Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Ronggowarsito: Requiem; Symphony #1

ronggowarsito's picture

(Ronggowarsito : Requiem ; Symphony #1)

Intro lagu Survivor - Destiny's Child dari hapeku lantang membangunkanku dari kelelapan yang rasanya belum lama kunikmati malam ini, memaksaku bangkit dari mati suri. Setengah sadar kuraih hape dari meja di sisi ranjang. Samar-samar kubaca siapa gerangan yang menelepon. Sebaris nomor tak dikenal.
"Halo...," sapaku dengan suara berat, sambil melirik weker di atas meja, pukul 2 pagi lewat sedikit.
"Halo, selamat malam pak."
"Selamat pagi, mbak. Udah jam dua lewat ini," sahutku mengoreksi.
"Oh, eh.... maaf pak, selamat pagi." Kelihatannya tidak penting baginya apakah hari masih malam atau sudah pagi.
Suara perempuan muda. Kepanikan tersirat dari nada bicaranya. Aku duduk di tepi ranjang. Tak perlu dijelaskanpun sebenarnya aku sudah bisa menebak apa yang diinginkannya.
 

"Ada yang bisa saya bantu?" aku mulai bertanya.
"Saya butuh peti mati. Diantar sekarang bisa ya pak? Masih di Semarang kok. Langsung aja ke rumah sakit."
Permintaannya bernada memaksa. Berdasarkan pengalaman sangat sulit menolak permintaan seperti ini. Maka kucoba untuk sedikit bernegosiasi. "Kalau nunggu sampai pagi ini saja gimana, mbak?" tanyaku.
"Jangan, jenasahnya harus dibawa ke Jogja jam 5 pagi ini. Saya minta tolong banget ini pak. Kalau harus nambah biaya juga ngga masalah."
"Oh, bukan masalah itu, mbak. Ngga nambah biaya apa-apa kok."
"Ok. Modelnya yang ada apa aja, pak?"
"Kalo modelnya cuma ada dua mbak, yang ukiran sama yang biasa. Kalo bahannya ada yang jati, ada yang mahoni. Stok yang ada  sekarang hanya itu. Mau ambil yang mana?"
"Saya ambil yang paling bagus pak, yang jati ukiran. Harganya berapa?"
Sebelum sempat kujawab perempuan itu nyerocos.
"Oh iya pak, saya butuh kostum lengkap buat jenasah. Setelan jas ukuran XL, sekalian sepatu hitam ukuran 43."
"Ok..."
"Trus jenasahnya diantar ke Jogja, berangkat jam 5, nanti saya kasi alamatnya. Jadi sampai sana sekitar jam 9-an."
"Lho, tidak ada yang ikut mengantar jenasah?" tanyaku.
"Maaf pak, tidak ada." jawabnya.
Aneh, pikirku. Ini pasti ada sesuatu. Biasanya kemanapun jenasah pergi - sebelum dimasukkan ke liang lahat tentunya - selalu ada kerabat atau handai taulan yang mengiringi.
"Gimana, pak? Saya harus siapkan dana berapa?" lanjutnya.
Sesaat aku terdiam.
Berhitung.
Setelah kurasa perhitungan cepatku tak keliru, kusebutkan jumlah angkanya.
"Ok, pak. Saya siapkan sekarang. Nanti begitu bapak sampai di sini saya selesaikan semuanya."
"Maaf, mbak. Kalau boleh saya tau, mbak ini...".
"Bapak siapkan dulu saja semua, saya tunggu bapak di Kariadi. Begitu sampai bapak langsung saja telepon saya di nomer ini. Terima kasih, selamat malam."
Telepon ditutup, bahkan sebelum aku melanjutkan pertanyaanku. Dia tidak memberiku kesempatan bertanya apa-apa lagi. Ini keanehan yang kedua. Ah, sudahlah turuti saja. Bagaimanapun juga pelanggan adalah raja.

Sesudah ganti baju kubangunkan isteriku untuk berpamitan.
"Kabari aku," ujarnya singkat sambil terkantuk-kantuk, sebelum melanjutkan tidurnya.
Kusempatkan menciumi kedua anakku yang sedang memeluk gulingnya masing-masing, merapikan selimut mereka, lalu bergegas keluar menuju garasi.
Mobil jenasah ini masih gagah seperti dulu. Inilah mobil yang paling terawat yang pernah aku punya. Dipakainya tidak setiap hari, servis rutin tak pernah lewat, bersih setiap saat. Sebelum berangkat kutelepon Supri, pegawaiku yang tiap hari tidur di kantor, untuk menyiapkan pesanan peti dan perlengkapannya.

Walau jalanan sepi sekali pagi itu, perjalanan menuju kantor terasa lambat. Mungkin karena aku tahu bahwa hari ini aku sendiri yang harus mengantarkan jenasah sampai Jogja. Pak Diman, sopir kantor minta cuti untuk menjenguk orangtuanya yang sakit di luar kota. Aku tak mungkin minta tolong pegawaiku untuk menemani ke Jogja. Mereka harus ada di kantor karena ada pesanan kayu datang pagi ini.
"Priii, Supriii...," panggilku sesampainya di kantor. Pintu kantor belum dibuka, tapi lampu di dalam menyala. Sesaat kemudian Supri datang dengan tergopoh-gopoh membukakan pintu untukku.
"Siapa yang meninggal, bos?" tanyanya. Dulu, aku sempat tak suka dengan caranya memanggilku dengan sebutan "bos". Tapi akhirnya aku memakluminya karena ternyata semua orang, dari mulai klien kantor sampai tukang parkir, bahkan pengemis yang biasa singgah ambil jatah dipanggilnya dengan cara demikian.
"Ngga tahu, Pri. Orang Jogja, ini jenasahnya masih di Kariadi, " jawabku.
"Sudah siap semua, Pri?" sambungku.
"Sudah bos, tinggal bawa. Kostumnya sudah saya masukkan sekalian ke dalam peti."
Berdua kami memasukkan peti ke dalam kabin mobil.
"Sendirian, bos?" tanyanya. Basa-basi.
"Abis siapa lagi, Pri. Ngga ada orang gini...," sahutku.
"Hati-hati di jalan, bos."
Aku tersenyum kecil.
"Sip. Oh iya, nanti kalau pesanan kayunya datang jangan lupa kamu kabari aku." pesanku sebelum meluncur ke Kariadi, mengingatkan tugasnya pagi ini.

Perempuan itu sedang gelisah sambil berbicara di telepon ketika aku datang. Masih muda, mungkin usianya sekitar 25-an, bentuk badannya ideal, berambut api, lumayan cantik tapi wajahnya pucat. Buru-buru dia menutup teleponnya ketika melihatku,

kelihatannya dia yakin akulah orang yang sedang ditunggunya.
"Lola," ujarnya singkat memperkenalkan diri dengan tangan sedikit gemetar ketika kami berjabatan. Kulihat matanya memerah, serasi dengan warna cat rambutnya.
"Almarhum sudah dimandikan, pak. Saya minta tolong dipakaikan setelan jasnya," katanya sambil menahan isak.
Dibantu tiga orang petugas rumah sakit, aku membawa peti masuk ke dalam dan mulai mendandani jenasah laki-laki itu.

Perawakannya tinggi tapi agak kurus, dari raut wajahnya sepertinya dia meninggal dalam kesakitan. Dan seperti biasa, aku tak sanggup terlalu lama memandang wajah jenasah yang sedang kuurus.

Pekerjaan itu hampir selesai ketika seorang suster mendekatiku dan menyerahkan sebuah amplop.
"Ini surat keterangan kematiannya, pak. Ibu Lola yang menyuruh saya menitipkannya ke Bapak," katanya.
Aku mengambil amplop itu, kemudian mendekat padanya lalu bertanya, "Meninggalnya kenapa, sus?"
"OD. Terlambat dibawa ke sini," jawabnya lirih, sambil melirik ke arah Lola yang sedang menelepon di depan pintu. Aku kehilangan kata-kata. Untunglah, suster itu cepat-cepat menyingkir keluar ruangan.

Pukul 5 kurang seperempat.
Peti sudah masuk ke kabin mobil jenasah. Ketika memeriksa ikatannya agar tak bergeser di sepanjang perjalanan, Lola mendekatiku.
Dia menenteng sebuah tas cukup besar, kemudian meletakkannya di samping peti.
"Saya titip ini buat keluarganya, pak."
"Apa itu, mbak?"
"Barang-barang milik almarhum."
Kemudian ia mengulurkan sebuah amplop tebal padaku.
"Dihitung dulu, pak."
"Tidak usah, saya percaya kok, mbak."
"Terima kasih, pak, sudah banyak membantu saya. Saya juga minta maaf, karena saya tidak bisa mengantar sampai Jogja."
Raut mukanya bertambah murung dan kata-katanya bergetar ketika mengucapkan kalimat yang terakhir.
"Kalau saya boleh tahu, kenapa Mbak Lola tidak ikut mengantar?" tanyaku hati-hati.
Perempuan itu diam, tak menjawab.
Mengeluarkan hape dari tasnya, memencet beberapa tombolnya sambil berkata, " Saya sms-kan alamat tujuannya, pak. Usahakan sampai Jogja sebelum jam 9. Saya juga sekalian minta ijin memberikan nomor hape Bapak buat keluarga almarhum."
"Iya, mbak, ngga apa-apa."

Kubuka pintu depan mobil jenasah dan sesaat sebelum aku naik dan duduk di belakang kemudinya, perempuan itu mendekatiku.
Kulihat airmatanya menderas, butir-butirnya meluncur cepat di lembah pipinya. Membasahi kerah baju.
Sejenak aku menahan nafas, menunggu apa yang ingin dikatakannya.
"Saya bukan isterinya," ujarnya terbata-bata.
Pagi ini, untuk kedua kalinya aku harus kembali kehilangan kata-kata.

Di sepanjang perjalanan Semarang - Jogja intro lagu Survivor seakan tak pernah berhenti mengalun.
Kemudian membalas hampir semua pertanyaan dengan jawaban yang sama : "Saya tidak tahu."

Requiem æternam dona eis, Domine, et lux perpetua luceat eis.

smg 230310
salam hangat,
rong2

__________________

salam hangat,
rong2

dennis santoso a.k.a nis's picture

misterius

fans? selingkuhan? ... atau apa yah dia itu?

sandman's picture

misteri

Ibu kostnya? germonya?

 

Karena kita sungguh berharga bagi-Nya dan Dia mengasihi kita.

__________________

ronggowarsito's picture

@nis @sand : bukan

bukan fans, bukan selingkuhan
bukan ibu kost, apalagi germonya
tapi...
dia adalah pengedarnya!!!
perempuan itu menangis karena kehilangan pelanggan utamanya
Huahahaha...
silakan berimajinasi sepuas hati

salam hangat,
rong2

__________________

salam hangat,
rong2

Coronahsfz's picture

Ada aja

GBU;)

__________________

GBU;)

hai hai's picture

@ronggowarsito, Wow ...

ronggowarsito, tidak dinyana, ternyata anda pandai bercerita ya! Wow ... Salut cing! Saya daftar jadi fans ya!?

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

Purnawan Kristanto's picture

Ini Kisah Nyata

Ini kisah nyata. Saat itu ibu saya mengajar di SD Slamet Riyadi, Semarang. Ada pekerja yang sedang memangkas pohon di halaman SD. Tiba-tiba..."bruuk!!" diikuti jeritan histeris dan orang berlarian. Ternyata pemangkas itu jatuh dari pohon dan tewas.

Jenazahnya dibawa ke R.S. Kariadi. Setelah semua urusan selesai, jenazah itu harus diantarkan ke kampung halamannya untuk dimakamkan. Masalahnya, orang yang meninggal ini tidak punya kerabat atau kenalan di Semarang. Maka terpaksalah ibu saya yang harus mengantar jenazah itu dengan ditemani tukang kebun SD yang berangkat dengan rasa enggan. Sang tukang kebun ini ternyata takut pada orang mati.

Dalam mobil jenazah, ibu saya dan tukang kebun ini duduk di samping kiri dan kanan jenazah. Sang tukang kebun semakin menggigil ketakutan karena jenazah itu dimasukkan ke dalam peti mati. Tubuhnya hanya diletakkan di atas drakbar.

Seperti biasa, mobil jenazah melaju dengan kecepatan tinggi sambil membunyikan sirene. Saat memasuki tikungan tajam, mobil jenazah ini terlambat mengurangi kecepatan sehingga mobil oleng ke salah satu sisi. Tiba-tiba tubuh jenazah itu berguling dan jatuh di atas pangkuan sang tukang kebun. Spontan sang tukang kebun melemparkan jenazah itu sambil berteriak-teriak histeris.


__________________

------------

Communicating good news in good ways

PlainBread's picture

requiem

...................., quia pius es.

Amen.

 

ronggowarsito's picture

nantikan...

Woow.. para pendekar SS akhirnya mampir juga rame2 ke lapakku. hehehe...
sand, nis, TP, corona, hai hai, wawan, PB, makasih buat jempol dan komentar2nya.
Mudah-mudahan dalam waktu dekat ronggowarsito: requiem; symphony #2 bisa segera di-release.
 

salam hangat,

rong2

__________________

salam hangat,
rong2

smile's picture

rong ; pendek -menanti-penasaran.

menyebalkan. Tapi lebih efisien...(karena cerita panjang membosankan, da ga punya waktu banyak untuk membacanya)

 

smile

__________________

"I love You Christ, even though sometimes I do not like Christians who do not like You include me, but because you love me, so I also love them"

ronggowarsito's picture

@smile, janji

Smile, sebenarnya draft cerita ini memang cukup panjang. Waktu editing terakhir kuputuskan untuk memangkas detail2 yang terkesan membuat plot jadi lambat.
Aku kasih bocoran deh, nanti di symphony #2 aku mau coba tampilin lebih banyak detail. Moga2 hasilnya gak mengecewakan.
Sesuai janjiku sm pendekar babi siang tadi di kotakijo, nunggu symphony #1 ilang dulu dari beranda SS, baru symphony #2 direlease.
(Alasan doang, yg bener draftnya masih mentah banget hihihi...)

salam hangat,
rong2

__________________

salam hangat,
rong2