Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

SEHARUSNYA SAYA MALU

Sri Libe Suryapusoro's picture

           Dua ribu tahun lalu terdapat orang yang memiliki segalanya. Dia dapat membuat dirinya nyaman. Setiap hari Ia mendengar musik dan pujian dari para malaikat. Bisa saja Dia duduk di kursi paling empuk, makan makanan yang paling enak, membuat keadaan seperti yang Dia inginkan dan banyak lagi hal yang bisa Dia lakukan. Tetapi ada sesuatu yang mengusik hatinya yaitu dosa manusia. Dia telah mengutus hamba-hambanya untuk memperingatkan manusia, memberikan hukuman berupa banjir, penjajahan dan banyak lainnya. Manusia memang bertobat tetapi hanya sebentar. Ketika manusia merasakan nyaman, mereka mulai memberontak. Manusia berzinah kepada allah lain.

Dua ribu tahun lalu, Allah memutuskan meninggalkan kenyamananNya. Pujian malaikat di surga telah berganti menjadi teriakan ibuNya. Musik yang indah diganti rintihan manusia. Ia tidak lagi duduk di singgasana. Saat itu Ia menjalankan profesinya sebagai tukang kayu. Emas dan permata berganti menjadi debu dan teriknya matahari. Dari seseorang yang mempunyai segalanya menjadi orang yang tidak mempunyai apa-apa. Dialah Yesus yang meninggalkan kenyamanan demi menyelamatkan manusia.

Saya mengutip tulisan tersebut dari tulisan saya yang berjudul kenyamanan. Saat ini saya bekerja di sebuah lembaga pelayanan untuk anak-anak miskin. Ketika saya menangani data anak dari Kupang dan Waengapu, saya sangat bersedih. Selembar data bertuliskan,”Anak ditinggal orang tuanya sejak kecil.” dan “Ayah anak ini dipenjara karena membunuh istrinya.”dan,”Anak tidak mengetahui tentang orang tuanya.” Dari 150 data anak terdapat sekitar 50 anak yang mengalami masalah seperti itu. Lalu apa yang saya lakukan?

Saya masih seperti biasanya. Saya bersedih sebentar, membagikan kesedihan ke teman kerja saya, dan hari berlalu seperti biasanya. Saat ini saya malu karena saya tidak tahu malu. Dimanakah perasaan saya? Saya masih makan dengan menu yang cukup enak, masih ke Istana Plaza bersama teman saya, masih beli sepatu sandal dan baru-baru ini rak buku. Dimanakah rasa kemanusiaan saya?

Mungkin saya bisa beralasan,”Yah, bagaimana lagi saya tidak bisa membantu mereka.” Atau,”saya tidak mengenal mereka.” Atau,”Bukankah uang ini hasil kerja kerasku, boleh dong saya mencukupi diri saya.” Dan masih banyak alasan yang bisa saya ciptakan dengan tujuan saya merasa damai ketika tidak melakukan apa-apa bagi mereka yang miskin.

Pertengahan bulan Maret saya melakukan pelayanan ke Yogyakarta. Saya bertemu dengan teman pelayanan saya. Dia membagikan cerita yang membuat saya menjadi malu.

“Mas, saya melakukan pelayanan ini dengan suka cita. Dewi saat ini dalam keadaan stres berat. Menutup tutup toples pun tidak bisa dilakukan dengan benar. Sering dia datang ke kosku dalam keadaan lapar. Akhirnya saya membeli makanan dan membagi dua. Saya tahu, saya sendiri masih kurang tetapi saya dengan senang hati melakukannya. Terkadang saya sendiri tidak mempunyai uang untuk beli makanan. Tetapi kami melakukannya bersama. Kami sama-sama lapar.”

Saya beraksud memberi uang untuk pelayanannya. Tetapi dia menolak. Katanya,”Mas, aku ingin mencontoh apa yang Mas lakukan. Beri aku kesempatan untuk melakukan yang terbaik bagi Tuhan. Beri aku kesempatan untuk merasakan memberi dalam kekurangan.” Lalu dia mengingatkan saya tentang apa yang telah saya lakukan. Saya benar-benar malu, karena dulu memang saya memberi dalam kekurangan. Tetapi sekarang?

Kalau Anda mencari orang yang bisa berbicara tentang Firman Tuhan tetapi tidak melakukannya, sayalah orangnya. Sering saya membayangkan, kalau Yesus menjadi diri saya, apa yang akan DIA lakukan. Akankah Dia berbicara tentang program pembangunan gereja? Akankah Dia berbicara tentang mencukupi diri sendiri? Atau tidak mau terusik dengan keadaan dunia ini? Yesus yang saya kenal tidaklah demikian, tetapi saya tidak tahu Yesus yang Anda kenal. Dari kutipan tulisan diatas kita bisa melihat apa yang Tuhan lakukan.

Saat ini seharusnya saya bersama teman sekantor saya menonton film gangs of New York tetapi saya malah mengetik tulisan ini. Hari Kamis saya harus pelayanan ke Cianjur diluar jam kantor. Padahal banyak hal yang harus saya selesaikan dalam minggu ini. Sabtu sampai Minggu saya harus pelayanan ke Jakarta dengan biaya pribadi. Minggu depan saya harus ikut pelatihan di jakarta selama tiga hari. Setiap hari saya harus kerja les privat juga. Setiap Sabtu seharusnya saya melayani seseorang. Pada hari Minggu (dua minggu sekali) saya PA untuk alumni. Setiap Senin dan Rabu saya ikut persekutuan kantor. Wah… sepertinya kehidupan yang berkenan di hadapan Allah. Tetapi sebenarnya tidak.

Dalam 2 Korintus 8:9 tertulis,”Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa IA, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinanNya.” Adakah orang yang menjadi kaya karena kemiskinanku? Adakah orang yang semakin mengenal Yesus Kristus karena hidupku? Adakah orang yang terbangun imannya kepada DIA? Kalau tidak, sungguh seharusnya saya merasa malu.

Apapun pekerjaan saya. Apapun aktifitas saya. Seharusnya ada orang yang semakin mengenal Kristus melalui diri saya. Kalau tidak ada, seharusnya saya malu. Saya mengakui semua ini supaya Anda juga mengakuinya di hadapan Tuhan.

__________________

Small thing,deep impact