng...karena lagi sensi sama jabatan pendeta!

he he he he

Purnomo's picture

Iik, di sini gunung di sana gunung

di tengahnya cuma parit kecil.

Yang di sini bingung yang di sana bingung,

yang di tengah cuma bisa nulis parodi.

 

Karena yang bingung 2 blogger,

parodinya 2 blog saja.

Salam.